• Tidak ada hasil yang ditemukan

MASUKNYA SUSTER-SUSTER ADM DI INDONESIA

C. Masuknya Suster-suster ADM di Indonesia

Kongregasi Suster-suster Amalkasih Darah Mulia yang didirikan oleh Sr.

Seraphine pada tahun 1862, telah memiliki beberapa cabang di Eropa, yaitu di

Belanda dan Jerman. Selama tiga periode kepemimpinan, setelah Sr. Seraphine

meninggal, kongregasi banyak mengalami perkembangan.

Beberapa komunitas yang didirikan di Netherland

1. Sittard , dengan karya pendidikan dan rumah perawatan orang tua.

2. Koningsbosch dengan karya pendidikan, sekolah rumah tangga dan asrama

3. Goirle, karya yang ditangani karya pendidikan

4. Vinkeveen; karya pendidikan TK, sekolah Rumah tangga

5. Hengelo; karya pendidikan, panti orang tua dan pekerja sosial

6. Abcoude; karya pendidikan

7. Thiergaten

8. Kessel

9. Merkelbeek

Dari 10 komunitas, beberapa komunitas telah ditutup; Koningsbosch

(tahun1995), Goirle (1990),Vinkeveen (1980), Hangelo (2002), Abcoude

(1946),Thiergaten, Kessel, Merkelbeek.

Komunitas di Jerman :

1. Waldefeucht dengan karya asrama anak-anak

2. Bad Rippoldsau; sanatorium untuk anak-anak dan orang dewasa, klinik,

novisiat

3. Tilhove; rumah penampungan ibu-ibu yang menderita

4. Schlossalner; rumah anak yatim piatu

5. Freiburg; merawat orang-orang tua St. Vincentius

6. Hennef : novisiat-regionalat misi prokur

7. Broichweiden; rumah orang tua “ Haus Seraphine”

Komunitas yang sudah ditutup; Waldefeucht, Tilhove, Schlossaner dan Hennef.

Kongregasi pada waktu itu juga membuka karya misi di Afrika yaitu di

Rugari, Burundi dan Muyinga, namun sayang karena situasi di Afrika yang tidak

aman, yang disebabkan oleh perang antar suku, para suster terpaksa menutup

komunitas di Afrika.

Pada masa kepemimpinan Sr. Celestine Van Gorp ditandai dengan suatu

langkah besar. Pada waktu itu, meskipun kongregasi telah mempunyai beberapa

cabang di Jerman dan Belanda, namun anggota kongregasi sendiri masih sedikit.

Para suster masih kekurangan tenaga untuk mengerjakan karya. Suatu karya yang

keprihatinan bagi Sr. Celestine dalam kepemimpinannya pada tahun 1932 – 1938,

karena karya sendiri semakin besar, namun tenaga suster tidak mencukupi.

Sementara itu situasi di Indonesia pada tahun 1932 dapat dikatakan subur

untuk misi. Jumlah umat Katolik telah berkembang, demikian pula dengan

Keuskupan Purwokerto, yang pada tahun tersebut telah resmi berdiri sendiri sebagai

gereja setempat, karena sebelumnya Purwokerto masuk menjadi satu bagian wilayah

Vikariat Apostolik Jakarta. Disini tenaga suster dan bruder dibutuhkan untuk

membantu pelayanan misi. Kongregasi Suster-suster Amalkasih Darah Mulia

memahami situasi ini, tetapi karena keadaan kongregasi tidak memungkinkan untuk

memberikan tenaga suster di daerah misi maka berulangkali kongregasi belum

menyanggupi permintaan para pater yang kebetulan pulang cuti ke Eropa dan minta

bantuan tenaga suster untuk datang ke tanah misi, khususnya di Jawa. Namun pada

akhirnya, Sr. Celestine sebagai pemimpin umum menanggapi permintaan Mgr.

Visser, MSC Uskup Purwokerto waktu itu untuk mengirimkan tenaga susternya

membantu di daerah misi. Setelah berunding dengan Dewan Umum, maka

diputuskan memilih lima orang suster sebagai perintis. Kelima orang tersebut adalah:

1). Sr. Amanda, guru dan diserahi sebagai pimpinan

2). Sr. Teresa, guru dan menjadi wakil pemimpin

3). Sr. Egidia, guru

4). Sr. Romana, guru

5). Sr. Salome, akan mengurus rumah tangga72

72

Syarat untuk dapat dipilih sebagai misionaris di Indonesia ditentukan sbb.: 1) Suster sendiri harus mau dan berminat. 2) Harus dalam keadaan sehat 3) Tidak terlalu muda, kurang lebih 40 thn. 4)

Saat keberangkatan para suster ke Jawa dipilih musim yang tepat untuk

berlayar. Mereka menggunakan kapal Johan de wit yang bertolak dari Genua ke

Timur jauh pada tanggal 19 Mei 1933. Sr. Alphonso menyiapkan segala kebutuhan

yang diperlukan oleh para suster. Pada hari yang bersejarah itu diterimakan salib misi

oleh Mgr. Leumens kepada kelima suster tersebut, sebagai tanda bahwa mereka

diutus.

Dengan diterimakannya salib misi, dimulailah perjalanan yang panjang bagi

kelima suster. Mereka tidak tahu apa yang akan terjadi, tapi mereka percaya pada

penyelenggaraan ilahi.

Untuk mencapai pelabuhan Genua, perjalanan dari Roermond ditempuh

dengan kereta api menuju ke Luxemburg melewati Perancis sampai di Swiss di kota

Basel dari Swiss perjalanan dilanjutkan ke pelabuhan Genoa.

Dengan menggunakan kapal Johan de wit, perlahan-lahan mereka mulai

berlayar dan meninggalkan pelabuhan. mereka singgah ke Port Said, Srilangka,

Sabang, lalu langsung ke Batavia. Banyak hal yang dijumpai oleh para suster selama

perjalanan mereka misalnya di Port Said dengan “manusia ketip” nya73, di Aden ada

penurunan jenazah seseorang ke dasar laut. Para suster juga singgah di Singapura.

Akhirnya sesudah hampir satu bulan di atas laut, sampailah mereka di Batavia pada

tanggal 10 Juni 1933. Mereka dijemput oleh suster-suster Ursulin dan tinggal 9 hari

di tempat biara mereka. Namun, para suster masih harus melanjutkan perjalanan ke

tempat tujuan mereka yang sebenarnya yakni Kutoarjo, disanalah Mgr. Visser telah

Tidak ada kesulitan dan keberatan yang besar dari pihak keluarga. (Zr. Patricia, Kronik Kongregasi ADM di Indonesia, Purwokerto, tanpa penerbit, 1933, hlm.1-2)

73

Yang dimaksud manusia ketip adalah orang-orang yang berrendam di laut dan dari laut mereka meminta uang pada orang-orang yang berada di atas kapal

menunggu. Pada tanggal 19 Juni 1933 berangkatlah mereka ke Kutoarjo, perjalanan

dari Jakarta ke Kutoarjo ditempuh dengan kereta api. Atas anjuran Mgr. Visser

mereka menginap satu malam di Purwokerto.

Pada tanggal 20 Juni 1933, kelima suster perintis tiba di Kutoarjo, mereka

disambut di stasiun oleh Pater de Lange, MSC dan Pater Dekkers, MSC serta Ibu

Djajeng Pratomo (Ibunda Sr.Clara). Dari stasiun mereka diantar menuju rumah yang

dulunya adalah rumah untuk Bupati bila sudah pensiun, namun karena Bupati

meninggal sebelum pensiun, maka rumah tersebut diambil alih oleh Mgr. Visser

untuk tempat tinggal para suster. Pater Visser telah menyiapkan tempat tersebut dan

mengaturnya supaya para suster cepat kerasan tinggal di situ, ada ruangan besar

untuk kapel dan refter. Para suster sudah dapat menggunakan kapel untuk berdoa dan

menyelenggarakan perayaan ekaristi, bahkan beberapa umat juga ikut. karena pada

waktu itu gereja Kutoarjo belum dibangun, baru pada tahun 1938 gereja baru dan

sebuah pastoran dibangun untuk umat karena umat semakin bertambah banyak.74

Pada awalnya, para suster masih membiasakan diri dengan kehidupan di

tanah misi. Ruangan yang serba darurat mulai dibenahi satu persatu, para suster juga

mulai membiasakan diri dengan makanan orang Indonesia, sebab tidak mungkin

mereka selamanya memanfaatkan bekal yang mereka bawa dari Eropa untuk karya

awal, para suster menerima dua sekolah yang diserahkan kepada mereka yaitu HIS

(Hollands Inlandse School) sekolah yang diperuntukkan bagi anak-anak Jawa dan

HCS (Hollands Chinese School) sekolah bagi anak-anak Cina untuk HIS dipegang

oleh Sr. Theresia dan Sr. Egidia, yang pada awalnya memiliki enam kelas, sedangkan

74

Sr. Amanda dan Sr. Romana memegang HCS yang pada waktu itu hanya memiliki

tiga kelas. Jumlah murid kedua sekolah itu dengan cepat bertambah sehingga

dibutuhkan tambahan suster lagi untuk menambah jumlah kelompok yang pertama

ini. Pada tahun 1935, Sr. Yulita datang ke Indonesia kemudian disusul Sr. Cleopha

dan Sr. Alena pada tahun 1937.75

Hal yang patut dicermati, apa yang mendorong Sr. Celestine akhirnya mau

menanggapi permintaan Mgr. Visser MSC untuk mengirimkan tenaga susternya ke

daerah misi? Dapat diketahui, spiritualitas Darah Mulia yang dihayati oleh Sr.

Celestine untuk menghormati secara khusus Darah Mulia dan membuat buah hasil

penebusan menjadi lebih subur di daerah misi, mendorong Sr. Celestine mau

menanggapi permintaan Mgr. Visser MSC untuk mengirim suster-susternya ke

Kutoarjo. Dengan kata lain spiritualitas menggerakkan Sr. Celestine untuk bertindak,

karena spiritualitas adalah pengungkapan kharisma sehingga orang tersebut

terdorong untuk mengambil sikap menurut semangat injil dan tuntutan situasi

konkret (Tom Jacobs, SJ:10). Sr. Celestine ingin mewujudkan spiritualitas itu dalam

hidup konkret, bahwa semua orang telah ditebus dengan Darah Kristus.

Demikian pula saat itu, bila para suster ingin membuka suatu komunitas baru,

kiranya spiritualitas menjadi dasar atau motivasi untuk membuka komunitas baru

tersebut, yaitu membuat buah hasil penebusan semakin dirasakan oleh banyak orang,

karena spiritualitas ini pulalah yang membuat orang dapat bertahan bila mengalami

situasi yang sulit. Kongregasi juga akan berkembang, bila pemimpinnya berani atau

mampu membuat suatu keputusan, dalam hal ini pemimpin berani untuk menerima

tawaran membuka komunitas baru, dalam perkembangan kongregasi selanjutnya,

75

dilihat bagaimana kongregasi itu menjalin relasi dengan lingkungannya yang akan

membawa suatu perkembangan atau perubahan relasi atau interaksi ini perlu

dilakukan terus-menerus.