• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.2 Manfaat penelitian

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penelitian selanjutnya dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Psikologi Industri dan Organisasi dalam hal yang terkait dengan perilaku cyberloafing, regulasi diri, stres kerja, dan keadilan organisasi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran perilaku cyberloafing, regulasi diri, stres kerja, dan keadilan organisasi bagi institusi yang berkaitan. Serta diharapkan juga dapat membantu pihak-pihak terkait untuk meminimalisir perilaku cyberloafing dilingkungan kerja.

13

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Cyberloafing

2.1.1 Definisi perilaku cyberloafing

Cyberloafing merupakan istilah yang digunakan untuk mendefinisikan penggunaan internet oleh karyawan yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya. Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menjelaskan istilah cyberloafing, seperti cyberslacking, non-work-related computing, cyber deviance, personal use at work, Internet abuse, workplace Internet leisure browsing, dan junk computing (Vitak, Crouse, & LaRose, 2011).

Perilaku cyberloafing merupakan istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Lim (2002) yaitu segala tindakan sukarela dari karyawan dalam menggunakan akses internet perusahaan selama jam kerja untuk menjelajahi situs yang tidak terkait pekerjaan untuk keperluan pribadi dan untuk memeriksa (termasuk menerima dan mengirim) email pribadi sebagai penyalahgunaan fasilitas internet.

Selain itu, perilaku cyberloafing juga didefinisikan sebagai tindakan karyawan yang dengan sengaja menghabiskan waktu dengan menggunakan akses internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaannya (Handoyo, 2016). Secara khusus, Garret dan Danzieger (dalam Handoyo, 2016) mendefinisikan bahwa cyberloafing merupakan penggunaan akses internet perusahaan oleh karyawan secara ilegal atau tidak sah selama jam kerja. Sedangkan Blanchard dan Henle

(2008) mendefiniskan cyberloafing sebagai aktivitas penggunaaan email dan internet untuk tujuan pribadi saat jam kerja.

Menurut Lim dan Chen (2009), perilaku cyberloafing merupakan perilaku karyawan yang secara sengaja menggunakan akses internet untuk tujuan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja. Aktifitas yang dimaksud adalah aktivitas mengecek email personal ataupun mengunjungi situs internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Perilaku cyberloafing pada saat bekerja dapat mengalihkan karyawan dari menyelesaikan pekerjaan mereka dan menghasilkan penggunaan waktu yang tidak produktif sehingga kegiatan cyberloafing termasuk dalam bentuk penyimpangan kerja (Lim & Chen, 2009).

Lim dan Chen (2009) membagi cyberloafing menjadi dua tipe, yaitu minor dan serious cyberloafing. Minor cyberloafing merupakan bentuk perilaku cyberloafing yang ringan seperti mengakses internet untuk mengirim atau menerima email pribadi, mengunjungi situs berita, olahraga atau mengakses perbankan pribadi. Sedangkan serious cyberloafing mencakup segala aktivitas cyberloafing yang menyalahgunakan internet dan berpotensi ilegal seperti perjudian online, mengunduh musik, melihat situs dewasa atau pornografi.

Perilaku cyberloafing biasanya hanya akan dilakukan karyawan ketika karyawan menganggap bahwa cyberloafing tidak akan membahayakan diri mereka sendiri dan organisasi. Sehingga karyawan akan melakukan kegiatan cyberloafing yang tidak melanggar norma sekitar mereka, seperti chatting, membuka situs entertainment, bermain game online, berbelanja online, dan sebagainya (Lim &

Teo, 2012).

Perilaku cyberloafing dapat berupa aktivitas email dan aktivitas browsing.

Aktivitas email yang dimaksud seperti pada jam kerja karyawan membaca, mengirim, dan menerima email pribadinya sehingga tugas dan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya pun menjadi teralihkan, kemudian aktivitas browsing yang dimaksud seperti karyawan yang membuka jejaringan sosial seperti facebook, twitter, atau mengunduh file atau musik, dan kegiatan lainnya dimana situs tersebut tidak ada kaitannya dengan tugas dan pekerjaan karyawan (Lim &

Chen, 2009; Blanchard & Henle, 2008).

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dipaparkan, maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori milik Lim dan Chen (2009) dimana perilaku cyberloafing didefinisikan sebagai perilaku yang secara sengaja menggunakan akses internet untuk tujuan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja. Teori tersebut dipilih karena Lim merupakan tokoh pertama yang membahas teori mengenai perilaku cyberloafing, sehingga teorinya sudah banyak digunakan pada penelitian-penelitian terdahulu dan memiliki kredibilitas ilmiah yang tinggi (seperti Blanchard & Henle, 2008; Prasad et al, 2010).

2.1.2 Dimensi perilaku cyberloafing

Lim dan Chen (2009) membagi perilaku cyberloafing menjadi dua dimensi, yaitu:

1. Browsing Activity

Aktivitas cyberloafing ini merupakan kegiatan yang termasuk mengunakan akses internet untuk browsing atau mengunjungi situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan pada jam kerja, seperti belanja online, mengakses media sosial, dsb.

2. Emailing Activity

Emailing merupakan kegiatan mengirim, menerima, dan memeriksa email yang tidak berkaitan dengan pekerjaan pada saat jam kerja.

Kemudian, Lim dan Chen (2009) juga mengemukakan dan jenis dari perilaku cyberloafing yaitus:

1. Minor Cyberloafing

Minor cyberloafing meliputi penggunaan email dan internet pada saat bekerja.

Contohnya mengirim dan menerima pesan pribadi atau mengunjungi situs berita, keuangan, dan olahraga. Dengan demikian minor cyberloafing mirip dengan perilaku lain yang tidak sesuai dengan pekerjaan namun diberi toleransi.

Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa minor cyberloafing tidak memiliki dampak yang merugikan bagi organsisasi, seperti mengurangi produktivitas.

2. Serious Cyberloafing

Serious cyberloafing merupakan bentuk cyberloafing lain yang terdiri dari bentuk-bentuk cyberloafing yang tingkatnya lebih serius. Perilaku ini kasar dan berpotensi melakukan hal-hal yang ilegal atau tidak sah seperti perjudian online dan membuka situs-situs pornografi. Jenis cyberloafing ini memiliki dampak yang serius bagi organisasi.

Pegawai atau karyawan yang melakukan minor cyberloafing biasanya tidak percaya bahwa mereka melakukan hal yang menyimpang. Sementara itu karyawan yang melakukan serious cyberloafing menyadari bahwa perbuatannya menyimpang dan mungkin tidak akan dimaafkan dan tidak dapat diterima di tempat kerja (Blanchard & Henle, 2008). Jenis cyberloafing yang digunakan

dalam penelitian ini yaitu minor cyberloafing dikarenakan norma sosial terkait serious cyberloafing yang dianggap menyimpang seperti bermain judi dan membuka situs dewasa.

Adapun dimensi perilaku cyberloafing yang menjadi fokus penelitian ini ialah yang dikemukakan oleh Lim dan Chen (2009), yaitu aktivitas browsing dan emailing. Pemilihan dimensi tersebut karena linear dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini dan sangat relevan dengan keadaan yang terjadi saat ini.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing

Ozler dan Polat (2012) mengemukakan faktor penyebab terjadinya cyberloafing di tempat kerja dibagi menjadi tiga yait faktor individu, organisasi, dan situasional, yang dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Faktor Individual a. Persepsi dan Sikap

Hasil penelitian Patrick et al (dalam Ozler & Polat, 2012) menunjukkan bahwa sikap berpengaruh positif dan signifikan terhadap cyberloafing, individu yang memiliki sikap yang positif terhadap internet cenderung untuk menggunakan internet untuk alasan personal.

b. Regulasi Diri

Hasil penelitian dari Prasad et al (2010) menemukan bahwa regulasi diri menjadi faktor yang menentukan perilaku cyberloafing dan regulasi diri juga dapat mencegah individu dari perilaku cyberloafing. Sedangkan, dalam penelitian Anugrah et al (2013) juga menyebutkan bahwa regulasi diri memberikan kontribusi pengaruh terhadap perilaku cyberloafing mahasiswa

Universitas Kristen Maranatha sebesar 5,6%. Sedangkan sisanya sebesar 94,4% merupakan pengaruh dari faktor lain yang tidak diteliti.

c. Kontrol Diri

Penelitian Ardilasari dan Firmanto (2017) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara kontrol diri dengan perilaku cyberloafing pada pegawai negeri sipil. Maka dapat dikatakan, semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki pegawai negeri sipil, maka semakin rendah perilaku cyberloafing yang dilakukannya. Begitupula sebaliknya semakin rendah kontrol diri yang dimiliki pegawai negeri sipil, maka semakin tinggi perilaku cyberloafing yang dilakukan.

d. Kepribadian Big Five

Malhotra (2013) menjelaskan bahwa kepribadian Big Five yang mencakup extraversion, agreeableness, consciousness, neuroticism, dan openness memiliki kaitan dengan perilaku cyberloafing. Dimana trait kepribadian tersebut merupakan karakteristik individu yang dapat memprediksi perilaku seseorang dalam penggunaan internet ataupun hal lain yang termasuk perilaku kerja kontraduktif.

e. Intention to Engage, Social Norms dan Personal Ethical Codes

Intention merupakan prediktor yang akurat untuk perilaku dalam banyak studi. Meskipun demikian penelitian juga menunjukkan bahwa intentions tidak selalu berujung pada munculnya sebuah perilaku, namun hubungan antara intention dan perilaku merupakan sebuah hubungan kompleks.

Persepsi tentang pentingnya larangan etis akan cyberloafing berhubungan

negatif dengan perilaku cyberloafing. Belief normative seseorang (misalnya, secara moral cyberloafing salah) mengurangi intensi untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak et al, 2011).

2. Faktor Organisasional

a. Pembatasan Penggunaan Internet dan Anticipated Outcome

Menurut Malhotra (2013), kebijakan penggunaan internet terkait dengan penurunan cyberloafing. Dengan membatasi penggunaan internet karyawan, pemimpin organisasi mengurangi kemungkinan penggunaan internet untuk kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan karyawan.

Demikian sebaliknya, karyawan yang akan menerima hukuman yang berat apabila melakukan perbuatan yang menyimpang akan memiliki kecenderungan cyberloafing rendah (Vitak et al, 2011). Penelitian menemukan bahwa karyawan cenderung tidak melakukan kegiatan yang mereka anggap memiliki konsekuensi negatif yang serius bagi organisasi mereka dan menyakiti kepentingan pribadi mereka (Vitak et al, 2011).

b. Pandangan Rekan Kerja tentang Norma Cyberloafing

Blau (dalam Malhotra, 2013) mengemukakan bahwa karyawan melihat rekan kerjanya sebagai panutan dalam organisasi, sehingga perilaku cyberloafing dapat dipelajari dengan mengikuti perilaku rekannya yang dilihat oleh karyawan dalam lingkungan organisasi.

c. Keadilan Organisasi

Lim (2002) menemukan keadilan organisasi berpengaruh secara negatif terhadap cyberloafing dan menemukan bahwa ketika karyawan

mempersepsikan dirinya berada dalam ketidakadilan dalam bekerja, maka salah satu caranya untuk menyeimbangkan hal tersebut adalah dengan melakukan cyberloafing.

d. Stres Kerja

Stres kerja yang terbagi menjadi tiga yaitu role ambiguity, role conflict, dan role overload, merupakan faktor pekerjaan dapat memprediksi cyberloafing (Handoyo, 2016). Dalam penelitian Arshad, Aftab, dan Bukhari (2016), menunjukkan role ambiguity dan role conflict memiliki pengaruh yang signifikan terhadap cyberloafing. Studi lain mengatakan stres kerja berhubungan dengan cyberloafing karena dapat menimbulkan emosi negatif yang membuat individu cenderung melampiaskan hal tersebut dimana salahsatunya dengan cyberloafing (Blanchard & Henle, 2008).

e. Karakteristik Pekerjaan

Studi skala yang lebih kecil menemukan efek positif dari cyberloafing, penelitian tersebut menunjukkan bahwa menghabiskan waktu mengerjakan hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan dapat mengurangi kebosanan, kelelahan, atau stres, kepuasan kerja yang lebih besar atau kreativitas, meningkatkan dalam kesejahteraan, rekreasi dan pemulihan, dan karyawan secara keseluruhan menjadi lebih bahagia (Arshad et al, 2016).

3. Faktor Situasional

Pada penelitian Woon and Pee (dalam Malhotra, 2013), menunjukkan kondisi fasilitas merupakan hal yang penting, sehingga individu yang memiliki intensi untuk melakukan sebuah tindakan tidak mampu melakukannya karena

lingkungannya tidak memungkinkan untuk dilakukannya tindakan tersebut. Studi menemukan bahwa ada hubungan positif antara kondisi cyberloafing dengan perilaku cyberloafing itu sendiri.

Dari faktor-faktor penyebab terjadinya perilaku cyberloafing yang disebutkan di atas, faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini antara lain regulasi diri, kemudian stres kerja yang terdiri dari role ambiguity, role conflict dan role overload, serta keadilan organisasi yang terdiri dari, keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasional.

2.1.4 Pengukuran perilaku cyberloafing

Terdapat berbagai alat ukur perilaku cyberloafing yang telah dikembangkan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut:

1. Cyberloafing Questionnaire of Blanchard and Henle (2008)

Blanchard dan Henle (2008) mengembangkan alat ukur cyberloafing yang memiliki 16 item dan empat skala jawaban, dimana 11 item mengacu pada teori Lim (2002). Skala ini terdiri dari 22 item yang berisi dua jenis cyberloafing, yaitu perilaku cyberloafing minor (minor cyberloafing) dan perilaku cyberloafing serius (serious cyberloafing). Alat ukur memiliki nilai koefisien alpha cronbach sebesar 0,92 yang berarti dapat diterima untuk mengukur cyberloafing.

2. Cyberloafing Questionnare of Lim and Chen (2009)

Lim dan Chen mengembangkan alat ukur perilaku cyberloafing yang mengacu pada teori Lim dan Teo (2005). Alat ukur ini berisikan 12 item yang terdiri dari emailing activities dan browsing activities. Sebelumnya terdapat satu item mengenai kaitan dengan mengunjungi situs dewasa atau pornografi, yang

kemudian harus dihapus dikarenakan memiliki faktor loading yang lemah.

Sehingga pada alat ukur ini hanya memuat jenis minor cyberloafing saja. Alat ukur ini memiliki nilai alpha cronbach sebesar 0,87 dan juga sudah digunakan pada beberapa penelitian.

3. The Five Factor Cyberloafing Scale by Akbulut et al (2015)

Akbulut et al (2015) memperkenalkan alat ukur baru untuk mengukur perilaku cyberloafing yang terdiri dari 30 item yang mengukur lima faktor, yaitu berbagi informasi (sharing), belanja online (shopping), siaran langsung (real-time updating), mengakses konten secara online (accessing online content) dan bermain game/judi online (gaming/gambling). Alat ukur ini memiliki validitas yang cukup baik dimana nilai alpha cronbach sebesar 0,96.

Berdasarkan beberapa alat ukur yang telah diuraikan diatas, penelitian ini menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Lim dan Chen (2009) karena terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan alat ukur ini (seperti Günay, 2018; Tarigan, 2015) serta alat ukur ini memiliki nilai koefisien alpha yang cukup baik yaitu 0,87 sehingga dikatakan dapat mengukur perilaku cyberloafing dengan baik.

2.2 Regulasi Diri

2.2.1 Definisi regulasi diri

Regulasi diri merupakan bagian penting dari kepribadian yang dapat mengatur individu dalam mencapai target atau tujuannya. Susanto (dalam Nastasia &

Kurniawan, 2018) mendefinisikan regulasi diri sebagai kemampuan untuk mengontrol prilaku sendiri, regulasi diri merupakan penggunaan suatu proses

yang mengaktivasi pemikiran, perilaku dan perasaan yang terus menerus dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah diterapkan.

Menurut Prasad et al (2010) regulasi diri mengacu pada kemampuan individual untuk memiliki pengendalian diri dalam dirinya sendiri. Bandura (dalam Prasad, et al, 2010) menjelaskan bahwa individu memiliki dua macam tujuan atau sasaran yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang, dimana seseorang akan cepat puas jika tujuan jangka pendek telah terpenuhi dan melupakan akan tujuan jangka panjang. Namun hal tersebut dapat diatasi apabila individu tetap fokus akan tujuan jangka panjangnya dengan melawan tujuan jangka pendek yang sifatnya hanya sementara yaitu dengan memiliki pengendalian diri atau regulasi diri (Prasad et al, 2010).

Pichardo et al (2014) mendefinisikan regulasi diri sebagai kemampuan individu untuk merencanakan, memandu dan memantau perilakunya secara fleksibel dalam menghadapi keadaan yang berubah-ubah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Individu yang memiliki regulasi diri tinggi memiliki kemampuan merencakan tujuan hidup secara fleksibel di berbagai keadaan.

Individu tersebut juga dapat mengarahkan perilakunya agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, serta dapat memantau perilakunya agar tetap di jalan yang benar.

Selain itu, Alwisol (2009) menyatakan regulasi diri adalah suatu kemampuan yang dimiliki manusia berupa kemampuan untuk berpikir dan dengan kemampuan itu individu dapat memanipulasi lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan tersebut. Menurut Bandura (dalam Alwisol, 2009),

akan terjadi strategi reaktif dan proaktif dalam regulasi diri. Strategi reaktif dipakai untuk mencapai tujuan, namun ketika tujuan tersebut hampir tercapai, strategi proaktif menentukan tujuan baru yang lebih tinggi. Seseorang akan memotivasi dan membimbing tingkah lakunya sendiri melalui strategi proaktif, menciptakan ketidakseimbangan agar dapat memobilisasi kemampuan dan usahanya berdasarkan antisipasi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini menggunakan teori dari Pichardo et al (2014) dimana regulasi diri merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk merencanakan, memandu dan memantau perilakunya secara fleksibel dalam menghadapi keadaan yang berubah-ubah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Teori tersebut dipilih karena merupakan pengembangan teori Brown dan Miller (1991) yang sudah banyak digunakan pada penelitian sebelumnya (seperti Carey et al, 2004; Neal & Carey, 2005; Potgieter & Botha, 2009, dalam Azzahra, 2018) namun dalam setting yang menyesuaikan keadaan individu saat ini.

2.2.2 Dimensi regulasi diri

Pichardo et al (2014), menggabungkan teori regulasi diri dalam konteks pengaturan perilaku diri secara umum, dan mengacu pada kemampuan untuk mengubah perilaku yang diharapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pichardo (2014) juga membagi regulasi diri menjadi empat dimensi, antara lain:

1. Goal setting

Goal setting merupakan sebuah mekanisme utama dalam mempengaruhi motivasi, dimana individu menetapkan sejumlah tujuan yang harus dicapainya dalam jangka

waktu tertentu. Tujuan tersebut harus sesuai dengan keadaan individu maupun norma yang ada di lingkungan individu tersebut. Kesesuaian tujuan dengan keadaan yang sebenarnya sangat penting agar pencapaian tujuan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

2. Perseverance

Perseverance adalah orientasi individu dalam menghadapi kegagalan dan kemunduran, mendorongnya untuk fokus dalam mengerjakan setiap kegiatan, belajar dari kesalahan, dan menjadikan hambatan sebagai tantangan. Orientasi tersebut bukan sebagai refleksi dari kekurangan pribadi, melainkan sebagai pandangan yang membuat individu dapat menjalankan tujuan dengan fokus dan tidak terpengaruh dengan hal-hal yang dapat menghambat tujuannya. Selain itu, ketekunan dapat menjadikan individu selalu berjalan pada jalurnya sehingga tujuan dapat lebih mudah tercapai.

3. Decision Making

Decision making memiliki arti pengambilan keputusan. Definisi tersebut ditandai dengan kemampuan dalam melakukan perubahan dan pengambilan keputusan.

Individu yang memiliki kemampuan pengambilan keputusan yang baik dapat secara tegas sehingga tujuan dapat dicapai dengan baik.

4. Learning from Mistakes

Learning from mistakes merupakan kemampuan individu untuk belajar dari kesalahan. Setelah individu merealisasikan tujuan, individu dapat mengevaluasi langkah-langkahnya. Apabila terdapat kesalahan, individu harus mempelajari kesalahannya dan mencari solusi atas kesalahan tersebut.

2.2.3 Pengukuran regulasi diri

Terdapat berbagai alat ukur regulasi diri yang telah dikembangkan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut:

1. Self Regulation Questionnaire (SRQ) by Brown et al (1999)

Brown, Miller, dan Lewandowski menyusun sebuah skala yang terdiri dari 63 item untuk mengukur tujuh faktor dari regulasi diri. Brown et.al. membuat skala tersebut untuk mengukur seberapa besar pengaruh regulasi diri terhadap perilaku menggunakan alcohol dan masalah lain yang terkait dengan penggunaan alcohol.

Tujuh faktor yang diukur dalam SRQ yaitu masukan informasi (informational input), evaluasi diri (self evaluation), dorongan menuju perubahan yang dipicu oleh persepsi ketidaksesuaian (instigation to change triggered by perceptions of discrepancy), pencarian untuk mengurangi ketidaksesuaian (search for ways to reduce discrepancy), merencanakan perubahan (planning for change), implementasi perubahan perilaku (implementation of behavior change), dan evaluasi kemajuan menuju suatu tujuan (evaluation of progress toward goals).

2. Short Version of Self-Regulation Questionnaire (SSRQ) by Pichardo et al (2014)

Instrumen SSRQ milik Pichardo et al (2014) ini dimodifikasi dari SSRQ milik Kate B. Carey et al (dalam Azzahra, 2018), yang direvisi akibat hasil confirmatory factor analysis (CFA) dari model asli SRQ memiliki data fit yang sedikit. Model satu dimensi SSRQ yang terdiri dari 31 item juga menunjukkan hasil yang tidak fit ketika diuji cobakan pada siswa di Spanyol. Yang kemudian dijadikan 17 item yang fit untuk mengukur empat faktor, yaitu penetapan tujuan

(goal setting), ketekunan (perseverance), pengambilan keputusan (decision making), dan belajar dari kesalahan (learning for mistakes).

3. The Adolescent Self-Regulatory Inventory (ASRI) by Moilanen (2006)

Instrumen ini digunakan untuk mengukur regulasi diri pada remaja dan orang tua.

Terdiri dari 77 item yang merupakan desain original yang pertama kali dikembangkan. Validitas dan reliabilitas dari alat ukur ini cukup baik dengan koefisien alpha sebesar 0.89 dan dapat digunakan remaja di berbagai negara.

Pengukuran regulasi diri dalam penilitian menggunakan alat ukur Short version of Self Regulation Questionnaire (SSRQ) milik Pichardo et al (2014). Alat ukur ini merupakan pengembangan teori regulasi diri dari Brown dan teori self regulated learning milik De La Fuente dalam bentuk yang lebih efisien dan up to date dalam menggambarkan individu saat ini. Pemilihan alat ukur ini karena memiliki koefisien nilai cronbach alpha sebesar 0,86 yang artinya dapat mengukur regulasi diri secara baik.

2.3 Stres Kerja

2.3.1 Definisi stres kerja

Stres kerja merupakan stres yang umumnya mengacu pada stres yang disebabkan oleh pekerjaan, atau faktor-faktor yang berhubungan dengan kerja. Kahn et al (dalam Peterson et al, 1995) mendefinisikan stres kerja sebagai tekanan yang dialami oleh individu sebagai akibat dari adanya tuntutan pekerjaan dan organisasi. Leka, Griffiths dan Cox (dalam Bokti & Talib, 2009) menerangkan bahwa stres kerja terjadi ketika individu merasa tertekan dengan pekerjaan yang tidak sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya.

Blanchard dan Henle (2008) menjelaskan stres kerja sebagai tekanan yang individu rasakan dalam bentuk permintaan dan ketentuan yang dibebankan pada individu tersebut dari faktor pekerjaan dan organsasi. Menurut Aamir & Hira (2011) stres kerja merupakan respon kelelahan fisik dan emosional yang timbul saat tuntutan kerja tidak melebihi kapasaitas, kemampuan, dan kebuthan individu tersebut. Stres kerja juga didefinisikan oleh Drenth dan Waff (dalam Pflanz &

Ogle, 2006) sebagai kondisi ketegangan yang timbul karena adanya ketidaksesuain antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan keterampilan yang dimiliki oleh karyawan.

Dampak yang dirasakan individu jika mengalami stres kerja berkepanjangan antara lain, memburuknya kesehatan mental, sakit punggung, penyakit jantung, gangguan pencernaan, serta beberapa penyakit ringan lainnya termasuk masalah dengan gusi atau mulut dan gigi, sesak nafas, pusing, sakit telinga, pergelangan kaki membengkak, ruam atau gatal-gatal, dan sakit kepala; serta perilaku yang dapat memperburuk kesehatan seperti tidak sarapan, minum terlalu banyak alkohol, dan merokok (Aamir & Hira, 2011). Pflanz dan Ogle (2006) juga menyebutkan dampak dari stres kerja juga dapat menurunkan produktivitas, meningkatkan absenteeism, meningkatkan konflik, meningkatkan kecelakaan kerja, meningkatkan kesalahan, dan menurunkan moralitas pegawai.

Dari definisi di atas penulis menggunakan definisi stres kerja menurut Blanchard dab Henle (2008) yaitu tekanan yang individu rasakan dalam bentuk permintaan dan ketentuan yang dibebankan pada individu tersebut dari faktor

pekerjaan dan organsasi. Teori tersebut dipilih karena memiliki gagasan yang spesifik dalam menggambarkan individu saat ini.

2.3.2 Dimensi stres kerja

Menurut Blanchard dan Henle (2008) terdapat tiga dimensi stres kerja yang terdiri atas role conflict, role ambiguity, dan role overload.

Menurut Blanchard dan Henle (2008) terdapat tiga dimensi stres kerja yang terdiri atas role conflict, role ambiguity, dan role overload.