• Tidak ada hasil yang ditemukan

konsensus skizofrenia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "konsensus skizofrenia"

Copied!
94
0
0

Teks penuh

(1)

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia

KonSenSuS PenatalaKSanaan

GanGGuan SKIzofrenIa

(2)
(3)

Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia

KonSenSuS PenatalaKSanaan

(4)
(5)

Sambutan Ketua Seksi Skizofrenia

Sambutan Ketua Seksi Skizofrenia

Perhimpunan Dokter Spesialis

Kedokteran Jiwa Indonesia

Sejawat yang saya hormati,

Perkembangan layanan kesehatan jiwa semakin hari semakin menantang. Harapan penderita dan keluarga menjadi hal yang patut kita perhatikan. Dengan melihat perkembangan dan penyebaran tenaga kesehatan jiwa di wilayah Indonesia yang begitu luas, kiranya perlu diperhatikan standar layanan yang lebih merata dan memiliki kualitas yang sama.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, maka Seksi Skizofrenia PDSKJI sebagai bagian dari organisasi profesi kesehatan Jiwa, merasa perlu untuk menyusun konsensus yang merupakan kesepakatan para pakar dalam manajemen gangguan skizofrenia yang akan menjadi pedoman umum penatalaksanaan gangguan skizofrenia secara komprehensif. Konsensus ini dibuat melalui tahapan penelusuran kepustakaan, jajak pendapat para praktisi di lapangan dan diskusi yang panjang dari para pakar di bidang Skizofrenia. Kami sadari dengan perkembangan ilmu yang demikian cepat, masih dimungkinkan ada revisi dalam berjalannya waktu.

Harapan kami mudah-mudahan hasil konsensus ini dapat menjadi panduan yang dirujuk saat membuat standar layanan di tempat tugas sejawat masing-masing.

Salam,

A.A.A.A. Kusumawardhani Ketua Seksi Skizofrenia PDSKJI

(6)
(7)

Sambutan Ketua Umum Pengurus Pusat

Perhimpunan Dokter Spesialis

Kedokteran Jiwa Indonesia

Assalamualaikum warrahmatullahi wabarakatuh.

Puji Syukur kehadirat Allah SWT, karena atas perkenanan-Nya-lah maka Konsensus Penatalaksanaan Gangguan Skizofrenia ini dapat mencapai purnanya.

Selamat saya ucapkan kepada Tim Penyusun dan seluruh anggota Seksi Skizofrenia PDSKJI yang telah berupaya sungguh untuk menghasilkan sebuah kesepakatan bersama tentang tatalaksana ini.

Sebuah organisasi profesi diharapkan mampu memberikan media yang terbaik untuk para anggotanya untuk meningkatkan kapasitas dan memberikan layanan terbaik. Oleh karenanya organisasi perlu untuk menyediakan sarana pengembangan diri dengan sistem penunjang yang baik dan berkembang secara terus menerus. Salah satu media untuk pengembangan tersebut adalah melalui konsensus penatalaksanaan semacam ini, karena konsensus dapat berperan sebagai panduan dalam melakukan tatalaksana baik dimulai dari penegakkan diagnosis sampai perencanaan tatalaksana dengan terapi biologi maupun intervensi psikososial. Pada akhirnya, konsensus ini diharapkan mampu meningkatkan kualitas hidup orang dengan skizofrenia dalam proses pemulihannya.

Konsensus ini diharapkan akan terus mengalami pembaharuan dan semakin mampu menjawab kebutuhan secara luas. Artinya, konsensus ini akan secara inklusif menjadi panduan bagi berbagai tingkat layanan, bermacam-macam profesi tenaga kesehatan baik psikiater maupun non psikiater, dan pemangku kepentingan lainnya seperti para akademisi, pengambil kebijakan di tingkat pusat, propinsi, maupun kabupaten/kota serta konsumen.

Semoga konsensus ini juga dapat menjadi dasar dan motivasi pengembangan konsensus-konsensus lainnya di bidang psikiatri.

Selamat berkembang dan terus bermanfaat bagi semua. Wassalammualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.

Tun K. Bastaman

Ketua Umum PP PDSKJI

(8)
(9)

PengAnTAr

Gangguan skizofrenia merupakan masalah kesehatan yang kompleks dan membutuhan perhatian khusus. Oleh sebab itu kami merasa perlu untuk menyusun kesepakatan ilmiah dalam penatalaksanaan gangguan skizofrenia yang merujuk pada sumber keilmuan mutakhir dan sesuai untuk diterapkan di Indonesia .

Melalui proses diskusi ilmiah dan kerjasama yang efektif maka dalam waktu relatif singkat kami telah berhasil menyelesaikan buku konsensus penatalaksanaan skizofrenia yang kami harapkan dapat menjadi bahan acuan bagi profesional kesehatan jiwa dalam memberikan tatalaksana pada orang dengan skizofrenia.

Selanjutnya kami merencanakan untuk melakukan penyempurnaan secara berkala sesuai dengan perkembangan ilmu dan terapan praktis di lapangan. Oleh sebab itu komentar dan masukan terhadap isi buku sangat kami harapkan.

Kami ucapkan terima kasih kepada PT AstraZeneca Indonesia yang telah mendukung seluruh rangkaian kegiatan sehingga terwujudnya buku Konsensus ini.

Selamat menggunakan buku panduan ini, semoga bermanfaat.

Jakarta, 1 Juli 2011.

Suryo Dharmono Ketua Tim Penyusunan

(10)
(11)

DAFTAr ISI

Sambutan Ketua Seksi Skizofrenia PDSKJI ... i

Sambutan Ketua PP PDSKJI ... iii

Pengantar ... iv

Daftar Isi ... v

Bab I. Pendahuluan ... 1

Bab II. Diagnosis dan Penilaian ... 7

Bab III. Terapi Biologik ... 13

Bab IV. Intervensi Psikososial ... 61

Daftar rujukan ... 69

Lampiran A. glosari ... 73

Lampiran B. Instrumen-instrumen Pengukuran ... 79

(12)
(13)

BAB I

PENDAHULUAN

LAtAr BELAkANg

Kelompok gangguan psikotik menempati angka 1% dari populasi penduduk di Indonesia dan di dunia, bahkan untuk beberapa provinsi di Indonesia data Riskesdas tahun 2007 menunjukkan angka yang jauh lebih besar. (Badan Litbangkes Depkes RI, 2008) Di Jakarta misalnya, untuk populasi penduduk usia >15 tahun, 2,03% di antaranya menunjukkan gejala positif untuk gangguan psikotik, sehingga kita akan lebih memahami bahwa angka yang sesungguhnya untuk gangguan psikotik sebenarnya lebih tinggi.

Dari kelompok gangguan tersebut, gangguan Skizofrenia merupakan kelompok gangguan terbanyak yang ditemukan di masyarakat. Deteksi dini dan penegakan diagnosis skizofrenia terutama dengan gejala positif sebenarnya mudah untuk dilakukan. Namun sayang cakupan kasus masih rendah belum mencapai 30% dari total kasus yang seharusnya ada. Kasus yang ditemukan pun bila ditinjau dari kualitas manajemennya sangat bervariasi dan belum tentu benar-benar menjawab kebutuhan orang dengan gangguan skizofrenia.

Gangguan skizofrenia merupakan penyakit kronis, kambuhan, dan menyebabkan penurunan fungsi yang semakin lama semakin berat terutama bila tidak mendapatkan manajemen yang adekuat. Dengan kata lain, gangguan skizofrenia jelas mengakibatkan disabilitas yang sering kali ireversibel dan menimbulkan beban yang berat baik bagi individu tersebut maupun untuk keluarganya.

Perkembangan ilmu dan teknologi yang semakin pesat membawa dampak positif bagi perkembangan strategi terapi yang ada dengan dimungkinkannya pilihan yang semakin bervariasi dan semakin baik dari waktu ke waktu. Pilihan ini tentunya harus diupayakan untuk semakin rasional dengan tetap menempatkan kepentingan pasien di posisi yang utama. Untuk itu klinisi perlu untuk tetap mengikuti perkembangan terkini riset ilmiah dan menggabungkan pengetahuan ilmiah ini dengan pengalaman klinis dan situasi tiap individu pasien dan preferensinya. Hal ini yang disebut dengan praktik berbasis bukti (ilmiah). (Sackett D et al., 2000)

Suatu konsensus manajemen penyakit atau pedoman praktik klinis (clinical practice guideline) membahas rencana perawatan, menyediakan pedoman untuk praktik yang direkomendasikan dan menggambarkan luaran yang mungkin terjadi. Pedoman ini menyediakan tuntunan akan praktik terbaik, suatu kerangka kerja yang di dalamnya keputusan klinik dibuat, dan digunakan sebagai tolok ukur untuk evaluasi praktik klinik. (Turner T et al., 2008)

(14)

Berangkat dari situasi inilah, maka Seksi Skizofrenia PDSKJI sebagai bagian dari organisasi profesi psikiater, merasa penting untuk menyusun konsensus penatalaksanaan gangguan skizofrenia sebagai acuan untuk manajemen yang lebih berkualitas.

PEDomAN mANAjEmEN

Pedoman manajemen klinis adalah “kumpulan pernyataan yang secara sistematis dikembangkan untuk membantu klinisi dan pasien dalam membuat keputusan tentang pengobatan apa yang tepat untuk kondisi tertentu” (Departemen Kesehatan UK, 1998). Pedoman klinis tidak dimaksudkan untuk menggantikan pengetahuan profesional dan pertimbangan klinis. Penggunaan pedoman dibatasi oleh berbagai faktor: ketersediaan bukti riset yang berkualitas, penggunaan metode dalam penyusunan pedoman tersebut, kemampuan hasil penelitian untuk digeneralisir, dan keunikan tiap individu pasien. Pedoman klinis dapat membantu dalam hal: menyediakan rekomendasi yang berbasis bukti serta terkini dalam hal menejemen kondisi dan gangguan oleh tenaga kesehatan; digunakan sebagai dasar untuk menetapkan standar untuk penilaian praktik profesional kesehatan; sebagai dasar pendidikan dan pelatihan tenaga kesehatan; membantu pengguna jasa pelayanaan kesehatan dan pelaku rawat dalam membuat keputusan berdasarkan informasi tentang pengobatan dan perawatan; memperbaiki komunikasi antara profesional kesehatan, pengguna jasa layanan dan pelaku rawat; serta membantu dalam menentukan prioritas penelitian ke depan.

tUjUAN

1. Menyusun konsensus manajemen terapi yang komprehensif dan mampu laksana pada gangguan skizofrenia di Indonesia

2. Menerbitkan konsensus sebagai panduan terapi bagi anggota profesi khususnya dan para pemangku kepentingan lainnya

AktIvItAs

Kegiatan-kegiatan yang telah diselenggarakan untuk mempersiapkan konsensus tersebut terbagi dalam 5 fase kegiatan:

a. Fase penilaian kebutuhan (need assessment):

Pada fase ini, Tim Inti Penyusunan menyebarkan kuesioner penilaian kebutuhan kepada para psikiater yang bekerja di berbagai institusi (layanan, institusi pendidikan, pemerintahan). Penilaian kebutuhan meliputi jenis gangguan yang paling sering dihadapi, jumlah kasus, pola manajemen yang selama ini dijalankan, hal-hal yang membantu maupun menghambat proses manajemen, kebutuhan untuk mengatasi Pendahuluan

(15)

hambatan dan tantangan, rekomendasi untuk perbaikan pola manajemen. Data diolah dan dianalisis sebagai masukan bagi konsensus.

b. Fase penelusuran literatur

Pada fase ini Tim Inti melakukan studi terhadap berbagai literatur dari dalam maupun luar negeri termasuk kebijakan seperti INA-DRG.

c. Fase penulisan draft konsensus

Tim Penilaian Kebutuhan bertemu dengan tim literatur untuk melakukan konsolidasi dan memulai penulisan draft konsensus. Hasil penulisan draft tersebut didistribusikan ke Tim Pengkaji (reviewer) untuk mendapatkan masukan yang lebih baik dan komprehensif sebagai draft final.

d. Fase pre-launching dan launching

Draft final disosialisasikan pada perwakilan PDSKJI cabang untuk dapat dipergunakan secara luas melalui pertemuan pre-launching sebelum pada akhirnya di fase launching, Tim Inti akan mempresentasikan hasil konsensus yang telah disusun pada PIDT 2011 di Bandung sekaligus pembagian buku konsensus bagi peserta yang mengikuti simposium.

e. Fase monitoring dan evaluasi

Fase ini akan berlangsung selama 1 tahun pasca launching untuk mendapatkan input dari berbagai pemangku kepentingan yang dapat dipergunakan untuk penyempurnaan selanjutnya.

(16)

orgANIsAsI tIm PENyUsUNAN

Ketua Pengarah : dr. A.A.A. Agung Kusumawardhani, Sp.KJ(K); Ketua Seksi Skizofrenia PDSKJI

Ketua : Dr. Suryo Dharmono, Sp.KJ(K)

Sekretaris : Dr. Hervita Diatri, Sp.KJ

Bendahara : Ervina

tim Penilaian kebutuhan

Koordinator : Dr. Albert Maramis, Sp.KJ(K)

tim Literatur

Koordinator : Dr. Kristiana Siste, Sp.KJ

tim Pengkaji

Koordinator : DR. Dr. Nurmiati Amir, Sp.KJ(K)

Anggota : 1. Dr. Mustafa M. Amin, Sp.KJ

2. Dr. I. D. G. Basudewa, Sp.KJ 3. Dr. Handoko Daeng, Sp.KJ(K) 4. Dr. Margarita Maramis, Sp.KJ 5. Dr. Siti Khalimah, Sp.KJ 6. Dr. Robert Reverger, Sp.KJ(K) 7. Dr. Rihadini, Sp.KJ 8. Dr. Lely Setiawati, Sp.KJ 9. DR. dr. Suparno, Sp.KJ

10. Dr. Alifiati Fitrikasari Sutomo, Sp.KJ 11. Prof. Dr. AJ Tanra, Ph.D, Sp.KJ(K) 12. Prof. DR. Dr. Tuti Wahmurti, Sp.KJ(K)

sAsArAN

Petugas kesehatan, baik psikiater maupun non-psikiater.

(17)

UrAIAN UmUm PENAtALAksANAAN skIZoFrENIA

Diagnosis dan Penilian

Menyusun Perencanaan Tatalaksana

Tatalaksana di Fase Akut

Farmakologi dan Intervensi

Psikososial

Modifikasi dan Penyesuaian

terhadap timbulnya respon yang

inadekuat

Tatalaksana di Fase Stabilisasi

Farmakologi, Intervensi Psikososial,

dan Psikoterapi

Tatalaksana di Fase Stabil

Farmakologi, Intervensi Psikososial,

dan Komunikasi

Manajemen

Psikiatrik

dan

Penilaian

yang

Berkelanjutan

Sumber: Treating Schizophrenia: A Quick Reference Guide for Psychiatrist, American Psychiatric Association, 2004. gambar 1. skema umum penatalaksanaan kasus skizofrenia.

(18)

CAtAtAN :

(19)

BAB II

DIAgNosIs DAN PENILAIAN

Diagnosis skizofrenia

Kriteria Diagnosis PPDGJ III

status klinis

Risiko keberbahayaan terhadap diri dan atau orang lain

Akses terhadap kemungkinan bunuh diri atau pembunuhan

adanya halusinasi yang bersifat menyuruh

gangguan jiwa lainnya

gangguan Penyalahgunaan Alkohol dan Zat Psikoaktif Lainnya

komorbiditas dengan gangguan medik saat ini dan riwayat

Penyakit Dahulu

Kondisi, tatalaksana, dan medikasi fungsi jantung

Konsultasi dengan dokter, jika dibutuhkan

riwayat Psikiatrik sebelumnya

Episode terakhir

Keberbahayaan terhadap diri atau orang lain

Respons tatalaksana sebelumnya

Riwayat penyalahgunaan zat psikoaktif

riwayat Psikososial

riwayat keluarga

gambar 2. Bagan prosedur umum diagnosis kasus skizofrenia.

Sumber: Treating Schizophrenia: A Quick Reference Guide for Psychiatrist, American Psychiatric Association, 2004

(20)

ALUr DIAgNosIs gANggUAN skIZoFrENIA

gangguan dalam penilaian realita mengakibatkan gangguan fungsi dan penderitaan Adanya kondisi medis umum yang secara fisiologis dapat

mempengaruhi susunan saraf pusat: • Penyakit herediter/kongenital • Penyakit infeksi • Penyakit akibat trauma • Penyakit akibat gangguan vaskuler • Penyakit degenerative dan autoimun • Penyakit akibat gangguan metabolik-endokrin • Penyakit akibat keganasan

gangguan mental organik:

Delirium Demensia

Gangguan Psikotik Organik

Adanya riwayat penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif: • Alkohol

• Amfetamin • Kanabis/mariyuana • Halusinogen • Inhalan

gangguan mental Akibat Penyalahgunaan Alkohol dan Zat

Psikoaktif

• Berlangsung paling sedikit 1 (satu) bulan • Disertai dengan tilikan yang buruk

• Tidak ditemukan gejala-gejala yang sesuai dengan skizoafektif, gangguan mood mayor, autisme

gangguan skizofrenia

Predominan gejala waham dan halusinasi

gangguan skizofrenia Paranoid

Predominan gejala afek tumpul, tidak serasi, proses pikir asosiasi longgar hingga inkoherensi, waham tak sistematis, disertai perilaku disorganisasi (seperti menyeringai dan mannesrisme)

gangguan skizofrenia Hebefrenik

gangguan skizofrenia katatonik

Predominan gejala stupor katatonik atau mutisme, negativistic katatonik, rigiditas katatonik, postur katatonik (Flexibilitas cerea), kegembiraan katatonik

gangguan skizofrenia tak terinci Mempunyai halusinasi, waham, dan gejala-gejala psikotik aktif yang

menonjol sehingga tidak dapat digolongkan secara spesifik

gangguan skizofrenia residual Dalam keadaan remisi dari keadaan akut tetapi masih memperlihatkan gejala-gejala residual (penarikan diri secara sosial, afek datar, atau tak serasi, perilaku eksksentrik, asosiasi melonggar, atau pikiran tak logis)

gangguan Depresi Pasca skizofrenia

Menderita skizofrenia selama 12 bulan terakhir, beberapa gejala skizofrenia masih tetap ada, gejala-gejala depresif menonjol dan mengganggu, memenuhi sedikitnya kriteria untuk suatu episodee depresif dan telah ada paling sedikit 2 minggu

gangguan skizofrenia simpleks

gangguan skizofreniform ytt Lain-lain dari yang telah disebutkan di atas

gambar 3. skema langkah-langkah diagnosis skizofrenia berdasarkan PPDgj III/ICD-10

(21)

tErmINoLogI

Gangguan skizofrenia adalah gangguan jiwa yang ditandai dengan adanya distorsi realita, disorganisasi, dan kemiskinan psikomotor.

rINCIAN gEjALA

Gejala psikotik ditandai oleh abnormalitas dalam bentuk dan isi pikiran, persepsi, emosi, motivasi, neurokognitif, serta aktivitas motorik. Gejala pada skizofrenia sering kali dikenal sebagai gejala positif dan gejala negatif. Gejala positif meliputi waham, halusinasi, dan gangguan pikiran formal. Gejala negatif merefleksikan tidak adanya fungsi yang pada kebanyakan orang ada. Tampil dalam bentuk kemiskinan pembicaraan, penumpulan dan pendataran afek, anhedonia, penarikan diri secara sosial, kurangnya inisiatif atau motivasi, dan berkurangnya atensi.

Berikut adalah gejala-gejala yang dapat diamati pada skizofrenia:

a. gangguan Pikiran:

a.1. Gangguan proses pikir

Gejala-gejala yang menunjukkan adanya gangguan proses pikir di antaranya: 1. Asosiasi longgar 2. Inkoherensi 3. Tangensial 4. Stereotipik verbal 5. Neologisme 6. Terhambat (Blocking) 7. Mutisme

8. Asosiasi bunyi (clang association) 9. Ekolalia

10. Konkretisasi 11. Alogia a.2. Gangguan isi pikir

Gejala-gejala yang termasuk dalam gangguan isi pikir pada skizofrenia adalah adanya waham. Semakin akut skizofrenia, semakin sering ditemui waham disorganisasi atau waham tidak sistematis seperti waham kejar, waham kebesaran, waham dikendalikan, waham nihilistik, waham cemburu, erotomania, waham somatic, waham rujukan, waham penyiaran pikiran, waham penyisipan pikiran. Pada kelompok dengan predominan gejala negatif akan tampak gejala-gejala seperti alogia, miskin ide,

(22)

b. gangguan persepsi

Gangguan persepsi ditandai dengan gejala: 1. Halusinasi

2. Ilusi dan depersonalisasi

c. gangguan Emosi

Ada tiga afek dasar yang sering: 1. Afek tumpul atau datar 2. Afek tak serasi

3. Afek labil

4. Kedangkalan respons emosi sampai anhedonia

d. gangguan penampilan dan perilaku umum

Tidak ada penampilan atau perilaku yang khas untuk skizofrenia. Beberapa bahkan dapat tampil dan berperilaku sama dengan kebanyakan orang. Gejala-gejala yang mungkin ditemui dalam kelompok gangguan perilaku di antaranya:

1. Penelantaran penampilan 2. Menarik diri secara sosial

3. Gerakan tubuh yang aneh dan wajah yang menyeringai 4. Perilaku ritual

5. Sangat ketolol-tololan 6. Agresif

7. Perilaku seksual yang tidak pantas

8. Gejala katatonik (stupor atau gaduh gelisah) 9. Fleksibilitas serea

10. Katalepsi

11. Stereotipi dan mannerism 12. Negativisme

13. Automatisme komando 14. Echolalia

15. Ekhopraxia

e. gangguan motivasi

Aktivitas yang disadari sering kali menurun atau hilang pada orang dengan skizofrenia. Gejala-gejala gangguan motivasi di antaranya:

1. kehilangan kehendak 2. disorganisasi

3. tidak berkegiatan

(23)

f. gangguan neurokognitif

Defisit neurokognitif atau intelektual merupakan gambaran inti dari gangguan Skizofrenia. Gejala-gejala yang menyertai:

1. defisit dalam atensi dan performa

2. menurunnya kemampuan untuk menyelesaikan masalah 3. gangguan dalam memori 9termasuk spasial dan verbal), serta 4. fungsi eksekutif

DIAgNosIs BANDINg

Diagnosis-diagnosis yang juga memiliki gejala psikosis aktif di antaranya: (dapat dilihat pada alur diagnosis)

a. Gangguan kondisi medis umum misalnya epilepsi lobus temporalis, tumor lobus temporalis atau frontalis, stadium awal sklerosis multipel dan sindrom lupus eritematosus

b. Penyalahgunaan alkohol dan zat psikoaktif c. Gangguan skizoafektif

d. Gangguan afektif berat e. Gangguan waham

f. Gangguan perkembangan pervasif g. Gangguan kepribadian skizotipal h. Gangguan kepribadian skizoid i. Gangguan kepribadian paranoid

krItErIA DIAgNosIs skIZoFrENIA mENUrUt PPDgj III (ICD-10

CHAPtEr v)

Persyaratan normal untuk diagnosis skizofrenia adalah: dari gejala-gejala di bawah ini harus ada paling sedikit satu gejala yang sangat jelas (dan biasanya dua gejala atau lebih apabila gejala-gejala itu kurang jelas) dari salah satu kelompok (a) sampai 9d) atau paling sedikit dua dari kelompok (e) sampai (h), yang harus selalu ada secara jelas pada sebagian besar waktu selama satu bulan atau lebih

a. Thought echo, thought insertion, atau thought withdrawal, dan thought broadcasting

b. Waham dikendalikan (delusion of control), waham dipengaruhi (delusion of influence) atau waham pasivitas (delusion of passivity) yang jelas merujuk pada gerakan tubuh atau gerakan extremitas, atau pikiran, perbuatan atau perasaan (sensasi) khusus; delusional perception

c. Suara halusinasi yang berkomentar secara terus menerus terhadap perilaku pasien atau mendiskusikan perihal pasien di antara mereka sendiri, atau jenis suara halusinasi lain yang berasal dari salah satu bagian tubuh

(24)

d. Waham-waham menetap jenis lain yang menurut budayanya dianggap tidak wajar serta sama sekali mustahil, seperti misalnya mengenai identitas keagamaan atau politik, atau kekuatan dan kemampuan “makhluk super” (misalnya mampu mengendalikan cuaca, atau berkomunikasi dengan makhluk asing dari dunia lain)

e. Halusinasi yang menetap dalam setiap modalitas, apabila disertai baik oleh waham yang mengambang/melayang maupun yang setengah berbentuk tanpa kandungan afektif yang jelas, atau pun oleh ide-ide berlebihan (over-valued ideas) yang menetap, atau apabila terjadi setiap hari selama berminggu-minggu atau berbulan-bulan terus menerus

f. Arus pikiran yang terputus atau yang mengalami sisipan (interpolasi) yang berakibat inkoherensi atau pembicaraan yang tidak relevan atau neologisme

g. Perilaku katatonik seperti keadaan gaduh gelisah (excitement), sikap tubuh tertentu (posturing), atau fleksibilitas serea (waxy flexibility), negativisms, mutisme, dan stupor

h. Gejala-gejala negative seperti bersikap masa bodoh (apatis), pembicaraan yang terhenti, dan respons emosional yang menumpul atau tidak wajar, biasanya mengakibatkan penarikan diri dari pergaulan sosial dan menurunkan kinerja sosial, tetapi harus jelas bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptik, bahwa semua hal tersebut tidak disebabkan oleh depresi atau medikasi neuroleptik; i. Suatu perubahan yang konsisten dan bermakna dalam mutu keseluruhan dari

beberapa aspek perilaku perorangan, bermanifestasi sebagai hilangnya minat, tidak bertujuan, sikap malas, sikap berdiam diri (self absorbed attitude) dan penarikan diri secara sosial.

Apabila didapati kondisi yang memenuhi kriteria gejala di atas tetapi baru dialami kurang dari satu bulan, maka harus dibuat diagnosis Gangguan Psikotik Lir Skizofrenia Akut (F23.2). Apabila gejala-gejala berlanjut lebih dari satu bulan dapat dilakukan klasifikasi ulang.

Instrumen-instrumen yang dapat dipergunakan untuk melakukan penilaian pada gangguan skizofrenia

a. Menggunakan alat diagnosis – PPDGJ III/ICD-10 b. MINI-ICD-10

c. Calgary Depression Scale for Schizophrenia (CDSS) d. Personal and Social Performance Scale (PSP) e. Brief Psychiatry Rating Scale (BPRS)

f. Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) g. Clinical Global impression (CGI)

(25)

BAB III

tErAPI BIoLogIk

Terapi biologik skizofrenia mengalami kemajuan pesat terutama setelah ditemukan obat antipsikotika generasi kedua (APG-II). Obat APG-II mempunyai kelebihan dan keterbasan. Orang dengan skizofrenia (ODS) lebih nyaman dengan APG-II karena kurangnya efek samping ekstrapiramidal, misalnya distonia, parkinsonisme, dan akatisia. Manfaatnya lebih terasa pada penggunaan jangka panjang karena jarangnya terjadi tardive diskinesia. Luaran (outcome) jangka panjangnya lebih baik sehingga ia dapat memfasilitasi keberhasilan terapi psikososial dan rehabilitasi. Di samping kelebihannya, APG-II mempunyai keterbatasan yaitu risiko efek samping penambahan berat badan, diabetes dan gangguan kardiovaskuler.

Terapi somatik pada skizofrenia meliputi tiga fase yaitu fase akut, stabilisasi dan stabil atau rumatan. Fase akut ditandai dengan gejala psikotik yang membutuhkan penatalaksanaan segera. Gejalanya dapat terlihat pada episode pertama atau ketika terjadinya kekambuhan skizofrenia. Fokus terapi pada fase akut yaitu untuk menghilangkan gejala psikotik. Fase akut biasanya berlangsung selama 4-8 minggu.

Setelah fase akut terkontrol, ODS memasuki fase stabilisasi. Risiko kekambuhan sangat tinggi pada fase ini terutama bila obat dihentikan atau ODS terpapar dengan stresor. Selama fase stabilisasi, fokus terapi adalah konsolidasi pencapaian terapetik. Dosis obat pada fase stabilisasi sama dengan pada fase akut. Fase ini berlangsung paling sedikit enam bulan setelah pulihnyai gejala akut.

Fase selanjutnya adalah fase stabil atau rumatan. Penyakit pada fase ini dalam keadaan remisi. Target terapi pada fase ini adalah untuk mencegah kekambuhan dan memperbaiki derajat fungsi. (Marder SR and Kane JM, 2005)

FAsE AkUt skIZoFrENIA

Agitasi merupakan gejala yang paling sering ditemui pada fase akut skizofrenia. Pada agitasi terlihat adanya ansietas yang disertai dengan kegelisahan motorik, peningkatan respon terhadap stimulus internal atau eksternal, peningkatan aktivitas verbal atau motorik yang tidak bertujuan.

Agitasi juga bermanifestasi sebagai iritabilitas, tidak kooperatif, ledakan kemarahan, sikap atau ancaman secara verbal, destruktif, dan penyerangan fisik. Selain itu, sensitivitas sosialnya menurun dan impulsivitasnya meningkat. Misalnya, secara tiba-tiba ODS melempar makanan ke lantai.

(26)

Tindakan impulsivitas yang serius dapat berupa melukai orang lain atau bunuh diri. Tindakan ini dapat disebabkan oleh adanya waham atau halusinasi yang berbentuk perintah yang menyuruh ODS melakukan tindakan tersebut. Adanya riwayat tindakan kekerasan sebelumnya atau perilaku yang berbahaya selama di rumah sakit, halusinasi dan waham dapat memprediksi tindakan kekerasan.

Selama periode agitasi, ODS terlihat susah tidur, gejala-gejala berfluktuasi dengan cepat. Secara subjektif, ODS sangat menderita akibat gejala-gejala yang ada. Selain itu, agitasi merupakan gejala yang sangat menakutkan karena sering meningkat menjadi perilaku atau tindakan kekerasan (violence) dan destruktif. Tindakan kekerasan yaitu agresi fisik oleh seseorang yang ditujukan kepada orang lain. Yang sering menjadi korban kekerasan adalah keluarga, petugas medik atau ODS lainnya. Oleh karena itu, intervensi cepat sangat diperlukan untuk mencegah ODS melukai dirinya, keluarga atau orang lain. (Morh P et al., 2005)

Pada fase akut skizofrenia, perilaku agresif juga sering terlihat. Agresif merupakan sikap melawan secara verbal atau kekerasan fisik yang ditujukan kepada benda atau orang lain. Risiko terjadinya perilaku agresif meningkat bila ia berkomorbiditas dengan penyalahgunaan alkohol atau zat, kepribadian antisosial, tidak mempunyai pekerjaan, dan gangguan neurologi serta riwayat kekerasan sebelumnya. Ide-ide kejaran dan/atau halusinasi perintah dikaitkan dengan agresivitas. Mengidentifikasi faktor risiko terkait perilaku agresif dan menilai perilaku yang membahayakan adalah hal yang penting pada fase akut. (Moran P et al., 2003)

Agitasi akut dapat dipresipitasi oleh berbagai faktor, baik psikiatrik maupun nonpsikiatrik. Misalnya, agitasi dapat disebabkan oleh kondisi medik umum atau gangguan sistem saraf pusat (SSP). Hal ini hendaklah menjadi salah satu pertimbangan dalam pemilihan terapi. Untuk menentukan adanya gangguan organik, derajat kesadaran ODS merupakan tanda utama. Oleh karena itu, sebaiknya dihindari menggunakan terapi yang menyebabkan sedasi berlebihan karena dapat mengganggu penegakan diagnosis dan dapat pula mengganggu hubungan dokter-ODS. Terapi yang tepat dengan awitan kerja yang cepat sangat diperlukan untuk mencegah atau mengurangi penderitan ODS. (Yildiz A et al., 2003)

Pemeriksaan Pada Fase Akut

Pemeriksaan awal, misalnya riwayat lengkap tentang kondisi medik umum dan psikiatrik, pemeriksaan fisik dan status mental, hendaklah dilakukan pada setiap ODS. Kadang-kadang pemeriksaan yang adekuat tidak mungkin dilakukan pada saat pertemuan pertama dengan ODS karena ODS dalam keadaan gaduh gelisah. Dalam keadaan darurat atau adanya risiko keselamatan ODS, berbicara dengan keluarga sangat diperlukan meskipun ODS tidak mengizinkan. Selain itu, sering ODS tidak mampu memberikan riwayat penyakit yang akurat pada pemeriksaan pertama sehingga diperlukan data dari keluarga.

(27)

Beberapa faktor yang sering berkontribusi dalam terjadinya kekambuhan adalah ketidakpatuhan terhadap obat antipsikotika, penyalahgunaan zat, dan adanya stresor kehidupan. Ketidakpatuhan terhadap obat antipsikotika dapat dinilai berdasarkan laporan ODS, anggota keluarga atau pengasuh lainnya, menghitung pil, dan pengulangan pengambilan resep. Untuk beberapa obat, penilaian kadar obat dalam darah mungkin diperlukan.

Perhatian terhadap interaksi obat yang dapat memengaruhi kadar obat dalam darah atau meningkatkan toksisitas sehingga menimbulkan ketidakpatuhan, harus pula dinilai. Apabila kekambuhan diduga akibat ketidakpatuhan, alasan ketidakpatuhan terhadap pengobatan tersebut harus dievaluasi dan dibuat perencanaan untuk mengatasinya. Kadang-kadang, meskipun ODS makan obat secara teratur, kekambuhan dapat pula terjadi karena perjalanan penyakit skizofrenia itu sendiri.

Penyalahgunaan zat harus dievaluasi secara rutin. Pemeriksaan urin, untuk melihat adanya penyalahgunaan zat, bila ada indikasi, perlu dilakukan. Perlu disadari bahwa beberapa obat yang disalahgunakan, misalnya halusinogen tidak terditeksi di dalam urin. Bila ada dugaan ke arah tersebut, pemeriksaan darah dapat dilakukan. Putus alkohol atau beberapa zat lainnya dapat memperburuk gejala psikotik. Kemungkinan adanya putus zat dapat dievaluasi dengan mengetahui riwayat medik dan memantau tanda-tanda vital pada semua ODS yang mengalami eksaserbasi akut.

Kondisi medik yang juga berkontribusi dalam terjadinya kekambuhan dievaluasi dengan menanyakan riwayat medik, pemeriksaan neurologi, fisik, radiologi dan laboratorium. Pemeriksaan berat badan dan tanda-tanda vital, misalnya denyut nadi, tekanan darah, frekuensi nafas, dan temperatur harus pula dilakukan. Pemeriksaan laboratorium lainnya, misalnya pemeriksaan darah tepi, pengukuran elektrolit darah, glukosa, kolesterol, trigliserida, fungsi hati, ginjal dan tiroid, dapat pula dilakukan. Bila diduga ada indikasi, penentuan status HIV dan hepatitis C, harus pula dilaksanakan. Penilaian adanya komorbiditas dengan kondisi medik umum sangat perlu karena akan memengaruhi pemilihan obat untuk ODS.

Pemeriksaan pencitraan otak, misalnya CT-scan dan MRI dapat pula memberikan informasi, terutama dalam menilai ODS dengan awitan baru atau dengan bentuk klinik yang atipik. Meskipun demikian, CT-scan atau MRI tidak dapat digunakan untuk menegakkan diagnosis skizofrenia. Hasil CT-scan atau MRI yang menunjukkan pelebaran ventrikel dan berkurangnya volume korteks dapat meningkatkan kepercayaan terhadap diagnosis dan memberikan informasi yang relevan tentang rencana pengobatan dan prognosis. Karena neuropatologi, pada skizofrenia, kadang-kadang bentuknya sangat ringan, penggunaan MRI lebih bisa diandalkan daripada CT-scan.

Adanya potensi bunuh diri dan halusinasi berbentuk perintah, perlu diperhatikan. Pertanyaan mengenai adanya ide-ide bunuh diri, mood depresi, tindakan bunuh diri sebelumnya dapat memprediksi tindakan bunuh diri selanjutnya pada penderita dengan Terapi Biologik

(28)

skizofrenia. Faktor risiko bunuh diri lainnya, misalnya ansietas, ketidakberdayaan, efek samping ekstrapiramidal (akatisia), gangguan penyalahgunaan zat, perlu pula diketahui. Adanya penyalahgunaan zat dapat meningkatkan risiko kekerasan. Evaluasi mengenai perilaku berbahaya atau agresif, kemungkinan ODS melukai orang lain, atau bentuk kekerasan lainnya, perlu dilakukan. Karena perilaku sebelumnya dapat memprediksi perilaku selanjutnya, anggota keluarga sering dapat membantu memberikan keterangan adanya risiko ODS melukai dirinya atau orang lain.

Gangguan kepribadian antisosial atau ciri-ciri kepribadian antisosial perlu pula dievaluasi. Gangguan kepribadian ini dapat pula berkomorbiditas dengan skizofrenia. Adanya gangguan kepribadian ini dapat meningkatkan tindakan kekerasan. Selain itu, riwayat tindakan kekerasan, cacatan kriminal sebelumnya, dan isi wahamnya perlu segera diketahui pada penderita skizofrenia yang bekomorbiditas dengan gangguan kepribadian antisosial.

Episode Pertama

Tanda-tanda atau gejala-gejala harus diobservasi dengan cermat dan didokumentasikan karena episode pertama sering memiliki gejala yang polimorfik. Gejala-gejala tersebut dapat menyerupai berbagai gangguan, misalnya gangguan skizofreniform, gangguan bipolar, atau gangguan skizoafektif.

Sebagian besar ODS dengan episode pertama memberikan respon yang baik terhadap pengobatan. Meskipun responnya baik, ODS lebih rentan terhadap efek samping. Oleh karena itu, dosis obat yang dibutuhkan sering lebih rendah.

Sekitar 70% ODS dengan episode pertama mencapai remisi gejala atau tanda-tanda psikotik dalam tiga hingga empat bulan pengobatan. Sebanyak 83% mencapai remisi stabil setelah satu tahun. Mengurangi risiko kekambuhan pada ODS yang telah mengalami remisi sangat perlu. Mempertahankan kepatuhan terhadap pengobatan merupakan salah satu usaha mencegah kekambuhan. Oleh karena itu, edukasi dan dukungan perlu diberikan kepada ODS dan anggota keluarganya. (Lehman AF et al., 2004)

tatalaksana Psikiatrik Pada Fase Akut

Tujuan terapi pada fase akut adalah mencegah ODS melukai dirinya atau orang lain, mengendalikan perilaku yang merusak, mengurangi beratnya gejala psikotik dan gejala terkait lainnya, misalnya agitasi, agresi, dan gaduh gelisah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah berbicara kepada ODS dan memberinya ketenangan. Langkah selanjutnya yaitu keputusan untuk memulai pemberian obat oral. Pengikatan atau penempatan ODS di ruang isolasi (seklusi) mungkin diperlukan dan hanya dilakukan bila ODS berbahaya terhadap dirinya dan orang lain serta bila usaha restriksi lainnya tidak berhasil. Pengikatan tersebut hanya boleh untuk sementara yaitu sekitar dua-empat jam dan ini digunakan untuk memulai pengobatan. Setelah mendapat obat, biasanya ODS akan lebih tenang.

(29)

Pengisolasian dan pengikatan harus didokumentasikan dengan baik. Kondisi fisik dan psikologiknya harus selalu dipantau atau ODS tidak boleh dibiarkan begitu saja. Semua perubahan dan kemajuannya harus dicatat. Isolasi tidak boleh dilakukan terhadap ODS dengan penyakit fisik berat. (Morh P et al., 2005)

Faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya episode akut, perlu pula diketahui. Mengembalikan ODS sesegera mungkin ke derajat fungsi paling tinggi sebelumnya, mengembangkan aliansi dengan ODS dan keluarga, memformulasikan rencana terapi jangka pendek dan jangka panjang, menghubungkan ODS dengan institusi perawatan yang sesuai di komunitas, perlu pula dilakukan.

Usaha membangun kerja sama, aliansi terapetik, dengan keluarga atau caregiver lainnya sering lebih berhasil ketika fase akut, baik pada episode pertama maupun episode eksaserbasi. Keadaan akut merupakan stresor yang bermakna sehingga keluarga sangat memerlukan dukungan dan biasanya pendekatan kepada keluarga lebih mudah dilakukan ketika ODS dalam keadaan akut. (Lehman AF et al., 2004)

Meskipun terapi oral lebih baik, pilihan obat injeksi untuk mendapatkan awitan kerja yang lebih cepat serta hilangnya gejala dengan segera perlu dipertimbangkan. Trankuilisasi cepat yaitu pengulangan pemberian obat dengan interval waktu yang pendek, biasanya dalam satu atau satu setengah jam, kadang-kadang diperlukan. Pemberian haloperidol dengan dosis yang sangat tinggi untuk mengatasi agitasi akut, dahulu, selalu direkomendasikan. Sekarang, pemberian dosis tinggi ini tidak dianjurkan lagi karena tidak ada perbedaan efektivitas antara dosis tinggi dengan dosis terapetik. Ada dua penelitian yang membuktikannya yaitu penelitian yang membandingkan rerata dosis haloperidol 48 mg/hari dengan 12,5 mg/ hari dan penelitian lainnya yang membandingkan haloperidol dengan dosis eskalasi mulai dari 20 mg/hari atau 100mg/hari pada hari kelima, dan 100 mg pada hari kesepuluh yang dibandingkan dengan dosis stabil haloperidol 10 mg. Kedua penelitian ini tidak memperlihatkan adanya perbedaan efektivitas antara penggunaan dosis tinggi dengan dosis terapetik. Sebaliknya, efek samping lebih sering terlihat pada dosis besar. (Neoborsky R et al., 1981)

Di samping intervensi farmakologik, intervensi nonfarmakologik, perilaku, dan intervensi sosial, serta lingkungan harus pula dilakukan. Dengan kata lain, pendekatan pada fase akut hendaklah komprehensif. Semua objek berbahaya yang dapat digunakan ODS sebagai senjata, segera disingkirkan. Situasi yang dapat merangsang ODS, misalnya radio atau televisi sebaiknya dimatikan. Jumlah petugas di ruang akut, hendaklah cukup. Petugas tidak boleh membelakangi ODS. ODS harus didekati dengan penuh percaya diri, berbicara dengan tenang tetapi tegas. ODS dibiarkan bertanya atau diajukan pertanyaan yang bersifat mendukungnya atau yang dapat memventilasikan masalahnya. Kontak mata sangat diperlukan tetapi kalau ODS merasa tidak nyaman, jangan dilakukan.

(30)

Tantangan terapetik utama bagi klinikus adalah memilih dan menentukan dosis baik farmakaologi maupun intervensi psikososial sesuai dengan gejala, fungsi, dan perilaku sosial yang terlihat pada ODS. Fase akut tidak selalu memerlukan hospitalisasi. Dengan berkembangnya pengobatan dan program berbasis komunitas, penatalaksanaan fase akut mungkin dapat dilakukan di luar rumah sakit.

Diagnosis yang akurat mempunyai implikasi yang amat penting dalam perencanaan terapi jangka pendek dan jangka panjang. Meskipun demikian, diagnosis adalah suatu proses bukan suatu peristiwa sesaat. Informasi baru tentang ODS mungkin saja didapat setelah diagnosis ditegakkan. Oleh karena itu, perubahan diagnosis dapat saja terjadi dan rencana terapi dapat pula berubah.

Penggunaan Antipsikotika Pada Fase Akut

Bila sudah ditegakkan diagnosis, target terapi harus ditentukan supaya ukuran luaran, yang mengukur efek terapi, dapat diperkirakan. Target terapi dan juga penilaiannya, misalnya gejala positif, negatif, depresi, ide atau perilaku bunuh diri, gangguan penyalahgunaan zat, komorbiditas dengan penyakit medik, isolasi sosial, tidak mempunyai pekerjaan, keterlibatan dalam kriminal, harus pula dievaluasi.

Faktor-faktor psiksosial harus pula dievaluasi dan kemudian intervensinya diformulasikan dan diimplementasikan. Formulasikan pula pemilihan modalitas terapi, tipe terapi yang spesifik, dan tempat pemberian terapi. Mengevaluasi kembali diagnosis dan terapi secara periodik perlu pula dilakukan agar tercapai praktik klinik yang baik.

Terapi farmakologi harus segera diberikan kepada ODS dengan agitasi akut karena agitasi, baik pada episode pertama maupun eksaserbasi akut, berkaitan dengan penderitaan, mengganggu kehidupan ODS, berisiko melukai diri sendiri, orang lain, dan merusak benda-benda. Walaupun demikian, terapi yang diberikan jangan sampai memengaruhi penilaian terhadap diagnosis.

Sebelum pemberian antipsikotika, pemeriksaan laboratorium perlu dilakukan. Selain itu, jika memungkinkan, manfaat dan risiko obat yang akan diberikan didiskusikan terlebih dahulu dengan ODS dan keluarga. Meskipun ODS dalam keadaan agitasi atau dengan gangguan isi pikir, hubungan dokter-ODS harus dibangun sejak hari pertama.

Aliansi terapetik dapat meningkat bila dokter dan ODS, secara bersama-sama, bisa mengidentifikasi target gejala, misalnya ansietas, gangguan tidur, halusinasi dan waham yang secara subjektif merupakan penderitaan bagi ODS. Selain itu, ODS dapat pula mengalami defisit atensi dan kognitif lainnya yang sering menjadi lebih berat ketika eksaserbasi akut. Gejala-gejala ini dapat dijadikan alasan untuk mendorong ODS bersedia menerima pengobatan. Pemberian edukasi kepada ODS bahwa antipsikotika berfungsi mengatasi gejala-gejala yang dideritanya, dapat meningkatkan aliansi terapetik, pada keadaan akut. Jadi, klinikus dapat mencari gejala yang mengganggu ODS (dengan Terapi Biologik

(31)

menanyakan kepada ODS) dan kemudian meyakinkan ODS bahwa obat dapat mengatasi gejala tersebut. Kiat ini dapat membantu untuk membangun aliansi terapetik.

obat APg-I

Injeksi APG-I sering digunakan untuk mengatasi agitasi akut pada skizofrenia. Kerja obat ini sangat cepat. Walaupun demikian, ada beberapa efek samping yang sering dikaitkan dengan injeksi APG-I, misalnya distonia akut dan pemanjangan QTc. Efek samping ini

dapat menyebabkan ketidakpatuhan terhadap pengobatan.(7) (Addonizio G and Alexopoulos

GS, 1988)

Penggabungan antara APG-I dengan benzodiazepin juga sering digunakan. Penggunaannya juga terbatas karena seringnya terjadi efek samping. Misalnya, benzodiazepin dapat menyebabkan depresi pernafasan, sedasi berlebihan, atau dapat menginduksi perilaku disinhibisi yang dapat memperburuk keadaan. Selanjutnya, APG-I, misalnya haloperidol, dapat pula menyebabkan gejala ekstrapiramidal (EPS), abnormalitas elektrokardiogram (EKG), sedasi berlebihan atau sindrom neuroleptik malignansi (SNM). Efek samping ini dapat menimbulkan penderitaan bagi ODS dan memberikan dampak buruk terhadap kepatuhan dan penerimaan terhadap terapi jangka panjang. (Marder SR and Kane JM, 2005)

obat APg-II

Obat APG-II, baik oral maupun injeksi, bermanfaat dalam mengendalikan agitasi pada fase akut skizofrenia. Selain itu, tolerabilitas dan keamanannya lebih baik bila dibandingkan dengan APG-I. Hasil penelitian menunjukkan bahwa obat injeksi jangka pendek APG-II, misalnya olanzapin, aripiprazol, dan ziprasidon efektif mengontrol agitasi pada fase akut skizofrenia. (Breier A et al., 2002; Brook S et al., 2005; Andrezina R et al., 2006) Saat ini, tersedia beberapa injeksi APG-II dengan efek samping akut minimal. Meminimalkan efek samping akut, misalnya distonia akut, dapat meningkatkan penerimaan ODS terhadap pengobatan dan keinginan ODS melanjutkan terapi antipsikotika.

Inisiasi cepat pada terapi emergensi diperlukan bila ODS memperlihatkan perilaku agresif terhadap dirinya, orang lain atau objek. Ketika ODS di dalam ruangan gawat darurat, unit perawatan, atau fasilitas terapi akut lainnya, protokol standar operasional baku untuk mengatasi keadaan akut yang tersedia harus diikuti agar terapi yang diberikan sesuai dengan yang diharapkan.

Sebagian besar ODS dalam fase akut, biasanya memperlihatkan ketakutan dan kebingungan. Oleh karena itu, keterlibatan beberapa petugas pada intervensi pertama sangat diperlukan. Petugas rumah sakit harus berbicara kepada ODS dan berusaha menenangkannya. Usaha menenangkan ODS harus dilakukan terlebih dahulu. Apabila gagal menenangkan ODS, mengisolasi atau mengikat ODS dapat dilakukan. Pengikatan ODS hanya dilakukan oleh Terapi Biologik

(32)

tim yang sudah terlatih. Tindakan pengikatan ODS bertujuan untuk mengurangi risiko ODS melukai dirinya atau petugas lainnya. Oleh karena itu, pengikatan jangan sampai melukai ODS.

Pemilihan obat sering ditentukan oleh pengalaman ODS dengan antipsikotika sebelumnya, misalnya respon terhadap gejala, pengalaman efek samping, dan cara (route) pemberian obat. Dalam pemilihan obat, klinikus dapat mempertimbangkan respon ODS terahadap obat sebelumnya -termasuk respon ODS yang sifatnya subjektif, misalnya disforik- dan efek samping obat. Adanya komorbiditas dengan kondisi medik umum, dan potensi interaksi dengan obat lain harus pula diperhatikan.

Sebagian besar ODS memilih penggunaan obat secara oral. Jika ODS bersedia menggunakan obat oral, bentuk sediaan yang cepat larut (olanzapin dan risperdon), dapat digunakan untuk mendapatkan efek yang lebih cepat dan mengurangi ketidakpatuhan. Selain itu, formula dalam bentuk cair, misalnya risperidon dalam bentuk cair juga bermanfaat untuk mengatasi agitasi akut. Apabila ODS tidak bersedia menggunakan obat oral, pemberian obat injeksi dapat dilakukan meskipun ODS menolak. Jadi, tawaran penggunaan obat oral merupakan usaha pertama yang dilakukan untuk mengatasi keadaan agitasi.

Injeksi antipsikotika sangat membantu untuk mengurangi agitasi. Formula injeksi jangka pendek APG-II, misalnya olanzapin, ziprasidon, dan aripiprazol dengan atau tanpa benzodiazepin, misalnya lorazepam, dapat digunakan untuk mengatasi agitasi. Dosis yang direkomendasikan harus efektif dan tidak menyebabkan efek samping yang secara subjektif sulit ditoleransi oleh ODS. Pengalaman yang tidak menyenangkan dapat memengaruhi kepatuhan terhadap terapi jangka panjang.

Titrasi dosis harus dilakukan dengan cepat, hingga mencapai target dosis terapetik. Walaupun demikian, kemampuan toleransi ODS terhadap obat yang diberikan, harus pula dipertimbangkan. Apabila ada efek samping yang tidak nyaman, pemantauan status klinik ODS selama 2-4 mingggu perlu dilakukan untuk mengevaluasi respon ODS terhadap pengobatan. Pada ODS yang responnya lambat, klinikus harus lebih bersabar dalam meningkatkan dosis. Dengan kata lain, peningkatan dosis yang cepat harus dihindari. Bila tidak ada perbaikan, perlu dilakukan evaluasi kemungkinan adanya ketidakpatuhan terhadap pengobatan, cepatnya metabolisme, atau buruknya absorbsi obat.

Obat tambahan sering pula diberikan untuk mengatasi komorbiditas pada fase akut. Misalnya, benzodiazepin sering digunakan untuk mengatasi katatonia, ansietas, dan agitasi hingga efek terapetik antipsikotika tercapai. Antidepresan dapat pula dipertimbangkan untuk mengobati komorbiditas dengan depresi mayor atau dengan gangguan obsesif-kompulsif. Walaupun demikian, kewaspadaan terjadinya eksaserbasi psikotik akibat pemberian antidepresan perlu pula ditingkatkan. Stabilisator mood dan beta-bloker dapat pula dipertimbangkan untuk mengurangi beratnya rekuren hostilitas dan agresi. Terjadinya interaksi obat perlu diperhatikan terutama yang terkait dengan ensim sitokrom P450.

(33)

Efek samping akut, misalnya hipotensi ortostatik, pusing, gejala ekstrpiramidal (misalnya, reaksi distonia akut dan akatisia), insomnia, sedasi, harus pula didiskusikan dengan ODS. Sebaliknya, efek samping jangka panjang belum perlu dibahas hingga episode akut teratasi. Menjelaskan kemungkinan efek samping akut dapat meningkatkan kemampuan ODS untuk mengidentifikasi dan melaporkan keberadaan efek samping tersebut dan hal ini dapat mempertahankan aliansi terapetik.

olanzapin Injeksi

Sebuah penelitian dilakukan untuk mengetahui manfaat injeksi jangka pendek olanzapin 10 mg dalam mengatasi agitasi pada skizofrenia dalam keadaan akut. Sebagai pembandingnya yaitu haloperidol 7,5 mg dan plasebo. Untuk menilai agitasi digunakan instrumen the Excited Component of the Positive and Negative Syndrome Scale atau PANSS-EC yang terdiri dari lima butir yaitu ketegangan, ketidakkooperatifan, hostilitas, buruknya pengendalian impuls, dan gaduh gelisah. Kisaran nilai pada masing-masing butir PANSS-EC adalah antara 1-7. Skor 1 = absen; 2 = minimal, 3 = ringan, 4 = sedang, 5 = berat sedang; 6 = berat; 7 = berat sekali.

Penilaian dengan PANSS-EC dilakukan pada 15, 30, 45, 60, 90, dan 120 menit setelah injeksi pertama. Luaran dinilai setelah dua jam. Efek samping dinilai dengan instrumen Barnes Akathisia Scale (BAS) dan Simpson Angus Scale (SAS) yang terdiri dari 10 butir yang nilainya berkisar antara 0-4 (0 = absen, 1 = ringan, 2 = sedang, 3 = berat; 4 = berat sekali). Selain itu, instrumen the Agitated Behavior Scale (ABS) dan the Agitation

Calmness Evaluation Scale (ACES) yang terdiri dari sembilan butir skala (misalnya, 1 =

agitasi jelas, 4 = perilaku normal, 9 = tidak dapat dibangunkan), juga digunakan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa olanzapin efektif untuk mengurangi agitasi akut, pada subjek dan awitan kerjanya, secara bermakna, lebih cepat bila dibandingkan dengan plasebo. Perbedaannya dengan plasebo terlihat pada 15, 30, dan 45 menit setelah injeksi pertama. Rerata skor ABS dan ACES, setelah injeksi pertama hingga dua jam, juga mengalami perbaikan yang bermakna. Perbedaan ini juga terlihat hingga 24 jam setelah injeksi pertama.

Dalam 24 jam setelah injeksi pertama, subjek yang mendapat tambahan injeksi benzodiazepin lebih banyak pada kelompok yang mendapat plasebo bila dibandingkan dengan kelompok yang mendapat olanzapin atau haloperidol. Subjek yang mendapat obat tambahan antikolinergik lebih banyak pada kelompok yang mendapat haloperidol bila dibandingkan dengan olanzapin atau plasebo. Jadi, uji klinis ini menyimpulkan bahwa olanzapin tidak inferior bila dibandingkan dengan haloperidol. Tidak ditemukan adanya distonia akut pada kelompok subjek yang mendapatkan olanzapin. Bila dibandingkan dengan plasebo, tidak terdapat perbedaan yang bermakna pada QTc interval. Dengan demikian, ODS yang memerlukan pengurangan agitasi dengan cepat dan yang menolak penggunaan terapi oral, injeksi olanzapin dapat diberikan karena risiko terjadinya distonia akut dan pemanjangan QTc sangat rendah.

(34)

Pengurangan derajat agitasi, dengan injekasi olanzapin 10 mg atau haloperidol 7,5 mg yang terlihat dalam 24 jam setelah injeksi pertama tersebut, tetap bertahan selama empat hari dengan pemberian oral olanzapin 5-20 mg atau haloperidol 5-15 mg/hari. Distonia akut dan akatisia terjadi lebih sering pada kelompok haloperidol bila dibandingkan dengankelompok olanzapin sehingga kelompok yang mendapat haloperidol memerlukan lebih banyak antikolinergik. Begitu pula halnya dengan dua jam setelah injeksi, bila dibandingkan dengan plasebo, olanzapin injeksi (10 mg/injeksi) lebih superior. Bila dibandingkan dengan haloperidol (7,5 mg/injeksi), olanzapin tidak inferior. Dosis olanzapin yang digunakan adalah 5, 7,5 dan 10 mg. (Breier A et al., 2002)

Aripiprazol Injeksi

Terapi aripiprazol oral memperlihatkan efikasi dalam mengatasi fase akut atau eksaserbasi akut skizofrenia. Ia juga efektif untuk terapi rumatan jangka panjang. Profil tolerabilitas dan keamanannya baik dan hal ini terlihat dari rendahnya efek samping ekstrapiramidal, sedasi serta tidak adanya peningkatan berat badan, kadar prolaktin, dan pemanjangan QTc pada EKG.

Sebuah penelitian yang dilakukan terhadap ODS atau skizoafektif yang dalam keadaan agitasi akut, berusia paling sedikit 18 tahun, lelaki dan perempuan, dan memiliki skor

Positive and Negative Syndrome Scale (PANSS) Excited Component (PEC) > 15 dan <

32, serta paling sedikit dua dari lima butir PEC mempunyai skor > 4 menunjukkan bahwa aripiprazol injeksi efektif dan sebanding dengan haloperidol dan ditoleransi baik oleh subjek dengan agitasi akut.

Subjek yang dimasukkan ke dalam penelitian ini adalah subjek dengan diagnosis skizofrenia atau skizoafektif, sesuai definisi DSM-IV dan kemudian dikonfirmasi dengan

Mini International Neuropsychiatric Interview (MINI), dalam keadaan agitasi akut tetapi

masih dapat dinilai dengan skala psikiatrik yang digunakan, dapat mengikuti protokol penelitian, bersedia menghentikan semua psikotropik yang digunakan, dan mampu meberikan pernyataan kesediaan berpartisipasi dalam penelitian.

Evaluasi baseline dilakukan satu jam sebelum injeksi pertama. Subjek dibolehkan menerima tiga kali injeksi dalam 24 jam. Injeksi kedua, bila diperlukan, diberikan, paling sedikit, dua jam setelah injekasi pertama. Injeksi ketiga, paling sedikit dua jam setelah injekasi kedua atau empat jam setelah injeksi pertama. Injeksi terakhir diberikan tidak boleh lebih dari dua puluh jam setelah injeksi pertama. Pada kelompok plasebo, bila diperlukan injeksi ketiga, obat yang diberikan adalah aripiprazol 9,75 mg/injeksi. Dosis aripiprazol adalah 9,75 mg/injeksi dan dosis maksimumnya yaitu 29,25 mg/hari. Dosis haloperidol adalah 6,5 mg/injeksi dan dosis maksimumnya adalah 19,5 mg/hari. Ukuran luaran efikasi adalah perbedaan antara rerata skor PEC pada baseline dengan skor PEC dua jam setelah injeksi pertama. Butir PEC terdiri dari hostilitas, ketidakkooperatifan, Terapi Biologik

(35)

gaduh gelisah, buruknya pengendalian impuls, dan ketegangan. Ukuran luaran sekunder dipakai Clinical Global Impression-Improvement (CGI-I) scale dan Clinical Global

Impression-Severity of Illness (CGI-S) scale. Selain itu, ACES dan Corrigan Agitated Behavior Scale (CABS) juga digunakan. Untuk menilai beratnya gejala yang berkaitan

dengan skizofrenia digunakan PANSS.

Salama penelitian, penilaian efikasi dilakukan pada baseline dan pada waktu-waktu berikut yaitu 30 menit, 45 menit, satu, satu setengah, dua, empat, enam, dua belas dan dua puluh empat jam setelah injeksi pertama. Penilaian efikasi dilakukan segera sebelum injeksi ulang atau sebelum pemberian terapi lorazepam. Evaluasi injeksi ulang dilakukan pada satu dan dua jam setelah injeksi. Penilaian PANSS dilakukan pada baseline, dua dan 24 jam.

Keamanan, misalnya EPS dinilai dengan SAS dan BARS dinilai pada 2, 4, 6, 12, dan 24 jam setelah injeksi pertama. Obat lain yang boleh diberikan hanya lorazepam dengan dosis maksimum 4 mg/hari. Obat dinyatakan berespons bila skor PEC, dibandingkan dengan baseline, turun sebanyak > 40%, dua jam setelah injeksi pertama.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa aripiprazol injeksi efektif mengontrol agitasi akut pada ODS dengan skizofrenia atau skizoafektif. Superiornya aripiprazol injeksi, bila dibandingkan dengan plasebo, terlihat dari perbaikan yang bermakna pada gejala agitasi yang dinilai dengan PEC, dua jam setelah injeksi. Hasil akhir PEC menunjukkan bahwa aripiprazol injkesi noninferior bila dibandingkan dengan haloperidol injeksi. Hasil keseluruhan ukuran efikasi sekunder menunjukkan bahwa aripiprazol injeksi lebih superior bila dibandingkan dengan plasebo dan noninferior bila dibandingkan dengan haloperidol injeksi.

Bila dibandingkan dengan plasebo, perbaikan gejala agitasi dengan aripiprazol dicapai dalam waktu satu jam setelah injeksi pertama, sedangkan dengan haloperidol injeksi dicapai dalam waktu 45 menit. Pencapaian perbaikan dengan haloperidol lebih cepat bila dibandingkan dengan aripirazol tetapi secara statistik tidak terdapat perbedaan yang bermakna.

Aripiprazol ditoleransi dengan baik. Insiden EPS lebih rendah pada kelompok aripiprazol injeksi (1,7%) bila dibandingkan dengan kelompok plasebo injeksi (2,3%) atau dengan kelompok haloperidol injeksi (12,6%). Selama pengobatan, skor SAS membaik pada kelompok aripiprazol injeksi dan sebaliknya pada kelompok haloperidol injeksi yaitu terjadi perburukan. Tingginya kecenderungan EPS dengan haloperidol injeksi membatasi efektivitasnya secara keseluruhan dalam mengatasi agitasi akut.

Akatisia dan distonia sering terlihat pada pemberian haloperidol injeksi. Gejala ini menyebabkan penderitaan pada ODS dan keluarganya dan dapat memengaruhi sikap dan kepatuhan terhadap pengobatan antipsikotika selanjutnya. (Andrezina R et al., 2006) Terapi Biologik

(36)

Sebuah penelitian lainnya melaporkan bahwa terlihat perbaikan skor PEC dengan aripiprazol, dosis 5,25, dan 9,75, serta 15 mg/injeksi (penambahan cairan 07, 1,3, dan 2 dari 7,5 ml) dan haloperidol 7,5 mg dibandingkan dengan plasebo, setelah dua jam injeksi. Bila dibandingkan dengan plasebo, awitan kerja aripiprazol lebih cepat dan perbaikan skor PEC yang bermakna terlihat pada 45 menit dan satu jam setelah aripirazol injeksi (9,75 mg dan 15 mg) dan terlihat pula penurunan yang bermakna pada skor ACES dengan pencapaian skor 4 (fungsi normal) dua jam setelah injeksi. Beberapa subjek pada kelompok aripiprazol injeksi mempunyai skor ACES bernilai 8 (tidur dalam) dan 9 (tidak dapat dibangunkan). Subjek dengan skor bernilai 4 terlihat lebih banyak. Hal ini menunjukkan bahwa aripiprazol injeksi mempunyai efek menenangkan (calming effect) atau kecenderungan sedasi berlebihannya rendah. Dengan kata lain, aripiprazol injeksi memiliki insiden efek samping terkait sedasi cukup rendah. Sedasi yang berlebihan dapat pula memengaruhi efektivitas terapi agitasi karena ia dapat memengaruhi kelancaran wawancara, evaluasi, dan pencapaian aliansi terapetik yang efektif dengan ODS. (Frank AF, Gunderson JG, 1990) Tabel 1 di bawah ini memperlihatkan antipsikotika yang sering digunakan.

tabel 1. obat Antipsikotik yang sering Digunakan

obat antipsikotik Anjuran (mg/hari) rentang Dosis Ekivalen klorpromazin Waktu paruh(mg/hari) (jam)

Antipsikotik generasi I Fenotiazin Klorpromazin 300–1000 100 6 Flufenazin 5–20 2 33 Perfenazin 16–64 10 10 Thioridazin 300–800 100 24 Trifluoperazin 15–50 5 24 Butirofenon Haloperidol 5–20 2 21 Lainnya Loksapin 30–100 10 4 Antipsikotik generasi II Aripiprazol 10–30 75 Klozapin 150–600 12 Olanzapin 10–30 33 Quetiapin 300–800 6 Risperidon 2–8 24

Sumber: Preston JD et al., 2010 dan Practice Guideline For The Treatment of Patients With Schizophrenia, 2nd Edition, American Psychiatric Association 2004.

(37)

Terapi Biologik

Pemilihan antipsikotika sering ditentukan oleh pengalaman ODS sebelumnya dengan antipsikotika misalnya, respons gejala terhadap antipsikotika, profil efek samping (misalnya, disforia), kenyamanan ODS terhadap obat tertentu terkait cara pemberiannya. Obat antipsikotika generasi kedua harus dipertimbangkan sebagai obat lini pertama untuk fase akut skizofrenia terutama karena rendahnya efek samping ekstrapiramidal dan tardive diskinesia (82-85). Untuk ODS yang sebelumnya sudah berhasil diobati dengan APG-I atau ODS lebih memilih APG-I dan secara klinis obat tersebut memang bermanfaat, maka untuk ODS tersebut obat APG-I dapat dijadikan pilihan pertama.

Kecuali klozapin yang efektif untuk ODS yang sudah resisten dengan terapi, untuk mengobati gejala positif skizofrenia, semua antipsikotika, secara umum efikasinya sama. Untuk mengobati psikopatologi global, gejala kognitif, negatif dan mood, APG-II lebih baik daripada APG-I. Meskipun demikian, tidak semua setuju dengan pendapat ini.

Tidak ada bukti suatu APG-II lebih baik daripada APG-II lainnya. Ternyata terdapat perbedaan respons individual. Riwayat efek samping dapat menjadi pertimbangan dalam pemilihan antipsikotika. Tabel 2. di bawah ini adalah efek samping terkait dengan antipsikotika.

tabel 2. Pilihan obatan untuk Fase Akut skizofrenia

PErtImBANgAN BENtUk PEmBErIAN PENgoBAtAN

kelompok 1 kelompok 2 kelompok 3 kelompok 4

ProFIL PAsIEN Agen generasi risperidon, olanzapin Injeksi obat

pertama Quetiapin, Ziprazidon klozapin antipsikotik jangka

Aripiprazol panjang

Episode pertama Ya Perilaku atau ide bunuh diri Ya yang menetap

Perilaku agresif dan Ya

permusuhan yang menetap

Ya; obat-obat Kelompok 2 mungkin tdk sama dlm sifat Diskinesia tardiva lebih rendah / tidak adanya Ya risiko diskinesia tardiva

Riwayat sensitivitas terhadap Ya, kecuali Risperidon efek samping ekstrapiramidal dosis lebih tinggi Riwayat sensitivitas terhadap Ya, kecuali Risperidon peningkatan prolaktin

Riwayat sensitivitas terhadap Ziprazidon atau Aripirazol peningkatan berat badan,

hiperglikemia, hiperlipidemia

Ketidakpatuhan yang berulang Ya

terhadap pengobatan farmakologi

Sumber: Practice Guideline For The Treatment of Patients With Schizophrenia, 2nd Edition, American Psychiatric Association 2004.

(38)

Terapi Biologik

oBAt APg-I

Ditemukannya antipsikotika memberikan perubahan besar dalam pengobatan skizofrenia. Klorpromazin digunakan tahun 1952 sebagai sedatif pasca operasi. Selanjutnya, ia digunakan sebagai sedatif untuk pasien-pasien psikiatri. Kemudian ia terbukti mempunyai khasiat antipsikotika. Setelah itu, beberapa fenotiazin lainnya dikembangkan.

klasifikasi

Berdasarkan rumus kimianya, APG-I dibagi menjadi golongan fenotiazin (misalnya, klorpromazin) dan golongan nonfenotiazin (contohnya, haloperidol). Menurut cara kerjanya terhadap reseptor dopamin, ia disebut Dopamin reseptor Antagonist (DA).

Golongan fenotiazin disebut juga obat-obat berpotensi rendah (low potency), sedangkan golongan nonfenotiazin disebut obat-obat potensi tinggi (high potency) karena hanya memerlukan dosis kecil untuk memperoleh efek yang setara dengan klorpromazin 100mg.

Farmakokinetik

Metabolisme obat APG-I secara farmakokinetik dipengaruhi oleh beberapa hal;

1. Pemakaiannya bersama obat-obat yang menginduksi enzim (enzyme inducer), misalnya, karbamazepin, fenitoin, etambutol, dan barbiturat. Kombinasi dengan obat-obat tersebut akan mempercepat pemecahan antipsikotika sehingga diperlukan dosis yang lebih tinggi.

2. Clearance Inhibitors, misalnya Selective Serotonin Re-uptake Inhibitor (SSRI),

Tricyclic Antidepressant (TCA), Beta Blocker, akan menghambat ekskresi obat-obat

APG-I sehingga perlu dipertimbangkan dosis pemberiannya bila diberikan bersama-sama.

3. Kondisi stres, hipoalbumin karena malnutrisi atau gagal ginjal dan gagal hati dapat mempengaruhi ikatan protein obat-obat antipsikotika tersebut.

Farmakodinamik

Obat-obat APG-I terutama bekerja sebagai antagonis reseptor dopamin di otak. Sistem dopamin yang terlibat adalah sistem nigrostriatal, mesolimbokortikal, dan tuberoinfundibuler. Manifestasi efek samping yang terjadi berkaitan dengan hambatan yang berlebihan pada sistem-sistem tersebut. Bila hambatan pada sistem nigrostriatal berlebihan, gangguan terutama pada aktivitas motorik dapat terjadi, sedangkan hambatan pada sistem mesolimbokortikal dapat memengaruhi fungsi kognitif. Hambatan yang berlebihan pada sistem tuberoinfundibuler dapat menyebabkan gangguan endokrin.

(39)

Terapi Biologik

Efek samping

Efek samping dapat dikelompokkan menjadi efek samping neurologis dan nonneurologis. Efek samping neurologis akut berupa akatisia, distonia akut dan parkinsonism (acute

extrapyramidal syndrome). Dapat juga terjadi efek samping akut berupa Sindroma

Neuroleptik Maligna (SNM) yang merupakan kondisi emergensi karena dapat mengancam kelangsungan hidup pasien. Pada kondisi kronis atau efek samping pengobatan jangka panjang dapat dilihat kemungkinan terjadinya diskinesia tardiva (tardive dyskinesia).

Akatisia: Yaitu suatu kondisi yang secara subjektif dirasakan oleh penderita berupa

perasaan tidak nyaman, gelisah, dan merasa harus selalu menggerak-gerakkan tungkai, terutama kaki. Pasien sering menunjukkan kegelisahan dengan gejala-gejala kecemasan, dan atau agitasi. Sering sulit dibedakan dari rasa cemas yang berhubungan dengan gejala psikotiknya. Bila terjadi peningkatan kegelisahan setelah pemberian APG-I, kita harus selalu memperhitungkan kemungkinan akatisia.

Distonia akut: Terjadi kekakuan dan kontraksi otot secara tiba-tiba, biasanya mengenai

otot leher, lidah, muka dan punggung. Kadang-kadang, pasien melaporkan awitan subakut rasa tebal di lidah atau kesulitan menelan. Mungkin pula terjadi krisis okulogirik atau opistotonus. Kondisi ini dapat sangat menakutkan dan tidak nyaman bagi pasien. Biasanya terjadi pada minggu pertama pengobatan dengan APG-I

Parkinsonisme: Dapat dilihat adanya kumpulan gejala yang terdiri atas bradikinesia,

rigiditas, fenomena roda gerigi, tremor, muka topeng, postur tubuh kaku, gaya jalan seperti robot, dan drooling (tremor kasar tangan seperti sedang membuat pil)

sindroma Neuroleptik maligna: Merupakan reaksi idiosinkrasi yang sangat serius dengan

gejala utama berupa rigiditas, hiperpiretik, gangguan sistem saraf otonom dan delirium. Gejala biasanya berkembang dalam periode waktu beberapa jam sampai beberapa hari

setelah pemberian antipsikotika. Febris tinggi dapat mencapai 410C atau lebih, rigiditas

dengan ciri kaku seperti pipa disertai peningkatan tonus otot kadang-kadang sampai terjadi mionecrosis. Bila pasien dehidrasi, mioglobinuria bisa sangat parah sehingga terjadi gagal ginjal. Ketidakstabilan sistem autonom dapat bermanifestasi sebagai hipertensi atau hipotensi, takikardi, diaporesis dan pallor. Aritmia jantung dapat pula terjadi. Kesadaran berfluktuasi (delirium), kejang-kejang dan koma juga bisa ditemukan..

Efek terhadap sistem kardiovaskuler yang sering adalah hipotensi ortostatik (postural hypotension) yaitu turunnya tekanan darah pada saat perubahan posisi tubuh terutama dari posisi tidur ke posisi berdiri secara tiba-tiba. Walaupun sangat jarang, sudden unexplained

death dapat pula terjadi.

Terhadap sistem gastrointestinal sering dijumpai efek antikholinergik perifer, rasa kering di mulut, sehingga pasien sering merasa haus.

(40)

Terapi Biologik

Tetap pula perlu waspada terhadap kemungkinan efek samping fungsi hepar, ginjal, kulit dan mata. Fungsi endokrin juga dapat terganggu terutama terjadinya peningkatan kadar prolaktin dalam darah. Disfungsi seksual kadang-kadang juga dialami oleh pasien dan menimbulkan keluhan yang cukup mengganggu.

terapi inisial

Diberikan segera setelah diagnosis ditegakkan, dan dosis dimulai dari dosis anjuran dinaikkan perlahan-lahan secara bertahap dalam waktu 1 – 3 minggu, sampai dicapai dosis optimal yang dapat mengendalikan gejala.

terapi pengawasan

Setelah diperoleh dosis optimal, dosis tersebut dipertahankan selama lebih kurang 8 – 10 minggu sebelum masuk ke tahap pemeliharaan.

terapi pemeliharaan

Dalam tahap pemeliharaan ini dosis dapat dipertimbangkan untuk mulai diturunkan secara bertahap sampai diperoleh dosis minimal yang masih dapat dipertahankan tanpa menimbulkan kekambuhan. Biasanya berlangsung jangka panjang tergantung perjalanan penyakit, dapat sampai beberapa bulan bahkan beberapa tahun. Diperoleh konsensus bahwa bila kondisi akut pertama kali maka terapi diberikan sampai 2 tahun, dan bila sudah berjalan kronis dengan beberapa kali kekambuhan maka terapi diberikan sampai 5 tahun bahkan seumur hidup bila dijumpai riwayat agresifitas berlebih, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain misalnya bunuh diri atau mencelakakan orang lain.

(41)

tabel 3. Beberapa efek samping obat antipsikotik yang sering digunakan a Efek samping oBA t Extrapiramidal/ Peningkatan Pertambahan Abnormalitas Abnormalitas Pemanjangan sedasi Hipotensi Efek samping Diskinesia Prolaktin Berat Badan glukosa Lipid Qt c Antikolinergik tardiva Thioridazin + ++ + +? +? +++ ++ ++ ++ Perfenazin ++ ++ + +? +? 0 + + 0 Haloperidol +++ +++ + 0 0 0 ++ 0 0 Klozapin b 0 c 0 +++ +++ +++ 0 +++ +++ +++ Risperidon + +++ ++ ++ ++ + + + 0 Olanzapin 0 c 0 +++ +++ +++ 0 + + ++ Quetiapin d 0 c 0 ++ ++ ++ 0 ++ ++ 0 Aripiprazol e 0 c 0 0 0 0 0 + 0 0 a 0 = Tidak ada risiko atau jarang menimbulkan efek samping pada dosis terapeutik. + = Ringan atau sesekali menyebabkan efek samping pada dosis terapeutik. ++ = Kadang-kadang menyebabkan efek samping pada dosis terapeutik. +++ = Sering menyebabkan efek samping pada dosis terapeutik. ? =

Data terlalu terbatas untuk memberikan penilaian dengan yakin.

b

Juga menyebabkan agranulositosis, kejang, dan miokarditis.

c

Kemungkinan perkecualian untuk akatisia.

d

Juga mempunyai peringatan tentang potensi timbulnya katarak.

e

Juga menyebabkan mual dan nyeri kepala.

Sumber: Practice Guideline For The Treatment of Patients With Schizophrenia, 2nd Edition, American Psychiatric Association 2004

.

Gambar

gambar 1. skema umum penatalaksanaan kasus skizofrenia.
gambar 2. Bagan prosedur umum diagnosis kasus skizofrenia.
gambar 3. skema langkah-langkah diagnosis skizofrenia berdasarkan   PPDgj III/ICD-10
tabel 1. obat Antipsikotik yang sering Digunakan
+7

Referensi

Dokumen terkait

Psikoedukasi merupakan salah satu jenis psikoterapi yang umum diberikan kepada keluarga yang menjadi caregiver pasien skizofrenia dengan tujuan untuk mencegah kekambuhan pada

Sugesti konkrit diberikan pada subjek untuk menentukan tujuan dan hal-hal yang selanjutnya akan dilakukan agar subjek tidak mengalami kekambuhan serta dapat

Beberapa hal penting terkait penatalaksanaan TB adalah: (1) minimum kombinasi 4 OAT dengan dosis yang adekuat selama minimum 6 bulan pengobatan untuk menyembuhkan pasien,

Angka kekambuhan pasien dengan kepatuhan berobat buruk lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kepatuhan berobat baik (p&lt;0,001). Caseiro et al 4 melakukan studi

Pada pengobatan skizofrenia program pendidikan selama fase stabilisasi telah efektif dalam mengajar berbagai pasien dengan keterampilan manajemen diri minum obat (misalnya,

Kemudian pada [5], Riccardo Marino (2009) telah mengidentifikasi suatu kelas taklinear fase non-minimum yang mana stabil dengan suatu kontrol dinamik output

Tumor ganas memiliki kekambuhan lebih tinggi dikarenakan proses pembedahannya sulit untuk benar-benar tuntas dikarenakan memang jaringan abnormal ini tidak berkapsul

Angka kekambuhan pasien dengan kepatuhan berobat buruk lebih tinggi secara bermakna dibandingkan kepatuhan berobat baik (p&lt;0,001). Caseiro et al 4 melakukan studi