• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN

E. Manfaat

Penelitian ini dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak, yaitu:

1. Untuk dunia akademik penelitian ini diharapkan dapat menjadi referensi atau sumber dan bahan masukan bagi penulis lain untuk menggali dan melakukan penelitian tentang pariwisata dalam hal gaya hidup.

2. Penelitian ini bermanfaat bagi pengelola maupun pemilik Mandala Suci Wenara Wana (Monkey Forest) dan Museum ARMA dalam mengetahui aspek – aspek yang dapat mendukung untuk meningkatkan minat wisatawan unntuk berkunjung sehingga pengelola dapat mengelola dan membentuk target pasar yang tepat untuk menentukan media promosi.

3. Penelitian ini bermanfaat bagi konsumen dalam hal menarik minat wisatawan untuk mengunjungi wisata alam dan wisata buatan seperti museum yang ada di Bali.

12 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

A. Konsep dan Teori 1. Segmentasi

Sementasi adalah membagikan pasar dalam kelompok yang mempunyai karakteristik yang sama. Segmentasi menurut beberapa tokoh pemasaran:

Segmentasi pasar adalah membagi – bagi pasar ke dalam segmen – segmen, mengidentifikasi dan membuat profil dari kelompok – kelompok pembeli yang memiliki kebutuhan dan menginginkan bauran produk dan jasa yang beragam, dengan meneliti perbedaan demografis, psikografis, dan perilaku di antara pembeli, sehingga tugas pemasar yaitu mengidentifikasi jumlah dan sifat segmen pasar yang sesuai dan memutuskan kelompok manayang akan ditargetkan Kotler dan Keller (2016:268).

Menurut Mowen dan Minor (2002:46) segmentasi pasar didefinisikan sebagai pemilahan pasar menjadi subbagian konsumen yang memiliki kebutuhan dan keinginan yang hampir sama, di mana setiap subbagian dapat dijangkau dengan bauran pemasaran yang berbeda.

Kasali (1998:26) mengemukakan bahwa dalam kegiatan bisnis segmentasi pasar digunakan untuk memilih pasar sasaran, mencari peluang, menggerogoti segmen pemimpin pasar, merumuskan pesan – pesan komunikasi, melayani lebih baik, menganalisis perilaku konsumen, mendesain produk, dan lain sebagainya.

Dari pernyataan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa segmentasi pasar adalah pengelompokkan pasar ke dalam segmen – segmen yang memiliki karakteristik yang sama seperti, kebutuhan dan keinginan dengan bauran pemasaran yang berbeda – beda.

Pengetahuan tentang keberadaan segmen – segmen pasar diharapkan bisa memberikan pandangan bahwa wisatawan mempunyai karakteristik masing – masing, dan sebuah tujuan wisata bisa memilih dan menyasar kelompok wisatawan yang dipandang paling menguntungkan (Dewi, 2011:23). Strategi pemasaran yang dapat dibuat meliputi pengembangan tempat dan aktivitas wisata, akomodasi, akses ke tujuan – tujuan wisata, sarana – sarana pendukung pariwisata, dan juga komunikasi pemasaran pariwisata yang efektif dan efisien.

a. Segmentasi Demografis

Segmentasi demografis yaitu membagi pasar menjadi kelompok – kelompok berdasarkan variabel seperti usia, ukuran keluarga, siklus hidup keluarga, jenis kelamin, penghasilan, pekerjaan, pendidikan,

agama, ras, generasi, kebangsaan, dan kelas sosial (Kotler dan Keller, 2016:271). Dasar pengelompokkan secara demografis merupakan dasar pengelompokkan pasar yang paling popular dan yang paling mudah diukur, karena kebutuhan dan selera konsumen memang sangat dipengaruhi oleh karakteristik demografisnya (Dewi, 2011:24).

Karakteristik demografis dianggap sebagai dasar pengelompokkan yang sangat berarti dan terpasang dengan kuat (embedded) dalam semua riset pemasaran (Dewi, 2011:25).

b. Segmentasi Psikografis

Segmentasi psikografis yaitu membagi pasar menjadi kelompok berdasarkan sifat psikologis/kepribadian, gaya hidup, atau nilai (Kotler dan Keller, 2016:280). Segmentasi berbasis karakteristik psikografis menghasilkan kelompok – kelompok wisatawan yang mempunyai ‘gaya, cara, dan selera’ berwisata yang berbeda (Dewi, 2011:26). Karakteristik psikografis bisa dianggap sebagai gaya hidup dan nilai yang dianut seseorang, dan akan menentukan preferensi dan cara menikmati suatu produk atau jasa (Dewi, 2011:26).

1) Model Psikografis Plog

Plog (1991) mengatakan bahwa terdapat 5 (lima) jenis kepribadian yaitu, psychocentric, near psychocentric, mid-centric, near allocentric, dan allocentric. Plog (1991:66) Karakteristik

psychocentric adalah wisatawan yang berkepribadian sangat tergantung, tertutup, dan kurang melakukan pergerakan, kelompok ini dapat dikenali sebagai berikut:

a) Lebih menyukai hal – hal yang sudah terkenal, baik sebuah produk, maupun tempat wisata.

b) Memiliki kekhawatiran yang lebih, berhati – hati, dan kurang eksplorasi.

c) Cenderung mengunjungi destinasi wisata yang sudah pernah dikunjungi.

d) Tingkat kepercayaan diri yang rendah.

e) Cenderung menyukai perjalanan yang dilakukan secara kelompok atau bersama keluarga.

f) Lebih menyukai sarana akomodasi dengan fasilitas standar atau lengkap.

g) Aktivitas yang banyak dilakukan seperti rekreasi, melihat pemandangan alam, dan berfoto-foto.

h) Motivasi berwisata yaitu untuk melepas kejenuhan, menghabiskan waktu luang, dan bersenang-senang.

Sedangkan karakteristik Allocentric adalah wisatawan yang memiliki kepribadian akktif, inovatif, dan memiliki mobilitas tinggi, kelompok ini dapat dikenali sebagai berikut:

a) Ramah dan percaya diri yang tinggi.

b) Lebih eksploratif, memiliki rasa ingin tahu yang tinggi, dan berjiwa petualang.

c) Lebih menyukai hal – hal baru yang bersifat menantang dan alami.

d) Suka mengunjungi destinasi wisata yang baru, alami, dan belum banyak dikunjungi orang.

e) Lebih menyukai perjalanan yang dilakukan secara individual.

f) Lebih suka menggunakan sarana akomodasi yang sederhana.

g) Motivasi berwisata yaitu ingin memperoleh pengalaman baru.

h) Sering melakukan perjalanan wisata karena memandangnya sebagai kebutuhan.

i) Lebih menyukai souvenir otentik yang terbuat dari bahan dan seni budaya lokal.

Gambar II.1 Model Psikografis Plog

Sumber: www.slideplayer.com diakses pada 18 November 2019

2. Motivasi

Motivasi adalah hasrat atau keinginan untuk memenuhi suatu kebutuhan tertentu. Menurut Mowen dan Minor (2002:205) motivasi adalah keadaan yang diaktivasi atau digerakkan di mana seseorang mengarahkan perilaku berdasarkan tujuan. Hal ini termasuk “dorongan, keinginan, harapan, atau hasrat” (Mowen dan Minor, 2002:206).

Pengenalan kebutuhan akan menyebabkan tekanan (tension) kepada konsumen sehingga adanya dorongan pada dirinya (drive state) untuk melakukan tindakan yang bertujuan (goal-directed behavior)

(Sumarwan, 2011:24). Menurut Abraham Maslow yang di kutip oleh Kotler dan Keller (2016:188) orang didorong oleh kebutuhan tertentu pada waktu tertentu karena kebutuhan manusia diatur dalam hierarki dari yang paling menekan sampai yang paling tidak menekan–

kebutuhan psikologis, kebutuhan keamanan, kebutuhan sosial, kebutuhan akan penghargaan, dan kebutuhan aktualisasi diri.

Teori Abraham Maslow yang dikutip oleh Sumarwan (2011:26—

29) menjelaskan setiap kebutuhan manusia sebagai berikut:

a. Kebutuhan Fisiologis (Physiological Needs)

Kebutuhan fisiologis adalah kebutuhan dasar manusia, yaitu kebutuhan tubuh menusia untuk mempertahankan hidup.

Kebutuhan tersebut meliputi makanan, air, udara, rumah, pakaian, dan seks.

b. Kebutuhan Rasa Aman (Safety Needs)

Kebutuan rasa aman merupakan kebutuhan perlindungan bagi fisik manusia.

c. Kebutuhan Sosial (Social Needs atau Belonginess Needs)

Kebutuhan sosial berdasarkan kepada perlunya manusia berhubungan satu dengan yang lainnya.

d. Kebutuhan Ego (Egoistic or Esteem Needs)

Kebutuhan ego yaitu kebutuhan untuk berprestasi sehingga mencapai derajat yang lebih tinggi dari yang lainnya.

e. Kebutuhan Aktualisasi Diri (Need for Self-Actualization)

Kebutuhan aktualisasi diri adalah keinginan dari seorang individu untuk menjadikan dirinya sebagai orang yang terbaik sesuai dengan potensi dan kemampuan yang dimilikinya.

Gambar II.2 Model Hierarki Kebutuhan Teori Maslow Sumber: Sumarwan (2011:27)

1) Macam – macam Motivasi Perjalanan

a) Dilihat dari kelompok motivasi perjalanan (Mc Intosh:1977; dalam Hayati, 2013:5)

(1) Physiological Motivation (motivasi yang bersifat fisik atau fisiologis), antara lain untuk relaksasi,

Aktualisasi Diri (Sukses, Kuasa) Kebutuhan Ego (Status, Percaya Diri,

Harga)

Kebutuhan Sosial (Dihormati, Berteman, Rasa Memiliki)

Kebutuhan Rasa Aman dan Keamanan (Perlindungan, Peraturan, dan UU)

Kebutuhan Fisiologis (Makanan, Air, Udara, Sex)

kesehatan, kenyamanan, berpartisipasi dalam kegiatan olahraga, bersantai, dan lain – lain.

(2) Cultural Motivation (motivasi budaya), yaitu keinginan untuk mengetahui budaya, adat, tradisi, dan kesenian daerah lain, termasuk juga ketertarikan akan berbagai objek tinggalan budaya (monumen bersejarah).

(3) Social Motivation atau Interpersonal Motivation (motivasi yang bersifat sosial), seperti mengunjungi teman dan keluarga, menemui mitra kerja, melakukan hal – hal yang di anggap mendatangkan gengsi (nilai prestige), melakukan ziarah, dan pelarian dari situasi – situasi membosankan.

(4) Fantasy Motivation (motivasi karena fantasi), yaitu adanya fantasi bahwa di daerah lain seseorang akan bisa lepas dari rutinitas keseharian yang menjemukan (Pitana, 2005:59).

b) Dilihat dari motivasi yang mendorong seseorang melakukan perjalanan (McIntosh dalam Antariksa, 2011:1-2) adalah sebagai berikut:

(1) Pleasure (bersenang-senang), dengan tujuan

“melarikan diri” untuk sementara dari rutinitas sehari – hari.

(2) Relaxation, rest and recreation (beristirahat untuk menghilangkan stress), dengan tujuan untuk menjaga kesehatan tubuh dan pikiran. Dilakukan dengan mengunjungi lingkungan yang berbeda dengan yang dilihatnya sehari-hari, di mana lingkungan tersebut memberikan kesan damai dan menyehatkan.

(3) Health (kesehatan), yaitu berkunjung ke tempat-tempat yang dapat membantu menjaga kesehatan atau menyembuhkan penyakit.

(4) Participation in sports (olahraga yang bersifat rekreasi)

(5) Curiousity and culture (rasa ingin tahu dan motivasi yang berkaitan dengan kebudayaan), keinginan untuk melihat destinasi pariwisata yang memiliki nilai sejarah dan budaya yang sangat tinggi atau yang menyelenggarakan aktivitas budaya yang sangat penting.

(6) Ethnic and family (kesamaan etnik dan kunjungan kepada keluarga), khusus berkaitan dengan kesamaan etnik, orang dapat termotivasi untuk mengunjungi suatu tempat karena dianggap sebagai tempat tinggal kelahiran nenek moyangnya.

(7) Spiritual and religious (alasan yang bersifat spiritual dan keagamaan)

(8) Status and prestige (menunjukkan status sosial dan gengsi), dengan tujuan untuk menunjukkan kepada orang lain bahwa seseorang memiliki status sosial dan gengsi yang tinggi karena berwisata ke suatu destinasi pariwisata tertentu.

(9) Professional or business (melakukan aktivitas yang berkaitan dengan profesi/pekerjaan), misalnya aktivitas menghadiri suatu sidang atau konferensi.

c) Kategori Motivasi, menurut Mc Intosh, Goeldner dan Ritchie (1995) dalam Sayangbatti, (2013), motivasi di bagi ke dalam 4 kategori, yaitu:

(1) Motivasi Fisik, berkaitan dengan penyegaran tubuh dan pikiran, tujuan kesehatan, olahraga, dan

kesenangan. Aktivitas yang dilakukan untuk mengurangi tekanan yang dihadapi sehari – hari.

(2) Motivasi Budaya, keinginan untuk melihat dan mengetahui lebih banyak tentang budaya lain, untuk mencari tahu tentang penduduk asli suatu negara, gaya hidup, musik, seni, cerita rakyat, tari, dan lain – lain.

(3) Motivasi Interpersonal, keinginan untuk bertemu orang baru, mengunjungi teman atau kerabat, dan mencari pengalaman baru dan berbeda.

(4) Motivasi Status dan prestise, keinginan untuk melanjutkan pendidikan, peduli dengan keinginan untuk pengakuan dan perhatian dari orang lain, dalam rangka untuk meningkatkan ego pribadi.

d) Faktor Pendorong Motivasi Berwisata (Ryan, 1991 dalam Hayati, 2013:5-6)

(1) Escape, ingin melepaskan diri dari lingkungan yang dirasakan menjemukkan atau kejenuhan dari pekerjaan sehari – hari.

(2) Relaxation, keinginan untuk rekuperasi atau penyegaran yang juga berhubungan dengan motivasi escape.

(3) Play, ingin menikmati kegembiraan, melalui berbagai permainan yang merupakan permunculan kembali dari sifat kekanak – kanakan dan melepaskan diri sejenak dari berbagai urusan yang serius.

(4) Strengthening family bonds, ingin mempererat hubungan kekerabatan, khususnya dalam konteks VFR (Visiting Friends and Relatitions).

Keakraban hubungan kekerabatan ini juga terjadi di antara anggota keluarga yang melakukan perjalanan bersama – sama, karena kebersamaan sangat sulit diperoleh dalam suasana kerja sehari – hari di negara industri.

(5) Prestige, untuk menunjukkan gengsi dengan mengunjungi destinasi yang menunjukkan kelas dan gaya hidup yang juga merupakan dorongan untuk meningkatkan status atau derajat sosial.

(6) Social interaction, untuk dapat melakukan interaksi sosial dengan teman sejawat atau dengan masyarakat lokal yang dikunjungi.

(7) Romance, keinginan untuk memenuhi kebutuhan seksual, khususnya dalam pariwisata seks.

(8) Educational opportunity, keinginan untuk melihat sesuatu yang baru, mempelajari orang lain atau daerah lain, atau mengetahui kebudayaan etnis lain.

(9) Self – fulfilment, keinginan untuk menemukan diri sendiri (self discovery).

(10) Wish – fulfilment, keinginan untuk merealisasikan mimpi – mimpi yang lama dicita – citakan (dorongan yang kuat dari dalam diri).

3. Pariwisata

a. Pengertian Pariwisata

Menurut Undang – undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 1, pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan di dukung berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,

Pemerintah, dan Pemerintah Daerah. Spillane (1987:21) mengemukakan pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam, dan ilmu. Wisatawan merupakan orang yang melakukan perjalanan wisata. Wisatawan berkunjung ke suatu destinasi pariwisata karena mencari pengalaman dan kepuasan yang bersifat psikis dan fisik (Antariksa, 2012:1).

Antariksa (2012:3) mengemukakan bahwa kepariwisataan pada dasarnya adalah sebuah konsep abstrak yang merupakan gabungan dari berbagai unsur pendukung dan membentuk sebuah sistem. Para pemangku kepentingan dalam industri kepariwisataan sudah memahami bahwa sektor ini tidak akan dapat berjalan dengan sendirinya tanpa dukungan dari berbagai sektor lain.

b. Pariwisata yang Berkelanjutan

Pembangunan berkelanjutan adalah pembangunan yang memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka.

Pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan adalah pembangunan berkelanjutan yang dicapai melalui kepariwisataan

(Dewi, 2011:6). Pembangunan pariwisata yang berkelanjutan dicapai dengan menyeimbangkan ketiga elemen utama dalam pembangunan pariwisata yang berkelanjutan yaitu lingkungan, ekonomi, dan sosial (Dewi, 2011:6).

Menurut Antariksa (2012:5) pembangunan kepariwisataan yang berkelanjutan, yaitu yang menjadikan bahwa keuntungan yang optimal akan diperoleh secara berkelanjutan, hanya dapat diwujudkan dengan pendekatan yang bersifat komprehensif dan terintegrasi. Pembangunan kepariwisataan sedapat mungkin harus menjadi media bagi wisatawan untuk belajar tentang suatu nilai yang baik (Antariksa, 2012:6).

Dewi (2011:8) mengemukakan bahwa pemasaran destinasi biasanya dilekatkan dengan strategi yang berorientasi pertumbuhan dan berfokus pada penciptaan citra, periklanan, dan promosi penjualan yang bertujuan pada peningkatan jumlah kunjungan wisatawan domestik maupun internasional. Pemasaran mempunyai tanggung jawab ganda, yaitu untuk menjaga keberlangsungan sumber daya di suatu destinasi wisata sekaligus menyediakan pengalaman berwisata yang berkualitas bagi wisatawan.

c. Wisatawan

Wisatawan adalah orang yang melakukan perjalanan wisata.

Suwantoro Gamal, 1997 dalam Siringoringo (2017:27), wisatawan digolongkan menjadi tujuh tipe, yaitu:

1) Explorers, yaitu wisatawan yang mencari perjalanan baru dan berbaur dengan masyarakat lokal, serta bersedia menerima fasilitas seadanya.

2) Elite tourists, yaitu wisatawan yang mengunjungi daerah tujuan wisata yang berisi orang – orang terpandang serta terorganisasi.

3) Offbeat tourists, yaitu wisatawan yang mencari daerah tujuan wisata yang tidak banyak dikunjungi orang.

4) Unusual tourists, yaitu wisatawan yang suka mengunjungi penduduk lokal dalam sebuah tur yang terorganisasi serta tertarik dengan budaya setempat.

5) Incipient Mass tourists, yaitu wisatawan yang mencari tempat tujuan wisata yang diakomodasi dan fasilitasnya sama dengan daerah asalnya.

6) Mass tourists, yaitu wisatawan yang suka tinggal di hotel yang memiliki fasilitas dan suasana yang mirip dengan daerah asal mereka.

7) Charter tourists, yaitu wisatawan yang datang dalam kelompok yang besar, menggunakan identitas kelompok yang sangat jelas serta terorganisasi dengan baik.

B. Hasil Penelitian Sebelumnya

1. Competitive Destination on The Basis of Psychographic Typology of Tourist (The Case of Daerah Istimewa Yogyakarta) (Emrizal et al. 2015) Ketika suatu destinasi dikunjungi oleh mayoritas wisatawan yang disebut Plog sebagai kelompok mid-centric (mid-allo dan mid-psycho), artinya destinasi ini sedang berada pada masa puncak kejayaannya.

Menurut Plog, ketika para politisi lokal dan pejabat pariwisata tersebut sedang berbangga – bangga dengan “keberhasilan” pembangunan pariwisata di daerahnya, seringkali ancaman tersembunyi dan benih kehancuran (kemunduran) sudah menghadang tanpa disadari oleh para stakeholder. Plog (2004) mengemukakan bahwa setiap destinasi memiliki karakter tertentu yang tercermin dari tipe – tipe psychographic wisatawan yang mengunjungi destinasi tersebut.

Terjadinya perubahan karakter destinasi seringkali disebabkan oleh pertumbuhan yang tidak terencana dengan baik.

Riset ini dimaksudkan untuk mengeksplorasi dan mengidentifikasi fase perkembangan (life cycle stage) Jogja (DIY)

sebagai destinasi pariwisata berdasarkan Model Psychographic Plog.

Dipilihnya DIY menjadi fokus penelitian adalah karena posisi strategis daerah ini sebagai salah satu destinasi pertumbuhan kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia dari dulu hingga sekarang. Jogja (DIY) sebagai destinasi pariwisata pada saat ini sedang tumbuh dan berkembang dengan pesat. Jumlah kunjungan wisatawan (nusantara dan mancanegara) terus meningkat dari tahun ke tahun, dan seiring dengan itu pertumbuhan sarana dan fasilitas pariwisata juga bergerak naik dengan cepat. Pembangunan hotel – hotel baru dan restoran menjamur dimana-mana, pertambahan pusat perbelanjaan dan hiburan juga meningkat tajam. Perkembangan yang pesat ini tentu disambut baik oleh banyak kalangan, namun demikian, seperti disinyalir oleh Plog, pertumbuhan yang pesat belum tentu menuju kearah yang tepat.

Karena itu, riset ini dipandang perlu untuk melihat dengan lebih jelas fase perkembangan dan posisi psychographic Jogja saat ini, dan dinilai dapat bermanfaat untuk bahan pertimbangan dalam perencanaan dan peningkatan daya saing DIY sebagai destinasi pariwisata di masa yang akan datang.

Metode penelitian yang digunakan adalah metode survei, dengan merujuk pada kriteria Plog, melibatkan wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Jogja (DIY) pada periode Juli – September 2014.

Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunaka metode non random sampling dengan pendekatan convenience sampling, yaitu berdasarkan pemilihan anggota populasi yang mudah diakses untuk memperoleh informasi. Sebanyak 211 orang wisatawan asing dilibatkan sebagai responden dalam penelitian ini. Pengambilan sampel dilakukan di kota Yogyakarta, melalui wawancara dan kuesioner tertulis, dengan kriteria: (1) responden telah mengunjungi Borobudur, Prambanan, dan Kota Yogyakarta; (2) berumur minimal 17 tahun; (3) berpendidikan minimal SMA; (4) melakukan perjalanan untuk tujuan berlibur; (5) bisa berbahasa Inggris dengan baik. Riset ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif dioleh dengan menggunakan alat bantu SPSS versi 17, sedangkan data kualitatif diolah dengan analisis deskriptif.

Berdasarkan perbedaan persentase masing – masing tipe wisatawan dapat dimaknai bahwa life cycle stage Jogja (DIY) saat ini sudah bergerak ke kolom mid-centric. Artinya pada saat ini Jogja masih berada pada fase puncak tetapi sudah melewati fase ideal. Fakta bahwa jumlah wisatawan pro-psychocentric lebih dominan seharusnya dapat dimaknai sebagai sinyal untuk segera berbenah. Secara teoritis hal ini dapat merugikan Jogja, karena – menurut Plog – tingkat pengeluaran wisatawan kelompok psychocentric jauh lebih rendah dibandingkan

kelompok allocentric. Menurut Plog (2004), perbandingan pengeluaran mencapai 2,5:1, yang artinya pengeluaran 2,5 orang wisatawan kelompok psychocentric setara dengan pengeluaran 1 orang wisatawan kelompok allocentric.

Implikasi dari temuan ini adalah bahwa Jogja perlu merevitalisasi potensi – potensi yang akan mencerminkan kembali karakter asli destinasi ini dan lebih fokus menggarap pasar wisatawan kelompok pro allocentric agar tidak tergelincir ke fase decline yang didominasi kelompok psychocentric.

2. Destination Competitiveness on The Basis of Psychographic Typology of Tourists (The Case of North Sumatra) (Emrizal et al. 2015)

Suatu destinasi dapat dianggap kompetitif bilamana destinasi tersebut dapat menarik dan memuaskan wisatawan potensial dari segmen tertentu, dengan cara yang menguntungkan semua pihak sembari tetap menjaga kelestarian alam dan sumber daya pariwisata lainya. Wisatawan sebagai pelaku utama periwisata biasanya terdiri dari beragam tipe kepribadian yang berbeda, dengan minat dan preferensi yang berbeda pula. Secara khusus, Plog bahkan mengatakan bahwa tipe wisatawan yang mendominasi kunjungan ke suatu destinasi akan menentukan posisi psychographic destinasi dimaksud dan secara

implisit menunjukkan posisi daya saingnya. Sebagai salah satu destinasi unggulan, Sumatera Utara sangat meanrik untuk dicermati.

Provinsi ini mempunyai beragam daya tarik pariwisata, baik yang berwujud alam, budaya, serta daya tarik wisata minat khusus. Secara umum potensi pariwisata yang dimiliki Sumatera Utara mampu menarik minat wisatawan dari berbagai segmen. Hal tersebut yang menjadi alasan dipilihnya Sumatera Utara sebagai fokus pennelitian ini.

Hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai pengayaan teori perencanaan (pariwisata) terutama yang berhubungan dengan tipologi psikografis. Selain itu, hasil penelitian juga dapat dijadikan sebagai salah satu bahan pertimbangan dalam perencanaan dan peningkatan daya destinasi pariwisata Sumatera Utara di masa mendatang.

Desain penelitian ini disusun menggunakan rancangan penelitian survei dengan melibatkan wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Sumatera Utara pada periode Juli – September 2013. Penelitian ini hanya dibatasi pada populasi wisatawan yang berasal dari Negara Belanda, Australia, Amerika, dan Malaysia. Pengambilan sampel dilakukan dengan metode non random sampling dengan pendekatan convenience sampling. Sebanyak 353 orang wisatawan asing yang

berasal dari empat negara tersebut dilibatkan sebagai responden dalam penelitian ini.

Pengambilan sampel dilakukan di tiga kawasan pariwisata yag berada dalam wilayah destinasi pariwisata Sumatera Utara, yaitu Medan, Brastagi, Toba-Samosir, melalui wawancara dan kuesioner tertulis terhadap wisatawan mancaegara yang berkunjung. Kriteria yang ditetapkan yaitu: (1) berumur minimal 17 tahun; (2) berpendidikan minimal SMA; (3) melakukan perjalanan untuk tujuan berlibur; (4) bisa berbahasa Inggris dengan baik. Studi ini menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Data kuantitatif diolah dengan menggunakan alat bantu SPSS versi 17, sedangkan data kualitatif diolah dengan model analisis deskriptif.

Pada saat ini Sumatera Utara sudah melewati fase ideal, namun demikian – secara kumulatif – kunjungan ke Sumatera Utara masih tetap didominasi oleh kelompok pro-allocentric. Dalam konteks kekinian Sumatera Utara lebih kompetitif terhadap pasar kelompok pro-allorcentric dibandingkan kelompok psychocentric. Secara teoritis hal ini menguntungkan untuk Sumatera Utara, karena – menurut Plog – tingkat pengeluaran wisatawan kelompok allocentric jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok psychocenric, dengan jumlah berbandingan mencapai 1:2,5, yang artinya pengeluaran satu orang

wisatawan allocentric setara dengan pengeluaran 2,5 orang wisatawan psychocentric. Untuk menjadi kompetitif, suatu destinasi seyogianya memfokuskan diri pada suatu segmen pasar tertentu. Dalam hal ini, Sumatera Utara perlu memberi perhatian lebih terhadap pasar dari kelompok pro-allocentric, tanpa megabaikan segmen wisatawan dari kelompok pro-psychocentric.

Berdasarkan pembahasan dan kesimpulan, berikut disampaikan beberapa rekomendasi, yaitu:

a. Untuk mempertahankan posisi Sumatera Utara agar tetap kompetitif terhadap pasar wisatawan kelompok pro-allocentric, maka diperlukan upaya untuk menciptakan beragam kegiatan yang menjadi kebutuhan kelompok ini, yang diharapkan dapat mewadahi preferensi kelompok pro-allocentric yang mempunyai rasa ingin tahu lebih tinggi, sangat aktif, suka bereksplorasi da bertualang, serta senang berinteraksi dengan masyarakat lokal dan lingkugan.

b. Untuk pengayaan materi mengenai kajian daya saing destinasi berbasis tipologi psychographic, maka penelitian yang akan datang perlu menggali lebih dalam variabel – variabel lain yang belum termasuk dalam penelitian ini, dengan jumlah sampel yang lebih

b. Untuk pengayaan materi mengenai kajian daya saing destinasi berbasis tipologi psychographic, maka penelitian yang akan datang perlu menggali lebih dalam variabel – variabel lain yang belum termasuk dalam penelitian ini, dengan jumlah sampel yang lebih

Dokumen terkait