• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

2.2 Regulasi Diri

2.2.3 Pengukuran regulasi diri

Terdapat berbagai alat ukur regulasi diri yang telah dikembangkan oleh para ahli, antara lain sebagai berikut:

1. Self Regulation Questionnaire (SRQ) by Brown et al (1999)

Brown, Miller, dan Lewandowski menyusun sebuah skala yang terdiri dari 63 item untuk mengukur tujuh faktor dari regulasi diri. Brown et.al. membuat skala tersebut untuk mengukur seberapa besar pengaruh regulasi diri terhadap perilaku menggunakan alcohol dan masalah lain yang terkait dengan penggunaan alcohol.

Tujuh faktor yang diukur dalam SRQ yaitu masukan informasi (informational input), evaluasi diri (self evaluation), dorongan menuju perubahan yang dipicu oleh persepsi ketidaksesuaian (instigation to change triggered by perceptions of discrepancy), pencarian untuk mengurangi ketidaksesuaian (search for ways to reduce discrepancy), merencanakan perubahan (planning for change), implementasi perubahan perilaku (implementation of behavior change), dan evaluasi kemajuan menuju suatu tujuan (evaluation of progress toward goals).

2. Short Version of Self-Regulation Questionnaire (SSRQ) by Pichardo et al (2014)

Instrumen SSRQ milik Pichardo et al (2014) ini dimodifikasi dari SSRQ milik Kate B. Carey et al (dalam Azzahra, 2018), yang direvisi akibat hasil confirmatory factor analysis (CFA) dari model asli SRQ memiliki data fit yang sedikit. Model satu dimensi SSRQ yang terdiri dari 31 item juga menunjukkan hasil yang tidak fit ketika diuji cobakan pada siswa di Spanyol. Yang kemudian dijadikan 17 item yang fit untuk mengukur empat faktor, yaitu penetapan tujuan

(goal setting), ketekunan (perseverance), pengambilan keputusan (decision making), dan belajar dari kesalahan (learning for mistakes).

3. The Adolescent Self-Regulatory Inventory (ASRI) by Moilanen (2006)

Instrumen ini digunakan untuk mengukur regulasi diri pada remaja dan orang tua.

Terdiri dari 77 item yang merupakan desain original yang pertama kali dikembangkan. Validitas dan reliabilitas dari alat ukur ini cukup baik dengan koefisien alpha sebesar 0.89 dan dapat digunakan remaja di berbagai negara.

Pengukuran regulasi diri dalam penilitian menggunakan alat ukur Short version of Self Regulation Questionnaire (SSRQ) milik Pichardo et al (2014). Alat ukur ini merupakan pengembangan teori regulasi diri dari Brown dan teori self regulated learning milik De La Fuente dalam bentuk yang lebih efisien dan up to date dalam menggambarkan individu saat ini. Pemilihan alat ukur ini karena memiliki koefisien nilai cronbach alpha sebesar 0,86 yang artinya dapat mengukur regulasi diri secara baik.

2.3 Stres Kerja

2.3.1 Definisi stres kerja

Stres kerja merupakan stres yang umumnya mengacu pada stres yang disebabkan oleh pekerjaan, atau faktor-faktor yang berhubungan dengan kerja. Kahn et al (dalam Peterson et al, 1995) mendefinisikan stres kerja sebagai tekanan yang dialami oleh individu sebagai akibat dari adanya tuntutan pekerjaan dan organisasi. Leka, Griffiths dan Cox (dalam Bokti & Talib, 2009) menerangkan bahwa stres kerja terjadi ketika individu merasa tertekan dengan pekerjaan yang tidak sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan yang dimilikinya.

Blanchard dan Henle (2008) menjelaskan stres kerja sebagai tekanan yang individu rasakan dalam bentuk permintaan dan ketentuan yang dibebankan pada individu tersebut dari faktor pekerjaan dan organsasi. Menurut Aamir & Hira (2011) stres kerja merupakan respon kelelahan fisik dan emosional yang timbul saat tuntutan kerja tidak melebihi kapasaitas, kemampuan, dan kebuthan individu tersebut. Stres kerja juga didefinisikan oleh Drenth dan Waff (dalam Pflanz &

Ogle, 2006) sebagai kondisi ketegangan yang timbul karena adanya ketidaksesuain antara tuntutan pekerjaan dan kemampuan keterampilan yang dimiliki oleh karyawan.

Dampak yang dirasakan individu jika mengalami stres kerja berkepanjangan antara lain, memburuknya kesehatan mental, sakit punggung, penyakit jantung, gangguan pencernaan, serta beberapa penyakit ringan lainnya termasuk masalah dengan gusi atau mulut dan gigi, sesak nafas, pusing, sakit telinga, pergelangan kaki membengkak, ruam atau gatal-gatal, dan sakit kepala; serta perilaku yang dapat memperburuk kesehatan seperti tidak sarapan, minum terlalu banyak alkohol, dan merokok (Aamir & Hira, 2011). Pflanz dan Ogle (2006) juga menyebutkan dampak dari stres kerja juga dapat menurunkan produktivitas, meningkatkan absenteeism, meningkatkan konflik, meningkatkan kecelakaan kerja, meningkatkan kesalahan, dan menurunkan moralitas pegawai.

Dari definisi di atas penulis menggunakan definisi stres kerja menurut Blanchard dab Henle (2008) yaitu tekanan yang individu rasakan dalam bentuk permintaan dan ketentuan yang dibebankan pada individu tersebut dari faktor

pekerjaan dan organsasi. Teori tersebut dipilih karena memiliki gagasan yang spesifik dalam menggambarkan individu saat ini.

2.3.2 Dimensi stres kerja

Menurut Blanchard dan Henle (2008) terdapat tiga dimensi stres kerja yang terdiri atas role conflict, role ambiguity, dan role overload.

1. Role ambiguity

Role ambiguity didefinisikan sebagai ketidakyakinan karyawan mengenai kewajiban dan harapan yang diinginkan, karena ketiadaan pedoman dalam bekerja dan hasil kerja yang tidak terprediksi (Rizzo dalam Blanchard & Henle, 2008). Menurut Munandar (2001) role ambiguity timbul jika seorang tenaga kerja mengalami adanya pertentangan antara tugas-tugas yang harus ia lakukan dan antara tanggung jawab yang ia miliki. Dimana salah satunya yaitu tugas-tugas yang harus ia lakukan yang menurut pandangannya bukan merupakan bagian dari pekerjannya. Selain itu juga, adanya pertentangan dengan nilai-nilai dan keyakinan pribadinya sewaktu melakukan tugas pekerjaannya. Role ambiguity adalah suatu kesenjangan antara jumlah informasi yang dimiliki seseorang dengan yang dibutuhkannya untuk dapat melaksanakan perannya dengan tepat (Brief et al. dalam Nimran, 1999). Karenanya role ambiguity adalah bersifat pembangkit stres sebab dapat menghalangi individu untuk melakukan tugasnya dan menyebabkan timbulnya perasaan tidak aman dan tidak menentu.

2. Role conflict

Rizzo (dalam Blanchard & Henle, 2008) mendefinisikan role conflict sebagai adanya tuntutan yang bertentangan di tempat kerja, dapat berupa konflik tuntutan

kerja dengan karyawan lain, tuntutan workgroups, kebijakan organisasi dan kewajiban kerja. Role conflict atau konflik peran didefinisikan oleh Brief (dalam Nimran, 1999) sebagai adanya ketidakcocokan antara harapan-harapan yang berkaitan dengan suatu peran. Role conflict timbul karena ketidakcakapan untuk memenuhi tuntutan-tuntutan dan berbagai harapan terhadap diri individu tersebut.

Tenaga kerja yang menderita role conflict lebih banyak memiliki kepuasan kerja lebih rendah dan ketegangan pekerjaan yang lebih tinggi (Munandar, 2001). Leigh et al (dalam Nimran, 1999) menyatakan bahwa role conflict merupakan hasil dari ketidakkonsistenan harapan-harapan berbagai pihak atau persepsi adanya ketidakcocokan antara tuntutan peran dengan kebutuhan, nilai-nilai individu, dan sebagainya. Sebagai akibatnya, seseorang yang mengalami konflik peran akan berada dalam suasana terombang-ambing, terjepit, dan serba salah.

3. Role overload

Role overload didefinisikan sebagai permintaan organisasi untuk melakukan pekerjaan melebihi kemampuan karyawan itu sendiri (Caplan, dalam Henle &

Blanchard, 2008). Menurut Berry (1998) Work overload atau kelebihan beban kerja dibedakan dalam quantitative overload dan qualitative overload. Individu yang bersifat kuantitatif adalah “having too much to do”, sedangkan yang bersifat kualitatif yang disebutkan sebagai “too difficult” Jadi manakala para pekerja merasa bahwa terlalu banyak pekerjaan yang harus dikerjakan, terlalu beragam hal yang harus dilakukan, atau tidak cukup waktu yang tersedia untuk menyelesaikan tugas yang dibebankan, maka keadan ini disebut quantitative overload, Ivancevich dan Matteson (Berry dalam Nimran, 1999).

2.3.3 Pengukuran Stres kerja

Terdapat berbagai alat ukur stres kerja yang telah dikembangkan oleh para ahli, antara lain yaitu Stres kerja Questionnaire by Vanishree (2014), alat ukur ini dikembangkan oleh P. Vanishree dalam penelitiannya mengenai pengaruh stres kerja terhadap job stress dalam konteks industri. Serta mengacu pada teori Kahn et al (dalam Vanishree, 2014). Alat ukur ini memiliki total 14 item yang terbagi menjadi tiga dimensi antara lain role ambiguity, role conflict, dan role overload.

Dimensi role ambiguity berjumlah 5 item, role conflict berjumlah 5 item, dan role overload berjumlah 4 item.

Selain itu, Blanchard dan Henle (2008) dalam penelitiannya menggunakan alat ukur yang merupakan gabungan dari skala Role Questinnaire by Rizzo et al (1970) dan Subjective Quantitative Work Load by Caplan (1971). Role Questinnaire dikembangkan oleh Rizzo et al (1970) yang terdiri dari 6 item role ambiguity dengan koefisien cronbach alpha sebesar 0,82, serta 8 item role conflict dengan koefisien alpha cronbach sebesar 0,85. Kemudian Subjective Quantitative Work Load diadaptasi berdasarkan teori Caplan (1971) dimana terdiri dari 9 item dimensi role overload dan memiliki nilai koefisien alpha cronbach sebesar 0,87.

Berdasarkan uraian diatas, peneliti menggunakan alat ukur yang digunakan dalam penelitian Blanchard dan Henle (2008). Alat ukur ini mengembangkan alat ukur Role Questinnaire milik Rizzo et al (1970) dan Subjective Quantitative Work Load milik Caplan (1971). Pemilihan alat ukur ini dikarenakan memiliki nilai

koefisien alpha cronbach yang tinggi yaitu diatas 0,82 sampai 0,87 sehingga diharapkan dapat mengukur variabel stres kerja dengan cukup baik.

2.4 Keadilan Organisasi

2.4.1 Definisi keadilan organisasi

Keadilan organisasi pertama sekali berkembang melalui teori relative deprivation oleh Stouffer, Suchman, DeVinney, Star, dan Williams pada tahun 1949 (dalam Aamodt, 2007). Stouffer (dalam Aamodt, 2007) menyatakan bahwa reaksi seseorang terhadap suatu hasil (outcome) akan tergantung pada bagaimana perbandingan hasil yang dihasilkan oleh individu dengan hasil orang lain. Setelah adanya penelitian yang dilakukan oleh Stouffer, kemudian muncul beberapa teori mengenai keadilan antara lain, teori pertukaran sosial oleh Homans (1961), teori role of expectation oleh Blau (1964), dan teori equity oleh Adams (1963) mengenai keadilan khususnya keadilan distributif.

Teori equity oleh Adams (dalam Aamodt, 2007) merupakan teori yang sering digunakan dalam literatur mengenai keadilan sampai tahun 1970-an. Adams (1963) menyatakan bahwa individu akan membandingkan rasio hasil (outcome) dan masukan (input) yang mereka miliki dengan rasio hasil/masukan orang lain maupun diri mereka sendiri di masa lalu. Teori equity dari Adams berfokus pada penjelasan mengenai konsekuensi ketika ketidakadilan (inequity) terjadi. Teori ini menyatakan bahwa ketidakadilan yang dirasakan seseorang dapat memunculkan ketegangan psikologis serta distress yang membuat seseorang melakukan sesuatu untuk mengembalikan keadilan tersebut (Adams dalam Aamodt, 2007).

Keadilan organisasi berkaitan dengan bagaimana para pekerja menyimpulkan apakah mereka telah diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya dan bagaimana kesimpulan tersebut kemudian dapat mempengaruhi variabel-variabel lain yang berhubungan dengan pekerjaan (Moorman dalam Colquitt, 2001). Greenberg (dalam Colquitt, 2001) menjelaskan definisi mengenai keadilan organisasi, yang menyatakan bahwa keadilan organisasi ialah persepsi karyawan tentang keadilan dalam organisasi, yang terkait dengan cara-cara yang tepat untuk mendistribusikan hasil dan tentang memperlakukan orang lain dengan baik.

Rego dan Cunha (2006), mengacu pada teori Greenberg, menjelaskan keadilan organisasi sebagai persepsi individu mengenai keadilan dalam konteks organisasi. Gagasan mengenai keadilan organisasi ini berasal dari berbagai persoalan, mulai dari seberapa upah yang didapatkan sampai seberapa baik karyawan diperlakukan oleh atasannya. Selain itu, menurut Cropanzano et al (2007) keadilan organisasi merupakan anggapan seseorang mengenai kelayakan moral tentang bagaimana seharusnya individu diperlakukan di dalam organisasi.

Keadilan organisasi merupakan sebuah evaluasi pribadi mengenai moral dan etika dari pihak manajerial. Menurut mereka keadilan merupakan suatu esensi dari hubungan anggota dengan pemilik organisasi. Sebaliknya, ketidakadilan dianggap sebagai hal yang dapat mengakhiri suatu hubungan dalam organisasi.

Ketidakadilan yang dirasakan oleh individu dalam organisasi dapat merusak individu maupun organisasi.

Definisi yang dikemukakan oleh Moorman (1991) dan Greenberg (1990) memiliki arti yang serupa bahwa keadilan organisasi merupakan persepsi

karyawan mengenai keadilan dalam perusahaan baik dalam hal proses pembuatan keputusan maupun hasil dari keputusan tersebut. Sedangkan definisi keadilan organisasi menurut Cropanzano et al (2007) melihat pentingnya hubungan anggota dengan organisasi yang di dalam keadilan organisasi itu sendiri terdiri dari moral dan etika yang dianggap sesuai oleh karyawan.

Berdasarkan uraian diatas, teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori dari Rego dan Cunha (2006) yaitu keadilan organisasi adalah persepsi individu mengenai keadilan dalam konteks organisasi. Gagasan mengenai keadilan organisasi ini berasal dari berbagai persoalan, mulai dari seberapa upah yang didapatkan sampai seberapa baik karyawan diperlakukan oleh atasannya.

Teori tersebut dipilih karena memiliki gagasan yang spesifik dan lugas dalam menggambarkan individu saat ini.

2.4.2 Dimensi keadilan organisasi

Rego dan Cunha (2006) membagi keadilan organisasi menjadi empat dimensi, yaitu:

1. Keadilan Distributif

Keadilan distributif pertama kali dikembangkan oleh Homans pada tahun 1961 dalam teorinya mengenai keadilan dalam perubahan sosial. Kemudian konsep keadilan distributif dikembangkan secara utuh oleh Adams melalui teori equity tahun 1963 yang sampai sekarang digunakan dalam penelitian mengenai masalah keadilan di tempat kerja (dalam Rego & Cunha, 2006). Adams menyatakan ketika seseorang memiliki rasio hasil/masukan jauh dibawah rasio perbandingan orang lain, maka ia dapat dikatakan mengalami underpayment inequity. Keadilan

distributif sendiri merupakan keadilan yang terkait pada pengalokasian hasil pada karyawan (Rego & Cunha, 2006).

Teori equity memandang keadilan distributif (disebut dengan equity) sebagai istilah dalam mempersepsikan rasio hasil dan masukan yang diterima oleh individu (Greenberg dalam Colquitt, 2001). Hasil (outcome) adalah hal yang berkaitan dengan gaji, penghargaan, supervisi yang memuaskan, keuntungan dari senioritas, status pekerjaan dan berbagai insentif baik formal maupun informal.

Sedangkan masukan (input) termasuk didalamnya pendidikan, intelegensi, pengalaman, pelatihan, keterampilan, senioritas, usia, jenis kelamin, latar belakang etnis, status sosial, serta segala upaya yang dikeluarkan individu dalam pekerjaannya. Keadilan distributif muncul ketika hasil (outcome) konsisten dengan norma-norma untuk alokasi, seperti ekuitas atau kesetaraan (Colquitt, 2001). Berikut ini akan dipaparkan beberapa indikator dari keadilan distributif (Colquitt, 2001):

a. Keadilan (Equity), menghargai karyawan berdasarkan kontribusinya.

b. Persamaan (Equality), menyediakan kompensasi yang sama bagi setiap karyawan.

c. Kebutuhan (Need), menyediakan keuntungan berdasarkan pada kebutuhan personal seseorang.

2. Keadilan Prosedural

Selain keadilan distributif, dimensi lain dari keadilan organisasi ialah keadilan prosedural. Keadilan prosedural ini muncul melalui suara selama proses pengambilan keputusan atau pengaruh atas hasil (Thibaut & Walker dalam

Colquitt, 2001). Lind dan Tyler (dalam Colquitt, 2001) menyatakan keadilan prosedural merupakan persepsi karyawan mengenai proses dan prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan yang mengarah kepada hasil. Terdapat beberapa kriteria prosedur pengalokasian dianggap adil (Colquitt, 2001;

Cropanzano et al, 2007) adalah:

a. Prosedur yang adil harus konsisten pada setiap karyawan. Proses pengalokasian keadilan harus didasarkan pada informasi yang akurat.

Informasi dan opini harus dikumpulkan dan diproses sedemikian rupa sehingga tidak terjadi kesalahan dalam mengambil keputusan. Selain itu juga kesempatan harus ada untuk memperbaiki proses alokasi. Prosedur yang adil mengandung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang mungkin akan muncul.

b. Prosedur dikatakan adil bila sejak awal ada upaya untuk melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Meskipun keterlibatan yang dimaksudkan dapat disesuaikan dengan sub-sub kelompok yang ada,secara prinsip harus ada penyertaan dari berbagai pihak sehingga akses untuk melakukan kontrol juga terbuka. Diperlukan minimalisasi bias, dimana kepentingan-kepentingan pribadi harus dicegah dalam proses pengalokasian. Prosedur yang adil juga harus sesuai dengan moral dan nilai-nilai etika atau sebuah aturan yang disepakati bersama. Dengan kata lain, bila berbagai hal diatas terpenuhi namun tidak sesuai dengan etika, maka belum bisa dikatakan adil

.

3. Keadilan Interpersonal

Bies dan Moag (dalam Cropanzano, 2007) menyatakan bahwa keadilan interpersonal merupakan suatu sensitivitas seseorang terhadap kualitas perlakuan interpersonal yang diterima selama terjalannya prosedur organisasi. Greenberg (dalam Colquitt, 2001) juga mengemukakan bahwa keadilan interpersonal merupakan aspek sosial dari keadilan prosedural. Keadilan interpersonal didefinisikan sebagai tingkat dimana seseorang diperlakukan dengan sopan, hormat, dan martabat (Meru & Fajrianthi, 2013). Dalam konteks organisasi, keadilan interpersonal berkaitan dengan persepsi proses komunikasi antara atasan dan bawahan. Colquitt (2001) mengemukakan dua indikator bagi keadilan interpersonal, yaitu:

a. Respect, pihak otoritas sebaiknya memperlakukan bawahan dengan tulus dan bermartabat dan menahan diri untuk tidak bertindak kasar dan menyerang bawahan.

b. Propriety, pihak otoritas sebaiknya menahan diri untuk tidak menyatakan pernyataan yang mengandung prasangka dan menghindari untuk bertanya mengenai pertanyaan yang tidak sesuai seperti, ras, etnis, agama, dan lain-lain.

4. Keadilan Informasional

Greenberg (dalam Colquitt, 2001) menyatakan bahwa keadilan informasional merupakan determinan/faktor sosial dari keadilan prosedural. Keadilan informasional dapat muncul dengan memberikan informasi tentang proses dan prosedur dalam mengambil keputusan. Informasi tersebut diberikan agar

menunjukkan bahwa organisasi/atasan memperhatikan hal yang menjadi kekhawatiran bawahan. Misalnya, ketika seseorang menerima hasil negatif seperti proposal ditolak atau pekerjaan ditolak, lebih mungkin untuk menerima hasil sebagai suatu keadilan ketika mereka menerima penjelasan yang masuk akal tentang prosedur yang digunakan saat pengambilan keputusan. Bies dan Shapiro (dalam Cropanzano, 2007) mendeskripsikan keadilan informasi sebagai persepsi apakah pihak yang menentukan keputusan telah memberikan penjelasan mengenai outcomes yang mempengaruhi individu. Berikut merupakan indikator dari keadilan informasional (Colquitt, 2001):

a. Truthfulness, pihak otoritas sebaiknya berkomikasi secara terbuka, jujur, dan terus terang dalam mengimplementasikan prosedur pembuatan keputusan dan berusaha untuk menghindari munculnya kecurangan.

b. Justification, pihak otoritas sebaiknya memberikan penjelasan yang memadai dan jelas mengenai hasil dari pembuatan keputusan.

2.4.3 Pengukuran keadilan organisasi

Terdapat berbagai alat ukur keadilan organisasi yang telah dikembangkan oleh para ahli, antara lain:

1. Organizational Justice Scale by Ogut et al (2013)

Dikembangkan oleh Ogut, Sahin, dan Demirsel (2013) dalam penelitiannya terkait keadilan organisasi pada pegawai rumah sakit di Turki. Alat ukur ini terdiri dari 11 item yang mengacu pada teori Niehoff dan Moorman (dalam Ogut et al, 2013).

Keadilan organisasi dalam alat ukur ini dibagi menjadi tiga dimensi yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional. Dimensi Keadilan

distributif terdiri dari 4 item dengan nilai koefisien cronbach alpha sebesar 0,93.

Dimensi keadilan prosedural terdiri dari 3 item dengan nilai koefisien cronbach alpha sebesar 0,96. Kemudian Dimensi keadilan interaksional terdiri dari 4 item dengan nilai koefisien cronbach alpha sebesar 0,94.

2. Organizational Justice Questionnaire by Rego & Cunha (2006)

Dikembangkan oleh Rego dan Cunha (2006) yang mengacu pada teori Niehoff dan Moorman tahun 1993 (dalam Rego & Cunha, 2006). Berbeda dengan alat ukur yang diuraikan sebelumnya, keadilan organisasi dalam alat ukur ini dibagi menjadi empat dimensi yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interpersonal, dan keadilan informasional. Dimensi Keadilan distributif terdiri dari 4 item dengan nilai koefisien cronbach alpha sebesar 0,93. Dimensi keadilan prosedural terdiri dari 3 item dengan nilai koefisien cronbach alpha sebesar 0,96. Kemudian Dimensi keadilan interaksional terdiri dari 4 item dengan nilai koefisien cronbach alpha sebesar 0,94. Alat ukur ini terdiri dari 18 item, dimana 5 item keadilan distributif, 5 item keadilan prosedural, 4 item keadilan interpersonal dan 4 item keadilan informasional. Skala ini memiliki koefisien cronbach alpha sebesar 0.90.

Berdasarkan uraian diatas, pengukuran keadilan organisasi dalam penelitian ini menggunakan alat ukur milik Rego dan Cunha (2006). Penggunaan alat ukur ini dikarenakan memiliki nilai koefisien cronbach alpha yang tinggi dimana masing-masing dimensi nilainya diatas 0,90 sehingga diharapkan dapat mengukur keadilan organisasi secara baik.

2.5 Kerangka Berpikir

Saat ini, hampir seluruh instansi/organisasi memanfaatkan internet agar pekerjaan lebih efektif dan efisien. Salah satu fenomena yang muncul karena adanya penyediaan akses internet di perusahaan adalah perilaku cyberloafing. Perilaku cyberloafing merupakan perilaku yang secara sengaja menggunakan akses internet untuk tujuan yang tidak berkaitan dengan pekerjaan selama jam kerja, dimana dimensinya dibagi menjadi dua yaitu aktivitas emailing dan browsing (Lim &

Chen, 2009). Jika cyberloafng dilakukan secara berlebihan, maka dapat membuat karyawan melalaikan tugasnya dan menurunkan produktivitas kerja.

Perilaku cyberloafing salahsatunya dapat dipengaruhi oleh regulasi diri.

Regulasi diri merupakan kemampuan yang dimiliki oleh individu untuk merencanakan, memandu dan memantau perilakunya secara fleksibel dalam menghadapi keadaan yang berubah-ubah dalam mencapai tujuan yang telah ditetapkan (Pichardo et al, 2014). Keterkaitan antara regulasi diri dengan perilaku cyberloafing yaitu individu cenderung mengontrol perilaku cyberloafing yang dapat mengganggu pekerjaannya apabila memiliki regulasi diri yang tinggi.

Dikarenakan regulasi diri yang tinggi membuat individu fokus pada rencana dan tujuan dalam bekerja sehingga cenderung dapat mengontrol diri dari hal-hal yang mengalihkan seperti perilaku cyberloafing. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi regulasi diri maka semakin rendah perilaku cyberloafing pegawai.

Kemudian, faktor lain yang dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing adalah stres kerja. Studi yang dilakukan oleh Arshad et al (2016) menunjukkan

bahwa tiga dimensi stres kerja memiliki hubungan positif dengan perilaku cyberloafing. Stres kerja merupakan tekanan yang individu rasakan dalam bentuk permintaan dan ketentuan yang dibebankan pada individu tersebut dari faktor pekerjaan dan organsasi (Blanchard & Henle, 2008). Dimensi stres kerja terdiri dari role ambiguity, role conflict dan role overload.

Ditinjau dari role ambiguity dimana seorang karyawan tidak mengetahui wewenangnya untuk mengambil suatu keputusan, tidak mengetahui apa yang diharapkan darinya, dan tidak mengetahui bagaimana ia akan dinilai, maka dia akan ragu-ragu dalam membuat keputusan dan akan menggunakan pendekatan coba-coba (trial and error) dalam memenuhi ekspektasi atasannya (Rizzo et al, dalam Blanchard & Henle, 2008). Dalam hal ini, apabila pegawai merasa bingung mengenai apa yang harus mereka kerjakan maka cenderung akan mengalihkankannya dengan melakukan perilaku cyberloafing. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi role ambiguity maka semakin tinggi pula perilaku cyberloafing pegawai.

Selanjutnya, ditinjau dari role conflict dimana adanya tuntutan yang bertentangan di tempat kerja, dapat berupa konflik tuntutan kerja dengan karyawan lain, tuntutan workgroups, kebijakan organisasi dan kewajiban kerja (Rizzo et al, dalam Blanchard & Henle, 2008). Maka sama halnya dengan role ambiguity, ketika pegawai merasakan role conflict, ia akan berusaha untuk mengatasinya dengan melakukan cyberloafing. Oleh karena itu, dapat diasumsikan bahwa semakin tinggi role conflict maka semakin tinggi pula perilaku cyberloafing pegawai.

Selanjutnya, ditinjau dari role overload yang merupakan permintaan organisasi untuk melakukan pekerjaan melebihi kemampuan karyawan itu sendiri (Caplan, dalam Blanchard & Henle, 2008). Role overload mempunyai pengaruh negatif pada cyberloafing, hal ini dikarenakan pegawai yang mengalami role

Selanjutnya, ditinjau dari role overload yang merupakan permintaan organisasi untuk melakukan pekerjaan melebihi kemampuan karyawan itu sendiri (Caplan, dalam Blanchard & Henle, 2008). Role overload mempunyai pengaruh negatif pada cyberloafing, hal ini dikarenakan pegawai yang mengalami role