• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Cyberloafing di Bank Sumut Cabang Utama

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Pengaruh Keadilan Organisasi terhadap Cyberloafing di Bank Sumut Cabang Utama"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

Bab ini berisikan teori mengenai kedua variabel, yaitu cyberloafing dan keadilan organisasi, yang mencakup definisi, aktivitas, dan faktor yang mempengaruhi cyberloafing, serta mencakup definisi dan dimensi dari keadilan organisasi. Bab ini juga berisikan dinamika antar kedua variabel penelitian serta hipotesis penelitian.

A. CYBERLOAFING

1. Pengertian Cyberloafing

Cyberloafing merupakan isu penting bagi perusahaan. Hal tersebut disebabkan karena cyberloafing adalah salah satu bentuk kegiatan yang dapat mengancam produktivitas karyawan. Terdapat beberapa istilah yang digunakan untuk menjelaskan istilah cyberloafing, seperti cyberslacking, non-work-related computing, cyber deviance, personal use at work, Internet abuse, workplace Internet leisure browsing, and junk computing (Vitak, Crouse, & LaRose, 2011).

(2)

(termasuk penerimaan dan pengiriman) e-mail pribadi sebagai penyalahgunaan internet.

Mastrangelo, Everton dan Jolton (2006) menjelaskan perilaku personal use of work computer yang melanggar norma organisasi baik informal maupun formal sebagai deviant computer use at work. Mereka membagi deviant computer use at work menjadi dua dimensi yang terpisah, yaitu aktivitas non-produktif dan aktivitas counterproductive. Aktivitas non-produktif merupakan aktivitas yang lebih umum dan biasanya terdiri dari penggunaan internet untuk koneksi sosial (misal: mengirim surel, atau chatting) atau aktivitas yang tidak berhubungan dengan pekerjaan (misal: mengunduh data, belanja online). Sedangkan aktivitas counterproductive mencakup perilaku yang tidak diterima secara sosial seperti judi, mengunduh pornografi dan melanggar dan melanggar kerahasiaan.

Menurut Blanchard dan Henle (2008), cyberloafing merupakan penggunakan email dan internet untuk tujuan pribadi saat bekerja. Blanchard dan Henle (2008) membagi cyberloafing menjadi dua tipe, yaitu minor dan serious cyberloafing. Minor cyberloafing merupakan bentuk perilaku cyberloafing yang ringan seperti mengakses internet untuk mengirim atau menerima email pribadi, mengunjungi situs berita, olahraga atau mengakses perbankan pribadi. Sedangkan serious cyberloafing mencakup segala aktivitas cyberloafing yang menyalahgunakan internet dan berpotensi ilegal seperti perjudian online, mengunduh musik, melihat situs dewasa/pornografi

(3)

suatu tindakan yang tidak pantas ataupun melanggar norma perusahaan. Mereka membagi cyberloafing atas tingkat keparahan dari cyberloafing itu sendiri. Minor cyberloafing yang dikemukakan oleh Blanchard dan Henle (2008) memiliki pengertian yang mirip dengan tipe aktivitas non-produktif yang dikemukakan oleh Mastrangelo, dkk (2006). Pengertian dari tipe cyberloafing tersebut berupa penggunaan internet yang bersifat lebih umum, seperti chatting atau membalas e-mail. Sejalan dengan itu, pengertian serious cyberloafing dengan aktivitas counterproductive juga memiliki makna yang sama, yaitu penggunaan internet yang melanggar norma dan berpotensi ilegal seperti judi, membuka situs porno, dan sebagainya.

Sedangkan Mills, Hu, Beldona, dan Clay (2001) dan Lim (2002) mengemukakan definisi yang memiliki makna serupa, yaitu kedua definisi tersebut menyatakan cyberloafing/cyberslacking sebagai penggunaan internet untuk tujuan pribadi di tempat kerja. Lim (2002) menyatakan bahwa cyberloafing biasanya hanya akan dilakukan karyawan ketika karyawan menganggap bahwa cyberloafing tidak akan membahayakan diri mereka sendiri dan organisasi. Sehingga karyawan akan melakukan kegiatan cyberloafing yang tidak melanggar norma sekitar mereka, seperti chatting, membuka situs entertainment, bermain game online, berbelanja online, dan sebagainya.

(4)

facebook, twitter, blog, belanja online, bermain game online, mencari berita atau entertaiment.

2. Aktivitas Cyberloafing

Lim dan Chen (2012) membagi cyberloafing menjadi dua aktivitas, yaitu: a. Browsing Activity

Aktivitas cyberloafing ini merupakan kegiatan yang termasuk mengunakan akses internet perusahaan untuk browsing hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan di tempat kerja. Salah satu contoh kegiatan browsing seperti mengakses berita olahraga, infotaimen, dan sosial media. b. Emailing Activity

Emailing merupakan kegiatan mengirim, menerima, dan memeriksa email yang tidak berkaitan dengan pekerjaan saat bekerja.

Jenis cyberloafing yang menjadi fokus penelitian ini ialah jenis yang dikemukakan oleh Lim dan Chen (2012), yaitu aktivitas browsing dan emailing. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Blanchard dan Henle (2008) yang menyatakan bahwa aktivitas browsing dan emailing merupakan hal umum yang sering dilakukan oleh karyawan di tempat kerja.

3. Faktor yang Mempengaruhi Cyberloafing

(5)

a. Faktor Individual

Terdapat beberapa faktor individual yang dapat mempengaruhi cyberloafing, yaitu:

1) Persepsi dan Sikap

Individu yang memiliki sikap positif terhadap pemakaian komputer lebih mungkin menggunakan komputer kantor untuk alasan pribadi dan terdapat hubungan positif antara sikap mendukung terhadap cyberloafing dengan cyberloafing (Liberman, dkk, 2011). Individu yang merasa bahwa penggunaan internet menguntungkan bagi performa kerja mereka lebih mungkin terlibat dalam cyberloafing (Vitak, Crouse & Larouse, 2011). 2) Sifat/Trait Pribadi

Perilaku dari pengguna internet dapat menggambarkan berbagai motif psikologis dari individu tersebut (Johnson and Culpa, 2007). Trait pribadi seperti shyness (rasa malu), loneliness (kesepian), isolation (isolasi), self-control (kontrol diri), self-esteem (harga diri) dan locus of control mungkin dapat mempengaruhi bentuk penggunaan internet.

3) Kebiasaan dan Adiksi Internet

(6)

4) Faktor Demografis

Garrett dan Danziger (2008) menemukan bahwa status pekerjaan, persepsi otonomi di tempat kerja; tingkat pendapatan, pendidikan, dan jenis kelamin merupakan prediktor yang signifikan dari cyberloafing.

5) Keinginan untuk Terlibat, Norma Sosial dan Kode Etik Personal

Ditemukan bahwa persepsi seseorang mengenai pentingnya larangan etika dalam hal cyberloafing secara negatif terkait dengan penerimaan perilaku, dan berhubungan positif dengan keinginan seseorang untuk terlibat dalam penyalahgunaan. Selain itu, keyakinan normatif individu (yaitu, pandangan negatif mengenai cyberloafing) mengurangi keinginan seseorang untuk terlibat dalam cyberloafing. (Vitak, dkk, 2011).

b. Faktor Organisasi

Terdapat beberapa faktor organisasi yang dapat mempengaruhi karyawan untuk melakukan cyberloafing. Beberapa faktor organisasi tersebut yaitu: 1) Pembatasan Penggunaan Internet

(7)

lebih berat bagi perilaku menyimpang di tempat kerja lebih cenderung tidak terlibat dalam perilaku cyberloafing (Vitak, dkk, 2011).

2) Hasil yang Diharapkan

Penelitian menemukan bahwa karyawan cenderung tidak melakukan kegiatan yang mereka anggap memiliki konsekuensi negatif yang serius bagi organisasi mereka dan menyakiti kepentingan pribadi mereka (Lim & Teo 2005; Blanchard & Henle, 2008; Lim & Chen, 2012; Vitak dkk, 2011; Woon & Pee, 2004).

3) Dukungan Manajerial

Dukungan manajerial terhadap penggunaan internet saat bekerja tanpa menjelaskan bagaimana menggunakan internet dengan jelas malah dapat meningkatkan penggunaan internet karyawan baik untuk tujuan bisnis maupun untuk tujuan pribadi. Dukungan ini dapat disalahartikan oleh karyawan sebagai sebuah dukungan terhadap segala tipe penggunaan internet, sehingga memunculkan cyberloafing. Diperkirakan bahwa ketika penggunaan internet menjadi semakin rutin bagi karyawan, maka karyawan akan cenderung melakukan cyberloafing, terutama karena penelitian telah menunjukkan bahwa keyakinan tentang penggunaan teknologi dapat dipengaruhi oleh komitmen manajerial dari perusahaan itu sendiri (Liberman dkk, 2011).

4) Pandangan Rekan Kerja mengenai Norma Cyberloafing

(8)

cyberloafing. Blau (2006) menyatakan bahwa karyawan melihat rekan kerjanya sebagai role model dalam organisasi dan menyebabkan cyberloafing ini dipelajari dengan meniru perilaku yang dilihatnya dalam lingkungan organisasi (Liberman dkk, 2011).

5) Sikap Kerja Karyawan

Cyberloafing sebagai perilaku penyimpangan kerja telah terbukti merupakan respon emosional atas pengalaman kerja yang tidak menyenangkan, oleh karena itu dapat dikatakan bahwa sikap kerja karyawan dapat memengaruhi cyberloafing (Liberman dkk, 2011). Penelitian sebelumnya telah menemukan bukti empiris yang menunjukkan bahwa karyawan lebih mungkin untuk terlibat dalam perilaku menyimpsng ketika mereka miliki sikap kerja yang kurang baik (Garrett dan Danziger, 2008). Terdapat tiga sikap kerja karyawan, yaitu:

a) Injustice (Ketidakadilan)

Lim (2002) menemukan ketiga bentuk keadilan organisasi berpengaruh secara negatif terhadap cyberloafing dan menemukan bahwa ketika karyawan mempersepsikan dirinya berada dalam ketidakadilan dalam bekerja, maka salah satu caranya untuk menyeimbangkan hal tersebut adalah dengan melakukan cyberloafing. b) Komitmen Kerja

(9)

c) Kepuasan Kerja

Hasil penelitian menunjukkan bahwa karyawan yang memiliki kepuasan kerja tinggi memiliki perasaan lebih positif terhadap penyalahgunaan internet. Dalam studi tindak lanjut, beberapa responden mengungkapkan bahwa mereka melihat penggunaan internet untuk tujuan pribadi sebagai kegiatan yang dapat membantu meringankan stres kerja (Woon & Pee, 2004). Namun terdapat penelitian yang menyatakan jika kepuasan menurun, kemungkinan untuk terlibat dalam cyberloafing meningkat (Vitak, dkk, 2011). Sedangkan Garrett dan Danziger (2007) tidak menemukan hubungan antara kepuasan kerja dan cyberloafing.

6) Karakteristik Pekerjaan

Studi skala yang lebih kecil menemukan efek positif dari cyberloafing, penelitian tersebut menunjukkan bahwa menghabiskan waktu mengerjakan hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan dapat mengurangi kebosanan, kelelahan, atau stres, kepuasan kerja yang lebih besar atau kreativitas, meningkatkan dalam kesejahteraan, rekreasi dan pemulihan, dan karyawan secara keseluruhan menjadi lebih bahagia.

c. Faktor Situasional

(10)

bahwa kedekatan jarak secara fisik dengan supervisor secara tidak langsung dapat mempengaruhi perilaku cyberloafing. Hal ini dipengaruhi oleh persepsi karyawan terhadap kontrol organisasi.

Dari uraian mengenai faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku cyberloafing di atas, penelitian ini hanya akan berfokus pada faktor organisasi yaitu sikap kerja karyawan khususnya pada bagian keadilan organisasi sebagai salah satu variabel penelitian.

B. KEADILAN ORGANISASI

1. Pengertian Keadilan Organisasi

Keadilan organisasi pertama sekali berkembang melalui teori relative deprivation oleh Stouffer, Suchman, DeVinney, Star, dan Williams (1949). Stouffer, dkk menyatakan bahwa reaksi seseorang terhadap suatu hasil (outcome) akan tergantung pada bagaimana perbandingan hasil yang dihasilkan oleh individu dengan hasil orang lain. Setelah adanya penelitian yang dilakukan oleh Stouffer, dkk, kemudian muncul beberapa teori mengenai keadilan antara lain, teori pertukaran sosial oleh Homans (1961), teori role of expectation oleh Blau (1964), dan teori equity oleh Adams (1963) mengenai keadilan khususnya keadilan distributif.

(11)

orang lain maupun diri mereka sendiri di masa lalu. Teori equity dari Adams berfokus pada penjelasan mengenai konsekuensi ketika ketidakadilan (inequity) terjadi. Teori ini menyatakan bahwa ketidakadilan yang dirasakan seseorang dapat memunculkan ketegangan psikologis serta distress yang membuat seseorang melakukan sesuatu untuk mengembalikan keadilan tersebut (Adams, 1963).

Keadilan organisasi berkaitan dengan bagaimana para pekerja menyimpulkan apakah mereka telah diperlakukan secara adil dalam pekerjaannya dan bagaimana kesimpulan tersebut kemudian dapat mempengaruhi variabel-variabel lain yang berhubungan dengan pekerjaan (Moorman, 1991). Colquitt (2001) menggunakan definisi Greenberg dalam menjelaskan mengenai keadilan organisasi, Greenberg (1990) menyatakan bahwa keadilan organisasi ialah persepsi karyawan tentang keadilan dalam organisasi, yang terkait dengan cara-cara yang tepat untuk mendistribusikan hasil dan tentang memperlakukan orang lain dengan baik.

(12)

Definisi yang dikemukakan oleh Moorman (1991) dan Greenberg (1990) memiliki arti yang serupa bahwa keadilan organisasi merupakan persepsi karyawan mengenai keadilan dalam perusahaan baik dalam hal proses pembuatan keputusan maupun hasil dari keputusan tersebut. Sedangkan definisi keadilan organisasi menurut Cropanzano, dkk (2007) melihat pentingnya hubungan anggota dengan organisasi yang di dalam keadilan organisasi itu sendiri terdiri dari moral dan etika yang dianggap sesuai oleh karyawan.

Berdasarkan uraian dari definisi diatas, keadilan organisasi adalah suatu persepsi atau anggapan karyawan mengenai keadilan di dalam organisasi yang mencakup keadilan dari pembagian hasil ataupun keadilan dalam pembuatan keputusan, keadilan dalam hubungan dengan atasan atau rekan kerja, serta keadilan dalam cara pemberian informasi yang sesuai bagi karyawan di dalam perusahaan.

2. Dimensi Keadilan Organisasi

(13)

Greenberg (1993) menyatakan bahwa keadilan organisasi memiliki empat dimensi, yaitu distributif, prosedural, interpersonal dan informasional.

Terdapat beberapa penelitian sebelumnya yang hanya menggunakan satu atau dua dimensi keadilan organisasi (Niehoff, Moorman, 1993; Cohen, White, Sanders, 2000). Dan terdapat pula penelitian yang menggunakan tiga dimensi keadilan organisasi, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, dan keadilan interaksional (Skarlicki, Folger, 1997; Lim, 2002).

Karena adanya ketidakjelasan mengenai dimensi keadilan organisasi, Colquitt (2001) melakukan sebuah penelitian mengenai dimensi dari keadilan organisasi tersebut. Dalam penelitiannya Colquitt (2001) menggunakan empat dimensi keadilan organisasi yang sesuai dengan dimensi yang dikemukakan Greenberg (1993). Hasil penelitian tersebut menemukan bahwa keadilan organisasi lebih baik ketika diukur dengan menggunakan empat dimensi dibandingkan dengan menggunakan dua atau tiga dimensi.

Berdasarkan hasil penelitian tersebut, penelitian ini menggunakan empat dimensi yang dikemukakan oleh Colquitt (2001), yaitu:

1) Keadilan Distributif

(14)

Adams (1963) menyatakan ketika seseorang memiliki rasio hasil/masukan jauh dibawah rasio perbandingan orang lain, maka ia dapat dikatakan mengalami underpayment inequity. Sedangkan ketika seseorang memiliki rasio hasil/masukan yang berlebihan dibandingkan orang lain, maka ia dikatakan mengalami overpayment inequity. Homans (1961) mengemukakan bahwa ketika seseorang mengalami underpayment inequity, cenderung menghasilkan rasa marah dan seseorang yang mengalami overpayment inequity dapat menghasilkan rasa bersalah.

Teori equity memandang keadilan distributif (disebut dengan equity) sebagai istilah dalam mempersepsikan rasio hasil dan masukan yang diterima oleh individu (Greenberg & Colquitt, 2005). Hasil (outcome) adalah hal yang berkaitan dengan gaji, penghargaan, supervisi yang memuaskan, keuntungan dari senioritas, status pekerjaan dan berbagai insentif baik formal maupun informal. Sedangkan masukan (input) termasuk didalamnya pendidikan, intelegensi, pengalaman, pelatihan, keterampilan, senioritas, usia, jenis kelamin, latar belakang etnis, status sosial, serta segala upaya yang dikeluarkan individu dalam pekerjaannya. Keadilan distributif muncul ketika hasil (outcome) konsisten dengan norma-norma untuk alokasi, seperti ekuitas atau kesetaraan (Colquitt, 2001).

Berikut ini akan dipaparkan beberapa indikator dari keadilan distributif (Colquitt, 2001):

(15)

b. Persamaan (Equality): Menyediakan kompensasi yang sama bagi setiap karyawan

c. Kebutuhan (Need): Menyediakan keuntungan berdasarkan pada kebutuhan personal seseorang

2) Keadilan Prosedural

Selain keadilan distributif, dimensi lain dari keadilan organisasi ialah keadilan prosedural. Keadilan prosedural ini muncul melalui suara selama proses pengambilan keputusan atau pengaruh atas hasil (Thibaut & Walker, 1975). Lind dan Tyler (1988) menyatakan keadilan prosedural merupakan persepsi karyawan mengenai proses dan prosedur yang digunakan untuk membuat keputusan yang mengarah kepada hasil. Terdapat 6 aturan keadilan prosedural yang mendefinisikan kriteria dimana prosedur pengalokasian dianggap adil (Leventhal, 1980; Colquitt, 2001; Cropanzano dkk, 2007) adalah:

a.Konsistensi : Prosedur yang adil harus konsisten pada setiap karyawan b.Minimalisasi bias : Kepentingan-kepentingan pribadi harus dicegah dalam

proses pengalokasian.

(16)

d.Dapat diperbaiki : Kesempatan harus ada untuk memperbaiki proses alokasi. Prosedur yang adil mengandung aturan yang bertujuan untuk memperbaiki kesalahan yang ada ataupun kesalahan yang mungkin akan muncul.

e.Representatif : Prosedur dikatakan adil bila sejak awal ada upaya untuk melibatkan semua pihak yang bersangkutan. Meskipun keterlibatan yang dimaksudkan dapat disesuaikan dengan sub-sub kelompok yang ada,secara prinsip harus ada penyertaan dari berbagai pihak sehingga akses untuk melakukan kontrol juga terbuka.

f.Etis : Prosedur yang adil harus sesuai dengan moral dan nilai- nilai etika atau sebuah aturan yang disepakati bersama. Dengan kata lain, bila berbagai hal diatas terpenuhi namun tidak sesuai dengan etika, maka belum bisa dikatakan adil.

3) Keadilan Interpersonal

(17)

keadilan interpersonal berkaitan dengan persepsi proses komunikasi antara atasan dan bawahan.

Colquitt (2001) mengemukakan dua indikator bagi keadilan interpersonal, yaitu:

a. Respect

Pihak otoritas sebaiknya memperlakukan bawahan dengan tulus dan bermartabat dan menahan diri untuk tidak bertindak kasar dan menyerang bawahan.

b. Propriety

Pihak otoritas sebaiknya menahan diri untuk tidak menyatakan pernyataan yang mengandung prasangka dan menghindari untuk bertanya mengenai pertanyaan yang tidak sesuai seperti, ras, etnis, agama, dan lain-lain.

4) Keadilan Informasional

(18)

(1987) mendeskripsikan keadilan informasi sebagai persepsi apakah pihak yang menentukan keputusan telah memberikan penjelasan mengenai outcomes yang mempengaruhi individu.

Berikut merupakan indikator dari keadilan informasional (Colquitt, 2001; Greenberg & Colquitt, 2005):

a. Truthfulness

Pihak otoritas sebaiknya berkomikasi secara terbuka, jujur, dan terus terang dalam mengimplementasikan prosedur pembuatan keputusan dan berusaha untuk menghindari munculnya kecurangan.

b. Justification

Pihak otoritas sebaiknya memberikan penjelasan yang memadai dan jelas mengenai hasil dari pembuatan keputusan.

(19)

C. DINAMIKA PENGARUH KEADILAN ORGANISASI TERHADAP

CYBERLOAFING

Menurut Lim (2002), cyberloafing merupakan salah satu bentuk dari penyimpangan kerja, yaitu penyimpangan produksi kerja. Salah satu penyebab terjadinya penyimpangan kerja ialah faktor keadilan organisasi (Bennett & Robinson, 2000; Fox, Spector, & Miles, 2001). Hal tersebut disebabkan adanya suatu gagasan mengenai keadilan retributif, yang menyatakan ketika seseorang memberikan perlakuan tidak adil kepada orang lain, maka orang tersebut pantas untuk dihukum agar dapat mengembalikan keseimbangan dalam keadilan (Carlsmith, Darley, & Robinson, 2002; Okimoto, Wenzel, & Feather, 2009). Sehingga memungkinkan karyawan untuk melakukan perilaku menyimpang yang dapat merugikan perusahaan, seperti cyberloafing, pada saat karyawan merasakan adanya ketidakadilan di tempat kerja.

(20)

negatif, salah satunya seperti penyalahgunaan internet di perusahaan (Zoghbi, 2009).

Jika dikaitkan langsung dengan cyberloafing, berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Ogut, dkk (2013) menyatakan bahwa keadilan organisasi berpengaruh negatif terhadap cyberloafing, dengan kata lain ketika karyawan merasa bahwa organisasi tidak adil maka dapat memungkinkan karyawan untuk melakukan cyberloafing. Penelitian tersebut menyatakan bahwa cyberloafing merupakan salah satu cara negatif yang dilakukan karyawan untuk mengatasi ketidakadilan di tempat kerja. Hal tersebut hampir sama dengan melakukan coffee break pada saat jam kerja, melakukan panggilan pribadi, atau mengobrol dengan rekan kerja.

Greenberg (1993) membagi keadilan organisasi menjadi empat dimensi, yaitu keadilan distributif, keadilan prosedural, keadilan interpersonal dan keadilan informasional. Ditinjau berdasarkan keadilan distributif, ketidakadilan yang dirasakan karyawan pada dimensi ini dapat memunculkan reaksi tertentu, salah satu reaksinya adalah dapat memicu rasa marah atau reaksi yang tidak menyenangkan (Homans, 1961) Sehingga karyawan yang merasakan ketidakadilan dalam hal imbalan di tempat kerja, dapat memunculkan reaksi negatif yang mengarah pada organisasi. Sesuai dengan pernyataan Ogut, dkk (2013) bahwa salah satu reaksi negatif yang dapat dilakukan karyawan untuk mengatasi ketidakadilan ialah dengan melakukan cyberloafing.

(21)

interaksional yang merupakan gabungan antara keadilan interpersonal dan keadilan informasional. Penelitian tersebut menemukan bahwa keadilan interaksional memiliki pengaruh terhadap perilaku withdrawal di tempat kerja, yang merupakan salah satu bentuk dari counterproductive work behavior (CWB). Dengan itu dapat dikatakan bahwa karyawan yang merasakan ketidakadilan interaksional (interpersonal dan informasional) lebih mungkin untuk melakukan bentuk perilaku dari CWB, seperti cyberloafing.

Secara keseluruhan, tindakan seperti CWB dan cyberloafing yang dilakukan karyawan tidak harus dibedakan berdasarkan dimensi dari keadilan organisasi (Cohen-Charash & Spector, 2001). Pada penelitian ini, secara keseluruhan dimensi keadilan organisasi diasumsikan mempengaruhi cyberloafing yang dilakukan karyawan.

D. HIPOTESA PENELITIAN

Referensi

Dokumen terkait

Menurut Ahmad Isnanto sebagai Branch Operating Manager PT Mandala Finance tbk cabang Bangka, Usaha Dagang Kaset Riski dinyatakan layak mendapatkan pinjaman kredit Modal

Langkah-langkah pelaksanaan perbaikan siklus II meliputi: (1) guru mengkondisikan peserta didik dengan salam dan berdo ’ a, (2) mengabsen kehadiran peserta didik,

Untuk pembuatan halaman situs digunakan script server side PHP (Personal Home Page) agar informasi pada situs dapat diakses melalui jaringan internet ataupun pada server

[r]

Beberapa prinsip yang tercantum dalam al-Qur’an tentang penataan dan penerapan hukum Islam, menegaskan bahwa orang Islam pada dasarnya diperintahkan supaya taat kepada Allah

4.2.2 Analisis Dampak Pembangunan Infrastruktur Bidang Cipta Karya Terhadap Ekonomi Lokal Masyarakat Kabupaten Kutai Barat.. Penyediaan perumahan terbesar masih

Aturan baru yang ditambahkan ke dalam double propagation adalah jika terdapat pronoun yang memiliki tag dependency berupa nsubj atau amod dengan suatu kata sifat (adjective), maka

Analisisdengan TG-DTA ( Thermogravimetry – Differential Thermal Analysis