• Tidak ada hasil yang ditemukan

mEkANIsmE kErjA

Dalam dokumen konsensus skizofrenia (Halaman 61-66)

Obat-obat yang lebih kuat menghambat reseptor dopamin dikategorikan sebagai APG-I sedangkan yang lebih kuat menghambat serotonin dikategorikan sebagai APG-II.

Olanzapin, baik penelitian in vitro maupun in vivo, memiliki kemampuan memblok 5-HT2A

lebih besar bila dibandingkan dengan reseptor DA. Sebuah penelitian yang menggunakan

positron emission tomography (PET) menunjukkan bahwa olanzapin, pada semua kisaran

dosis, memblok 5-HT2A lebih besar (95% atau lebih besar) bila dibandingkan dengan

kemampuan memblok dopamin.

Olanzapin memiliki banyak persamaan dengan klozapin dalam hal struktur kimia dan kemampuan memblok reseptornya. Kemampuannya dalam menghambat berbagai reseptor ini dikaitkan dengan peranannya yang signifikan sebagai antipsikotika. Blokade dopamin, serotonin dan histamin, mungkin juga neurotansmiter lainnya, merupakan kemampuan olanzapin sebagai antipsikotika.

Masing-masing neurotransmiter memiliki berbagai reseptor. Untuk dopamin, ada lima

reseptor yang berbeda yang dikelompokkan ke dalam dua subtipe (D1 dan D5; D2, D3, dan

D4) dengan lokasi yang berbeda. Obat-obat antipsikotika bekerja pada regio-regio yang

spesifik. Oleh karena itu, obat-obat APG-II, misalnya olanzapin dapat menurunkan gejala psikotik tanpa menyebabkan gangguan gerak. Kerjanya yang spesifik ini juga didukung oleh penelitian biologi molekuler yang menyatakan bahwa terdapat peningkatan ekspresi c-fos di regio spesifik di otak, misalnya area kaudatus. (Robertson GS and Fibiger HC, 1996)

Selain itu, juga ada pendapat yang menyatakan bahwa keberhasilan dalam mengurangi gejala psikotik tanpa disertai efek samping ektrapiramidal dapat pula disebabkan oleh kecepatan lepasnya beberapa obat antipsikotika dari reseptor. Obat-obat yang menghambat reseptor tetapi ia dengan cepat meninggalkan reseptor tersebut, menunjukkan bahwa obat itu memiliki potensi pada reseptor tersebut sehingga ia dapat mengurangi gejala psikosis tetapi aktivitas reseptor tersebut tetap dalam keadaan “fisiologis” karena cepat dilepaskannya. Mekanisme kerja ini yang menyebabkan keberhasilan olanzapin mengatasi gejala psikotik tanpa adanya EPS pada dosis yang direkomendasikan. Walaupun demikian, pada dosis yang lebih tinggi (30 mg/hari), kemampuannya memblok dopamin meningkat sehingga dapat menyebabkan terjadinya efek samping EPS.

Glutamat, suatu neurotransmiter eksitatori, berperan pula dalam patofisiologi skizofrenia. Teori ini didukung oleh efek psikotomimetik antagonis glutamat seperti fensiklidin dan ketamin. Sebuah penelitian klinik memperlihatkan manfaat agonis glutaminergik (D-sikloserin) dalam pengobatan skizofrenia. (Goff DC et al., 1995)

Apabila glutamat diberikan kepada ODS skizofrenia, perbaikan gejala negatif dan fungsi kognitif dapat terlihat tetapi tidak terlihat terjadinya perbaikan gejala positif. Ada peneliti yang juga memperlihatkan peranan olanzapin pada glutamat yaitu penelitian pada tikus yang mempelajari tentang inhibisi prepulse. Inhibisi prepulse merupakan suatu ukuran gerbang sensormotorik yang dinyatakan terganggu pada penderita skizofrenia. Olanzapin dinyatakan dapat memperbaiki defisit inhibisi prepulse yang diinduksi oleh isolasi. Karena ada hubungan antara antagonis NMDA dengan inhibisi prepulse, penemuan ini membuktikan bahwa terdapat manfaat olanzapin terhadap sistem glutaminergik.

Sebuah penelitian lainnya yang melihat efek olanzapin terhadap kadar glutamat, menggunakan magnetic resonance spectroscopy, melaporkan bahwa kadar glutamat meningkat setelah penggantian dari APG-I ke olanzapin. Pada kelompok yang menunjukkan peningkatan kadar plasma glutamat juga memperlihatkan peningkatan konsentrasi glutamat otak. Peningkatan tersebut disertai dengan perbaikan gejala psikotik. (Goff DC et al., 2002)

Dekatnya hubungan anatomi antara neurotensin dengan sistem neurotransmiter lain yang terlibat pada skizofrenia, perubahahan kadar neurotensin otak ketika diberikan obat antipsikotika dan miripnya antara efek pemberian secara langsung neurotensin dengan efek antipsikotika, menimbulkan dugaan bahwa neurpeptida neurotensin berperanan pula pada skizofrenia. Terdapat peningkatan mRNA neurotensin setelah pemberian olanzapin. Pola perubahan neurotensin yang terlihat dengan olanzapin berbeda dengan yang terlihat dengan haloperidol. Efek ini sama dengan yang terlihat pada klozapin. Oleh karena itu, efek olanzapin pada neurotensin diduga juga penting pada skizofrenia. (Binder EB et al., 2001)

INDIkAsI

Olanzapin mendapat persetujuan dari FDA sebagai antipsikotika untuk skizofrenia, skizoafektif, dan bipolar episodee manik dan campuran. Dasar pemberian persetujuan ini adalah dari hasil-hasil penelitian olanzapin yang dilakukan. Penelitian awal menunjukkan bahwa kisaran dosis olanzapin adalah antara 5-30 mg/hari. Mula-mula dosis yang dianjurkan adalah 10 mg/hari, di malam hari. Kemudian, klinikus menggunakan dosis lebih tinggi yaitu rata-rata 13 mg/hari. Di ruang perawatan, klinikus sering memberikan olanzapin dengan dosis 5 mg di pagi hari dan 10 mg di malam hari. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

EFEk sAmPINg

Efek samping pada penggunan klinis tidak begitu berbeda dengan penelitian preklinis yang dilakukan yaitu kurangnya efek samping neurologik, misalnya efek samping ekstrapiramidal (EPS), distonia dan akatisia. Bahkan, pada kelompok-kelompok yang sensitif terhadap antipsikotika, misalnya penyakit Parkinson, efek sampingnya juga rendah.

Pada penelitian obat, fase II dan III, kelompok yang mendapat olanzapin memperlihatkan perbaikan EPS pada akhir penelitian bila dibandingkan dengan ketika mereka memasuki penelitian (baseline). Sebagian besar penelitian tersebut menggunakan APG-I sebagai kontrolnya. Efek samping neurologik lebih jarang pada kelompok yang mendapat olanzapin bila dibandingkan dengan kelompok yang mendapat haloperidol. Misalnya, parkinsonisme (14% : 38%) dan akatisia (12% : 40%). Rendahnya EPS dapat pula memprediksi rendahnya tardive diskinesia. Pemberian antiparkinsonisme pada penelitian obat olanzapin lebih rendah bila dibandingkan dengan penelitian obat risperidon (13%:32%). (Schulz SC et al., 2004)

Efek samping yang sering ditemukan pada penggunaan olanzapin yaitu penambahan berat badan. Penambahan berat badan dapat berkontribusi dalam ketidakpatuhan terhadap antipsikotika sehingga dapat meningkatkan angka kekambuhan. Dengan penurunan efek samping neurologik dengan obat-obat APG-II, sindrom metabolik muncul menjadi risiko utama pada ODS yang menggunakan obat tersebut. Sindrom metabolik harus menjadi perhatian khusus klinikus.

Sebuah penelitian meta-analisis yang menilai perubahan berat badan akibat pemberian antipsikotika memperlihatkan bahwa klozapin dapat meningkatkan berat badan 4,45 kg, olanzapin, 4,15 kg, risperidon 2,1 kg, haloperidol 1,08 kg, dan plasebo menurunkan berat badan 0,74 kg. Rata-rata penelitian berlangsung lebih dari 10 minggu. Pada penelitian jangka panjang, subjek yang berat badannya meningkat lebih dari 7% adalah 30%-50%. Rendahnya berat badan sebelum mendapat terapi dan baiknya respons klinis terhadap pemberian olanzapin dikaitkan dengan tingginya efek samping penambahan berat badan. Terapi Biologik

Perhatian yang lebih besar tentang penambahan berat badan yaitu pada anak-anak dan remaja. Mereka akan terpapar dengan obat lebih lama dan mereka juga sangat memperhatikan penampilan. Sebuah penelitian yang dilakukan selama 12 minggu melaporkan bahwa berat badan remaja yang dirawat meningkat sebanyak 7,2 + 6,3 kg, dua kali peningkatan berat badan yang terjadi pada kelompok yang mendapat risperidon. Peningkatan berat badan yang ≥ 7% tersebut terdapat pada sekitar 90% remaja yang menggunakan olanzapin. Penelitian lainnya juga melaporkan bahwa rerata penambahan berat badan pada remaja, berusia kurang dari 18 tahun, menderita skizofrenia, menggunakan olanzapin lebih dari 18 minggu, adalah 6,5 kg. (Fidling RL et al., 2003)

Intoleransi glukosa, hiperglikemia, hiperlipidemia, ketoasidosis diabetik, sebagian besar dikaitkan dengan klozapin dan olanzapin. Kasus-kasus yang dilaporkan ke FDA Drug

Surveillance System memperlihatkan bahwa awitan baru diabetes dan hiperglikemia yang

dikaitkan dengan olanzapin yaitu 78%. Sebanyak 35% dari yang menderita diabetes tersebut mengalami ketosis atau asidosis. Sebanyak 8% kelompok mengalami ketoasidosis tersebut meninggal. Sebagian besar kasus terjadi pada enam bulan awal pengobatan dengan olanzapin. Beberapa kasus terjadi pada bulan pertama pengobatan.

Sebuah penelitian yang menggunakan data dasar yang cukup besar melaporkan bahwa risiko terjadinya diabetes tipe-2, setelah penggunaan olanzapin dan klozapin, relatif tinggi bila dibandingkan dengan penggunaan risperidon atau APG-I. Oleh karena itu, pemantauan terjadinya diabetes tipe-2 harus dilakukan. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b; Schulz SC et al., 2004)

Sedasi sering terjadi pada awal pengobatan dengan olanzapin tetapi berkurang setelah beberapa lama pengobatan. Insidensnya sekitar 15% dan kejadian ini sama dengan haloperidol. Efek antikolinergik dapat terjadi selama pengobatan dan angkanya sedikit lebih tinggi bila dibandingkan dengan plasebo dan tidak menyebabkan penghentian pengobatan.

Peningkatan ringan enzim hati dapat pula terjadi tetapi biasanya stabil atau menurun tanpa menjadi progresif atau menyebabkan disfungsi hepar. Peningkatan prolaktin dapat pula terlihat selama pengobatan tetapi kadarnya sangat rendah bila dibandingkan dengan risperidon atau APG-I. Konsentrasi prolaktin dapat melebihi kadar normal bila dosis obat lebih dari 30 mg/hari.

Leukopenia sangat jarang. Angka kejadiannya sama dengan APG-I atau atipik lainnya. Olanzapin tidak menimbulkan agranulositosis, bahkan pada ODS-ODS yang menderita agranulositosis, ketika mereka menggunakan klozapin, membaik setelah diganti dengan olanzapin. Tidak ada efek pemanjangan QTc, dan efek samping kardiovaskuler lainnya. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

INtErAksI oBAt

Olanzapin dimetabolisme terutama melalui glukoronidasi dan oksidasi oleh enzim sitokrom P450 1A2. Obat-obat lain yang memengaruhi jalur metabolisme ini akan memengaruhi farmakokinetik olanzapin. Obat-obat yang menghambat aktivitas ensim 1A2 menurunkan klirens olanzapin sehingga meningkatkan konsentrasi plasma olanzapin.

Fluvoksamin, suatu inhibitor sitokrom P450 1A2, diketahui menghambat metabolisme olanzapin. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap 10 orang laki-laki sehat, perokok, menerima 11 hari fluvoksamin dengan dosis 50-100 mg, menunjukkan peningkatan

konsentrasi maksimum (Cmax) olanzapin sebanyak 84% dan peningkatan AUC0-2 sebanyak

119% bila dibandingkan dengan olanzapin ditambah plasebo. Klirens olanzapin menurun sebanyak 50% dan volume distribusinya menurun sebanyak 45% dengan penambahan

fluvoksamin. Begitu pula dengan Cmax metabolit olanzapin (4’-N-desmethyl-olanzapine)

menurun 64% dan AUC0-24 turun sebanyak 77%. Tidak ada perubahan dalam waktu

paruh baik pada olanzapin maupun pada metabolitnya (4’-N-desmethyl-olanzapin). Hal ini menunjukkan bahwa fluvoksamin menghambat metabolisme cepat pertama (first-pass

metabolism).

Fluoksetin dan imipramin tidak menghambat sitikrom P450 1A2. Ketika dikombinasikan dengan olanzapin terlihat hanya sedikit perubahan farmakokinetik olanzapin. Kombinasi olanzapin dengan fluoksetin menurunkan klirens olanzapin hanya sebanyak 15% dan

meningkatkan Cmax 18% dan tidak ada perubahan yang signifikan dalam waktu paruhnya

(18). Pemberian bersamaan dengan imipramin meningkatkan Cmax olanzapin sebanyak 14%.

(Callaghan JT et al., 1997)

Obat-obat yang menginduksi enzim P450 1A2 dapat meningkatkan klirens olanzapin sehingga mengurangi kadar olanzapin dalam darah. Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap orang sehat, diberikan karbamazepin dengan dosis 2 x 200 mg/hari, selama 18 hari dan kemudian diberikan olanzapin 10 mg dosis tunggal memperlihatkan peningkatan klirens yang signifikan (32.6 : 47,6 L/jam) dan juga volume distribusi (1,190 : 1,400L).

Di samping itu, juga terjadi penurunan Cmax yang sangat bermakna (11,7 : 8,8 mg/L).

Penghentian karbamazepin dikaitkan dengan peningkatan kembali konsentrasi olanzapin sebanyak 114%. (vanKammen DP, Marder SR, 2005b)

Merokok juga dapat menginduksi enzim P450 1A2 sehingga dapat pula memengaruhi disposisi olanzapin. Klirens olanzapin lebih tinggi pada perokok bila dibandingkan dengan yang tidak perokok. Dalam penelitian in vitro, olanzapin tidak menghambat secara signifikan aktivitas enzim sitokrom P450 1A2, 2D6, 2C9 atau 2C19. Pada penelitian in

vivo, olanzapin tidak memengaruhi disposisi aminofilin, diazepam, alkohol, imipramin,

warfarin, biperiden, dan litium. (Callaghan JT et al., 1999) Terapi Biologik

klozapin

Penelitian APG-II pertama kali, klozapin, dimulai pada akhir tahun 1960-an. Obat ini dapat mengurangi gejala psikosis tanpa menyebabkan efek samping gangguan anggota gerak. Ketika terjadi kematian akibat agranulositosis, sebagai efek samping klozapin,

penelitian mengenai obat ini dihentikan, baik di Eropa maupun di Amerika Serikat.15

Kemudian, semangat untuk mengembangkan APG-II mucul kembali. Akhirnya, penelitian-penelitian dilakukan kembali dan disimpulkan bahwa klozapin dapat digunakan dengan syarat, selama penggunaannya, pemantauan yang ketat terhadap sistem hemopoetik, harus dilakukan. Setelah mendapat persetujuan Food and Drug Administration (FDA), klozapin kembali digunakan. (Schulz SC et al., 2004)

Dalam dokumen konsensus skizofrenia (Halaman 61-66)

Dokumen terkait