• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembagian Ordo atau Kongregasi untuk masing-masing wilayah

MASUKNYA SUSTER-SUSTER ADM DI INDONESIA

B. Pembagian Ordo atau Kongregasi untuk masing-masing wilayah

Bagian ini ditulis untuk mengetahui, bagaimana akhirnya ordo atau

kongregasi yang berkarya di Indonesia memiliki cakupan daerah/wilayah pelayanan.

(Diktat Kuliah)Yogyakarta, Universitas Sanata Dharma Jurusan Sejarah dan Geografi Sosial, 1988, hlm. 24)

Hal ini berkaitan dengan wilayah Purwokerto yang diberikan kepada para Misionaris

Hati Kudus (MSC). Kutoarjo adalah salah satu paroki di Purwokerto, tempat para

suster tiba pertama kali di Indonesia tahun 1933, sementara pastor MSC adalah yang

mangundang para suster ADM untuk berkarya di Kutoarjo yaitu Mgr. Visser, MSC

yang pada waktu itu sebagai perfektur apostolik.

Pada tahun 1900, gereja Katolik di Indonesia hanya terdiri dari satu wilayah

administratif gerejawi yakni vikaris Apostolik Batavia dengan satu ordo yang

berkarya yaitu para Yesuit. Ada usaha untuk mencari tenaga bantuan dari ordo lain;

para misionaris Mill Hill dari Inggris yang berkarya di Kalimantan Utara bersedia

berkarya di bagian “Belanda” pulau itu. Mereka akan mengutus para misionarisnya

yang ada di Belanda untuk pergi kesana, namun ternyata ditolak oleh pemerintah

Hindia Belanda, alasannya karena kongregasi tersebut berlatar belakang Inggris, ada

kemungkinan pengaruh Inggris dari Kalimantan Utara akan meluas ke selatan.

Dengan adanya “nota der punten” yaitu perjanjian resmi takhta suci dengan

pemerintah Belanda tahun 1847, yang salah satu isinya menyebutkan bahwa

pemerintah hanya mengakui satu organisasi gerejawi dan satu vikaris apostolik,

maka ketika kongregasi Misionaris Hati Kudus (MSC) telah berkarya di pulau Irian

Timur (New Guinea Timur) dan bersedia mengambil alih bagian barat pulau tersebut

sebagai daerah misi, ini menimbulkan kesulitan pula.65

Sesudah tahun 1918, mulai banyak para misionaris yang berlayar ke Hindia

Belanda. Kendati ada hambatan dari pejabat tetapi mereka tetap melanjutkan karya

65

misi mereka. Periode itu disebut sebagai “Masa Misi Yang Agung” dari tahun 1918

sampai 1940.

Dari tahun 1918 sampai 1940 didirikan sepuluh wilayah gerejawi baru di

Hindia-Belanda, tambahan pada kelima wilayah yang sudah ada. Tiap ordo atau

kongregasi menerima wilayahnya sendiri:

- Di Pulau Sumatra pada tahun 1923, daerah Sumatra Selatan dipisahkan dari

Padang. Tempat kedudukannya ialah Palembang, yang diserahkan kepada

para imam Hati Kudus (SCJ).

Begitu pula pada tahun 1923 para imam SSCC diserahi wilayah Bangka dan

Belitung, Ibukotanya adalah Pangkal Pinang.

- Di Pulau Jawa, Vikariat Batavia dibagi-bagi: pada tahun 1927, wilayah

Malang diserahkan kepada para imam Karmelit (O. Carm). Para imam

Lazaris (CM) pada tahun 1928 menerima wilayah Surabaya. Daerah

Purwokerto pada tahun 1932 diserahkan kepada para Misionaris Hati Kudus

(MSC), dan pada tahun itu juga para imam Salib Suci (OSC) datang ke

daerah Bandung.

- Kalimantan Barat dan Selatan pada tahun 1938 dipisahkan: Kongregasi para

Misionaris Keluarga Kudus (MSF) menerima wilayah Banjarmasin, termasuk

Kalimantan Timur.

- Di daerah Kepulauan Sunda Kecil, para Misionaris Sabda Allah (SVD)

memisahkan Timor dari Flores. Pada tahun 1936, didirikan Atambua.

- Para Misionaris Hati Kudus (MSC), yang sejak tahun 1902 berkarya di

New Guine. Pada tahun 1937 Sulawesi Selatan, dengan Ibukota Makasar,

diserahkan kepada para Misionaris Scheut (CICM).66

Namun melalui perundingan antara Den Haag dan Roma akhirnya ditemukan

kesepakatan, bahwa para misionaris boleh memasuki Hindia berkarya dalam wilayah

mereka sendiri, tapi prefek yang baru, tidak diakui sebagai fungsionaris gerejawi

yang mandiri.67

Meskipun ordo atau kongregasi secara formal telah menerima daerah misinya

sendiri dan dapat menggariskan kebijakan mereka di daerah yang diserahkan kepada

mereka masing-masing. Namun belum tentu di daerah tersebut, mereka dapat bekerja

dengan bebas, karena setiap ijin memasuki daerah tersebut harus diuji oleh

Pemerintah Hindia Belanda menurut sekehendak pemerintah sendiri, jadi tampak

disini bahwa salah satu kendala yang dialami oleh para misionaris adalah sikap para

pejabat pemerintah yang kurang mendukung karya misioner.

Pemerintah Belanda melakukan hal ini dikarenakan kemungkinan ada

ketakutan dari pihak pemerintah, jika penduduk prIbumi diberi pewartaan iman,

mereka akan memperoleh pengetahuan, dan hal ini membahayakan pemerintah,

karena mereka dapat melakukan suatu gerakan atau emansipasi, karena rakyat telah

menjadi mandiri.68

Kalau berdasar pembagian tersebut, daerah Purwokerto pada tahun 1932

diserahkan kepada para Misionaris Hati Kudus (MSC). Hal ini sebenarnya sudah

dimulai pada pembicaraan pendahuluan antara provinsial SJ, Pater P. Boukers, dan

provinsial MSC, Pater G. Baptist pada tahun 1924. Pada tanggal 10 November 1924

66 ibid, hlm. 89 67 ibid, hlm. 86 68 ibid, hlm. 90

propaganda fide yaitu kongregasi penyebaran iman menawarkan kepada pimpinan

umum MSC suatu karya misi didaerah Pekalongan, Banyumas, dan sebagian Kedu,

tawaran itu diteruskan kepada provinsi MSC di Nederland dan pada tanggal 20

Nopember 1924, diterima baik oleh Dewan Propinsi MSC.69

Tanggal 6 Mei 1927, Dewan Jenderal MSC menunjuk Pater B.Y.Y. Visser

sebagai superior religious daerah misi baru. Sebagai imam-imam tetap yang akan

mendampingi Pater Visser ditunjuk: Pater B. Thien, MSC, dan Pater M. de Lange,

MSC. Tiga misionaris MSC yang pertama itu kemudian mengadakan penelitian

tempat-tempat sebagai prioritas daerah misi. Setelah mengadakan pembicaraan

dengan Mgr. Van Velsen, SJ di Yogyakarta diputuskan Pater Visser diangkat sebagai

consultor, dan Pater Thien menduduki tempat di Tegal di Pantai Utara, Purwokerto

di bagian tengah oleh Pater Visser, dan Pater de Lange di Purworejo bagian

Selatan.70

Tanggal 27 Oktober 1927, diputuskan bahwa Purwokerto akan segera

ditempati dan menjadi pusat karya misi. Untuk keperluan misi, maka pada tanggal 13

Desember 1927 didirikan Yayasan Pius. Nama ini dipilih untuk mengenang Paus

Pius XI yang merestui MSC di tanah misi ini. Maksud pendirian Yayasan Pius ini

adalah untuk menyelenggarakan sekolah-sekolah dan untuk menyelenggarakan hak

milik dan pemilikan sebagai badan hukum.71

69

Sejarah Gereja Katholik Indonesia Jilid 3b; Sejarah Gereja Katholik di Wilayah Keuskupan Purwokerto, Departemen Dokumen Penerangan KWI, hlm. 911

70

ibid, hlm. 61 – 62

71

W. Schoomaker, MSC, Sejarah Gereja Katolik Di Wilayah Keuskupan Purwokerto (dalam Sejarah Gereja Katolik Indonesia Jilid 3B), Bagian Dokumentasi Penerangan KWI, Jakarta, hlm 912

Pada tanggal 2 Agustus 1932, Mgr. B.JJ.Visser dilantik secara resmi sebagai

prefek apostolik Purwokerto. Pada hari itu pula, wilayah misi Purwokerto resmi

berdiri sendiri sebagai gereja setempat. Dengan demikian dimulailah karya misi di

Purwokerto. Pater Visser setelah dilantik menjadi prefek apostolik Purwokerto mulai

mencari tenaga bantuan para suster dan bruder untuk berkarya di tanah misi tersebut.

Pada tanggal 20 Juni 1933 para suster dari Kongregasi Amalkasih Darah Mulia tiba

di Kutoarjo.