• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

2.3 Masalah-masalah Agraria di Perkebunan

Secara etimologis, istilah ”agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin, ”ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) pedusunan (sebagai lawan perkotaan); (c) wilayah; (d) tanah negara. Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit”, ”wilayah” dan lain-lain itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya (Wiradi, 2000).

Menurut Syahyuti (2006) dari pengertian etimologis ini tampak bahwa yang dicakup oleh istilah agraria bukanlah sekadar ”tanah” atau ”pertanian” saja. Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit” dan ”wilayah” jelas menunjukkan arti yang lebih luas karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Di

”pedusunan” terdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga tambang, perumahan, dan masyarakat manusia.

Menurut Syahyuti (2006), istilah agraria tidak seperti yang dibayangkan oleh kebanyakan orang pada umumnya, yang hanya menyangkut tanah saja, melainkan mencakup banyak hal, baik fisik maupun non-fisik. Hubungan antara aspek landreform dan aspek non-landreform, masalah yang dihadapi dan aktivitas pembaruan agraria yang dapat dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Struktur Permasalahan Agraria di Indonesia

Aspek dan Faktor-faktor pembentuknya

Masalah yang dihadapi saat ini

Aktivitas pembaharuan agraria yang relevan

Aspek Landreform

Dibentuk oleh faktor tatanan hukum (negara dan ada), tekanan demografis, kondisi ekonomi (mis.lapangan kerja non-pertanian), kelembagaan lokal, dan lain-lain

1. Konflik penguasaan dan pemilikan secara vertikal dan horizontal. 2. Inkosistensi hukum

(antara UUPA dan “turunannya”) 3. Ketimpangan

penguasaan dan pemilikan 4. Penguasaan yang

sempit oleh petani, sehingga tidak ekonomis

5. Ketidaklengkapan dan inkosistensi data

1. Penetapan objek tanah landreform

2. Penetapan petani penerima 3. Penetapan harga tanah dan cara

pembayaran

4. Pendistribusian tanah kepada penerima

5. Perbaikan penguasaan, (mis.perbaikan sistem penyakapan)

6. Penertiban tanah guntay (absentee)

Aspek Non-Land reform

Dibentuk oleh faktor geografi, topografi, kesuburan tanah, infrastruktur, kondisi ekonomi lokal-global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan kredit, keuntungan usaha pertanian, dan lain-lain.

1. Degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebih atau karena ketidaktepatan secara teknis 2. Konflik penggunaan/ pemanfaatan secara vertikal dan horizontal 3. Tanah semakin

menjadi komoditas pasar dengan maraknya jual-beli tanah

1. Berbagai bentuk pengelolaan dan penguasaan tanah 2. Pembangunan infrastruktur 3. Peningkatan produkvifitas

tanah

4. Perbaikan sistem pajak tanah 5. Pemberian kredit usaha tani 6. Penyuluhan dan penelitian 7. Penyediaan pasar pertanian 8. Pengembangan keorganisasian

petani Sumber: Syahyuti (2006)

Aspek fisik dapat berupa tanah, baik yang digunakan sebagai perumahan, perkebunan, pertanian, daerah hutan ataupun pertambangan. Aspek non-fisik terdiri dari hubungan-hubungan yang terkait dengan tanah tersebut, baik hukum yang berlaku atas kepemilikan tanah tersebut, struktur agraria yang mempengaruhi akses setiap subyeknya terhadap sumber-sumber agraria dan berpengaruh besar terhadap keadilan dan tingkat kesejahteraan masing-masing subyek agraria, maupun politik yang mempengaruhi pasar dari hasil tanah tersebut (bidang pertanian).

2.3.1 Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan

Pada masyarakat di desa perkebunan, pemilikan atau penguasaan lahan sangat penting sebagai pembuka peluang untuk meningkatkan produksi dan memaksimalkan keuntungan. Petani di sini berperan sebagai manajer yang dalam dirinya lekat kekayaan lahan sebagai merupakan sumberdaya ekonomi sekaligus lambang status sosial di pedesaan. Ada perasaan bangga yang mengikat kuat dan memotivasi untuk berusaha (Herlina, 2002).

Selain itu, penguasaan dan pemilikan pada masyarakat perkebunan menjadi penting dikarenakan buruh perkebunan membutuhkan tanah untuk diolah sebagai tambahan penghasilan dari upah rendah yang mereka dapatkan dari perkebunan. Berdasarkan kajian Wijarnako (2005) upah rata-rata buruh petik pada perkebunan teh yaitu Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 250.000,00 per bulan.

Ketimpangan penguasaan dan pemilikan yang terjadi di desa perkebunan yang melahirkan sengketa agraria, menurut Wijarnako (2005), bersumber dari dominasi sistem pengelolaan tanah dan kekayaan alam termasuk perkebunan,

yang datang atau berasal dari negara, yang secara sepihak memberikan porsi kesempatan begitu besar pada pemilik-pemilik modal dalam mengelola sumber agraria. Isu kesenjangan ekonomi antara pihak perkebunan dengan desa perkebunan sekitarnya merupakan akibat dari tindakan eksploitasi terhadap sumber daya dan memanfaatkannya secara sepihak demi peningkatan produksi.

Pemilik modal dalam perkebunan yang menekankan pada keuntungan semata membuat posisi masyarakat di desa perkebunan terdominasi. Pemberian harga sewa tanah yang mahal membuat masyarakat di desa perkebunan yang memiliki akses kepada penguasaan dan pemilikan tanah di desa perkebunan adalah masyarakat yang memiliki posisi dalam perkebunan, karena mereka memiliki modal yang berasal dari upah dari perkebunan untuk membayar sewa dan memenuhi kebutuhan dengan mengolah tanah tersebut. Sementara itu buruh perkebunan yang membutuhkan tanah untuk tambahan penghasilan tidak dapat menikmati akses dari tanah karena keterbatasan modal. Buruh hanya menjadi petani yang tidak memiliki tanah, sedangkan akumulasi pemilikan dan penguasaan tanah hanya terletak pada masyarakat yang memiliki modal (Wijarnako, 2005).

2.3.2 Penguasaan yang Sempit oleh Petani

Sempitnya penguasaan oleh petani di desa perkebunan dikarenakan sebagian besar wilayah pertanian yang digunakan merupakan Hak Guna Usaha yang dikuasai perkebunan. Berdasarkan studi Alfiasari (2004), lahan yang digunakan oleh masyarakat desa perkebunan untuk budidaya pertanian adalah lahan-lahan yang tidak digunakan oleh perkebunan. Lahan-lahan yang tidak

digunakan ini merupakan lahan-lahan di lereng-lereng gunung yang tidak digunakan karena kemiringannya tidak cocok untuk tanaman teh. Pada lahan pertanian masyarakat, tanaman yang biasanya ditanami antara lain, padi, pisang, singkong, cabe, tomat, kacang panjang, dan bawang daun. Hasil sawah dan ladang biasanya mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk dikomersialkan banyak hambatannya, baik dari kuantitas produksi yang sedikit serta sarana transportasi yang masih sulit.

Menurut Mubyarto (1992), konsekuensi dari fenomena ini terlihat pada rendahnya tingkat produktivitas maupun kualitas dari hasil produksi perkebunan rakyat. Hal ini merupakan implikasi dari kesulitan petani dalam menerapkan kultur teknis yang benar, yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tinggi serta dukungan modal yang besar.

2.3.3 Kerusakan Lingkungan

Menurut Godril dalam Yuwono (2005), persoalan sumber daya alam juga dihadapi oleh masyarakat miskin dan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan mereka: yaitu persoalan air, terjadinya degradasi lingkungan di daerah pesisir pantai yang merusak terumbu karang, terjadinya polusi, tingginya biaya saprodi, banyaknya hama, jauhnya pasar atau buruknya akses ke pasar, terjadinya banjir dan longsor, sulitnya bagi masyarakat miskin untuk meminjam modal di lembaga keuangan karena adanya persyaratan dimana harus memiliki agunan (yang tidak bisa dipenuhi petani dan nelayan miskin) yang prosedurnya berbelit-belit, mekanisasi pertanian berdampak terhadap hilangnya ruang pekerjaan bagi petani miskin, juga program peningkatan keterampilan kebanyakan ditujukan kepada

masyarakat desa secara umum dan tidak spesifik pada merek yang miskin akibatnya.

Terdesak oleh keadaan, lapisan bawah terpaksa melakukan pekerjaan apa saja yang dapat memperpanjang hidupnya, termasuk menebang pohon di hutan lindung atau menambang di bawah bumu maupun di bawah permukaan laut. Akibatnya, tanah menjadi tandus atau kemudian terjadi tanah longsor, banjir, pendangkalan sungai, hancurnya terumbu karang, dan perusakan lingkungan lainnya (Tjondronegoro, 2008a).

Masalah-masalah agraria dapat diselesaikan dengan reforma agraria. Akan tetapi pendekatan dan cara penyelesaian untuk masing-masing permasalahan tidaklah sama, dan tidak semua hal yang tercakup dalam reforma agraria harus dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan agraria di tiap daerah. Landreform yang merupakan bagian dari agraria reform dapat dilakukan di daerah yang mempunyai permasalahan kemiskinan yang terkait dengan banyaknya jumlah petani gurem yang tidak mempunyai lahan, sedangkan open access agraria untuk mengatasi ketidakadilan dalam penguasaan sumber-sumber agraria, dan gabungan dari keduanya dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan agraria.