• Tidak ada hasil yang ditemukan

KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA DI DESA PERKEBUNAN VIDYA HARTINI SIMARMATA I

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA DI DESA PERKEBUNAN VIDYA HARTINI SIMARMATA I"

Copied!
184
0
0

Teks penuh

(1)

KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA

DI DESA PERKEBUNAN

(Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

VIDYA HARTINI SIMARMATA

I34051442

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)

ABSTRACT

Local poverty definition in Padajaya Village and Padajembar Village are an inability to attain a minimum standard of living and having no house. Agrarian problems of upland village are contour and fertility of land, relation between peasants and Taman Nasional Gunung Halimun (TNGH), small land ownership by peasants, environment damages, low access of transportation access, credit, cooperation, and agriculture extension. Agrarian reform consists of landreform and access reform. Access reforms that must be done in Padajaya Village and Padajembar Village are: developing peasant organisation, infrastructure, increasing capacity of agent of change and research, creating credit incentives. Key Word : Agrarian reform, upland poverty, agrarian problem and access.

(3)

RINGKASAN

VIDYA HARTINI SIMARMATA. Kemiskinan Dan Reforma Akses Agraria Di Desa Perkebunan. Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor (di bawah bimbingan IVANOVICH AGUSTA).

Berdasarkan data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS per Maret 2008, menunjukkan jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia sebesar 34,96 juta orang (15,42%), dan sebagian besar penduduk miskin berada di daerah perdesaaan (63,47%). Kemiskinan di pedesaan mempunyai hubungan dengan masalah-masalah agraria khususnya tanah. Menurut Syahyuti (2006), asumsi dasar yang melandasinya adalah karena sebagian besar rakyatnya masih menggantungkan hidupnya pada tanah.

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang digunakan untuk memetakan dan menganalisis kontruksi kemiskinan, masalah agraria yang masyarakat hadapi dan kegiatan reforma akses agraria apa saja yang relevan diterapkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Peneliti memilih Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dikarenakan keunikan dari kedua kampung tersebut, yang masih termasuk ke dalam daerah perkebunan Cianten, akan tetapi memiliki karakteristik yang berbeda dari kampung lainnya. Pada Kampung Padajaya, sebagian besar masyarakatnya tidak menopangkan hidupnya pada perkebunan, sedangkan pada Kampung Padajembar, sebaliknya sebagian besar penduduknya menopangkan hidupnya pada perkebunan.

Definisi kemiskinan lokal Kampug Padajaya dan Kampung Padajembar adalah kondisi dimana seseorang tidak memiliki rumah dan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya selayaknya orang biasa, yaitu tidak dapat makan dua kali sehari dan tidak dapat menyekolahkan anaknya sampai jenjang SMP. Tangga kehidupan masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu: fakir miskin, fakir, miskin, sedang, standar dan mampu. Pembuatan indikator dari tangga kehidupan ini dibuat berdasarkan tingkat penghasilan yang dimiliki oleh warga masyarakat di dusun tersebut, yang kemudian dikembangkan.

Hasil pertanian yang terdapat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar adalah padi, cabe, kacang panjang, jagung, pisang, sayur-sayuran dan tanaman rempah-rempah yang digunakan untuk memasak. Masyarakat pada umunya menanam padi sebagai komoditas utama, karena padi adalah kebutuhan utama pangan mereka. Masalah agraria yang dihadapi oleh petani di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu penguasaan yang sempit oleh petani, degradasi tanah, akses transportasi yang sulit, tidak adanya penyuluhan, tidak adanya penyaluran kredit, tidak adanya koperasi.

Reforma akses agraria yang harus dilakukan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yaitu: pembangunan infrastruktur, peningkatan produktivitas tanah, perbaikan sistem pajak tanah, pemberian kredit, adanya penyuluhan dan penelitian di yang terakhir yaitu perlu adanya pemerataan akses agaria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar sesuai dengan tingkat kesejahteraan yang dapat dilihat melalui tangga kehidupan warga dan luas lahan pertanian yang mereka miliki.

(4)

KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA

DI DESA PERKEBUNAN

(Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor)

VIDYA HARTINI SIMARMATA

I34051442

SKRIPSI

Sebagai Prasyarat untuk Mendapatkan Gelar Sarjana Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat pada

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(5)

DEPARTEMEN SAINS KOMUNIKASI DAN PENGEMBANGAN MASYARAKAT

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi yang ditulis oleh: Nama : Vidya Hartini Simarmata

Nomor Pokok : I34051442

Judul : Kemiskinan dan Reforma Akses Agraria di Desa Perkebunan (Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor).

Dapat diterima sebagai syarat kelulusan KPM 499 pada Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Menyetujui, Dosen Pembimbing

Ivanovich Agusta SP, MSi NIP. 19700816 199702 1 001

Mengetahui,

Ketua Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat

Dr. Ir. Lala M. Kolopaking, MS NIP. 19580827 198303 1 001

(6)

PERNYATAAN

DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG BERJUDUL “KEMISKINAN DAN REFORMA AKSES AGRARIA DI DESA PERKEBUNAN. Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor” INI BENAR-BENAR MERUPAKAN HASIL KARYA YANG BELUM PERNAH DIAJUKAN SEBAGAI KARYA ILMIAH PADA SUATU PERGURUAN TINGGI ATAU LEMBAGA MANAPUN DAN JUGA BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI TIDAK MENGANDUNG BAHAN-BAHAN YANG PERNAH DITULIS ATAU DITERBITKAN OLEH PIHAK LAIN KECUALI SEBAGAI BAHAN RUJUKAN YANG DINYATAKAN DALAM NASKAH. DEMIKIAN PERNYATAAN INI SAYA BUAT DENGAN SESUNGGUHNYA DAN SAYA BERSEDIA MEMPERTANGGUNG-JAWABKAN PERNYATAAN INI.

(7)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Bogor, 20 April 1987 sebagai anak kedua dari pasangan suami istri Janson P. Simarmata, MSc dan Norma Siahaan, BA. Pada tahun 1993 penulis masuk Sekolah Dasar Budhi Bhakti Bogor. Tahun 1999 meneruskan ke Sekolah Menengah Pertama Negeri I Darmaga Bogor dan tahun 2002 melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Kornita Bogor. Pada tahun 2005, penulis diterima masuk ke IPB melalui jalur USMI (Usulan Masuk IPB) dan tercatat sebagai Mahasiswa Departemen Sains Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Disamping belajar, penulis aktif sebagai panitia penyelenggara pada beberapa kegiatan di luar dan di dalam kampus dan sebagai anggota beberapa organisasi dalam kampus diantaranya sebagai divisi Multimedia And Advertising (MUSELSI) pada Himpunan Mahasiswa Peminat Komunikasi dan Pengembangan Masyarkat (HIMASIERA), Humas Onigiri Japan Club IPB, dan Komisi Pelayanan Khusus (KoPelKhu) Persekutuan Mahasiswa Kristen (PMK) IPB. Pengalaman kerja penulis adalah sebagai penyiar di Radio Pertanian Ciawi dan notulen seminar.

(8)

KATA PENGANTAR

Puji Syukur penulis panjatkan atas kasih dan pernyertaan Tuhan Yesus Kristus sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Kemiskinan dan Reforma Akses Agraria di Desa Perkebunan. Kasus: Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor” sebagai syarat kelulusan pada Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor.

Penekanan skripsi ini terletak pada kemiskinan sebagai dampak dari masalah-masalah agraria yang ada di desa perkebunan. Masalah-masalah yang penulis uraikan merupakan masalah yang umum terjadi di desa perkebunan Indonesia. Dalam tulisan ini juga, penulis menjabarkan kemiskinan yang terjadi di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar dan penanggulangan kemiskinan melalui reforma akses agraria.

Skripsi ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi mahasiswa lain yang juga tertarik dalam membahas kajian agraria. Penulis mengetahui bahwa karya ini belumlah sempurna, maka dari itu kritik dan saran yang membangun sangat penulis harapkan.

Bogor, September 2009

(9)

UCAPAN TE

RIMA KASIH

Puji syukur penulis panjatkan kepada Bapa yang di Surga yang telah memberikan kasih, kekuatan dan berkatNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan ini tidak dapat penulis selesaikan tanpa mendapat bantuan. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada :

1. Ivanovich Agusta, SP, MSi selaku dosen pembimbing studi pustaka sekaligus dosen pembimbing skripsi, yang telah mengajarkan banyak hal mengenai penulisan, mengembangkan pola pikir dan membimbing penulis dengan penuh kesabaran dan pengertian selama proses belajar menulis skripsi ini.

2. Ir. Said Rusli, MA atas kesediaan menjadi dosen penguji utama pada sidang dan masukan-masukan berharga yang telah diberikan.

3. Martua Sihaloho, SP, MSi atas kesediaan menjadi dosen penguji perwakilan departemen pada sidang skripsi, masukan-masukan yang membangun dan bimbingan selama penulis menempuh pendidikan di KPM.

4. Orang tua penulis, Bapak Janson P. Simarmata, MSc dan Ibu Norma Siahaan, BA atas dukungan doa selama penulis menyelesaikan skripsi ini. 5. Saudara dan saudari penulis, Posmalini Simarmata, SE, Astrid Rahayu

Kristi, SKPM, Doris Martugiana, dan Richard Simarmata atas motivasi dan doa selama penulis menyelesaikan skripsi ini.

6. Pangihutan Sutan Sugondo Samosir, STp, atas dukungan yang selalu diberikan.

7. Mas Sohib ‘Sayogyo Inside’ atas bimbingan, saran, diskusi-diskusi, jurnal dan bahan-bahan agraria serta pinjaman buku yang diberikan.

8. Mas Eko ‘Sayogyo Inside’, Cici, Fahroji dan Yayan, atas transfer ilmu pengetahuan yang diberikan kepada penulis.

9. Aditya Rahman, teman sebimbingan penulis, yang selalu memberi semangat, dan selalu berjuang bersama baik suka dan duka.

(10)

10. M. Iqbal Banna, partner kerja penulis, atas teguran halus dan teguran kerasnya, yang membuat penulis belajar banyak hal selama penulis bekerja sambil mengerjakan skripsi ini.

11. Teman-teman Perwira 45 Teresia Tandean, STp, Veronica Gunawan, STp, Mervina, SGz, Franz Sahidi, Stella A.G, STp yang selalu mengerti keadaan penulis dan memberi semangat.

12. Teman-teman KPM 42 Wina, Ficha, Lidia, Mora, Palupi, Tamimi, Edu, Dito, Bibob, Rio, Yuda, Rizal, Anvina, Fahmi yang selalu membantu penulis dalam suka dan duka.

13. Sahabat penulis Narendra, Rifan, Kiki, Lina, Wanya, Fitri, dan Wani. 14. Keluarga kelompok kecil penulis Ci uke, Nina, Melda, Vania, dan Nikita

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR ISI ... x

DAFTAR TABEL ... xiii

DAFTAR GAMBAR ... xiv

DAFTAR LAMPIRAN ... xv BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 3 1.3 Tujuan Penelitian ... 5 1.4 Kegunaan Penelitian ... 5

BAB II PENDEKATAN TEORITIS 2.1 Kemiskinan ... 6

2.1.1 Konsep Kemiskinan ... 6

2.1.2 Indikator Kemiskinan : Aset dan Pendapatan ... 8

2.1.3 Penanggulangan Kemiskinan ... 12

2.2 Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Perkebunan ... 14

2.3 Masalah-masalah Agraria di Perkebunan ... 16

2.3.1 Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan ... 18

2.3.2 Penguasaan yang Sempit oleh Petani ... 19

2.3.3 Kerusakan Lingkungan ... 20

2.4 Reforma Agraria ... 21

2.4.1 Konsep Reforma Agraria ... 21

2.4.2 Reforma Akses Agraria ... 24

2.4.3 Dampak Reforma Agraria ... 26

2.5 Kerangka Pemikiran ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Metode Penelitian ... 30

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian ... 31

3.3 Pemilihan Tineliti dan Informan ... 36

3.4 Metode Pengambilan Data ... 38

3.4.1 Wawancara Mendalam ... 39

3.4.2 Pengamatan Berperan Serta ... 41

3.4.3 Penelusuran Dokumen ... 42

3.5 Teknik Analisis Data ... 42

(12)

BAB IV GAMBARAN UMUM DESA, DUSUN, KAMPUNG DAN PERKEBUNAN

4.1 Desa Purwabakti ... 45

4.1.1 Kondisi Geografis Desa Purwabakti ... 45

4.1.2 Kependudukan Desa Purwabakti ... 46

4.1.3 Pendidikan Desa Purwabakti ... 48

4.2 Dusun Cigarehong ... 49

4.3 Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ... 50

4.3.1 Keadaan Geografi Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar50 4.3.2 Pendidikan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ... 52

4.4 PTP. Nusantara VIII Perkebunan Cianten ... 55

4.4.1 Keadaan Geografi ... 55

4.4.2 Pekerja Perkebunan ... 57

4.4.3 Sejarah Perkebunan ... 59

4.4.4 Visi, Misi dan Kontribusi Perkebunan ... 61

4.4.5 Penggunaan Lahan Perkebunan ... 62

BAB V KONSTRUKSI KEMISKINAN LOKAL 5.1 Sejarah Penduduk Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ... 64

5.2 Masyarakat sebagai Pekerja Perkebunan ... 65

5.3 Merekonstruksi Ulang Arti dan Indikator Kemiskinan Lokal ... 72

5.4 Kemiskinan Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ... 78

5.5 Mobilitas Sosial ... 84

5.5.1 Warga kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap Miskin ... 93

5.5.2 Warga kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jatuh Miskin ... 95

5.5.3 Warga kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Tetap Kaya ... 98

5.5.4 Warga Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang Jadi Kaya ... 99

5.6 Modal Sosial Masyarakat ... 101

BAB VI MASALAH AGRARIA 6.1 Kontur Wilayah Perkebunan dan Kesuburan Tanah ... 103

6.2 Hubungan Petani dengan TNGH ... 107

6.3 Penguasaan yang Sempit oleh Petani ... 109

6.4 Kerusakan Lingkungan ... 114

6.5 Sulitnya Akses Transportasi ... 115

6.6 Tidak Adanya Penyuluhan ... 118

6.7 Tidak Adanya Penyaluran Kredit ... 121

(13)

BAB VII REFORMA AKSES AGRARIA

7.1 Pengembangan Keorganisasian Petani ... 128

7.2 Pembangunan Infrastruktur ... 129

7.3 Penyuluhan dan Penelitian ... 130

7.4 Pemberian Kredit ... 131

7.5 Pemerataan Akses ... 131

BAB VIII KESIMPULAN DAN SARAN 8.1 Kesimpulan ... 137

8.2 Saran ... 138

DAFTAR PUSTAKA ... 139

(14)

DAFTAR TABEL

No. Teks Halaman

1. Struktur permasalahan agraria di Indonesia ... 17

2. Topik Wawancara Penelitian ... 40

3. Luas dan Penggunaan Lahan Desa Purwabakti ... 46

4. Struktur Umur dan Jenis Kelamin Penduduk Desa Purwabakti ... 47

5. Mata Pencaharian Penduduk Desa Puwabakti ... 48

6. Tingkat Pendidikan Penduduk Desa Purwabakti ... 49

7. Jenjang Kepegawaian dan Jumlah Karyawan PTPN VIII Kebun Cianten 57

8. Penggunaan Lahan Perkebunan ... 63

9. Mobilitas sosial Masyarakat ... 91

10. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat pada Tahun 1999 dan Tahun 2009 ... 93

(15)

DAFTAR GAMBAR

No. Teks Halaman

1. Kerangka Pemikiran ... 29

2. Waktu Penelitian ... 35

3. Peta Desa ... 45

4. SDN Ciasmara IV ... 52

5. Tempat Penitipan Anak (TPA) ... 53

6. Pemetik Teh Mengantri Giliran untuk Penimbangan ... 66

7. Juru Tulis Perkebunan ... 67

8. Tangga Kehidupan, Indikator Kemiskinan Lokal Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ... 74

9. Grafik Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar 79 10. Indikator Mobilitas sosial ... 86

11. Sebaran Masyarakat Berdasarkan Posisi Tangga Kehidupan Masyarakat pada Tahun 1999 dan Tahun 2009 ... 92

12. Sawah yang Sesuai dengan Kontur Tanah Daerah Perkebunan ... 104

13. Sayuran yang di Tanam Sesuai Kontur Tanah ... 105

14. Tanaman Rempah dan Pohon Pisang Warga ... 105

15. Padi Komoditas Utama Pertanian Masyarakat ... 106

16. Grafik Luas Sawah Masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar ... 112

17. Batu Kali di Tengah Sawah Masyarakat ... 115

18. Sebaran Sawah Masyarakat Di Kampung Padajaya Dan Kampung Padajembar ... 124

(16)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Teks Halaman

1. Pedoman Pertanyaan Penelitian ... 141 2. Daftar Pengkategorian Keluarga Miskin Kampung Padajaya dan

Kampung Padajembar ... 160 3. Karaksteristik Rumah Tangga Miskin Menurut BPS ... 166

(17)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Studi mengenai pedesaan di Indonesia tidak lepas dari permasalahan kemiskinan. Berdasarkan data kemiskinan yang dikeluarkan oleh BPS per Maret 20081, jumlah penduduk miskin (penduduk yang berada dibawah Garis Kemiskinan) di Indonesia sebesar 34,96 juta orang (15,42%), dan sebagian besar penduduk miskin berada di daerah perdesaaan (63,47%).

Kemiskinan di pedesaan mempunyai hubungan dengan masalah-masalah agraria khususnya tanah. Menurut Syahyuti (2006), asumsi dasar yang melandasinya adalah karena sebagian besar penduduk desa masih menggantungkan hidupnya pada tanah. Dalam kondisi demikian, penataan penguasaan tanah yang lebih adil dan pemerataan akses terkait pengelolaan tanah tersebut kepada masyarakat merupakan instrumen yang esensial untuk menanggulangi kemiskinan dan ketimpangan penghasilan di pedesaan.

Upaya untuk menanggulangi kemiskinan di pedesaan salah satunya dengan implementasi dari program reforma agraria, yang pada tahun 2007 dicanangkan kembali oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Agrarian

reform, atau adakalanya disebut reforma agraria dan pembaruan agraria (istilah

resmi sebagaimana tercantum dalam Tap MPR No. IX tahun 2001), memiliki pengertian yang lebih luas, yang mencakup dua tujuan pokok yaitu bagaimana mencapai produksi dari tanah yang lebih tinggi, dan bagaimana agar lebih dicapai keadilan (Cohen, 1978 dalam Pangkurian, 2008).

1

(18)

Selain itu, urgensi dari reforma agraria tidak hanya untuk menanggulangi kemiskinan, menahan laju urbanisasi, menciptakan lapangan pekerjaan di desa, tetapi tujuan-tujuan ekonomis dari pelaksanaan reforma agraria juga akan mendukung pembangunan nasional yang kokoh. Melalui kokohnya pertanian, diharapkan Indonesia mempunyai kemadirian pangan dan dapat berdikari “Berdiri diatas kaki sendiri” sehingga dari pola perekonomian yang berbasis pertanian berubah menuju perekonomian yang berbasis industri dan tetap diperkuat oleh bidang pertanian (Wiradi, 2000).

Sasaran reforma agraria bukan hanya tanah pertanian, tetapi juga tanah-tanah kehutanan, perkebunan, pertambangan, pengairan, kelautan, dan sumber-sumber agraria lainnya, temasuk hak atas air, proteksi dari perubahan iklim, dan keanekaragaman hayati (Wiradi, 2006). Desa perkebunan adalah salah satu sasaran dari reforma agraria.

Menurut Mubyarto (1992), terutama pada perkebunan-perkebunan besar, banyak ditemui kasus rendahnya kesejahteraan buruh perkebunan karena upah yang diterima rendah. Rendahnya upah pada masyarakat perkebunan memaksa mereka untuk mencari tambahan penghasilan yaitu salah satunya dengan bertani menggunakan tanah-tanah yang tidak digunakan oleh perkebunan. Akan tetapi hasil yang didapatkan masyarakat dari bertani tidaklah banyak, bahkan tidak mencukupi untuk mencukupi kebutuhan pangannya sendiri. Selain disebabkan oleh sempitnya lahan pertanian, masalah pertanian yang dihadapi oleh masyarakat perkebunan yaitu sulitnya akses terhadap “dunia luar” sehingga mereka sulit dalam mendapatkan fasilitas-fasilitas dari pemerintah dalam hal pertanian, baik

(19)

penyuluhan, pemberian bibit unggul, irigasi, maupun peningkatan inovasi teknologi dalam pertanian.

Reforma agraria dapat dilancarkan dengan titik berat yang berbeda-beda. Ada yang titik beratnya pada pembangunan ekonomi, di mana redistribusi tanah tidak diutamakan. Ada pula dengan menitikberatkan kepada perombakan struktur sosial dan asas pemerataan, dengan sasaran utama adalah redistribusi tanah. Redistribusi tanah seringkali disebut sebagai aspek landreform yaitu penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara itu, aspek

non-landreform adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah dengan menerapkan

teknologi baru, perbaikan infrastruktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian dan lain-lain (Syahyuti, 2006).

1.2 Perumusan Masalah

Kemiskinan di pedesaan dapat disebabkan oleh masalah pertanian maupun non-pertanian. Akan tetapi penelitian ini akan lebih difokuskan pada masalah pertanian yang terdapat di daerah pedesaan, khususnya desa perkebunan, yaitu di Desa Purwabakti. Menurut Mubyarto (1992), kemiskinan di pedesaan, khususnya pada desa perkebunan, terjadi karena bekerjanya sistem “kapitalistik” pada perkebunan tersebut. Perkebunan dianggap sebagai “pabrik” pertanian sehingga dibutuhkan efisiensi dan efektifitas dalam setiap kegiatan produksi untuk menghasilkan untung yang sebesar-besarnya bagi pengelola pabrik tersebut, salah satunya yaitu dengan menekan upah dari karyawannya.

(20)

Penduduk yang menjadi karyawan dari perkebunan mengusahakan lahan yang ada disekitarnya untuk mencukupi kebutuhannya sehari-hari karena kurangnya gaji yang didapatkan dari perkebunan. Di desa-desa perkebunan ditemukan petak-petak tanah pertanian penduduk yang menggunakan lereng-lereng yang tidak digunakan oleh perusahaan perkebunan karena ketinggiannya yang tidak layak untuk penanaman komoditas perkebunan itu sendiri.

Reforma akses agraria diharapkan dapat memberikan solusi bagi penduduk di pedesaan untuk keluar dari kemiskinan yang mereka alami. Reforma akses agraria ini berupa pemberian akses kepada masyarakat terkait pengelolaan tanah yang mereka gunakan agar dapat memaksimalkan produktivitas tanah mereka, untuk mendapatkan kualitas dan kuantitas hasil panen yang maksimal, dengan tidak merusak alam.

Berdasarkan hal tersebut diatas, maka pertanyaan penelitian ialah:

1. Bagaimana konstruksi kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor?

2. Bagaimana masalah agraria memberikan kontribusi terhadap kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor?

3. Bagaimana masalah agraria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor dapat diselesaikan dengan reforma akses agraria?

(21)

1.3 Tujuan Penelitian

Sesuai dengan perumusan masalah tersebut, maka penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan pada perumusan masalah. Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Memahami konstruksi kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor.

2. Menganalisis masalah agraria yang memberikan kontribusi terhadap kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. 3. Menganalisis masalah agraria di Kampung Padajaya dan Kampung

Padajembar, Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor yang dapat diselesaikan dengan reforma akses agraria.

1.4 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini diharapkan mampu memberikan data kuantitatif mengenai kemiskinan, masalah agraria dan reforma agraria khususnya pada desa perkebunan. Hasil analisis data tersebut dapat menjadi bahan pertimbangan dalam penerapan program-program kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan upaya penanggulangan kemiskinan di daerah tersebut, dan masukan bagi lembaga pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat yang hendak melaksanakan reforma agraria di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.

(22)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Kemiskinan

2.1.1 Konsep Kemiskinan

Pada hakikatnya, kemiskinan merupakan persoalan yang selalu ada, dari dulu, dan mungkin akan selalu ada sampai kapanpun. Belum ada upaya penanggulangan kemiskinan yang berhasil dengan sempurna. Akan tetapi memahami konsep kemiskinan tetap penting, yaitu untuk menemukan indikator kemiskinan dan strategi penanggulangan kemiskinan yang tepat. Kemiskinan diartikan secara berbeda-beda oleh para pakar kemiskinan. Hal ini dikarenakan sudut pandang yang berbeda dalam melihat akar dari kemiskinan tersebut.

Menurut Sudibyo (1995), kemiskinan adalah kondisi deprivasi terhadap sumber-sumber pemenuhan kebutuhan dasar, seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan dasar, sedangkan kesenjangan adalah ketidakmerataan akses terhadap sumber ekonomi yang dimiliki. Dari kelima deprivation trap tersebut, kerentaan dan ketidakberdayaan merupakan penyebab yang perlu mendapatkan perhatian. Kerentaan dan ketidakberdayaan tersebut mengakibatkan perbedaan kepemilikan faktor produksi. Perbedaan tersebut dicerminkan oleh ketidakmerataan akses terhadap sumber daya ekonomi, dan masing-masing pelaku ekonomi hanya akan memperoleh penghasilan yang sebanding dengan apa yang dikorbankan dan faktor produksi apa yang dimiliki. Menurut Syahyuti (2006), miskin adalah suatu keadaan di mana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompoknya, dan tak mampu memanfaatkan tenaga, mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut.

(23)

Soedjatmoko pada seminar ilmiah HIPIIS2 menyatakan terdapat dua hubungan antara kemiskinan dan ketidakadilan. Ketidakadilan pada pemerataan terhadap pengadaan sumber-sumber daya maupun pelayanan sosial yang menyebabkan terjadinya kemiskinan mutlak. Adanya ketidakadilan ini juga berkaitan dengan pola organisasi sosial dan dengan pola pengaturan institusional. Sedangkan menurut Amartya Sen dalam Syahyuti (2006), “orang menjadi miskin karena mereka tidak bisa melakukan sesuatu, bukan karena tidak memiliki sesuatu”. Maka kunci pemberantasan kemiskinan menurutnya adalah “akses”, yaitu akses ke lembaga pendidikan, kesehatan dan infrastruktur.

Dapat dikatakan bahwa kemiskinan adalah kondisi dimana seseorang hidup dengan kondisi yang berbeda dengan orang lain dalam hal aset yang berdampak pada akses mereka terhadap sumber daya yang ada dalam memenuhi kebutuhan dasar hidupnya. Ketidaksamaan aset dan akses pada sumber daya tertentu pada tiap kelompok ataupun individu dalam masyarakat menyebabkan lahirnya ketidakadilan dalam struktur sosial yang akan menghasilkan kesenjangan dan kecemburuan sosial.

Menurut Syahyuti (2006), kemiskinan dapat diukur secara absolute ataupun secara relative. Kemiskinan absolute terlihat dari kehidupan di bawah garis minimum, atau di bawah standar yang diterima secara sosial, dan adanya kekurangan nutrisi. Sementara kemiskinan relative dilihat dalam perbandingan dengan segmen masyarakat yang lebih atas. Kemiskinan juga didekati dari sisi objektif dan subyektif. Sisi objektif merupakan pendekatan tradisional ilmiah

2 Seminar Ilmiah HIPIIS (Himpunan Indonesia untuk Pengembangan Ilmu-Ilmu Sosial) yang berlangsung pada bulan November 1979 di Malang.

(24)

didasarkan kepada pendekatan kesejahteraan (the welfare approach), sedangkan sisi subyektif berasal dari penilaian masyarakat setempat

Kemiskinan dapat dilihat pada level individu, keluarga, komunitas, maupun negara. Kemiskinan pada level individu dipercaya muncul karena perilaku, pilihan, atau kemampuan dari si miskin itu sendiri dalam hidupnya. Penyebab kemiskinan dapat terjadi karena faktor keluarga dimana si miskin hidup, faktor kultural (subcultural causes) yang membentuk pola hidup, serta pola pembelajaran dan prinsip berbagi dari komunitasnya, faktor luar misalnya karena peran kebijakan pemerintah atau karena struktur ekonomi yang tidak adil, dan penyebab struktural dimana kemiskinan merupakan hasil dari struktur sosial yang tidak adil. Pada sebagian kalangan, yang melihatnya sebagai isu politik, kemiskinan disebabkan karena kebijakan politik yang salah selanjutnya melahirkan ketidakadilan sosial, dan lemahnya kesempatan untuk memperoleh pendudukan (Syahyuti, 2006).

2.1.2 Indikator Kemiskinan: Aset dan Penghasilan

Terdapat perbedaan pandangan dalam melihat kemiskinan yaitu berdasarkan kepemilikan aset dan tingkat penghasilan. Menurut Sherraden (2006), aset merujuk pada jumlah kekayaan yang ada dalam keluarga. Sebaliknya, penghasilan (income) merujuk pada arus sumber daya dalam sebuah keluarga, sebuah konsep yang diasosiasikan dengan konsumsi terhadap barang dan jasa atau pelayanan serta terhadap standar hidup. Alasan utamanya adalah bahwa penghasilan hanya akan mempertahankan budaya konsumtif, sedangkan aset dapat mengubah cara berpikir masyarakat dan cara mereka berinteraksi dengan

(25)

dunia. Aset akan membuat orang berpikir untuk tujuan-tujuan jangka panjang dan mewujudkan tujuan-tujuan tersebut menjadi kenyataan. Dengan kata lain, penghasilan berfungsi untuk mengisi “kebutuhan perut”, sedangkan aset “merubah pola pikir masyarakat”. Selain itu, menurut Grobakken (2005), pengurangan tingkat kemiskinan melalui peningkatan aset dasar dapat membuat penduduk miskin sadar akan kemampuannya, sehingga dapat memimpin hidup mereka sendiri lewat peningkatkan rasa pemberdayaan yang lebih baik serta pemenuhan "kebutuhan dasar".

Berdasarkan Sherraden (2006), aset terdiri dari modal investasi yang pada gilirannya akan menghasilkan laju pemasukan di masa depan. Aset dibagi menjadi aset nyata (tangible) dan tidak nyata (intangible).

A. Aset-aset yang Nyata (Tangible Asset)

Aset yang nyata adalah sesuatu yang sah dimiliki termasuk di dalamnya properti fisik sebagaimana hak milik dan berfungsi sama seperti properti fisik, meliputi:

1. Tabungan uang yang pemasukannya dalam bentuk bunga.

2. Saham, surat tanggungan, dan semua bentuk jaminan finansial yang bentuk pemasukannya seperti saham, bunga, dan/atau keuntungan modal (atau kerugiannya).

3. Properti nyata, seperti bangunan atau tanah, dengan pemasukan dalam bentuk pembayaran sewa beserta keuntungan (juga kerugiannya).

4. Aset-aset “berat” selain real estate, dengan pemasukan dalam bentuk keuntungan modal (juga kerugiannya).

(26)

5. Mesin, alat-alat dan komponen produksi nyata lainnya, dengan bentuk keuntungan penjualan dari produk yang dihasilkan (juga kerugiannya). 6. Barang keluarga yang kuat dan tahan lama, dengan keuntungan lewat

meningkatnya efisiensi tugas keluarga.

7. Sumber alam, seperti perkebunan, minyak, mineral dan kayu hutan dengan keuntungan penjualan panen atau komoditas yang diambil (juga kerugiannya).

8. Hak cipta dan hak paten dengan keuntungannya dalam bentuk royalti dan biaya penggunaan lainnya.

B. Aset tidak Nyata (Intangible Asset)

Aset yang tidak nyata lebih bersifat tidak pasti, tidak secara legal diatur dan seringkali diatur secara tidak jelas oleh karakter individu atau hubungan sosial dan ekonomi.

1. Akses pada kredit (kapital yang dimiliki oleh orang lain) dengan keuntungan tergantung dari penggunaan kredit tersebut (layaknya dalam investasi).

2. Modal manusia (human capital), yang secara umum memiliki intelegensia, latar belakang pendidikan, pengalaman kerja, pengetahuan, keterampilan dan kesehatan, dan juga energi, visi, harapan dan imaginasi, dengan bentuk pemasukannya adalah gaji dan kompensasi lainnya setelah melakukan pekerjaan, layanan, dan ide.

3. Modal budaya (cultural capital), dalam bentuk pengetahuan dari subyek yang secara kultural signifikan, kemampuan untuk menghadapi situasi sosial dan birokrasi formal, termasuk kosa kata, aksen, cara berpakaian,

(27)

penampilan dengan bentuk keuntungan mendapatkan penerimaan dari pola asosiasi.

4. Modal sosial informal (informal social capital) dalam bentuk keluarga, teman, koneksi yang kadang disebut dengan “jaringan sosial” dengan bentuk keuntungan dukungan material, dukungan emosional, informasi dan akses yang lebih mudah pada pekerjaan, kredit, perumahan dan tipe aset lainnya.

5. Modal sosial formal, atau modal organisasi yang artinya adalah strukur atau teknik organisasi formal yang berlaku pada modal nyata, penanamannya dalam bentuk peningkatan efisiensi keuntungan.

6. Modal politis dengan bentuk partisipasi, kekuatan dan pengaruh dengan keuntungan peraturan dan keputusan yang menguntungkan serta diinginkan pada level pemerintahan negara juga lokal.

Menurut Grobakken (2005), tanah merupakan aset yang dapat digunakan oleh penduduk miskin untuk mendapatkan akses ke aset lainnya. Akses terhadap tanah dapat memenuhi kebutuhan pangan dan kebutuhan dasar lain yang diperlukan oleh masyarakat. Selain itu, tanah dapat dijual atau digunakan sebagai jaminan untuk berinvestasi dalam proyek-proyek yang produktif, bisnis atau usaha yang dapat membantu petani miskin untuk meningkatkan tingkat ekonominya. Bila diasumsikan panen yang diproduksi mencapai tingkat produktivitas yang tinggi, hal ini dapat meningkatkan kemampuan petani untuk menyimpan bibit, uang atau aset lainnya selain pengeluaran biaya hidup sehari-hari.

(28)

2.1.3 Penanggulangan Kemiskinan

Menurut Syahyuti (2006), setidaknya ada dua paradigma atau teori besar (grand theory) mengenai kemiskinan, yaitu: paradigma neo-liberal dan sosial demokrat. Secara garis besar, para pendukung neo-liberal berargumen bahwa kemiskinan merupakan persoalan individual yang disebabkan oleh kelemahan-kelemahan, atau karena pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Negara hanya turun tangan apabila keluarga, kelompok-kelompok swadaya, atau lembaga-lembaga keagamaan tidak mampu lagi menangani. Secara langsung, strategi penanggulangan kemiskinan harus bersifat “residual” atau sementara. Sebaliknya, menurut kaum sosial demokrat, kemiskinan bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan ketidakadilan dan ketimpangan dalam masyarakat akibat tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber kemasyarakatan. Pencapaian kebebasan hanya dimungkinkan jika setiap orang memiliki atau mampu menjangkau sumber-sumber, seperti pendidikan, kesehatan yang baik dan penghasilan yang cukup. Negara harus berperan dalam menjamin bahwa setiap orang dapat berpartisipasi dalam transaksi-transaksi kemasyarakatan yang memungkinkan mereka menentukan pilihan-pilihannya dan memenuhi kebutuhan-kebutuhannya. Untuk itu, strategi kemiskinan haruslah bersifat institusional atau melembaga (Syahyuti, 2006).

Dalam UU No.5 tahun 2000 tentang Program Pembangunan Nasional (Propenas), terdapat empat strategi penanggulangan kemiskinan, yaitu:

1. Penciptaan kesempatan (create opportunity) melalui pemulihan ekonomi makro, pembangunan, dan peningkatan pelayanan umum.

(29)

2. Pemberdayaan masyarakat (people empowerment) dengan peningkatan akses kepada sumber daya ekonomi dan politik.

3. Peningkatan kemampuan (increasing capacity) melalui pendidikan dan perumahan.

4. Perlindungan sosial (social protection) untuk mereka yang menderita cacat fisik, fakir miskin, keluarga terisolir, terkena PHK, dan korban konflik sosial.

Pada proses perumusan Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan, kurangnya akses pertanahan juga diidentifikasi sebagai salah satu permasalahan yang dihadapi oleh orang miskin. Berbagai hasil kajian yang telah dilakukan, menunjukkan bahwa bagi orang miskin tanah menjadi aset yang sangat berharga dan seringkali menjadi satu-satunya sumber penghidupan. Ini terjadi terutama pada masyarakat yang hidup di daerah pertanian, hutan dan perkebunan (Godril dalam, Yuwono 2005).

Pilot project PPAN (Program Pembaruan Agraria Nasional) telah berjalan di tahun anggran 2007, umumnya terdiri dari dua bentuk yakni pendaftran tanah perorangan atas tanah-tanah yang dahulu pernah ditegaskan sebagai tanah obyek

landreform, dan penyelesain konflik antara petani dengan perkebunan swasta

dengan cara sebagian tanah diredistribusi secara perorangan pada petani dan sebagian lagi diberikan perpanjangan Hak Guna Usaha (HGU) pada perusahan perkebunan. Kedua bentuk ini sama sekali tidak dapat dianggap bentuk yang dapat diandalkan (adequate solution) untuk menghadapi masalah-masalah agraria (agrarian questions), yang secara fenomenal ditandai oleh kemiskinan dan keterbelakangan agraria yang kronis, kesenjangan atau ketidakadilan kepemilikan

(30)

aset yang tajam, pengangguran terbuka dan terselubung yang besar, kerusakan lingkungan yang mengguncang, kekurangan bahan makanan, konflik agraria yang meledak-ledak, ketidakmampuan rakyat pedesan memiliki tabungan (domestic

capital) dan mengembangkan teknologi untuk memperbaiki produksi, dan

kondisi-kondisi keberlangsungan hidupnya (Fauzi, 2008).

2.2 Kehidupan Sosial-Ekonomi Masyarakat Perkebunan

Perkebunan sering disebut “pabrik” pertanian karena proses produksi

output komoditas perkebunan melalui perpaduan aneka faktor produksi (input)

(tanah, tenaga kerja, dan modal serta manajemen) laksana sebuah pabrik saja. Tanah dan tenaga kerja yang murah adalah unsur pokok sistem perkebunan (Mubyarto, 1992). Hal ini menyebabkan perkebunan berusaha menekan upah buruhnya seminimal mungkin yang menyebabkan buruh perkebunan hidup dalam kemiskinan karena upah yang diberikan oleh perkebunan tidak mencukupi untuk kebutuhan mereka sehari-hari.

Tingkat upah buruh3, yang berlaku secara umum adalah Rp 7.000,00 per “beduk” untuk tenaga kerja pria dan Rp 6.000,00 untuk tenaga kerja wanita. Sebedug adalah kerja dari pukul 07.00 sampai dengan pukul 12.00 dengan waktu istirahat selama satu jam. Kegiatan memanen pucuk teh biasanya dikerjakan oleh tenaga kerja wanita, karena dipandang hasil kerjanya lebih bersih, lebih rapih dan telaten. Sistem pengupahannya dengan cara penimbangan hasil petikan yakni seharga Rp 250,00 per kilogram. Seorang pemetik teh yang terampil bisa

3

(31)

memperoleh upah kerja sekitar Rp 18.000,00 sampai dengan Rp 20.000,00 per hari (Herlina, 2002).

Selain upah, kemiskinan di perkebunan terkait juga dengan akses yang berbeda antara buruh dan kelompok manajemen perkebunan. Menurut Mubyarto (1992), perbedaan antara kelompok manjemen dan buruh tidak hanya terletak pada kekuasaan dalam pengambilan kekuasaan tetapi juga dalam hal gaji dan fasilitas lain yang menyangkut kesejahteraan sosial mereka masing-masing. Perbedaan dalam mengakses fasilitas dan juga gaji menyebabkan masyarakat miskin di pedesaan tidak dapat memenuhi kebutuhan hidupnya seperti masyarakat lainnya dalam desa tersebut. Kemiskinan di perkebunan ini bersifat struktural, karena terjadi ketimpangan akses ekonomi, kesehatan dan pelayanan lainnya antara kelompok buruh dengan kelompok manajemen.

Kemiskinan yang bersifat struktural tersebut memaksa pekerja perkebunan mencari tambahan penghasilan di luar pekerjaan di perkebunan (Mubyarto, 1992). Dalam Herlina (2002) yang meneliti di desa perkebunan teh di Desa Sukajembar, Kabupaten Cianjur, pekerjaan yang banyak ditekuni oleh masyarakat adalah usaha perkebunan tehPer. Sebagian lagi berusaha tani padi dan holtikultura. Tanaman holtikultura yang banyak dibudidayakan adalah tomat, sayur putih (sampo), bakung, cabe dan kacang panjang. Namun pengelolaan usaha tani padat modal ini tidak dilakukan secara optimal, karena kurangnya pengetahuan teknik bercocok tanam serta akses terhadap modal yang rendah. Selain usaha tani dan buruh tani, terdapat beberapa aktivitas perekonomian sebagai sumber penghasilan masyarakat, di antaranya berdagang kebutuhan sehari-hari, tengkulak hasil

(32)

pertanian, industri pengolahan teh dan pembuatan gula aren, serta sebagai jasa angkutan.

Hubungan masing-masing tingkat kepegawaian tersebut dipisah dengan tegas dan kaku oleh status dan sistem upah. Status dan sistem upah yang ada di perkebunan menyebabkan timbulnya stratifikasi sosial di daerah perkebunan yang sesuai dengan jabatannya dalam perkebunan. Menurut Mubyarto (1992) perbedaan dalam kehidupan sosial ekonomi terjadi pula antara kelompok staf dan non-staf perkebunan dengan masyarakat sekeliling perkebunan. Rumah-rumah yang besar dengan fasilitas yang lengkap yang ada dalam perkebunan serta kehidupan yang serba mewah sangat kontras dengan kehidupan yang sangat pas-pasan dari masyarakat yang ada di perkebunan. Dalam situasi tersebut tidak dapat dihindari lagi munculnya rasa kecemburuan sosial di kalangan masyarakat perkebunan itu sendiri maupun di kalangan masyarakat yang ada di sekitarnya.

2.3 Masalah-Masalah Agraria di Perkebunan

Secara etimologis, istilah ”agraria” berasal dari sebuah kata dalam bahasa Latin, ”ager”, yang artinya: (a) lapangan; (b) pedusunan (sebagai lawan perkotaan); (c) wilayah; (d) tanah negara. Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit”, ”wilayah” dan lain-lain itu jelas menunjukkan arti yang lebih luas, karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya (Wiradi, 2000).

Menurut Syahyuti (2006) dari pengertian etimologis ini tampak bahwa yang dicakup oleh istilah agraria bukanlah sekadar ”tanah” atau ”pertanian” saja. Kata-kata ”pedusunan”, ”bukit” dan ”wilayah” jelas menunjukkan arti yang lebih luas karena di dalamnya tercakup segala sesuatu yang terwadahi olehnya. Di

(33)

”pedusunan” terdapat berbagai macam tumbuhan, air, sungai, mungkin juga tambang, perumahan, dan masyarakat manusia.

Menurut Syahyuti (2006), istilah agraria tidak seperti yang dibayangkan oleh kebanyakan orang pada umumnya, yang hanya menyangkut tanah saja, melainkan mencakup banyak hal, baik fisik maupun non-fisik. Hubungan antara aspek landreform dan aspek non-landreform, masalah yang dihadapi dan aktivitas pembaruan agraria yang dapat dilakukan dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Struktur Permasalahan Agraria di Indonesia

Aspek dan Faktor-faktor pembentuknya

Masalah yang dihadapi saat ini

Aktivitas pembaharuan agraria yang relevan

Aspek Landreform

Dibentuk oleh faktor tatanan hukum (negara dan ada), tekanan demografis, kondisi ekonomi (mis.lapangan kerja non-pertanian), kelembagaan lokal, dan lain-lain

1. Konflik penguasaan dan pemilikan secara vertikal dan horizontal. 2. Inkosistensi hukum

(antara UUPA dan “turunannya”) 3. Ketimpangan

penguasaan dan pemilikan 4. Penguasaan yang

sempit oleh petani, sehingga tidak ekonomis

5. Ketidaklengkapan dan inkosistensi data

1. Penetapan objek tanah landreform

2. Penetapan petani penerima 3. Penetapan harga tanah dan cara

pembayaran

4. Pendistribusian tanah kepada penerima

5. Perbaikan penguasaan, (mis.perbaikan sistem penyakapan)

6. Penertiban tanah guntay (absentee)

Aspek Non-Land reform

Dibentuk oleh faktor geografi, topografi, kesuburan tanah, infrastruktur, kondisi ekonomi lokal-global, tekanan demografis, ketersediaan teknologi, ketersediaan kredit, keuntungan usaha pertanian, dan lain-lain.

1. Degradasi tanah akibat pemanfaatan berlebih atau karena ketidaktepatan secara teknis 2. Konflik penggunaan/ pemanfaatan secara vertikal dan horizontal 3. Tanah semakin

menjadi komoditas pasar dengan maraknya jual-beli tanah

1. Berbagai bentuk pengelolaan dan penguasaan tanah 2. Pembangunan infrastruktur 3. Peningkatan produkvifitas

tanah

4. Perbaikan sistem pajak tanah 5. Pemberian kredit usaha tani 6. Penyuluhan dan penelitian 7. Penyediaan pasar pertanian 8. Pengembangan keorganisasian

petani Sumber: Syahyuti (2006)

(34)

Aspek fisik dapat berupa tanah, baik yang digunakan sebagai perumahan, perkebunan, pertanian, daerah hutan ataupun pertambangan. Aspek non-fisik terdiri dari hubungan-hubungan yang terkait dengan tanah tersebut, baik hukum yang berlaku atas kepemilikan tanah tersebut, struktur agraria yang mempengaruhi akses setiap subyeknya terhadap sumber-sumber agraria dan berpengaruh besar terhadap keadilan dan tingkat kesejahteraan masing-masing subyek agraria, maupun politik yang mempengaruhi pasar dari hasil tanah tersebut (bidang pertanian).

2.3.1 Ketimpangan Penguasaan dan Pemilikan

Pada masyarakat di desa perkebunan, pemilikan atau penguasaan lahan sangat penting sebagai pembuka peluang untuk meningkatkan produksi dan memaksimalkan keuntungan. Petani di sini berperan sebagai manajer yang dalam dirinya lekat kekayaan lahan sebagai merupakan sumberdaya ekonomi sekaligus lambang status sosial di pedesaan. Ada perasaan bangga yang mengikat kuat dan memotivasi untuk berusaha (Herlina, 2002).

Selain itu, penguasaan dan pemilikan pada masyarakat perkebunan menjadi penting dikarenakan buruh perkebunan membutuhkan tanah untuk diolah sebagai tambahan penghasilan dari upah rendah yang mereka dapatkan dari perkebunan. Berdasarkan kajian Wijarnako (2005) upah rata-rata buruh petik pada perkebunan teh yaitu Rp 100.000,00 sampai dengan Rp 250.000,00 per bulan.

Ketimpangan penguasaan dan pemilikan yang terjadi di desa perkebunan yang melahirkan sengketa agraria, menurut Wijarnako (2005), bersumber dari dominasi sistem pengelolaan tanah dan kekayaan alam termasuk perkebunan,

(35)

yang datang atau berasal dari negara, yang secara sepihak memberikan porsi kesempatan begitu besar pada pemilik-pemilik modal dalam mengelola sumber agraria. Isu kesenjangan ekonomi antara pihak perkebunan dengan desa perkebunan sekitarnya merupakan akibat dari tindakan eksploitasi terhadap sumber daya dan memanfaatkannya secara sepihak demi peningkatan produksi.

Pemilik modal dalam perkebunan yang menekankan pada keuntungan semata membuat posisi masyarakat di desa perkebunan terdominasi. Pemberian harga sewa tanah yang mahal membuat masyarakat di desa perkebunan yang memiliki akses kepada penguasaan dan pemilikan tanah di desa perkebunan adalah masyarakat yang memiliki posisi dalam perkebunan, karena mereka memiliki modal yang berasal dari upah dari perkebunan untuk membayar sewa dan memenuhi kebutuhan dengan mengolah tanah tersebut. Sementara itu buruh perkebunan yang membutuhkan tanah untuk tambahan penghasilan tidak dapat menikmati akses dari tanah karena keterbatasan modal. Buruh hanya menjadi petani yang tidak memiliki tanah, sedangkan akumulasi pemilikan dan penguasaan tanah hanya terletak pada masyarakat yang memiliki modal (Wijarnako, 2005).

2.3.2 Penguasaan yang Sempit oleh Petani

Sempitnya penguasaan oleh petani di desa perkebunan dikarenakan sebagian besar wilayah pertanian yang digunakan merupakan Hak Guna Usaha yang dikuasai perkebunan. Berdasarkan studi Alfiasari (2004), lahan yang digunakan oleh masyarakat desa perkebunan untuk budidaya pertanian adalah lahan-lahan yang tidak digunakan oleh perkebunan. Lahan-lahan yang tidak

(36)

digunakan ini merupakan lahan-lahan di lereng-lereng gunung yang tidak digunakan karena kemiringannya tidak cocok untuk tanaman teh. Pada lahan pertanian masyarakat, tanaman yang biasanya ditanami antara lain, padi, pisang, singkong, cabe, tomat, kacang panjang, dan bawang daun. Hasil sawah dan ladang biasanya mereka pergunakan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Untuk dikomersialkan banyak hambatannya, baik dari kuantitas produksi yang sedikit serta sarana transportasi yang masih sulit.

Menurut Mubyarto (1992), konsekuensi dari fenomena ini terlihat pada rendahnya tingkat produktivitas maupun kualitas dari hasil produksi perkebunan rakyat. Hal ini merupakan implikasi dari kesulitan petani dalam menerapkan kultur teknis yang benar, yang memerlukan pengetahuan dan ketrampilan tinggi serta dukungan modal yang besar.

2.3.3 Kerusakan Lingkungan

Menurut Godril dalam Yuwono (2005), persoalan sumber daya alam juga dihadapi oleh masyarakat miskin dan berpengaruh terhadap kualitas kehidupan mereka: yaitu persoalan air, terjadinya degradasi lingkungan di daerah pesisir pantai yang merusak terumbu karang, terjadinya polusi, tingginya biaya saprodi, banyaknya hama, jauhnya pasar atau buruknya akses ke pasar, terjadinya banjir dan longsor, sulitnya bagi masyarakat miskin untuk meminjam modal di lembaga keuangan karena adanya persyaratan dimana harus memiliki agunan (yang tidak bisa dipenuhi petani dan nelayan miskin) yang prosedurnya berbelit-belit, mekanisasi pertanian berdampak terhadap hilangnya ruang pekerjaan bagi petani miskin, juga program peningkatan keterampilan kebanyakan ditujukan kepada

(37)

masyarakat desa secara umum dan tidak spesifik pada merek yang miskin akibatnya.

Terdesak oleh keadaan, lapisan bawah terpaksa melakukan pekerjaan apa saja yang dapat memperpanjang hidupnya, termasuk menebang pohon di hutan lindung atau menambang di bawah bumu maupun di bawah permukaan laut. Akibatnya, tanah menjadi tandus atau kemudian terjadi tanah longsor, banjir, pendangkalan sungai, hancurnya terumbu karang, dan perusakan lingkungan lainnya (Tjondronegoro, 2008a).

Masalah-masalah agraria dapat diselesaikan dengan reforma agraria. Akan tetapi pendekatan dan cara penyelesaian untuk masing-masing permasalahan tidaklah sama, dan tidak semua hal yang tercakup dalam reforma agraria harus dilaksanakan untuk mengatasi permasalahan agraria di tiap daerah. Landreform yang merupakan bagian dari agraria reform dapat dilakukan di daerah yang mempunyai permasalahan kemiskinan yang terkait dengan banyaknya jumlah petani gurem yang tidak mempunyai lahan, sedangkan open access agraria untuk mengatasi ketidakadilan dalam penguasaan sumber-sumber agraria, dan gabungan dari keduanya dapat dilakukan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan agraria.

2.4 Reforma Agraria

2.4.1 Konsep Reforma Agraria

Reforma sgraria hakekat maknanya adalah penataan kembali (atau pembaruan) struktur pemilikan, penguasaan dan penggunaan tanah/wilayah, demi kepentingan petani kecil, penyakap dan buruh tani tak bertanah. Dalam pasal 2

(38)

Tap MPR IX/2001, Pembaharuan Agraria didefinisikan sebagai ”suatu proses yang berkesinambungan berkenaan dengan penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan sumber daya agraria...” (Wiradi, 2000).

Ben Cousin (2007) dalam Noer Fauzi (2008) membuat enam golongan

land reform berdasarkan pada landasan teoritik yang mendasarinya:

1. Pendekatan neo-liberal terobsesi pada efisiensi produksi, sehingga mengagendakan kebijakan-kebijakan yang mempromosikan penggunaan optimal dari tanah, tenaga kerja dan modal tanah, dimana “kekuatan pasar” adalah sandaran pokok untuk pembentuk kekayaan dan kesejahteraan. 2. Pendekatan neo-populis yang mengasumsikan bahwa bentuk dan skala

produksi merupakan pokok terpenting dalam berbagai kebijakan dan program. Umumnya mereka percaya adanya hubungan berkebalikan (inverse relationship) antara skala dan efisiensi. Usaha ekonomi skala kecil lebih produktif dan efisien dari pada usaha ekonomi skala besar. 3. Pendekatan sustainable livelihood mengutamakan beragam sumber

penghasilan orang miskin (the multiple livelihood sources of poor people), dan menghindari pemahaman yang sempit hanya pada aktivitas pertanian saja atau pada lokasi pedesaan saja.

4. Pendekatan welfarist menjadikan ketersediaan makanan di unit rumah tangga (household food security) dan pengurangan ancaman-ancaman terhadap ketersediaan makanan ini sebagai maksud utama dari program

land reform.

5. Pendekatan radical populist mengedepankan keharusan perubahan struktur agraria baik di wilayah, nasional maupun internasional, baik berupa

(39)

redistribusi sumber daya maupun badan usaha, yang diukur dengan kepemilikan tanah dan kekayaan lain maupun penghasilan kelompok miskin yang dipersatukan dalam berbagai pengelompokan yang dibagi berdasar gender, etnik maupun kedudukan sosial atau geografi lainnya. 6. Pendekatan marxist yang mengevaluasi praktek land reform dengan

memperluas konsep efisiensi produksi, keberlanjutan hidup atau kesejahteraan keluarga petani, atau perubahan struktur agraria ke dalam fokus perubahan bentuk-bentuk eksploitasi kelas maupun gender yang mendasari bentuk-bentuk organisasi produksi, distribusi hingga akumulasi kekayaan

Menurut Tjondronegoro (2008), syarat sektor industri sebagai sektor penting dalam proses pembangunan dan modernisasi yang harus memajukan pertanian yaitu:

1. Realokasi sumber daya di sektor pertanian yang bukan saja merangsang produksi tetapi merubah struktur masyarakat pedesaan dari yang feodal atau setengah feodal ke struktur yang lebih demokratis, artinya juga lembaga-lembaga yang menghambat emansipasi petani kecil disisihkan dan diganti dengan orang lain.

2. Realokasi sumber daya tadi sekaligus juga mengurangi jumlah tenaga kerja di sekitar pertanian yang menganggur atau tidak dimanfaatkan (underutilized). Setelah sumber daya tanah sebagai faktor produksi diatas lebih efisien dan berimbang dengan tenaga kerja, kelebihannya disalurkan ke industri pengolah pertanian, pembangunan prasarana dan lain-lain usaha pembangunan yang bersifat padat karya.

(40)

3. Kelebihan dari peningkatan produksi pertanian yang merupakan “tabungan” dapat ditanam sebagai modal dalam sektor industri. Dalam rangka ini memang produksi pangan bukan saja mencukupi tetapi melampaui kebutuhan penduduk. Surplus lain di sektor pertanian yang menghasilkan devisa dapat mempercepat proses industrialisasi.

4. Perusahaan, pemerintah dan wiraswasta sudah mampu dikelola oleh pengusaha-pengusaha di dalam negeri secara efisien. Tidak perlu diperjelas lebih lanjut bahwa gejala-gejala birokrasi yang menghambat korupsi dan sebagainya pada tahap ini sudah dapat diatasi dengan cukup baik dan tidak lagi menjerat jalannya perusahaan.

2.4.2 Reforma Akses Agraria

Menurut Syahyuti (2006), reforma agraria terdiri dari dua pokok permasalahan yaitu ”penguasaan dan pemilikan” di satu sisi, dan ”penggunaan dan pemanfaatan” di sisi lainnya. Landreform adalah penataan ulang struktur penguasaan dan pemilikan tanah. Sementara, komponen ”non-landreform” adalah bentuk-bentuk dan cara mengolah tanah (dalam pengertian ”soil”), yaitu dengan menerapkan teknologi baru, perbaikan infrasturuktur, bantuan kredit, dukungan penyuluhan pertanian, pengembangan pasar komoditas pertanian, dan lain-lain. Sedangkan menurut Fauzi (2008), reforma agraria adalah politik redistribusi asset produktif bagi kaum miskin di pedesaan, yang pada gilirannya, setelah diberikan suatu asistensi modal, pendidikan dan teknologi, maka akan sampai juga pada pembentukan modal didalam pedesaan. Selain itu, menurut Tjondronegoro (2008), konsolidasi tanah karena itu bukan semata-mata perubahan fisik tata

(41)

ruang, tetapi sebenarnya juga memerlukan pengaturan kembali peran sosio-ekonomi penghuni golongan lemah.

Sehingga dapat dikatakan landreform dan reforma agraria adalah dua hal yang berbeda. Akan tetapi orang sering salah mengartikan dengan menyatakan

landreform adalah reforma agraria, padahal landreform hanya sebagian kecil dari

reforma agraria, karena reforma agraria adalah landreform ditambah dengan hal-hal lain yang membuat redistribusi tanah tersebut menjadi hal-hal yang lebih bermanfaat dibandingkan hanya sebagai bagi-bagi tanah saja. Landreform tanpa akses reform akan membuat petani yang telah mendapatkan tanah tetap menjadi miskin karena ketidakberdayaaan mereka dalam mengolah dan memanfaatkan lahan tersebut, bahkan petani mungkin akan menjual kembali lahan tersebut. Sehingga yang dibicarakan dalam reforma agraria tidak hanya penggunaan dan pemanfaatannya saja tanpa membahas hal yang paling dibutuhkan oleh masyarakat (Syahyuti, 2006).

Menurut Wiradi (2006), pengalaman sejarah memberi pelajaran bahwa suatu pembaruan agraria yang hanya berhenti pada masalah redistribusi tanah ternyata justru menyebabkan produksi menurun untuk beberapa tahun. Hal ini disebabkan karena infrastruktur yang menunjang pembaruan itu semula belum dipikirkan sejak awal. Karena itu kemudian disadari bahwa program-program penunjang itu harus menjadi satu paket dengan program pembaruan secara keseluruhan, termasuk ke dalamnya program-program pasca redistribusi (antara lain: perkreditan, penyuluhan, pendidikan, dan latihan, teknologi, pemasaran, dan lain-lain).

(42)

Faktor-faktor yang sering hilang dalam reforma agraria adalah infrastruktur, akses terhadap air, akses terhadap pasar, dan bantuan teknis ekstensif untuk pemilik tanah. Hal ini adalah faktor yang sama pentingnya dengan memberi tanah kepada masyarakat dan jika tidak dilakukan akan membuat masyarakat menjual kembali tanahnya dan kembali tidak mempunyai tanah (Grobakken, 2005). Menurut Tjondronegoro (2008) redistribusi harus dibarengi dengan tindakan-tindakan penunjang seperti mengembangkan sistem kredit untuk petani kecil, penyatuan usaha ke dalam koperasi, perlindungan terhadap petani dengan hukum, tetapi juga dengan subsidi bila perlu dan lain-lain usaha, bahkan termasuk mendirikan organisasi petani-petani kecil agar usaha pemerintah dapat didukung dengan kekuatan sosial politik dari golongan yang berkepentingan (interest group).

2.4.3 Dampak Reforma Agraria

Menurut Wiradi (2006)4, dampak positif dari reforma agraria secara umum adalah:

1. Aspek hukum: akan tercipta kepastian hukum mengenai hak-hak rakyat terutama kaum tani,

2. Aspek sosial: akan tercipta suatu struktur sosial yang dirasakan lebih adil, 3. Aspek psikologis: kedua hal tersebut pada gilirannya akan menimbulkan

socialeuphoria dan familly security sehingga para petani termotivasi untuk

mengelola usahataninya dengan lebih baik,

4

Http://rumahkiri.net/index.php. Gunawan Wiradi. Dampak Land Reform Terhadap Perekonomian Negara. 2002. Di unduh pada tanggal 22 Maret 2008.

(43)

4. Aspek politik: semua itu akhirnya dapat meredam keresahan sehingga gejolak kekerasan dapat terhindari. Terciptalah stabilitas yang genuine, bukan stabilitas semu akibat represi (seperti masa Orde Baru).

5. Semuanya itu akhirnya bermuara kepada ketahanan ekonomi.

Sedangkan dampaknya terhadap perekonomian masyarakat/nasional5: 1. Dalam beberapa kasus, memang untuk beberapa tahun produksi pertanian

menurun (misalnya, di Taiwan), namun sesudah itu meningkat pesat. Sejumlah besar rakyat desa yang semula tunakisma atau buruh tani lalu menjadi petani pemilik penggarap, mula-mula canggung. Namun dalam jangka panjang mereka malahan berkembang menjadi pengelola usahatani yang rasional dan bertanggung jawab (justru karena bangga atas terjadinya perubahan status).

2. Anak-anak dari para petani pemilik tanah luas (yang kemudian tanahnya dipotong oleh “land reform”) terpaksa tidak lagi bisa menikmati kekayaan orang tuanya yang berasal dari tanah luas itu, dan tidak lagi bisa meneruskan profesi orang tuanya. Namun mereka justru beralih ke profesi lain (melalui pendidikan tinggi, yang biayanya dimungkinkan oleh sisa-sisa kekayaan orang tuanya), dan menjadi tenaga-tenaga ahli yang kompeten. Dalam jangka panjang, hal ini sangat menyumbang bagi perkembangan perekonomian negaranya. (Contoh: Meksiko, Mesir, dan negara-negara di sektiar Timur Tengah).

5

Mosher, A.T., 1976. Thinking About Rural Development. New York: Agricultural Development Council, Inc.

(44)

3. Pemilik/Penguasa tanah luas yang sebagian tanahnya terpangkas oleh ‘land reform’ itu kemudian mengalihkan investasinya ke luar desa, yang pada gilirannya menopang proses industrialisasi.

2.5 Kerangka Pemikiran

Permasalahan kemiskinan di pedesaan dibagi menjadi dua yaitu masalah agraria dan non-agraria. Masalah agraria meliputi masalah pertanian yang terdapat di desa tersebut, sedangkan masalah non-agraria meliputi masalah ketenagakerjaan, pendidikan, kesehatan, kependudukan, komunikasi dan peranan wanita. Masalah agraria paling ditonjolkan pada penelitian ini, dikarenakan dalam konteks pembangunan pedesaan, masalah agraria merupakan bagian paling penting untuk masyarakat pedesaan yang sebagian besar penduduknya menopangkan hidup pada sektor pertanian.

Berdasarkan Syahyuti (2006) ada empat permasalahan agraria di Indonesia secara umum, yaitu ketidakkonsistenan hukum dan perundang-undangan6, serta degradasi sumber daya alam7. Khusus untuk pertanian, permasalahan agraria yang dihadapi adalah penguasaan yang sempit dan cenderung semakin kecil, konflik penguasaan, lahan kritis dan marjinal tingginya alih fungsi lahan pertanian ke nonpertanian, sulitnya mewujudkan konsolidasi usahatani, dan semakin besarnya ketimpangan penguasaan lahan antar petani.

6

Salah satu konflik yang ramai adalah konflik penguasaan antara petani dengan pihak swasta. Keterlibatan swasta besar dimulai dari lahirnya Undang-Undang Agraria 1870 (Agrarische Wet) yang mengundang pihak swasta kolonial menanamkan modalnya terutama dalam bidang perkebunan.

7 Permasalahan ini tercantum dalam Tap MPR Bo.IX/2001 tentang pembaruan agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam.

(45)

Reforma agraria adalah salah satu program penanggulangan kemiskinan yang dilakukan oleh pemerintah. Reforma agraria terbagi menjadi dua titik berat, yaitu aspek landreform dan aspek non-landreform atau yang disebut juga reforma akses agraria. Kedua aspek ini dilakukan sesuai dengan urgensi masing-masing. Pada desa perkebunan, aspek yang harus dilakukan pertama kali adalah aspek

non-landreform. Dengan peningkatan akses masyarakat terhadap pengolahan

tanah mereka sendiri, diharapkan masyarakat dapat semakin mengembangkan dirinya sendiri, meningkatkan produktifitas dari lahannya dan yang terpenting adalah masyarakat dapat mengetahui permasalahan agraria yang mereka hadapi dan cara mengatasinya. Sehingga bila aspek landreform dilakukan, masyarakat sudah siap, dan tidak menjual kembali tanah yang mereka dapatkan, ataupun membiarkan lahan tersebut dikelola oleh orang lain karena ketudaktahuan mereka dalam menggunakan lahan tersebut. Kerangka pemikiran penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

Masalah Agraria Ø Kontur wilayah perkebunan

dan keseburan tanah Ø Hubungan petani dengan

perkebunan dan TNGH Ø Penguasaan yang sempit oleh

petani

Ø Kerusakan lingkungan Ø Sulitnya askes transportasi Ø Tidak adanya penyuluhan Ø Tidak adanya penyaluran

kerdit

Ø Tidak adanya koperasi Kemiskinan di

Desa Perkebunan

Reforma Akses Agraria Ø Pembangunan Infrastruktur Ø Peningkatan produktifitas

tanah

Ø Pemberian kredit usaha tani Ø Penyuluhan dan

(46)

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif yang digunakan untuk memetakan dan menganalisis kontruksi kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Pendekatan kualitatif ini digunakan untuk mengembangkan pemahaman yang rinci tentang pemaknaan mengenai kemiskinan, indikator kesejahteraan dan tangga kehidupan dari masyarakat Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Analisis penyebab dari kemiskinan di dua kampung ini dipersempit kepada permasalahan agraria yang masyarakat hadapi saja. Melalui permasalahan agraria yang dihadapi oleh masyarakat, didapat upaya menanggulangi kemiskinan yang terdapat baik di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar, salah satunya yaitu penyusunan usulan aktivitas reforma akses agraria yang relevan untuk diterapkan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.

Metode kualitatif juga digunakan untuk mengidentifikasi sejauh mana masalah agraria memberikan kontribusi terhadap kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Dengan mengetahui akar kemiskinan dan masalah-masalah lain yang dihadapi oleh masyarakat, peneliti dapat menggali peluang sejauh mana peran masalah agraria menciptakan kemiskinan di dua kampung di Dusun Cigarehong ini. Dengan metode ini pula, akan diketahui aktivitas reforma akses agraria yang perlu dilakukan dan sesuai dengan kondisi masyarakat di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar.

(47)

Strategi penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah studi kasus. Studi kasus merupakan salah satu strategi dalam penelitian kualitatif yang mempunyai pengertian memilih lebih dari satu kejadian atau gejala sosial untuk diteliti dengan menerapkan serumpun metode penelitian (Sitorus, 1998). Studi kasus pada penelitian ini yaitu kasus kemiskinan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar. Pemilihan kasus ini dikarenakan peneliti ingin memahami lebih dalam mengenai kemiskinan yang ditelaah melalui jumlah penghasilan, pemilikan tanah maupun barang lainnya yang dimiliki oleh warga. Dengan memahami kemiskinan dan penyebabnya, dapat diketahui hal-hal apa saja yang perlu dilakukan untuk menanggulangi kemiskinan tersebut.

Tipe penelitian ini bersifat eksplanatif, dimana diharapkan penelitian ini memberi gambaran mengenai kemiskinan dari sudut pandang tineliti dan menjelaskan masalah-masalah agraria yang menyebabkan kemiskinan sehingga dapat disusun usulan aktivitas reforma akses agraria apa saja yang dapat dilaksanakan di dusun tersebut. Penelitian ini dilakukan melalui interaksi langsung antara peneliti dengan tineliti, karena peneliti ingin mengetahui dan memahami pandangan tineliti mengenai kemiskinan, masalah-masalah agraria yang menyebabkan kemiskinan, dan kebutuhan-kebutuhan mereka untuk bisa keluar dari kemiskinan.

3.2 Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan di Kampung Padajaya dan Kampung Padajembar yang termasuk kedalam Dusun Cigarehong, Desa Purwabakti, Kecamatan Pamijahan, Kabupaten Bogor. Pemilihan lokasi penelitian dilakukan

Gambar

Tabel 1. Struktur Permasalahan Agraria di Indonesia    Aspek dan Faktor-faktor
Gambar 1. Kerangka Pemikiran
Tabel 2. Topik Wawancara Penelitian
Gambar 3. Peta Desa Purwabakti
+7

Referensi

Dokumen terkait

Spesimen pertama di uji cobakan pada kecepatan putaran 620 rpm, kedalaman pemakanan 1 mm, sudut clearence angel sebesar 10º, rake angle sebesar 12º, back rake

Sebelum melakukan penelitian dengan menerapkan strategi metakognitif berbantuan metode PQ4R peneliti membandingkan prestasi belajar kognitif mahasiswa tanpa

• Semua pihak hendaklah bercakap mengikut giliran. • Apabila suatu pihak bercakap, pihak lain hendaklah mendengar dan memberi perhatian. • Apabila bercakap hendaklah dalam

Say, wirausaha adalah orang yang menggeser sumber sumber ekonomi dari produktivitas terendah menjadi produktivitas tertinggi.Menurutnya, wirausahalah yang menghasilkan

Alasan penelitian ini mengambil kedua novel tersebut adalah: pertama, cerita Takdir dan Keras Hati merupakan refleksi dari kehidupan sehari-hari dan sistem

Sesungguhnya skrip ini hanya membaca topik-topik yang sudah dituliskan dalam berkas topics.txt, kemudian memilih secara random salah satu dari baris (topik) tersebut.. Setiap

menghentikan penerbitan obligasi atas unjuk ini sejak tahun 1982 dan secara resmi dilarang oleh otoritas perpajakan pada tahun 1983. j) Obligasi tercatat adalah obligasi

Melalui peningkatan efisiensi usaha peternakan maka diharapkan akan dapat terwujud peningkatan produksi susu nasional dan menurunnya ketergantungan terhadap susu impor. Selain