• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH REGULASI DIRI, STRES KERJA, DAN KEADILAN ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA APARATUR SIPIL NEGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "PENGARUH REGULASI DIRI, STRES KERJA, DAN KEADILAN ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA APARATUR SIPIL NEGARA"

Copied!
133
0
0

Teks penuh

(1)

i

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh:

Siska Puspawardani NIM: 11150700000117

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H / 2019

(2)

ii

PENGARUH REGULASI DIRI, STRES KERJA, DAN KEADILAN ORGANISASI TERHADAP PERILAKU CYBERLOAFING PADA APARATUR SIPIL NEGARA

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)

Oleh :

Siska Puspawardani NIM: 11150700000117

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1440 H/2019 M

(3)

iii

(4)

iv

(5)

v

Motto:

“Ubah pikiranmu (dengan hal-hal positif), dan kau akan mengubah duniamu”

– Norman Vincent Peale

(6)

vi

ABSTRAK

(A) Fakultas Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta (B) Oktober, 2019

(C) Siska Puspawardani

(D) Pengaruh Regulasi Diri, Stres Kerja, dan Keadilan Organisasi Terhadap Perilaku Cyberloafing pada Aparatur Sipil Negara

(E) xiv + 102 + lampiran

(F) Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh regulasi diri, stres kerja (role ambiguity, role conflict, dan role overload) serta keadilan organisasi (keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasional) terhadap perilaku cyberloafing pada Aparatur Sipil Negara. Populasi dalam penelitian ini adalah pegawai Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, dengan sampel berjumlah 234 pegawai.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan skala likert.

Confirmatory Factor Analysis digunakan untuk mengukur validasi instrumen, dan Multiple Regression Analysis digunakan untuk menguji hipotesis dalam penelitian ini.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ada pengaruh regulasi diri, stres kerja dan keadilan organisasi terhadap perilaku cyberloafing pada Aparatur Sipil Negara. Hasil uji hipotesis menunjukkan bahwa regulasi diri, role ambiguity, role conflict, dan keadilan interpersonal memiliki pengaruh yang signifikan terhadap perilaku cyberloafing. Sementara untuk role overload, keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan informasional tidak memberikan pengaruh yang signifikan. Berdasarkan proporsi varian seluruhnya, perilaku cyberloafing dipengaruhi oleh variabel independen sebesar 28.5%. Sedangkan 71,5% sisanya dipengaruhi oleh variabel lain diluar penelitian ini.

Penelitian selanjutnya diharapkan dapat menggunakan variabel lain seperti kontrol diri, loneliness, komitmen kerja, dan sebagainya agar mendapat hasil penelitian yang variatif. Diharapkan juga bagi instansi untuk dapat membangun regulasi yang kuat mengenai penggunaan internet dilingkungan kerja.

(G) Bahan bacaan : 47; 5 buku + 4 artikel + 34 jurnal + 4 skripsi

(7)

vii

ABSTRACT (A) Faculty of Psychology

(B) October, 2019 (C) Siska Puspawardani

(D) The Influence of Self Regulation, Work Stressor, and Organizational Justice on Cyberloafing Behaviour to Government Employees

(E) xiv + 1062 pages + appendix

(F) This study was conducted to determined the impact of self regulation, work stressor (role ambiguity, role conflict, and role overload) and organizational justice (distributive justice, procedural justice, interpersonal justice, and informational justice) on cyberloafing behaviour. A total of 234 government employees (civil servants) who working at Ministry of Public Works and Public Houses were gathered through this study. In this study, Likert scale was used as techniques collection data. Confirmatory Factor Analysis was used to test the validity of measuring instruments and Multiple Regression Analysis was used to test the research hypothesis.

The results showed that there was influence of self regulation, work stressors, and organizational justice toward cyberloafing behaviour.

Hypothesis test results showed that self regulation, role ambiguity, role conflict, and interpersonal justice have a significant impact on cyberloafing behaviour. Futhermore, role overload, distributive justice, procedural justice, and informational justice were found does not have a significant impact on cyberloafing behaviour. The results also shows the proportion of variance expectations of self regulation, role ambiguity, role conflict, and interpersonal justice described by all independent variable was 28,5%.

While the remaining 71,5% are influenced by other variables outside of this study.

Future studies are expected to develop this research with the involvement of other variables, such as self control, loneliness, job commitment, etc. It also recommended to the organization to create a strength regulation of internet usage on workplace.

(G) References: 47; 5 books + 4 articles + 34 journals + 4 thesis

(8)

viii

KATA PENGANTAR

Segala puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan ridho dan rahmat-Nya dalam kemudahan dan kelancaran menyelesaikan skripsi dengan judul “pengaruh regulasi diri, stres kerja, dan keadilan organisasi terhadap perilaku cyberloafing pada aparatur sipil negara”. Tak lupa shalawat serta salam tidak lupa penulis panjatkan kepada Nabi besar Muhammad SAW beserta keluarga, sahabat, dan pengikutnya.

Skripsi ini dapat terselesaikan dengan baik tak lepas dari bantuan berbagai pihak, baik dalam dukungan moril, materil dan juga do’a. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan hati, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada :

1. Ibu Dr. Zahrotun Nihayah, M.Si, selaku dekan Fakultas Psikologi UIN Jakarta besera seluruh jajaran dekanat lainnya.

2. Bapak Ikhwan Lutfi, M. Psi selaku dosen pembimbing skripsi. Terima kasih atas nasihat, motivasi, dan kebaikan hatinya selama membimbing penulis dan teman-teman lainnya.

3. Ibu Solicha, M. Si, selaku dosen pembimbing akademik. Terima kasih atas nasihat, motivasi, dan kebaikan hatinya selama membimbing penulis dan teman-teman lainnya.

4. Seluruh dosen dan staff Fakultas Psikologi yang telah berjasa dan memberi bantuan dalam penyelesaian skripsi ini.

5. Orang tua serta keluarga tercinta, bapak Inung, ibu Nurul, almh. ibu Susi, mbah In, kakak Iman, mba Sinta, Audi, kak Bunga. Terima kasih atas kasih

(9)

ix

sayang dan dukungan tak terhingga yang telah diberikan sampai saat ini.

Kalian adalah hal yang paling berharga dalam kehidupan penulis.

6. Sahabat-sahabat yang telah membantu dalam penyelesain skripsi ini. Iwin, Yati, Yumna, Itsna, Bila, Atun, Santi, Dwi, dan kawan-kawan lain yang namanya tidak dapat disebutkan satu-persatu. Terima kasih banyak atas dukungan dan kehadiran kalian disaat suka maupun duka.

7. Teman-teman seperjuangan, mahasiswa/i Psikologi angkatan 2015 yang telah mengisi dan mewarnai kehidupan perkuliahan penulis selama ini.

8. Dan seluruh pihak yang juga tidak dapat dituliskan satu-persatu. Terimakasih atas semua dukungan dan doa yang diberikan. Semoga kebaikan kalian dibalas dengan pahala yang berlimpah oleh Allah SWT.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih terdapat banyak kekurangan.

Untuk itu, kritik dan saran yang membangun sangat diharapkan demi perbaikan di masa yang akan datang. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi siapapun yang membacanya.

Jakarta, 31 Oktober 2019

Penulis

(10)

x

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ...

HALAMAN PERSETUJUAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERNYATAAN ... iv

MOTTO ... v

ABSTRAK ... vi

ABSTRACT ... vii

KATA PENGANTAR ... viii

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah... 9

1.2.1 Pembatasan masalah... 9

1.2.2 Perumusan masalah ... 10

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 11

1.3.1 Tujuan penelitian ... 11

1.3.2 Manfaat penelitian ... 12

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Cyberloafing ... 13

2.1.1 Definisi perilaku cyberloafing ... 13

2.1.2 Dimensi perilaku cyberloafing ... 15

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing ... 17

2.1.4 Pengukuran perilaku cyberloafing ... 21

2.2 Regulasi Diri ... 22

2.2.1 Definisi regulasi diri ... 22

2.2.2 Dimensi regulasi diri ... 24

2.2.3 Pengukuran regulasi diri ... 26

2.3 Stres Keja ... 27

2.3.1 Definisi stres kerja... 27

2.3.2 Dimensi stres kerja ... 29

2.3.3 Pengukuran stres kerja ... 31

2.4 Keadilan Organisasi ... 32

2.3.1 Definisi keadilan organisasi ... 32

2.3.2 Dimensi keadilan organisasi ... 34

2.3.3 Pengukuran keadilan organisasi ... 39

2.5 Kerangka Berpikir ... 40

2.6 Hipotesis Penelitian ... 44

(11)

xi

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel ... 46

3.2 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 47

3.2.1 Variabel penelitian ... 47

3.2.1 Definisi operasional ... 47

3.3 Instrumen Pengumpulan Data ... 49

3.4 Alat Ukur Penelitian ... 49

3.4.1 Alat ukur perilaku cyberloafing ... 50

3.4.2 Alat ukur regulasi diri ... 50

3.4.3 Alat ukur stres kerja ... 51

3.4.3 Alat ukur keadilan organisasi ... 52

3.5 Pengujian Validitas Konstruk ... 53

3.5.1 Uji validitas konstruk perilaku cyberloafing ... 55

3.5.2 Uji validitas konstruk regulasi diri ... 57

3.5.3 Uji validitas konstruk role ambiguity ... 58

3.5.4 Uji validitas konstruk role conflict ... 59

3.5.5 Uji validitas konstruk role overload ... 61

3.5.6 Uji validitas konstruk keadilan distributif ... 62

3.5.7 Uji validitas konstruk keadilan prosedural ... 63

3.5.8 Uji validitas konstruk keadilan interpersonal ... 65

3.5.9 Uji validitas konstruk keadilan informasional ... 66

3.6 Teknik Analisis Data ... 67

3.7 Prosedur Penelitian... 69

BAB IV HASIL PENELITIAN 4.1 Gambaran Umum Subjek Penelitian ... 71

4.2 Analisis Deskriptif ... 72

4.3 Kategorisasi Variabel Penelitian ... 74

4.4 Hasil Uji Hipotesis Penelitian ... 77

4.5 Analisis Proporsi Varians ... 83

BAB V KESIMPULAN, DISKUSI, DAN SARAN 5.1 Kesimpulan ... 86

5.2 Diskusi ... 86

5.3 Saran ... 94

5.3.1 Saran teoritis ... 94

5.3.2 Saran praktis ... 95

DAFTAR PUSTAKA ... 97

LAMPIRAN ... 102

(12)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1 Penilaian Skor Skala Likert ... 49

Tabel 3.2 Blue Print Skala Perilaku Cyberloafing ... 50

Tabel 3.3 Blue Print Skala Regulasi Diri ... 51

Tabel 3.4 Blue Print Skala Stres Kerja ... 52

Tabel 3.5 Blue Print Skala Keadilan Organisasi ... 53

Tabel 3.6 Muatan Faktor Item Variabel Perilaku Cyberloafing ... 56

Tabel 3.7 Muatan Faktor Item Variabel Regulasi Diri ... 58

Tabel 3.8 Muatan Faktor Item Variabel Role Ambiguity ... 59

Tabel 3.9 Muatan Faktor Item Variabel Role Conflict ... 60

Tabel 3.10 Muatan Faktor Item Variabel Role Overload ... 61

Tabel 3.11 Muatan Faktor Item Variabel Keadilan Distributif ... 63

Tabel 3.12 Muatan Faktor Item Variabel Keadilan Prosedural ... 64

Tabel 3.13 Muatan Faktor Item Variabel Keadilan Interpersonal ... 65

Tabel 3.14 Muatan Faktor Item Variabel Keadilan Informasional ... 67

Tabel 4.1 Gambaran Umum Subjek ... 71

Tabel 4.2 Hasil Analisis Deskriptif ... 73

Tabel 4.3 Rumus Kategorisasi ... 74

Tabel 4.4 Kategorisasi Skor Variabel ... 74

Tabel 4.5 Hasil Perolehan R-square ... 78

Tabel 4.6 Tabel Anova ... 79

Tabel 4.7 Koefisien Regresi ... 80

Tabel 4.8 Proporsi Varians Untuk Masing-masing Independent Variable ... 84

(13)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Tabel 2.1 Skema Kerangka Berpikir ... 44

(14)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Surat Izin Penelitian... 104

Lampiran 2 Instrumen Penelitian ... 105

Lampiran 3 Syntax Lisrel ... 110

Lampiran 4 Path Diagram ... 114

Lampiran 5 Output SPSS Hasil Penelitian ... 119

(15)

1

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Perilaku cyberloafing atau perilaku yang secara sengaja menggunakan akses internet untuk tujuan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja (Lim & Chen, 2009), merupakan fenomena yang beberapa waktu belakangan mulai mendapatkan perhatian. Perilaku ini muncul seiring dengan perkembangan teknologi internet yang semakin pesat. Kemajuan teknologi internet ini membuat individu dapat dengan mudah mengakses internet dimanapun dan kapanpun, termasuk pada saat bekerja yang kemudian dimanfaatkan untuk kemudahan dalam berkomunikasi, dan meningkatkan efisiensi kerja (Hastini, Chairoel, & Mustika, 2018).

Akan tetapi, aktivitas internet yang seharusnya dapat memudahkan pekerjaan, pada kenyataannya dapat menghambat produktivitas kerja (Ardilasari & Firmanto, 2017). Hal tersebut menjadi suatu hal yang mengkhawatirkan disaat internet digunakan untuk hal-hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan, dimana merupakan sikap atau perilaku yang tidak berintegritas. Pegawai sebagai pengguna internet dapat melalaikan pekerjaannya dengan mengakses internet untuk menghindari tugas atau menghilangkan kejenuhan. Hal inilah yang memicu pegawai untuk melakukan perilaku kerja kontraproduktif yaitu menggunakan fasilitas internet perusahaan yang tidak sesuai dengan fungsi sebenarnya atau dapat disebut dengan istilah cyberloafing (Huma et al, dalam Azzahra, 2018).

Menurut Blanchard dan Henle (2008) perilaku cyberloafing juga mengacu pada

(16)

penggunaan internet oleh karyawan selama jam kerja untuk keperluan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan.

Lim dan Chen (2009) membagi cyberloafing menjadi dua jenis. Pertama adalah minor cyberloafing, jenis ini mencakup bentuk perilaku cyberloafing yang ringan dan serious cyberloafing yang mencakup segala aktivitas cyberloafing yang menyalahgunakan internet dan berpotensi illegal. Menurut Blanchard dan Henle (2008), semakin umum internet bagi para karyawan maka semakin besar kemungkinan mereka untuk memanfaatkan internet untuk tujuan di luar pekerjaan mereka. Namun, jenis cyberloafing yang akan menjadi fokus dalam penelitian ini adalah perilaku minor cyberloafing berupa aktivitas email (membaca, mengirim dan menerima email pribadi) dan aktivitas browsing (jejaring sosial, mengunduh file atau musik, dan mencari berita yang tidak berkaitan dengan pekerjaan).

Berdasarkan survei yang dilakukan oleh WebSense.com tahun 2006, rata-rata karyawan Amerika menghabiskan sekitar 24 persen dari jam kerja nya untuk melakukan kegiatan cyberloafing. Hal ini menunjukkan jumlah rata-rata waktu yang dihabiskan karyawan untuk kegiatan internet non-kerja adalah 10 jam per karyawan per minggu (Websense, dalam Lim & Chen, 2009). Selain itu, beberapa studi di Indonesia menunjukkan bahwa rata-rata karyawan mengalokasikan waktu hingga satu jam per hari mengakses Internet untuk keperluan yang tidak berhubungan dengan pekerjaan (browsing Facebook atau Kaskus, dan lain-lain), sehingga selama sebulan seorang karyawan bisa menghabiskan jam kerja hingga 20 jam lebih (1 jam x 20-an hari kerja), atau sama dengan 2,5 hari kerja penuh (Antariksa, 2012). Hal ini menunjukkan bahwa perilaku cyberloafing saat ini telah

(17)

menjadi hal umum dan biasa dilakukan oleh para pekerja baik karyawan swasta maupun pegawai pemerintahan dimana salah satunya yaitu aparatur sipil negara.

Tema pada penelitian ini berkonsentrasi pada perilaku cyberloafing yang terjadi di kalangan aparatur sipil negara atau disebut juga pegawai negeri sipil dengan berbagai pertimbangan. Pertimbangan pertama yaitu mengingat stigma terkait pegawai negeri sipil yaitu pekerjaan yang monoton, produktivitas kerja yang kurang efektif, dan sebagainya. Kinerja pegawai negeri sipil selama ini terindikasi belum optimal. Hal tersebut tercermin dari kinerja instansi pemerintahan serta standar pelayanan yang mereka berikan, khususnya bagi instansi tingkat pusat, yaitu kementerian dan lembaga (tirtoid, 2017). Menurut Asman Abnur selaku Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (MenPan RB), permasalahan aparatur sipil negara atau pegawai negeri sipil yang paling fundamental adalah kinerja dan sistem manajemen pekerja yang belum efektif, berbeda halnya dengan karyawan swasta dimana setiap individu diukur kontribusi dan dituntut target dalam bekerja (Detik, 2017).

Studi yang dilakukan Ardilasari dan Firmanto (2017) mengenai perilaku cyberloafing pada pegawai negeri sipil di Indonesia menunjukkan bahwa semakin meningkatnya penggunaan Facebook dikalangan pegawai negeri sipil di berbagai instansi di wilayah Indonesia memiliki kecenderungan untuk lebih mengutamakan Facebook daripada tugas kerja. Selain itu, studi lain menunjukkan bahwa 75 persen subjeknya yang merupakan pegawai negeri sipil mengaku sering melakukan perilaku cyberloafing dengan mengirim dan menerima email dari koleganya yang tidak berkaitan dengan pekerjaan, serta membuka situs-situs

(18)

berita, olahraga, media sosial, youtube, dan aplikasi pesan instan pada saat jam kerja (Laksana, 2019).

Dari data-data tersebut menunjukkan bahwa seiring dengan meningkatnya penggunaan komputer, gadget dan akses internet di tempat kerja membuat perilaku cyberloafing telah menjadi suatu masalah yang harus dihadapi manajemen perusahaan atau instansi. Dimana menurut Lim (dalam Fathonah &

Hartijasti, 2014), cyberloafing dikategorikan sebagai bentuk penyimpangan dalam lingkungan kerja. Hal ini dikarenakan oleh kegiatan cyber (browsing dan emailing) yang dilakukan di tempat kerja pada jam kerja menghasilkan penggunaan waktu yang tidak produktif dan mengalihkan individu dalam menyelesaikan pekerjaan mereka (Lim & Chen, 2009).

Fenomena diatas menjadi alasan pentingnya membuat suau penelitian mengenai perilaku cyberloafing pada aparatur sipil negara atau pegawai negeri sipil. Untuk itu, perlu diketahui faktor apa saja yang dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing. Pegawai melakukan perilaku cyberloafing dengan berbagai motif dan penyebab. Menurut Ozler dan Polat (2012), terdapat tiga penyebab individu melakukan cyberloafing, yaitu faktor individu, faktor organisasi, dan faktor situasional. Faktor-faktor individu yang dimaksud salahsatunya yaitu persepsi dan sikap individu, regulasi diri, kontrol diri, kepribadian, dan lain sebagainya.

Kemudian faktor organisasi yang dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing salahsatunya yaitu keadilan organisasi, karakteristik pekerjaan, stres kerja, dan lain sebagainya. Faktor terakhir yaitu faktor situasional dimana terdapat atau

(19)

tidaknya kondisi yang mendukung perilaku cyberloafing seperti fasilitas internet yang ada.

Berdasarkan faktor-faktor yang telah dipaparkan, penelitian ini mencoba menggali beberapa faktor yang diduga dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing, antara lain regulasi diri atau self regulation, stres kerja, dan keadilan organisasi. Ditinjau berdasarkan variabel regulasi diri yang dinilai memiliki pengaruh terhadap perilaku cyberloafing. Regulasi diri sendiri merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk merencanakan, memandu dan memantau perilakunya secara fleksibel dalam menghadapi keadaan yang berubah- ubah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Picardo et al, 2014). Regulasi diri diartikan sebagai tugas-tugas hidup untuk mengatur diri sendiri agar mampu hidup secara baik, termasuk dalam hal bekerja. Pada pegawai, regulasi diri menjadi penting dalam memfokuskan diri pada tujuan pekerjaan. Namun, seiring berkembangnya teknologi, banyak godaan yang dapat mengalihkan pegawai menyelesaikan pekerjaannya. Hal tesebut didukung oleh pernyataan Prasad et al (2010), dimana pada umumnya, individu memiliki dua tujuan, yaitu tujuan jangka panjang (long-term goals) dan tujuan jangka pendek (short-term goals). Namun, individu seringkali hanya fokus pada tujuan jangka panjang, dan mengabaikan tujuan jangka pendek, padahal tujuan jangka panjang amat bergantung dengan bagaimana seseorang dapat mencapai tujuan jangka pendeknya. Tujuan jangka pendek seringkali diabaikan karena individu cenderung ingin melakukan sesuatu yang menyenangkan dirinya (instant gratification), yang pada akhirnya, menyebabkan kegagalan dalam mencapai tujuan jangka panjangnya.

(20)

Pada konteks ini, walaupun perilaku cyberloafing adalah sesuatu yang menyenangkan, namun apabila regulasi diri yang dimiliki baik, maka individu akan dapat menahan diri untuk melakukan cyberloafing karena perilaku tersebut bisa mengakibatkan tidak tercapainya tujuan jangka panjang yaitu tidak dapat menyelesaikan tugas yang diberikan kepada individu tersebut (Prasad et al, 2010).

Penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan dan Nastasia (2018) menunjukkan bahwa regulasi diri memiliki hubungan dengan perilaku cyberloafing. Regulasi diri dapat mencegah seseorang berkehendak dalam melakukan perilaku cyberloafing yang dapat mengurangi kinerja dari pelaku cyberloafing. Namun, terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Azzahra (2018) yang menunjukkan bahwa regulasi diri tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberloafing.

Kemudian, perilaku cyberloafing juga dapat dipengaruhi oleh adanya stres kerja ditempat kerja (role ambiguity, role conflict, dan role overload). Role ambiguity adalah ketidakpastian tetang tindakan apa yang harus dilakukan untuk menyelesaikan suatu pekerjaan. Role conflict merupakan kebutuhan untuk melakukan sesuatu secara berbeda. Role overload adalah permintaan organisasi untuk melakukan pekerjaan dalam periode waktu yang diberikan (Lim, 2002).

Dikalangan aparatur sipil negara, stres kerja yang dialami mungkin tidak menjadi perhatian khusus jika dibandingkan segmen pekerjaan lain seperti karyawan swasta, pekerja seni, dan lain sebagainya. Namun, manajemen stres kerja yang buruk dapat menjadi penyebab penurunan kinerja pada pegawai. Berdasarkan penelitian Deguci (2013), stres kerja pada pegawai negeri sipil Dinas Koperindag

(21)

tergolong tinggi, dan berpengaruh terhadap kinerja pegawai. Hal ini menunjukkan bahwa stres kerja juga banyak dijumpai pada aparatur sipil negara dan dapat memicu perilaku kontraproduktif kerja, salah satunya perilaku cyberloafing.

Studi yang dilakukan oleh Arshad et al (2016) menunjukkan bahwa stres kerja memiliki hubungan dengan perilaku cyberloafing. Dimana role ambiguity dan role conflict berpengaruh signifikan, sedangkan role overload tidak memberikan pengaruh yang signifikan terhadap cyberloafing. Dengan adanya stressor tersebut membuat pegawai yang bekerja menjadi lelah atau lalai dalam melaksanakan tugas dan pekerjaannya, sehingga mendorong individu untuk menghindar dari konsekuensi negatif, salah satu cara yang dilakukan yaitu dengan melakukan cyberloafing (Blanchard & Henle, 2008). Namun, hal ini berbanding terbalik dengan penelitian yang dilakukan oleh Herlianto (2012); Arshad et al (2016) yang menunjukkan bahwa beberapa dimensi stres kerja tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberloafing.

Faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah faktor ketidakadilan. Terdapat beberapa penelitian yang mendukung pengaruh variabel ini terhadap perilaku cyberloafing. Lim (dalam Fathonah & Hartijasti, 2014) menemukan ketiga bentuk keadilan organisasi (distributif, prosedural dan interaksional) berpengaruh secara negatif terhadap cyberloafing. Keadilan organisasi sendiri dibagi menjadi empat komponen utama seperti keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasional (Colquitt, 2001). Ketika pegawai merasa bahwa dirinya tidak diperlakukan secara adil oleh organisasi/instansi, hal tersebut dapat menimbulkan beberapa masalah.

(22)

Pernyataan tersebut didukung oleh penelitian Elovainio et al dalam (Putri &

Zahreni, 2016) yang menemukan bahwa ketika pegawai merasakan rendahnya tingkat keadilan di tempat kerja, maka meningkatkan resiko untuk terkena penyakit psikologis tertentu dan dapat meningkatkan sick absence pada pegawai.

Selain itu, ketidakadilan organisasi juga dapat berdampak pada menurunnya produktivitas kerja dari organisasi tersebut yang dapat memunculkan perilaku cyberloafing. Pernyataan tersebut didukung penelitian yang dilakukan oleh Putri dan Zahreni (2016), yang hasilnya menunjukkan bahwa terdapat pengaruh signifikan keadilan organisasi terhadap perilaku cyberloafing. Namun, terdapat pula penelitian yang dilakukan oleh Akin et al (2017) yang menunjukkan bahwa keadilan organisasi tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap perilaku cyberloafing.

Penelitian ini berfokus untuk meneliti perilaku cyberloafing pada aparatur sipil negara di Kementrian Perumahan Rakyat dan Pekerjaan Umum (PUPR), karena terdapat kemudahan untuk mengakses internet baik menggunakan fasilitas kantor maupun pribadi yang dapat menjadi pendorong bagi pegawai untuk melakukan cyberloafing. Selain itu, hasil survey Ombudsman mengenai pelayanan publik dan akuntabilitas kinerja, menunjukkan terdapat lima kementrian yang memiliki skor rendah dan masuk dalam zona merah, antara lain Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kementerian Sosial, Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi, dan Kementerian Pertanian (Kemenperin, 2013).

(23)

Berdasarkan fakta tersebut, terlihat bahwa penelitian mengenai perilaku cyberloafing di Kementrian Perumahan Rakyat dan Pekerjaan Umum (PUPR) menarik dan penting untuk dilakukan. Tujuannya agar individu dapat menentukan sejauh mana sebuah faktor mempengaruhi perilaku cyberloafing sehingga individu tersebut dapat mengantisipasinya di masa yang akan datang. Maka dari itu, karya tulis ini memuat penelitian lebih lanjut yang berjudul “Pengaruh Regulasi Diri, Stres Kerja, dan Keadilan Organisasi terhadap Perilaku Cyberloafing pada Aparatur Sipil Negara”.

1.2 Pembatasan dan Perumusan Masalah 1.2.1 Pembatasan masalah

Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing, namun masalah utama yang menjadi fokus penelitian ini adalah pengaruh regulasi diri, stres kerja, dan keadilan organisasi. Pembatasan masalah dilakukan agar penelitian terarah dan tidak menyimpang dari pembahasan, oleh karena itu peneliti memberikan batasan konsep sebagai berikut:

1. Perilaku cyberloafing yang dimaksud dalam penelitian ini adalah perilaku yang secara sengaja menggunakan akses internet untuk tujuan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja yang terdiri dari dua dimensi yaitu browsing activity dan emailing activity. Jenis perilaku cyberloafing dalam penelitian ini juga difokuskan pada perilaku minor (ringan) cyberloafing.

2. Regulasi diri yang dimaksud dalam penelitian ini adalah kemampuan yang dimiliki individu untuk merencanakan, memandu dan memantau perilakunya

(24)

secara fleksibel dalam menghadapi keadaan yang berubah-ubah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Adapun dimensinya antara lain goal setting, perseverance, decision making, dan learning from mistakes.

3. Stres kerja yang dimaksud dalam penelitian ini adalah tekanan yang individu rasakan dalam bentuk permintaan dan ketentuan yang dibebankan pada individu tersebut dari faktor pekerjaan dan organsasi. Adapun dimensi- dimensinya terdiri dari role ambiguity, role conflict dan role overload.

4. Keadilan organisasi yang dimaksud dalam penelitian ini adalah persepsi individu mengenai keadilan dalam konteks organisasi. Adapun dimensi- dimensinya terdiri dari keadilan prosedural, keadilan distributif, keadilan informasional dan keadilan interpersonal.

1.2.2 Perumusan masalah

Berdasarkan pembatasan masalah yang telah dipaparkan, maka perumusan masalah dari penelitian ini adalah :

1. Apakah regulasi diri, stres kerja (role ambiguity, role conflict, role overload), dan keadilan organisasi (keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, keadilan informasional) berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku cyberloafing?

2. Apakah regulasi diri berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku cyberloafing?

3. Apakah role ambiguity berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku cyberloafing?

(25)

4. Apakah role conflict berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku cyberloafing?

5. Apakah role overload berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku cyberloafing?

6. Apakah keadilan distributif berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku cyberloafing?

7. Apakah keadilan prosedural berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku cyberloafing?

8. Apakah keadilan interpersonal berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku cyberloafing?

9. Apakah keadilan informasional berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku cyberloafing?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan penelitian

1. Berdasarkan rumusan masalah yang telah disebutkan sebelumnya, maka tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh regulasi diri, stres kerja dan keadilan organisasi terhadap perilaku cyberloafing pada aparatur sipil negara.

2. Mengetahui seberapa besar sumbangan masing-masing dimensi variabel bebas yaitu regulasi diri, stres kerja (role ambiguity, role conflict, dan role overload), serta keadilan organisasi (keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasional) terhadap perilaku cyberloafing pada aparatur sipil negara.

(26)

1.3.2 Manfaat penelitian 1. Manfaat Teoritis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat bagi penelitian selanjutnya dan pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya di bidang Psikologi Industri dan Organisasi dalam hal yang terkait dengan perilaku cyberloafing, regulasi diri, stres kerja, dan keadilan organisasi.

2. Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai gambaran perilaku cyberloafing, regulasi diri, stres kerja, dan keadilan organisasi bagi institusi yang berkaitan. Serta diharapkan juga dapat membantu pihak-pihak terkait untuk meminimalisir perilaku cyberloafing dilingkungan kerja.

(27)

13

BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Perilaku Cyberloafing

2.1.1 Definisi perilaku cyberloafing

Cyberloafing merupakan istilah yang digunakan untuk mendefinisikan penggunaan internet oleh karyawan yang tidak berhubungan dengan pekerjaannya. Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menjelaskan istilah cyberloafing, seperti cyberslacking, non-work-related computing, cyber deviance, personal use at work, Internet abuse, workplace Internet leisure browsing, dan junk computing (Vitak, Crouse, & LaRose, 2011).

Perilaku cyberloafing merupakan istilah yang pertama kali dicetuskan oleh Lim (2002) yaitu segala tindakan sukarela dari karyawan dalam menggunakan akses internet perusahaan selama jam kerja untuk menjelajahi situs yang tidak terkait pekerjaan untuk keperluan pribadi dan untuk memeriksa (termasuk menerima dan mengirim) email pribadi sebagai penyalahgunaan fasilitas internet.

Selain itu, perilaku cyberloafing juga didefinisikan sebagai tindakan karyawan yang dengan sengaja menghabiskan waktu dengan menggunakan akses internet yang tidak berkaitan dengan pekerjaannya (Handoyo, 2016). Secara khusus, Garret dan Danzieger (dalam Handoyo, 2016) mendefinisikan bahwa cyberloafing merupakan penggunaan akses internet perusahaan oleh karyawan secara ilegal atau tidak sah selama jam kerja. Sedangkan Blanchard dan Henle

(28)

(2008) mendefiniskan cyberloafing sebagai aktivitas penggunaaan email dan internet untuk tujuan pribadi saat jam kerja.

Menurut Lim dan Chen (2009), perilaku cyberloafing merupakan perilaku karyawan yang secara sengaja menggunakan akses internet untuk tujuan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja. Aktifitas yang dimaksud adalah aktivitas mengecek email personal ataupun mengunjungi situs internet yang tidak berhubungan dengan pekerjaan. Perilaku cyberloafing pada saat bekerja dapat mengalihkan karyawan dari menyelesaikan pekerjaan mereka dan menghasilkan penggunaan waktu yang tidak produktif sehingga kegiatan cyberloafing termasuk dalam bentuk penyimpangan kerja (Lim & Chen, 2009).

Lim dan Chen (2009) membagi cyberloafing menjadi dua tipe, yaitu minor dan serious cyberloafing. Minor cyberloafing merupakan bentuk perilaku cyberloafing yang ringan seperti mengakses internet untuk mengirim atau menerima email pribadi, mengunjungi situs berita, olahraga atau mengakses perbankan pribadi. Sedangkan serious cyberloafing mencakup segala aktivitas cyberloafing yang menyalahgunakan internet dan berpotensi ilegal seperti perjudian online, mengunduh musik, melihat situs dewasa atau pornografi.

Perilaku cyberloafing biasanya hanya akan dilakukan karyawan ketika karyawan menganggap bahwa cyberloafing tidak akan membahayakan diri mereka sendiri dan organisasi. Sehingga karyawan akan melakukan kegiatan cyberloafing yang tidak melanggar norma sekitar mereka, seperti chatting, membuka situs entertainment, bermain game online, berbelanja online, dan sebagainya (Lim &

Teo, 2012).

(29)

Perilaku cyberloafing dapat berupa aktivitas email dan aktivitas browsing.

Aktivitas email yang dimaksud seperti pada jam kerja karyawan membaca, mengirim, dan menerima email pribadinya sehingga tugas dan pekerjaan yang menjadi tanggung jawabnya pun menjadi teralihkan, kemudian aktivitas browsing yang dimaksud seperti karyawan yang membuka jejaringan sosial seperti facebook, twitter, atau mengunduh file atau musik, dan kegiatan lainnya dimana situs tersebut tidak ada kaitannya dengan tugas dan pekerjaan karyawan (Lim &

Chen, 2009; Blanchard & Henle, 2008).

Berdasarkan definisi-definisi yang telah dipaparkan, maka teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori milik Lim dan Chen (2009) dimana perilaku cyberloafing didefinisikan sebagai perilaku yang secara sengaja menggunakan akses internet untuk tujuan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja. Teori tersebut dipilih karena Lim merupakan tokoh pertama yang membahas teori mengenai perilaku cyberloafing, sehingga teorinya sudah banyak digunakan pada penelitian-penelitian terdahulu dan memiliki kredibilitas ilmiah yang tinggi (seperti Blanchard & Henle, 2008; Prasad et al, 2010).

2.1.2 Dimensi perilaku cyberloafing

Lim dan Chen (2009) membagi perilaku cyberloafing menjadi dua dimensi, yaitu:

1. Browsing Activity

Aktivitas cyberloafing ini merupakan kegiatan yang termasuk mengunakan akses internet untuk browsing atau mengunjungi situs yang tidak berkaitan dengan pekerjaan pada jam kerja, seperti belanja online, mengakses media sosial, dsb.

2. Emailing Activity

(30)

Emailing merupakan kegiatan mengirim, menerima, dan memeriksa email yang tidak berkaitan dengan pekerjaan pada saat jam kerja.

Kemudian, Lim dan Chen (2009) juga mengemukakan dan jenis dari perilaku cyberloafing yaitus:

1. Minor Cyberloafing

Minor cyberloafing meliputi penggunaan email dan internet pada saat bekerja.

Contohnya mengirim dan menerima pesan pribadi atau mengunjungi situs berita, keuangan, dan olahraga. Dengan demikian minor cyberloafing mirip dengan perilaku lain yang tidak sesuai dengan pekerjaan namun diberi toleransi.

Meskipun demikian, tidak dapat dikatakan bahwa minor cyberloafing tidak memiliki dampak yang merugikan bagi organsisasi, seperti mengurangi produktivitas.

2. Serious Cyberloafing

Serious cyberloafing merupakan bentuk cyberloafing lain yang terdiri dari bentuk- bentuk cyberloafing yang tingkatnya lebih serius. Perilaku ini kasar dan berpotensi melakukan hal-hal yang ilegal atau tidak sah seperti perjudian online dan membuka situs-situs pornografi. Jenis cyberloafing ini memiliki dampak yang serius bagi organisasi.

Pegawai atau karyawan yang melakukan minor cyberloafing biasanya tidak percaya bahwa mereka melakukan hal yang menyimpang. Sementara itu karyawan yang melakukan serious cyberloafing menyadari bahwa perbuatannya menyimpang dan mungkin tidak akan dimaafkan dan tidak dapat diterima di tempat kerja (Blanchard & Henle, 2008). Jenis cyberloafing yang digunakan

(31)

dalam penelitian ini yaitu minor cyberloafing dikarenakan norma sosial terkait serious cyberloafing yang dianggap menyimpang seperti bermain judi dan membuka situs dewasa.

Adapun dimensi perilaku cyberloafing yang menjadi fokus penelitian ini ialah yang dikemukakan oleh Lim dan Chen (2009), yaitu aktivitas browsing dan emailing. Pemilihan dimensi tersebut karena linear dengan teori yang digunakan dalam penelitian ini dan sangat relevan dengan keadaan yang terjadi saat ini.

2.1.3 Faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing

Ozler dan Polat (2012) mengemukakan faktor penyebab terjadinya cyberloafing di tempat kerja dibagi menjadi tiga yait faktor individu, organisasi, dan situasional, yang dijelaskan lebih lanjut sebagai berikut:

1. Faktor Individual a. Persepsi dan Sikap

Hasil penelitian Patrick et al (dalam Ozler & Polat, 2012) menunjukkan bahwa sikap berpengaruh positif dan signifikan terhadap cyberloafing, individu yang memiliki sikap yang positif terhadap internet cenderung untuk menggunakan internet untuk alasan personal.

b. Regulasi Diri

Hasil penelitian dari Prasad et al (2010) menemukan bahwa regulasi diri menjadi faktor yang menentukan perilaku cyberloafing dan regulasi diri juga dapat mencegah individu dari perilaku cyberloafing. Sedangkan, dalam penelitian Anugrah et al (2013) juga menyebutkan bahwa regulasi diri memberikan kontribusi pengaruh terhadap perilaku cyberloafing mahasiswa

(32)

Universitas Kristen Maranatha sebesar 5,6%. Sedangkan sisanya sebesar 94,4% merupakan pengaruh dari faktor lain yang tidak diteliti.

c. Kontrol Diri

Penelitian Ardilasari dan Firmanto (2017) menunjukkan bahwa terdapat hubungan yang negatif antara kontrol diri dengan perilaku cyberloafing pada pegawai negeri sipil. Maka dapat dikatakan, semakin tinggi kontrol diri yang dimiliki pegawai negeri sipil, maka semakin rendah perilaku cyberloafing yang dilakukannya. Begitupula sebaliknya semakin rendah kontrol diri yang dimiliki pegawai negeri sipil, maka semakin tinggi perilaku cyberloafing yang dilakukan.

d. Kepribadian Big Five

Malhotra (2013) menjelaskan bahwa kepribadian Big Five yang mencakup extraversion, agreeableness, consciousness, neuroticism, dan openness memiliki kaitan dengan perilaku cyberloafing. Dimana trait kepribadian tersebut merupakan karakteristik individu yang dapat memprediksi perilaku seseorang dalam penggunaan internet ataupun hal lain yang termasuk perilaku kerja kontraduktif.

e. Intention to Engage, Social Norms dan Personal Ethical Codes

Intention merupakan prediktor yang akurat untuk perilaku dalam banyak studi. Meskipun demikian penelitian juga menunjukkan bahwa intentions tidak selalu berujung pada munculnya sebuah perilaku, namun hubungan antara intention dan perilaku merupakan sebuah hubungan kompleks.

Persepsi tentang pentingnya larangan etis akan cyberloafing berhubungan

(33)

negatif dengan perilaku cyberloafing. Belief normative seseorang (misalnya, secara moral cyberloafing salah) mengurangi intensi untuk terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak et al, 2011).

2. Faktor Organisasional

a. Pembatasan Penggunaan Internet dan Anticipated Outcome

Menurut Malhotra (2013), kebijakan penggunaan internet terkait dengan penurunan cyberloafing. Dengan membatasi penggunaan internet karyawan, pemimpin organisasi mengurangi kemungkinan penggunaan internet untuk kegiatan-kegiatan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan karyawan.

Demikian sebaliknya, karyawan yang akan menerima hukuman yang berat apabila melakukan perbuatan yang menyimpang akan memiliki kecenderungan cyberloafing rendah (Vitak et al, 2011). Penelitian menemukan bahwa karyawan cenderung tidak melakukan kegiatan yang mereka anggap memiliki konsekuensi negatif yang serius bagi organisasi mereka dan menyakiti kepentingan pribadi mereka (Vitak et al, 2011).

b. Pandangan Rekan Kerja tentang Norma Cyberloafing

Blau (dalam Malhotra, 2013) mengemukakan bahwa karyawan melihat rekan kerjanya sebagai panutan dalam organisasi, sehingga perilaku cyberloafing dapat dipelajari dengan mengikuti perilaku rekannya yang dilihat oleh karyawan dalam lingkungan organisasi.

c. Keadilan Organisasi

Lim (2002) menemukan keadilan organisasi berpengaruh secara negatif terhadap cyberloafing dan menemukan bahwa ketika karyawan

(34)

mempersepsikan dirinya berada dalam ketidakadilan dalam bekerja, maka salah satu caranya untuk menyeimbangkan hal tersebut adalah dengan melakukan cyberloafing.

d. Stres Kerja

Stres kerja yang terbagi menjadi tiga yaitu role ambiguity, role conflict, dan role overload, merupakan faktor pekerjaan dapat memprediksi cyberloafing (Handoyo, 2016). Dalam penelitian Arshad, Aftab, dan Bukhari (2016), menunjukkan role ambiguity dan role conflict memiliki pengaruh yang signifikan terhadap cyberloafing. Studi lain mengatakan stres kerja berhubungan dengan cyberloafing karena dapat menimbulkan emosi negatif yang membuat individu cenderung melampiaskan hal tersebut dimana salahsatunya dengan cyberloafing (Blanchard & Henle, 2008).

e. Karakteristik Pekerjaan

Studi skala yang lebih kecil menemukan efek positif dari cyberloafing, penelitian tersebut menunjukkan bahwa menghabiskan waktu mengerjakan hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan dapat mengurangi kebosanan, kelelahan, atau stres, kepuasan kerja yang lebih besar atau kreativitas, meningkatkan dalam kesejahteraan, rekreasi dan pemulihan, dan karyawan secara keseluruhan menjadi lebih bahagia (Arshad et al, 2016).

3. Faktor Situasional

Pada penelitian Woon and Pee (dalam Malhotra, 2013), menunjukkan kondisi fasilitas merupakan hal yang penting, sehingga individu yang memiliki intensi untuk melakukan sebuah tindakan tidak mampu melakukannya karena

(35)

lingkungannya tidak memungkinkan untuk dilakukannya tindakan tersebut. Studi menemukan bahwa ada hubungan positif antara kondisi cyberloafing dengan perilaku cyberloafing itu sendiri.

Dari faktor-faktor penyebab terjadinya perilaku cyberloafing yang disebutkan di atas, faktor-faktor yang diteliti dalam penelitian ini antara lain regulasi diri, kemudian stres kerja yang terdiri dari role ambiguity, role conflict dan role overload, serta keadilan organisasi yang terdiri dari, keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal, dan keadilan informasional.

2.1.4 Pengukuran perilaku cyberloafing

Terdapat berbagai alat ukur perilaku cyberloafing yang telah dikembangkan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut:

1. Cyberloafing Questionnaire of Blanchard and Henle (2008)

Blanchard dan Henle (2008) mengembangkan alat ukur cyberloafing yang memiliki 16 item dan empat skala jawaban, dimana 11 item mengacu pada teori Lim (2002). Skala ini terdiri dari 22 item yang berisi dua jenis cyberloafing, yaitu perilaku cyberloafing minor (minor cyberloafing) dan perilaku cyberloafing serius (serious cyberloafing). Alat ukur memiliki nilai koefisien alpha cronbach sebesar 0,92 yang berarti dapat diterima untuk mengukur cyberloafing.

2. Cyberloafing Questionnare of Lim and Chen (2009)

Lim dan Chen mengembangkan alat ukur perilaku cyberloafing yang mengacu pada teori Lim dan Teo (2005). Alat ukur ini berisikan 12 item yang terdiri dari emailing activities dan browsing activities. Sebelumnya terdapat satu item mengenai kaitan dengan mengunjungi situs dewasa atau pornografi, yang

(36)

kemudian harus dihapus dikarenakan memiliki faktor loading yang lemah.

Sehingga pada alat ukur ini hanya memuat jenis minor cyberloafing saja. Alat ukur ini memiliki nilai alpha cronbach sebesar 0,87 dan juga sudah digunakan pada beberapa penelitian.

3. The Five Factor Cyberloafing Scale by Akbulut et al (2015)

Akbulut et al (2015) memperkenalkan alat ukur baru untuk mengukur perilaku cyberloafing yang terdiri dari 30 item yang mengukur lima faktor, yaitu berbagi informasi (sharing), belanja online (shopping), siaran langsung (real-time updating), mengakses konten secara online (accessing online content) dan bermain game/judi online (gaming/gambling). Alat ukur ini memiliki validitas yang cukup baik dimana nilai alpha cronbach sebesar 0,96.

Berdasarkan beberapa alat ukur yang telah diuraikan diatas, penelitian ini menggunakan alat ukur yang dikembangkan oleh Lim dan Chen (2009) karena terdapat beberapa penelitian terdahulu yang menggunakan alat ukur ini (seperti Günay, 2018; Tarigan, 2015) serta alat ukur ini memiliki nilai koefisien alpha yang cukup baik yaitu 0,87 sehingga dikatakan dapat mengukur perilaku cyberloafing dengan baik.

2.2 Regulasi Diri

2.2.1 Definisi regulasi diri

Regulasi diri merupakan bagian penting dari kepribadian yang dapat mengatur individu dalam mencapai target atau tujuannya. Susanto (dalam Nastasia &

Kurniawan, 2018) mendefinisikan regulasi diri sebagai kemampuan untuk mengontrol prilaku sendiri, regulasi diri merupakan penggunaan suatu proses

(37)

yang mengaktivasi pemikiran, perilaku dan perasaan yang terus menerus dalam upaya untuk mencapai tujuan yang telah diterapkan.

Menurut Prasad et al (2010) regulasi diri mengacu pada kemampuan individual untuk memiliki pengendalian diri dalam dirinya sendiri. Bandura (dalam Prasad, et al, 2010) menjelaskan bahwa individu memiliki dua macam tujuan atau sasaran yaitu tujuan jangka pendek dan jangka panjang, dimana seseorang akan cepat puas jika tujuan jangka pendek telah terpenuhi dan melupakan akan tujuan jangka panjang. Namun hal tersebut dapat diatasi apabila individu tetap fokus akan tujuan jangka panjangnya dengan melawan tujuan jangka pendek yang sifatnya hanya sementara yaitu dengan memiliki pengendalian diri atau regulasi diri (Prasad et al, 2010).

Pichardo et al (2014) mendefinisikan regulasi diri sebagai kemampuan individu untuk merencanakan, memandu dan memantau perilakunya secara fleksibel dalam menghadapi keadaan yang berubah-ubah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Individu yang memiliki regulasi diri tinggi memiliki kemampuan merencakan tujuan hidup secara fleksibel di berbagai keadaan.

Individu tersebut juga dapat mengarahkan perilakunya agar sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, serta dapat memantau perilakunya agar tetap di jalan yang benar.

Selain itu, Alwisol (2009) menyatakan regulasi diri adalah suatu kemampuan yang dimiliki manusia berupa kemampuan untuk berpikir dan dengan kemampuan itu individu dapat memanipulasi lingkungan, sehingga terjadi perubahan lingkungan akibat kegiatan tersebut. Menurut Bandura (dalam Alwisol, 2009),

(38)

akan terjadi strategi reaktif dan proaktif dalam regulasi diri. Strategi reaktif dipakai untuk mencapai tujuan, namun ketika tujuan tersebut hampir tercapai, strategi proaktif menentukan tujuan baru yang lebih tinggi. Seseorang akan memotivasi dan membimbing tingkah lakunya sendiri melalui strategi proaktif, menciptakan ketidakseimbangan agar dapat memobilisasi kemampuan dan usahanya berdasarkan antisipasi apa saja yang dibutuhkan untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan uraian di atas, penelitian ini menggunakan teori dari Pichardo et al (2014) dimana regulasi diri merupakan kemampuan yang dimiliki individu untuk merencanakan, memandu dan memantau perilakunya secara fleksibel dalam menghadapi keadaan yang berubah-ubah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Teori tersebut dipilih karena merupakan pengembangan teori Brown dan Miller (1991) yang sudah banyak digunakan pada penelitian sebelumnya (seperti Carey et al, 2004; Neal & Carey, 2005; Potgieter & Botha, 2009, dalam Azzahra, 2018) namun dalam setting yang menyesuaikan keadaan individu saat ini.

2.2.2 Dimensi regulasi diri

Pichardo et al (2014), menggabungkan teori regulasi diri dalam konteks pengaturan perilaku diri secara umum, dan mengacu pada kemampuan untuk mengubah perilaku yang diharapkan dalam kehidupan sehari-hari. Pichardo (2014) juga membagi regulasi diri menjadi empat dimensi, antara lain:

1. Goal setting

Goal setting merupakan sebuah mekanisme utama dalam mempengaruhi motivasi, dimana individu menetapkan sejumlah tujuan yang harus dicapainya dalam jangka

(39)

waktu tertentu. Tujuan tersebut harus sesuai dengan keadaan individu maupun norma yang ada di lingkungan individu tersebut. Kesesuaian tujuan dengan keadaan yang sebenarnya sangat penting agar pencapaian tujuan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.

2. Perseverance

Perseverance adalah orientasi individu dalam menghadapi kegagalan dan kemunduran, mendorongnya untuk fokus dalam mengerjakan setiap kegiatan, belajar dari kesalahan, dan menjadikan hambatan sebagai tantangan. Orientasi tersebut bukan sebagai refleksi dari kekurangan pribadi, melainkan sebagai pandangan yang membuat individu dapat menjalankan tujuan dengan fokus dan tidak terpengaruh dengan hal-hal yang dapat menghambat tujuannya. Selain itu, ketekunan dapat menjadikan individu selalu berjalan pada jalurnya sehingga tujuan dapat lebih mudah tercapai.

3. Decision Making

Decision making memiliki arti pengambilan keputusan. Definisi tersebut ditandai dengan kemampuan dalam melakukan perubahan dan pengambilan keputusan.

Individu yang memiliki kemampuan pengambilan keputusan yang baik dapat secara tegas sehingga tujuan dapat dicapai dengan baik.

4. Learning from Mistakes

Learning from mistakes merupakan kemampuan individu untuk belajar dari kesalahan. Setelah individu merealisasikan tujuan, individu dapat mengevaluasi langkah-langkahnya. Apabila terdapat kesalahan, individu harus mempelajari kesalahannya dan mencari solusi atas kesalahan tersebut.

(40)

2.2.3 Pengukuran regulasi diri

Terdapat berbagai alat ukur regulasi diri yang telah dikembangkan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut:

1. Self Regulation Questionnaire (SRQ) by Brown et al (1999)

Brown, Miller, dan Lewandowski menyusun sebuah skala yang terdiri dari 63 item untuk mengukur tujuh faktor dari regulasi diri. Brown et.al. membuat skala tersebut untuk mengukur seberapa besar pengaruh regulasi diri terhadap perilaku menggunakan alcohol dan masalah lain yang terkait dengan penggunaan alcohol.

Tujuh faktor yang diukur dalam SRQ yaitu masukan informasi (informational input), evaluasi diri (self evaluation), dorongan menuju perubahan yang dipicu oleh persepsi ketidaksesuaian (instigation to change triggered by perceptions of discrepancy), pencarian untuk mengurangi ketidaksesuaian (search for ways to reduce discrepancy), merencanakan perubahan (planning for change), implementasi perubahan perilaku (implementation of behavior change), dan evaluasi kemajuan menuju suatu tujuan (evaluation of progress toward goals).

2. Short Version of Self-Regulation Questionnaire (SSRQ) by Pichardo et al (2014)

Instrumen SSRQ milik Pichardo et al (2014) ini dimodifikasi dari SSRQ milik Kate B. Carey et al (dalam Azzahra, 2018), yang direvisi akibat hasil confirmatory factor analysis (CFA) dari model asli SRQ memiliki data fit yang sedikit. Model satu dimensi SSRQ yang terdiri dari 31 item juga menunjukkan hasil yang tidak fit ketika diuji cobakan pada siswa di Spanyol. Yang kemudian dijadikan 17 item yang fit untuk mengukur empat faktor, yaitu penetapan tujuan

(41)

(goal setting), ketekunan (perseverance), pengambilan keputusan (decision making), dan belajar dari kesalahan (learning for mistakes).

3. The Adolescent Self-Regulatory Inventory (ASRI) by Moilanen (2006)

Instrumen ini digunakan untuk mengukur regulasi diri pada remaja dan orang tua.

Terdiri dari 77 item yang merupakan desain original yang pertama kali dikembangkan. Validitas dan reliabilitas dari alat ukur ini cukup baik dengan koefisien alpha sebesar 0.89 dan dapat digunakan remaja di berbagai negara.

Pengukuran regulasi diri dalam penilitian menggunakan alat ukur Short version of Self Regulation Questionnaire (SSRQ) milik Pichardo et al (2014). Alat ukur ini merupakan pengembangan teori regulasi diri dari Brown dan teori self regulated learning milik De La Fuente dalam bentuk yang lebih efisien dan up to date dalam menggambarkan individu saat ini. Pemilihan alat ukur ini karena memiliki koefisien nilai cronbach alpha sebesar 0,86 yang artinya dapat mengukur regulasi diri secara baik.

2.3 Stres Kerja

2.3.1 Definisi stres kerja

Stres kerja merupakan stres yang umumnya mengacu pada stres yang disebabkan oleh pekerjaan, atau faktor-faktor yang berhubungan dengan kerja. Kahn et al (dalam Peterson et al, 1995) mendefinisikan stres kerja sebagai tekanan yang dialami oleh individu sebagai akibat dari adanya tuntutan pekerjaan dan organisasi. Leka, Griffiths dan Cox (dalam Bokti & Talib, 2009) menerangkan bahwa stres kerja terjadi ketika individu merasa tertekan dengan pekerjaan yang tidak sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya.

(42)

Blanchard dan Henle (2008) menjelaskan stres kerja sebagai tekanan yang individu rasakan dalam bentuk permintaan dan ketentuan yang dibebankan pada individu tersebut dari faktor pekerjaan dan organsasi. Menurut Aamir & Hira (2011) stres kerja merupakan respon kelelahan fisik dan emosional yang timbul saat tuntutan kerja tidak melebihi kapasaitas, kemampuan, dan kebuthan individu tersebut. Stres kerja juga didefinisikan oleh Drenth dan Waff (dalam Pflanz &

Ogle, 2006) sebagai kondisi ketegangan yang timbul karena adanya ketidaksesuain antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan keterampilan yang dimiliki oleh karyawan.

Dampak yang dirasakan individu jika mengalami stres kerja berkepanjangan antara lain, memburuknya kesehatan mental, sakit punggung, penyakit jantung, gangguan pencernaan, serta beberapa penyakit ringan lainnya termasuk masalah dengan gusi atau mulut dan gigi, sesak nafas, pusing, sakit telinga, pergelangan kaki membengkak, ruam atau gatal-gatal, dan sakit kepala; serta perilaku yang dapat memperburuk kesehatan seperti tidak sarapan, minum terlalu banyak alkohol, dan merokok (Aamir & Hira, 2011). Pflanz dan Ogle (2006) juga menyebutkan dampak dari stres kerja juga dapat menurunkan produktivitas, meningkatkan absenteeism, meningkatkan konflik, meningkatkan kecelakaan kerja, meningkatkan kesalahan, dan menurunkan moralitas pegawai.

Dari definisi di atas penulis menggunakan definisi stres kerja menurut Blanchard dab Henle (2008) yaitu tekanan yang individu rasakan dalam bentuk permintaan dan ketentuan yang dibebankan pada individu tersebut dari faktor

(43)

pekerjaan dan organsasi. Teori tersebut dipilih karena memiliki gagasan yang spesifik dalam menggambarkan individu saat ini.

2.3.2 Dimensi stres kerja

Menurut Blanchard dan Henle (2008) terdapat tiga dimensi stres kerja yang terdiri atas role conflict, role ambiguity, dan role overload.

1. Role ambiguity

Role ambiguity didefinisikan sebagai ketidakyakinan karyawan mengenai kewajiban dan harapan yang diinginkan, karena ketiadaan pedoman dalam bekerja dan hasil kerja yang tidak terprediksi (Rizzo dalam Blanchard & Henle, 2008). Menurut Munandar (2001) role ambiguity timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang ia miliki. Dimana salah satunya yaitu tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjannya. Selain itu juga, adanya pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya. Role ambiguity adalah suatu kesenjangan antara jumlah informasi yang dimiliki seseorang dengan yang dibutuhkannya untuk dapat melaksanakan perannya dengan tepat (Brief et al. dalam Nimran, 1999). Karenanya role ambiguity adalah bersifat pembangkit stres sebab dapat menghalangi individu untuk melakukan tugasnya dan menyebabkan timbulnya perasaan tidak aman dan tidak menentu.

2. Role conflict

Rizzo (dalam Blanchard & Henle, 2008) mendefinisikan role conflict sebagai adanya tuntutan yang bertentangan di tempat kerja, dapat berupa konflik tuntutan

(44)

kerja dengan karyawan lain, tuntutan workgroups, kebijakan organisasi dan kewajiban kerja. Role conflict atau konflik peran didefinisikan oleh Brief (dalam Nimran, 1999) sebagai adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Role conflict timbul karena ketidakcakapan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dan berbagai harapan terhadap diri individu tersebut.

Tenaga kerja yang menderita role conflict lebih banyak memiliki kepuasan kerja lebih rendah dan ketegangan pekerjaan yang lebih tinggi (Munandar, 2001). Leigh et al (dalam Nimran, 1999) menyatakan bahwa role conflict merupakan hasil dari ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya, seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana terombang-ambing, terjepit, dan serba salah.

3. Role overload

Role overload didefinisikan sebagai permintaan organisasi untuk melakukan pekerjaan melebihi kemampuan karyawan itu sendiri (Caplan, dalam Henle &

Blanchard, 2008). Menurut Berry (1998) Work overload atau kelebihan beban kerja dibedakan dalam quantitative overload dan qualitative overload. Individu yang bersifat kuantitatif adalah “having too much to do”, sedangkan yang bersifat kualitatif yang disebutkan sebagai “too difficult” Jadi manakala para pekerja merasa bahwa terlalu banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, terlalu beragam hal yang harus dilakukan, atau tidak cukup waktu yang tersedia untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan, maka keadan ini disebut quantitative overload, Ivancevich dan Matteson (Berry dalam Nimran, 1999).

(45)

2.3.3 Pengukuran Stres kerja

Terdapat berbagai alat ukur stres kerja yang telah dikembangkan oleh para ahli, antara lain yaitu Stres kerja Questionnaire by Vanishree (2014), alat ukur ini dikembangkan oleh P. Vanishree dalam penelitiannya mengenai pengaruh stres kerja terhadap job stress dalam konteks industri. Serta mengacu pada teori Kahn et al (dalam Vanishree, 2014). Alat ukur ini memiliki total 14 item yang terbagi menjadi tiga dimensi antara lain role ambiguity, role conflict, dan role overload.

Dimensi role ambiguity berjumlah 5 item, role conflict berjumlah 5 item, dan role overload berjumlah 4 item.

Selain itu, Blanchard dan Henle (2008) dalam penelitiannya menggunakan alat ukur yang merupakan gabungan dari skala Role Questinnaire by Rizzo et al (1970) dan Subjective Quantitative Work Load by Caplan (1971). Role Questinnaire dikembangkan oleh Rizzo et al (1970) yang terdiri dari 6 item role ambiguity dengan koefisien cronbach alpha sebesar 0,82, serta 8 item role conflict dengan koefisien alpha cronbach sebesar 0,85. Kemudian Subjective Quantitative Work Load diadaptasi berdasarkan teori Caplan (1971) dimana terdiri dari 9 item dimensi role overload dan memiliki nilai koefisien alpha cronbach sebesar 0,87.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti menggunakan alat ukur yang digunakan dalam penelitian Blanchard dan Henle (2008). Alat ukur ini mengembangkan alat ukur Role Questinnaire milik Rizzo et al (1970) dan Subjective Quantitative Work Load milik Caplan (1971). Pemilihan alat ukur ini dikarenakan memiliki nilai

(46)

koefisien alpha cronbach yang tinggi yaitu diatas 0,82 sampai 0,87 sehingga diharapkan dapat mengukur variabel stres kerja dengan cukup baik.

2.4 Keadilan Organisasi

2.4.1 Definisi keadilan organisasi

Keadilan organisasi pertama sekali berkembang melalui teori relative deprivation oleh Stouffer, Suchman, DeVinney, Star, dan Williams pada tahun 1949 (dalam Aamodt, 2007). Stouffer (dalam Aamodt, 2007) menyatakan bahwa reaksi seseorang terhadap suatu hasil (outcome) akan tergantung pada bagaimana perbandingan hasil yang dihasilkan oleh individu dengan hasil orang lain. Setelah adanya penelitian yang dilakukan oleh Stouffer, kemudian muncul beberapa teori mengenai keadilan antara lain, teori pertukaran sosial oleh Homans (1961), teori role of expectation oleh Blau (1964), dan teori equity oleh Adams (1963) mengenai keadilan khususnya keadilan distributif.

Teori equity oleh Adams (dalam Aamodt, 2007) merupakan teori yang sering digunakan dalam literatur mengenai keadilan sampai tahun 1970-an. Adams (1963) menyatakan bahwa individu akan membandingkan rasio hasil (outcome) dan masukan (input) yang mereka miliki dengan rasio hasil/masukan orang lain maupun diri mereka sendiri di masa lalu. Teori equity dari Adams berfokus pada penjelasan mengenai konsekuensi ketika ketidakadilan (inequity) terjadi. Teori ini menyatakan bahwa ketidakadilan yang dirasakan seseorang dapat memunculkan ketegangan psikologis serta distress yang membuat seseorang melakukan sesuatu untuk mengembalikan keadilan tersebut (Adams dalam Aamodt, 2007).

(47)

Keadilan organisasi berkaitan dengan bagaimana para pekerja menyimpulkan apakah mereka telah diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya dan bagaimana kesimpulan tersebut kemudian dapat mempengaruhi variabel-variabel lain yang berhubungan dengan pekerjaan (Moorman dalam Colquitt, 2001). Greenberg (dalam Colquitt, 2001) menjelaskan definisi mengenai keadilan organisasi, yang menyatakan bahwa keadilan organisasi ialah persepsi karyawan tentang keadilan dalam organisasi, yang terkait dengan cara-cara yang tepat untuk mendistribusikan hasil dan tentang memperlakukan orang lain dengan baik.

Rego dan Cunha (2006), mengacu pada teori Greenberg, menjelaskan keadilan organisasi sebagai persepsi individu mengenai keadilan dalam konteks organisasi. Gagasan mengenai keadilan organisasi ini berasal dari berbagai persoalan, mulai dari seberapa upah yang didapatkan sampai seberapa baik karyawan diperlakukan oleh atasannya. Selain itu, menurut Cropanzano et al (2007) keadilan organisasi merupakan anggapan seseorang mengenai kelayakan moral tentang bagaimana seharusnya individu diperlakukan di dalam organisasi.

Keadilan organisasi merupakan sebuah evaluasi pribadi mengenai moral dan etika dari pihak manajerial. Menurut mereka keadilan merupakan suatu esensi dari hubungan anggota dengan pemilik organisasi. Sebaliknya, ketidakadilan dianggap sebagai hal yang dapat mengakhiri suatu hubungan dalam organisasi.

Ketidakadilan yang dirasakan oleh individu dalam organisasi dapat merusak individu maupun organisasi.

Definisi yang dikemukakan oleh Moorman (1991) dan Greenberg (1990) memiliki arti yang serupa bahwa keadilan organisasi merupakan persepsi

(48)

karyawan mengenai keadilan dalam perusahaan baik dalam hal proses pembuatan keputusan maupun hasil dari keputusan tersebut. Sedangkan definisi keadilan organisasi menurut Cropanzano et al (2007) melihat pentingnya hubungan anggota dengan organisasi yang di dalam keadilan organisasi itu sendiri terdiri dari moral dan etika yang dianggap sesuai oleh karyawan.

Berdasarkan uraian diatas, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dari Rego dan Cunha (2006) yaitu keadilan organisasi adalah persepsi individu mengenai keadilan dalam konteks organisasi. Gagasan mengenai keadilan organisasi ini berasal dari berbagai persoalan, mulai dari seberapa upah yang didapatkan sampai seberapa baik karyawan diperlakukan oleh atasannya.

Teori tersebut dipilih karena memiliki gagasan yang spesifik dan lugas dalam menggambarkan individu saat ini.

2.4.2 Dimensi keadilan organisasi

Rego dan Cunha (2006) membagi keadilan organisasi menjadi empat dimensi, yaitu:

1. Keadilan Distributif

Keadilan distributif pertama kali dikembangkan oleh Homans pada tahun 1961 dalam teorinya mengenai keadilan dalam perubahan sosial. Kemudian konsep keadilan distributif dikembangkan secara utuh oleh Adams melalui teori equity tahun 1963 yang sampai sekarang digunakan dalam penelitian mengenai masalah keadilan di tempat kerja (dalam Rego & Cunha, 2006). Adams menyatakan ketika seseorang memiliki rasio hasil/masukan jauh dibawah rasio perbandingan orang lain, maka ia dapat dikatakan mengalami underpayment inequity. Keadilan

Gambar

Tabel 2.1 Skema Kerangka Berpikir .....................................................................
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berpikir
Tabel 4.3  Rumus kategorisasi  Kategorisasi  Rumus  Rendah  x < (mean –1SD)  Sedang  Tinggi  (mean – 1SD) < x < (mean + 1SD) x > (mean –1SD)
Tabel 4.6  Tabel anova
+2

Referensi

Dokumen terkait

Dengan didasarkan oleh berbagai latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian mengenai pengaruh gaya kepemimpinan dan stres

Untuk membahas tentang Analisis Faktor-faktor Penentu disiplin Keija Aparatur Sipil Negara di Kabupaten Nunukan, peneliti akan melihat dari fenomena faktor penentu disiplin yang

Penelitian dianalisis dengan menggunakan regresi sederhana dan hasil penelitian menunjukkan terdapat pengaruh negatif keadilan organisasi terhadap cyberloafing pada

Berdasarkan hasil analisis data yang telah diuraikan, maka dapat di simpulkan beberapa hal: 1) Job insecurity berpengaruh negatif signifikan terhadap komitmen organisasi

Hasil t- value yang ditunjukkan oleh hipotesis 2 adalah lebih besar dari 1.96, maka hipotesis 2 dapat diterima dan disimpulkan bahwa variable Kepuasan Kerja

Manfaat teoritis, Hasil penelitian tersebut diharapkan bisa digunakan sebagai sumber pembelajaran pada materi sumber daya manusia dan juga dapat digunakan sebagai referensi bagi

Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh mengenai Disiplin Kerja X2 terdapat hasil penelitian yang menunjukkan perlu adanya peningkatan bentuk kedisiplinan yang berlaku di dalam

5.4 Saran-saran Berdasarkan hasil analisis penelitian dan hal-hal yang berkaitan dengan keterbatasan penelitian ini, serta peneliti menyadari penelitian ini masih memiliki kekurangan