• Tidak ada hasil yang ditemukan

memilih calon bupati dan wakil bupati dikarenakan calon tersebut memberikan keuntungan kepada individu (misalnya

B. Pembahasan Hasil Penelitian

5) memilih calon bupati dan wakil bupati dikarenakan calon tersebut memberikan keuntungan kepada individu (misalnya

memberikan imbalan berupa uang atau kebutuhan pokok atau kaos/dijanjikan suatu jabatan tertentu ketika calon tersebut sudah terpilih/menjanjikan pembangunan untuk desa Suwatu). Setelah dilakukan penelitian dilapangan, ditemukan fakta bahwa sebagian besar masyarakat Desa Suwatu menyatakan bahwa mereka memilih dikarenakan calon tersebut memberikan keuntungan kepada mereka (misalnya memberikan imbalan berupa uang atau kebutuhan pokok, kaos, dijanjikan suatu jabatan tertentu ketika calon tersebut sudah terpilih/menjanjikan pembangunan untuk Desa Suwatu). Mereka menyatakan bahwa mereka mendapatkan imbalan atau hadiah atau hibah berupa uang yang dibagi-bagikan oleh tim sukses yang ada di Desa Suwatu, besaran uangnya sekitar Rp 20.000-Rp 50.000. Beberapa masyarakat Desa Suwatu menyatakan, jika semua calon bupati dan wakil bupati memberikan mereka uang maka mereka akan memilih yang memberikan uang yang paling banyak. Karena mereka hanya mendapatkan uang dari salah satu calon bupati dan wakil bupati maka mereka memilih calon tersebut. Selain itu, juga terdapat sebagian kecil masyarakat Desa Suwatu yang menyatakan bahwa mereka memang mendapatkan uang dari dua calon bupati dan wakil bupati tetapi yang mereka pilih itu, calon bupati dan wakil

bupati yang memberikan mereka sedikit uang jika dibandingkan calon bupati dan wakil bupati yang satunya. Sebab mereka merasa mantap untuk memilih calon tersebut karena menurut mereka calon tersebut mempunyai kepribadian yang baik, dekat dengan masyarakat, dan juga tidak sombong terhadap rakyat kecil. Terdapat fakta lain juga yaitu beberapa warga masyarakat Desa Suwatu menyatakan, jika semua calon bupati dan wakil bupati memberikan mereka uang ada yang banyak dan sedikit, maka mereka tetap memilih salah satu calon bupati dan wakil bupati yang hati mereka merasa mantap dan yakin kepada calon tersebut karena menurut mereka kepribadian calon bupati dan wakil bupati tersebut baik.

Selain fakta diatas, ditemukan fakta lain bahwa sebagian kecil masyarakat Desa Suwatu yang menyatakan bahwa mereka memilih tidak dikarenakan calon tersebut memberikan keuntungan kepada mereka (misalnya memberikan imbalan berupa uang atau kebutuhan pokok atau kaos atau dijanjikan suatu jabatan tertentu ketika calon tersebut sudah terpilih/menjanjikan pembangunan untuk Desa Suwatu). Sebab mereka memilih tidak dikarenakan mereka diberi imbalan uang. Tetapi mereka memilih karena kualitas dari calon bupati dan wakil bupatinya dan karena program-programnya, visi dan misinya, serta karena figur atau kepribadian dan rekam jejak dari calon bupati dan wakil bupati yang sudah

mereka pilih tersebut. Selain itu, mereka juga merasa bahwa mereka memilih karena sudah mempunyai kesadaran dari diri mereka sebagai warga negara yang baik untuk menggunakan hak pilihnya bukan karena imbalan atau hibah atau hadiah berupa uang atau bukan karena keuntungan jangka pendek. Sebab hal itu bisa saja menyebabkan terjadinya korupsi setelah calon bupati dan wakil bupati tersebut menjabat menjadi bupati dan wakil bupati yang terpilih untuk memimpin Kabupaten Pati lima tahun ke depan.

Berdasarkan hasil pembahasa diatas, maka memberikan kesadaran kepada masyarakat untuk berpartisipasi dalam Pemilukada itu sangat penting bagi sebuah negara demokrasi. Karena partisipasi mereka akan menentukan para pemimpin maupun wakil mereka di pemerintahan. Robert Dahl (dalam Kacung Marijan, 2010: 112-113) mengatakan bahwa, “Di dalam demokrasi perwakilan partisipasi itu lebih dimaksudkan sebagai keterlibatan warga negara di dalam Pemilukada”.

Disamping itu partisipasi dalam Pemilukada merupakan salah satu partisipasi yang mudah diukur untuk mengetahui tingkat legitimasi suatu rezim yang sedang berkuasa. Pemilihan umum dianggap suatu bentuk partisipasi yang mudah diukur intensitasnya, antara lain dengan perhitungan persentase orang yang menggunakan hak pilihnya (voter turnout) dibanding dengan

jumlah seluruh warga negara yang berhak memilih (Miriam Budiardjo, 2008: 375). Jadi melalui Pemilukada dapat dilihat seberapa besar tingkat partisipasi warga negara dalam dunia politik. Tingginya partisipasi juga akan menentukan legitimasi suatu rezim yang terpilih. Selain itu, adanya partisipasi karena kesadaran dari hati nurani, itu sangat penting. Sebab, jika masyarakat masih berpartisipasi karena hal yang bersifat materiil, misalnya karena mendapatkan uang. Maka, hal tersebut sangat berbahaya bagi kelangsungan demokrasi. Karena, mereka bisa saja dimobilisasi oleh orang-orang yang mempunyai kepentingan dan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Sehingga, membentuk pemilih yang cerdas, kritis, dan rasional itu sangat diperlukan.

Alasan untuk pembentukan pemilih cerdas yang memilih berdasarkan pertimbangan rasional seperti memilih berdasarkan kapabilitas seseorang atau kepribadian dari sang calon, visi dan misi, rekam jejak, dan kemampuan calon untuk menjawab kebutuhan masyarakat merupakan alasan yang penting. Seorang pemilih harus mempunyai pertimbangan-pertimbangan rasional tersendiri untuk menentukan calon yang akan dipilihnya.

Terkait dengan pemilih cerdas sendiri secara konseptual sama dengan konsep pemilih rasional. Menurut Firmanzah (2008: 121), pemilih tipe rasional lebih mengutamakan kemampuan partai

politik atau calon kontestan dalam program kerjanya. Program kerja atau ‘platform’ partai yang berorientasi ke masa depan, tetapi juga menganalisis apa saja yang telah dilakukan partai tersebut di masa lampau. Kinerja partai atau calon kontestan biasanya termanifestasikan pada reputasi dan ‘citra’ yang berkembang di masyarakat. Jadi pemilih tipe ini, memilih didasarkan atas pertimbangan rasionalitas, memilih didasarkan pada visi-misi dan program kerja yang ditawarkan oleh partai politik/kontestan dalam Pemilukada. Pemilih cerdas juga diarahkan untuk menjadi pemilih yang menggunakan rasionalitasnya dalam memilih. Mereka diarahkan untuk memilih berdasarkan visi dan misi, rekam jejak, dan orang-orang yang memang bisa kerja atau memiliki kapasitas dan kapabilitas managerial yang mencukupi.

Sebenarnya masih ada tipe pemilih diatas pemilih rasional, yaitu pemilih kritis. Pemilih kritis mempunyai ikatan ideologis tinggi pada partai politik, tidak semudah pemilih rasional untuk berpaling atau berpindah ke partai lain. Jadi orientasi mereka tidak hanya pada kemampuan partai politik atau seorang kontestan dalam menyelesaikan permasalahan tapi juga pada orientasi yang bersifat ideologis. Ikatan ideologis yang kuat menjadikan pemilih tipe ini mempunyai loyalitas pada partai politik atau kontestan tertentu. Walaupun memiliki ikatan ideologis yang kuat, mereka juga kritis dengan kebijakan yang diambil kendatipun oleh partai

yang didukung. Mereka selalu menganalisis kaitan antara sistem nilai partai (ideologi) dengan kebijakan yang dibuat supaya partai politik tersebut tidak melenceng dari ideologi yang dibawanya.

Pembentukan pemilih tipe kritis kalau dikaji lebih mendalam menjadi domain partai politik. Karena, partai politiklah yang mempunyai kepentingan untuk membuat pemilih memiliki ikatan ideologis dengan partainya. Banyaknya pemilik kritis akan membawa keuntungan bagi partai politik saat Pemilukada maupun pasca Pemilukada. Saat Pemilukada partai diuntungkan karena pemilih tipe ini akan lebih cenderung memilih partai yang menjadi pilihannya selama ini. Pasca Pemilukada, parpol diuntungkan dengan sikap pemilih kritis yang berperan aktif untuk ikut melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan yang berjalan. Kehadiran pemilih cerdas juga akan mengikis pemilih tipe skeptif. Pemilih skeptif tidak memiliki orientasi ideologi cukup tinggi dengan sebuah partai politik atau seorang kontestan, juga tidak menjadikan kebijakan sebagai sesuatu yang penting. Golongan putih (golput) di Indonesia atau dimanapun sangat didominasi oleh pemilih jenis ini. Mereka berkeyakinan bahwa siapapun/partai manapun yang memenangkan Pemilukada tidak akan bisa membawa bangsa ke arah perbaikan (Firmanzah, 2008: 124).

Alasan untuk membentuk pola pikir atau paradigma budaya politik yang partisipan pada output dan input sistem politik dan perilaku memilih masyarakat rasional agar tidak terkontaminasi residu politik supaya masyarakat memiliki sikap politik yang demokratis menjunjung tinggi prinsip fairness (kejujuran) tidak menentukan pilihan atas dasar pragmatisme dan materialisme, dan menjunjung tinggi suportifitas yang berdasar atas rule of law dalam berkompetisi di ajang Pemilukada.

Sehingga, dibutuhkan peran dari semua pihak baik dari Pemerintah Daerah Kabupaten Pati dengan bekerjasama bersama KPU Kabupaten Pati, PPK dan PPS diseluruh Kabupaten Pati, semua partai politik yang terdapat di Kabupaten Pati serta bekerjasama dengan MGMP Kabupaten Pati supaya guru PKn juga diikutsertakan secara aktif untuk memberikan pendidikan politik menjelang Pemilukada atau Pemilu supaya kerjasama dari semua pihak tersebut bisa menumbuhkan kompetensi politik yang jujur dan bertanggungjawab serta kesadaran politik tentang wewenang masyarakat Kabupaten Pati sebagai warga negara, khususnya dalam mengawal, mengawasi, mengontrol, dan mengevaluasi pembuatan kebijakan publik yang dilakukan oleh pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.

3. Keterkaitan antara Budaya Politik dan Perilaku Memilih Masyarakat