• Tidak ada hasil yang ditemukan

Merekonstruksi Ulang Arti dan Indikator Kemiskinan Lokal

BAB V KONSTRUKSI KEMISKINAN LOKAL

5.3 Merekonstruksi Ulang Arti dan Indikator Kemiskinan Lokal

Diskusi dalam merekonstruksi ulang kemiskinan, indikator kemiskinan local, dan tangga kehidupan dilakukan beserta dengan perwakilan masyarakat dari dua kampung yaitu Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Diskusi ini dihadiri oleh ketua RT dari masing-masing kampung, yaitu ketua RT 1 Anas (47 tahun), ketua RT 2 Atma (47 tahun), ketua RT 3 Torik (51 tahun), ketua RT 4 Odih (39 tahun), selain itu terdapat beberapa orang yang dipilih karena mereka adalah tokoh dari kedua kampung tersebut yaitu kamim (58 tahun), saleh (58 tahun), Aep (47 tahun), asep (33 tahun) dan Ajat (33 tahun). Asep dan ajat dipilih karena mereka berdua di hormati oleh warga karena keduanya memiliki jenjang pendidikan yang tinggi. Asep lulusan SMK pertanian, sedangkan ajat lulusan D1 dan berprofesi sebagai guru di SDN Cianten. Melalui hasil diskusi, didapat definisi kemiskinan, tangga kehidupan dan batas kemiskinan lokal. Menurut masyarakat, kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki rumah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selayaknya orang biasa, yaitu tidak dapat makan dua kali sehari dan tidak dapat menyekolahkan anaknya sampai jenjang SMP. Dari definisi ini, perwakilan yang hadir dalam diskusi memiliki kesimpulan yang sama bahwa semua keluarga yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar termasuk kedalam keluarga miskin karena tidak ada keluarga yang mempunyai kepemilikan yang resmi atas tanah maupun sawah.

Definisi kemiskinan lokal di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar sesuai dengan definisi kemiskinan dari Sudibyo (1995) yaitu kemiskinan adalah kondisi depriviasi terhadap sumber-sumber pemenuhan

kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dasar. Karena masyarakat melihat kemiskinan dari bagaimana mereka memenuhi pangan, papan dan pendidikan dasar mereka.

Dalam penentuan indikator kemiskinan untuk setiap tangga kehidupan, masyarakat menentukannya berdasarkan penghasilan dan mata pencaharian dari masyarakat tersebut. Tangga kehidupan di dua kampung ini dibagi menjadi enam tingkatan (Gambar 8).

Tingkat paling bawah disebut fakir miskin, yang ditempati oleh keluarga yang tidak memiliki penghasilan dan sudah lanjut usia. Pada tingkatan ini, penduduk yang sudah lanjut usia ini selain tidak mempunyai pekerjaan, keluarganya tidak memperhatikan atau keluarganya tidak dapat memberikan bantuan karena memiliki masalah ekonomi. Sehingga penghasilan yang ia dapatkan hanya bantuan dari masyarakat ataupun dengan mendapatkan Bantuan Langsung Tunai (BLT).

Tangga kehidupan kedua dari bawah disebut fakir oleh anggota diskusi. Pada tangga ini dihuni oleh keluarga yang memiliki penghasilan di bawah Rp 100.000,00. Jenis penghasilan ini adalah penghasilan yang tidak tetap, yang kadang bisa di dapatkan dan kadang tidak bisa di dapatkan. Pada tangga ini, penduduk yang sudah lanjut usia juga masuk ke dalam kategori ini. Akan tetapi, penduduk yang sudah lanjut usia ini masih dapat bekerja, ataupun memiliki anak yang dapat memberikan uang kepada dia.

Gambar 8. Tangga Kehidupan, Indikator Kemiskinan Lokal Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar

Mampu

Standar

Sedang

Miskin

Fakir

Fakir Miskin

- > Rp 800.000

- PT Cevron

LTD

- Rp

300.000-500.000

- Suami+Istri

KLP

- Buruh Tani

- Pedagang

- Rp

100.000-300.000

- Banyak

tanggungan

- Suami/Istri

KLP

-Penghasilan

tidak

tetap

- Pekerjaan

tidak tetap

- Lanjut

Usia

- Memiliki

keluarga

- Tidak

mempunyai

pekerjaan

- Lanjut usia

- Tidak

punya

keluarga

- Rp

500.000-800.000

- Suami dan

Istri KTP

- Suami/Istri

KTP dan

Suami/Istri

KLP

- Karyawan

PT Cevron

LTD

Tangga kehidupan selanjutnya adalah tangga ketiga dari bawah dimana tangga yang disebut miskin oleh masyarakat di dua kampung ini diisi oleh penduduk yang memiliki penghasilan dari Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 300.000,00. Penduduk pada tangga ini mempunyai penghasilan, akan tetapi mempunyai banyak tanggungan, sehingga penghasilannya tidak mencukupi. Penduduk yang menempati tangga ini adalah penduduk yang suami atau istrinya bekerja di perkebunan sebagai karyawan lepas perkebunan. Selain itu pekerjaan penduduk yang masuk ke dalam tangga ini juga adalah penghasilan yang tidak tetap dan menghasilkan sedikit uang, seperti pengrajin gendongan teh untuk buruh petik perkebunan, karena pekerjaan ini hanya terkadang dilakukan bila ada yang memesan saja, sedangkan yang memesan hanya sedikit, karena tidak adanya pertambahan pekerja pada perkebunan secara signifikan.

Tangga kehidupan yang berada di posisi ketiga dari atas adalah penduduk yang mempunyai penghasilan Rp 300.000,00 sampai dengan Rp 500.000,00. Pada tangga ini, penduduk adalah rumah tangga dengan suami dan istrinya bekerja di perkebunan sebagai karyawan lepas dari perkebunan, menjadi buruh tani, dan berdagang. Buruh tani yang masuk ke dalam kategori ini adalah buruh tani yang bekerja sebagai buruh di lahan orang lain, walaupun ia sendiri mempunyai lahan sendiri. Penduduk yang bekerja sebagai pedagang pada tangga ini adalah penduduk yang berdagang secara kecil-kecilan, yang hanya menjual kebutuhan rumah tangga, makanan anak kecil dan rokok secara kecil-kecilan.

Tangga kehidupan yang berada ke dua dari atas adalah penduduk dengan penghasilan Rp 500.000,00 sampai dengan Rp 800.000,00. Penduduk dengan penghasilan ini adalah rumah tangga yang suami atau istri nya bekerja di

perkebunan sebagai karyawan tetap perkebunan dan salah satunya juga bekerja di perkebunan, selain itu mata pencaharian penduduk yang berada dalam tangga ini adalah penduduk yang suaminya bekerja di PT Cevron LTD, ataupun berdagang, dengan warung yang sudah cukup besar. Tangga kehidupan yang berada paling atas diisi oleh penduduk dengan penghasilan diatas Rp 800.000,00 yang rata-rata diisi oleh penduduk yang bekerja di PT Cevron LTD.

Keluarga yang dianggap miskin menurut perwakilan masyarakat adalah keluarga yang menduduki tangga kehidupan fakir miskin, fakir, miskin, dan sedang. Sedangkan keluarga yang dianggap sudah mampu untuk memenuhi kehidupannya secara layak adalah keluarga yang menempati tangga kehidupan standar, dan juga mampu.

Perwakilan dari masyarakat yang mengikuti diskusi mengatakan sepakat bahwa mereka semua yang tinggal di daerah perkebunan dan taman nasional adalah keluarga miskin. Karena bila mereka diusir dari tempat tinggal mereka yang sekarang, mereka tidak memiliki tempat tinggal lain, dan mereka akan langsung menjadi gelandangan. Hal ini dikarenakan semua keluarga yang berada baik di Kampung Padajembar maupun Kampung Padajaya tidak memiliki rumah pribadi, rumah yang mereka dirikan berada di atas tanah perkebunan dan taman nasional, sehingga mereka tidak memiliki kepemilikan resmi dari rumah. Begitupula dengan mata pencaharian, bila perkebunan dan PT Cevron LTD tidak ada, maka masyarakat akan kesulitan dalam mendapatkan penghasilan. Karena rata-rata penduduk di dua kampung tersebut menopangkan dirinya pada dua perusahaan tersebut, adapun kegiatan lainnya seperti berdagang merupakan aktivitas mata pencaharian yang tidak langsung bergantung pada PT Cevron LTD

dan juga perkebunan, karena mereka dapat berjualan karena masyarakat yang bekerja di dua perusahaan tersebut. Hanya kegiatan bertani yang merupakan mata pencaharian yang paling aman, karena tidak bertopang pada kedua perusahaan tersebut, akan tetapi lahan pertanian yang digunakan oleh masyarakat adalah lahan pertanian dari tanah milik perkebunan dan taman nasional.

Indikator kemiskinan lokal Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar berbeda dengan karakteristik rumah tangga menurut BPS (Lampiran 3), yang memasukkan luas lantai bangunan tempat tinggal, jenis lantai bangunan tempat tinggal, jenis dinding bangunan tempat tinggal, fasilitas tempat buang air besar, sumber penerangan rumah tangga, sumber air minum, bahan bakar untuk memasak, konsumsi daging/ayam/susu/per minggu, pembelian pakaian baru setiap anggota rumah tangga setiap tahun, frekuensi makan dalam sehari, kemampuan membayar untuk berobat ke puskesmas atau dokter, lapangan pekerjaan utama kepala rumah tangga, pendidikan tertinggi kepala rumah tangga, dan pemilikan aset/harga bergerak maupun tidak bergerak. Sedangkan pada dua kampung ini, jenis rumah (bahan pembentuknya yaitu dari semen atau dari bambu) bukan merupakan indikator kemiskinan karena rumah tidak menjadi hal penting bagi masyarakat. Rumah hanya dibuat untuk kenyamanan saja, dan bentuk rumah tidak menjadi suatu kebanggaan tersendiri bagi masyarakat di dua kampung tersebut. Begitupula dengan motor, kepemilikan motor bukanlah indikator kemiskinan di dua kampung tersebut. Karena orang yang termasuk kaya di kampung tersebut belum tentu memiliki motor. Penggunaan motor bukan untuk prestise, akan tetapi lebih kepada kepentingan dan kebutuhan dalam menggunakannya. Masyarakat yang bekerja diperkebunan, akan lebih memilih

untuk berjalan kaki ke tempat bekerjanya (baik perkebunan maupun PT Cevron LTD) ataupun menggunakan truk yang disediakan oleh perkebunan untuk aktivitas perkebunan. Menurut masyarakat, dengan adanya kepemilikan motor, tidak memberikan akses yang lebih kepada masyarakat dalam mengangkut hasil pertanian mereka ke pasar. Karena hasil pertanian yang mereka dapatkan tidak dijual ke luar, hanya sekitar Dusun Cigarehong saja.

Persamaan dari indikator kemiskinan lokal dan karakteristik menurut BPS yaitu frekuensi makan dalam sehari, lapangan pekerjaan, dan pendidikan. Akan tetapi pada lapangan pekerjaan, pada indikator karakteristik BPS yang dapat dilihat pada lammpiran 5, penghasilan rumah tangga dibawah Rp 600.000,00 per bulan, sedangkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, keluarga yang termasuk ke dalam kategori miskin masuk ke dalam penghasilan di bawah Rp 500.000,00, dan pendidikan pada kategori BPS berdasarkan pendidikan dari kepala rumah tangga, sedangkan kemiskinan pada kategori kemiskinan lokal berdasarkan tingkat pendidikan dari anak keluarga tersebut.