sebelum kondisi krisis
BCA mengelola berbagai risiko
yang dihadapi oleh Bank dan anak perusahaannya secara komprehensif,
yang mencakup seluruh aspek
risiko (enterprise wide basis). Grup pengelolaan risiko secara proaktif
menelaah dan menyempurnakan
kebijakan manajemen risiko yang disesuaikan dengan perubahan kondisi makro ekonomi dan mengacu kepada
international best practices. Melalui
kerja sama dengan lini-lini bisnis untuk mengidentifikasi, mengukur dan memitigasi risiko dalam proses
perancangan dan implementasi
kebijakan dan prosedur manajemen risiko, BCA berhasil menghadapi dan mengatasi dampak negatif dari krisis keuangan global di tahun 2008 dan 2009.
financial review
governance review corporate data
Fokus Manajemen Risiko Tahun 2010
Selama krisis keuangan global tahun 2008 dan 2009, BCA menerapkan kebijakan manajemen risiko yang terarah dan dirancang untuk memastikan kecukupan likuiditas Bank serta untuk mempertahankan kualitas kredit. Sejalan dengan pemulihan kondisi ekonomi, pada akhir tahun 2009 BCA telah menyesuaikan pedoman manajemen risiko, terutama kriteria pemberian pinjaman, sehingga mencerminkan perubahan kondisi, dengan tetap menjaga
risk appetite secara konservatif. Pada tahun
2010 fokus manajemen risiko beralih dari upaya untuk mengantisipasi dampak negatif krisis keuangan global terhadap Indonesia, ke arah mendukung strategi pertumbuhan Bank dengan mengembalikan batasan minimal peringkat risiko ke tingkatan sebelum kondisi krisis.
Sepanjang tahun, BCA memperkuat usaha di bidang penyaluran kredit dan mencari peluang bisnis baru dengan tetap menekankan pada prinsip kehati-hatian perbankan. Tim manajemen risiko BCA mengkaji strategi dan kebijakan kredit untuk memantau dan mengawasi risiko; selain itu juga di beberapa area memperketat dan di beberapa area lainnya melonggarkan prosedur pemberian kredit, wewenang, hurdle rate dan rasio minimal cakupan agunan. BCA juga secara intensif memantau portofolio kredit terutama kredit yang bersifat massal dan secara aktif fokus dalam pengelolaan risiko kredit pada sektor-sektor ekonomi berisiko tinggi dengan mengunakan berbagai skenario stress test. Selain manajemen strategi dan kebijakan kredit yang proaktif, pada tahun 2010 BCA mengambil
berbagai langkah untuk meningkatkan
efektivitas dari sistem manajemen risiko operasionalnya. Manajemen risiko operasional dan sistem Teknologi Informasi yang andal sangat penting untuk mempertahankan posisi BCA sebagai salah satu bank transaksional terkemuka. Pada pertengahan tahun 2010, BCA mulai menyempurnakan Kebijakan Dasar Manajemen Risiko Teknologi Informasi yang dijadikan sebagai referensi bagi seluruh kegiatan fungsional dan operasional yang terkait dengan teknologi informasi. Lebih jauh, grup pengelolaan risiko BCA mulai mengkaji prosedur pengelolaan risiko yang diterapkan oleh perusahaan-perusahaan outsource dan mitra-mitra bisnis utama untuk memastikan bahwa standar-standar risiko operasional tetap terpelihara atas seluruh jaringan distribusi BCA.
Kajian secara komprehensif terhadap Business
Continuity Plan dan Business Continuity Management dilaksanakan melalui kerja
sama unit Teknologi Informasi dan Strategi Operasi. Keberadaan sistem tersebut sangat penting untuk memastikan bahwa kegiatan operasional dapat berjalan secara normal saat terjadi bencana, mengingat kondisi geografis Indonesia yang rentan terhadap bencana alam. BCA memiliki cadangan atas pusat teknologi informasi yang berfungsi secara
mirroring dengan pusat teknologi informasi
utama untuk memastikan terpeliharanya arus transaksi jika terjadi kerusakan besar di pusat data utama. Selain itu, jaringan distribusi BCA didukung oleh sistem cadangan ganda untuk menjaga kelangsungan operasional cabang, ATM dan jaringan distribusi lain-nya apabila terjadi gangguan listrik atau
introduction business review business support
komunikasi jaringan. Pada tahun 2010, BCA memulai program jangka panjang untuk meningkatkan organisasi dan infrastruktur teknologi informasi serta rencana untuk mendirikan Disaster Recovery Center (DRC) baru. DRC baru tersebut diharapkan akan memperkuat sistem teknologi informasi dan manajemen risiko BCA dalam mengelola potensi risiko operasional.
Berkat sistem manajemen risiko yang diterapkan dengan baik, BCA berhasil mempertahankan likuiditas, mengelola risiko operasional, dan membatasi risiko kredit di tahun 2010. Portofolio kredit tumbuh 24,2% dengan rasio kredit bermasalah (Non
Performing Loan - NPL) yang stabil pada tingkat
yang rendah sebesar 0,6% dan rasio cadangan kredit bermasalah sebesar 394,5%. Likuiditas dapat terjaga dengan secondary reserves sebesar Rp 64,4 triliun dan USD 1,2 miliar. Pada akhir tahun 2010, tidak terdapat indikasi peningkatan NPL yang signifikan maupun tekanan terhadap posisi likuiditas.
Struktur Manajemen Risiko
BCA memiliki suatu kerangka kerja manajemen risiko terintegrasi, yang mencakup kebijakan Bank dan pembagian tanggung jawab agar pengelolaan risiko berjalan secara efektif di seluruh aspek Bank. Dewan Komisaris dan Direksi BCA bekerja sama untuk memastikan keberhasilan penerapan sistem manajemen
risiko. Dewan Komisaris melaksanakan
fungsinya untuk mengawasi dan mengevaluasi penerapan kebijakan-kebijakan manajemen risiko, sedangkan Direksi melaksanakan tanggung jawabnya dalam proses penyusunan,
evaluasi, implementasi dan pengembangan sistem manajemen risiko. Salah satu anggota Direksi ditunjuk untuk menjalankan fungsi sebagai Direktur Manajemen Risiko yang bertanggung jawab untuk memastikan pengawasan sehari-hari atas kepatuhan setiap unit bisnis terhadap kebijakan manajemen risiko yang berlaku.
BCA memiliki unit-unit kerja dan beberapa komite yang bertanggung jawab untuk menangani berbagai jenis risiko. Satuan Kerja Manajemen Risiko (SKMR) dibentuk untuk membantu Direksi dalam memastikan bahwa kerangka kerja manajemen risiko yang diterapkan memberikan perlindungan yang memadai terhadap enterprise risk yang dihadapi BCA. SKMR bekerja secara inde- penden terhadap unit-unit operasional dan Audit Internal, serta bertanggung jawab kepada Direktur yang membawahi manajemen risiko. Struktur organisasi SKMR disesuaikan
dari waktu ke waktu agar selaras
dengan perkembangan bisnis Bank.
Pada tahun 2010, Satuan Kerja
Manajemen Risiko Cabang dibentuk dibawah
Strategic Business Unit (SBU) Perbankan
Cabang. Tugas satuan kerja tersebut adalah
membantu Direktur yang membawahi
Perbankan Cabang dalam meningkatkan kualitas manajemen risiko pada setiap tingkatan unit kerja pada SBU Perbankan Cabang melalui penerapan kerangka kerja manajemen risiko yang tepat. Satuan kerja tersebut berkoordinasi dengan Direktur yang membawahi manajemen risiko untuk memastikan independensi dalam hubungannya dengan SBU Perbankan Cabang.
financial review
governance review corporate data
Bank juga memiliki Komite Manajemen Risiko yang berfungsi memberikan rekomendasi kebijakan dan membahas seluruh aspek risiko yang dihadapi Bank. Selain itu, Direksi telah membentuk komite-komite khusus yang bertugas untuk menangani risiko yang lebih spesifik, yaitu Komite Kebijakan Perkreditan, Komite Kredit, dan Komite Aset dan Liabilitas (ALCO). BCA juga membentuk Komite Pemantauan Risiko yang membantu Dewan Komisaris untuk memastikan penerapan kerangka kerja manajemen risiko yang tangguh.
Kategori Risiko
Satuan Kerja Manajemen Risiko memonitor, menelaah, dan menganalisa risiko-risiko bersama dengan unit-unit terkait untuk memastikan penerapan manajemen risiko yang tepat menyangkut delapan kategori risiko yang dihadapi BCA. Pengukuran dan pengawasan terhadap kedelapan risiko ini menghasilkan profil risiko untuk setiap risiko maupun keseluruhan risiko, yang kemudian disatukan ke dalam laporan profil risiko triwulanan dan dilaporkan kepada Bank Indonesia sesuai peraturan yang berlaku.
Kedelapan kategori risiko tersebut adalah sebagai berikut:
Risiko kredit merupakan risiko yang timbul karena pihak yang berhutang atau
counterparties tidak mampu memenuhi
kewajibannya kepada Bank. BCA mengelola risiko ini secara menyeluruh melalui penetapan batasan-batasan kredit bagi setiap segmen pasar untuk individual bisnis maupun antar sektor industri guna memastikan portofolio
kredit terdiversifikasi dengan baik. Selain itu Divisi Analisa Risiko Kredit yang independen bertugas untuk menilai risiko secara kasus per kasus atas kredit dalam jumlah besar dan bertanggung jawab langsung kepada Direktur Manajemen Risiko. Profil risiko kredit usaha kecil & menengah (UKM) dan konsumen dikelola menggunakan program-program produk dan sistem penilaian risiko terpusat, yang dimonitor secara portofolio.
Business Credit Origination System yang
digunakan memberikan informasi secara cepat menyangkut proses kredit termasuk kemampuan untuk memberikan informasi atas tahapan pemrosesan kredit dari awal hingga akhir.
BCA menghadapi risiko pasar yang
berhubungan dengan fluktuasi tingkat suku bunga dan nilai tukar valuta asing serta pergerakan pada variabel-variabel penting lainnya yang terkait dengan pasar. BCA menggunakan metode value at risk (VAR) untuk mengukur fluktuasi tingkat suku bunga maupun nilai tukar mata uang asing yang berada dalam portofolio dalam kelompok diperdagangkan (trading portfolio). Untuk
mengelola risiko suku bunga secara
keseluruhan, BCA menggunakan pendekatan
fixed rate limit berdasarkan tenor dan
pendekatan re-pricing gap profile.
BCA menghadapi risiko operasional yang disebabkan oleh kesalahan manusia atau kesalahan dalam proses dan kegagalan pengawasan dalam kegiatan operasional sehari-hari, termasuk yang terjadi di back
introduction business review business support
tindakan pelanggaran hukum lainnya. Bank menerapkan Operational Risk Management
Information System (ORMIS) berbasis web
yang dilengkapi dengan aplikasi Key Risk
Indicator untuk menyediakan deteksi dini
terhadap risiko operasional. Sistem ORMIS ini meliputi Risk Control Self Assessment dan Loss Event Database, yang memberikan informasi berguna untuk meminimalkan risiko operasional.
Risiko likuiditas mengacu pada perubahan
mendadak dari tingkat aset atau kewajiban yang dikarenakan oleh kejadian yang tidak terduga. Bank diharuskan untuk memelihara pendanaan dan aset likuid yang mencukupi untuk mengakomodasi perubahan tersebut guna mengantisipasi permintaan dana yang dapat muncul dari waktu ke waktu. Dalam
upaya untuk memenuhi keseimbangan
tersebut, Bank menggunakan analisa arus kas secara terinci baik Rupiah maupun Dollar AS, dan menggunakan alat analisis skenario (scenario analysis) untuk menetapkan marjin likuiditas yang sesuai. Langkah-langkah yang proaktif senantiasa diambil untuk menjamin bahwa dana inti dapat dipertahankan pada tingkat yang konsisten sesuai dengan kebijakan internal BCA maupun kebijakan Bank Indonesia.
Risiko strategis berasal dari kesenjangan
yang mungkin timbul dalam mengantisipasi perubahan eksternal. Untuk mengatasi risiko tersebut, BCA – terutama melalui Direksi dan Dewan Komisaris – menetapkan dan secara berkala menyesuaikan strategi-strategi jangka pendek, jangka menengah maupun jangka panjang. Proses perencanaan strategis Bank
anggaran dan perangkat model keuangan terintegrasi, yang membantu dalam proses identifikasi, pengukuran dan pengurangan potensi risiko.
Jenis risiko lain yang harus ditangani BCA adalah risiko reputasi, yang berkaitan dengan mempertahankan kepercayaan dan keyakinan para pemangku kepentingan melalui kebijakan, prosedur, dan tindakan Bank. Bank secara proaktif mengelola sistem komunikasinya baik secara internal melalui hubungan antar departemen maupun secara eksternal melalui unit Hubungan Masyarakat dan layanan komunikasi HaloBCA. Penggunaan jaringan ini secara efektif meningkatkan kemampuan BCA dalam memonitor persepsi para pemangku kepentingan dan menangani semua keluhan secara profesional sehingga membatasi potensi timbulnya risiko reputasi.
Produk dan layanan Bank yang bersifat
kontraktual meningkatkan kemungkinan
munculnya risiko hukum. Satuan Kerja Hukum dan Kepatuhan (SKHK) bertanggung jawab untuk memantau seluruh risiko hukum dan kepatuhan. Hal ini mencakup pengembangan dan pemantauan standarisasi dokumen-dokumen hukum untuk semua aktivitas bisnis perbankan. Selain itu SKHK berperan dalam
memastikan berlangsungnya koordinasi
internal yang sistematis secara efektif sehingga dapat memitigasi risiko yang ditimbulkan oleh ketidakpatuhan terhadap pedoman hukum yang berlaku.
BCA harus memastikan bahwa setiap kegiatan dilaksanakan dalam koridor peraturan yang dikeluarkan oleh lembaga Pemerintah atau
financial review
governance review corporate data
berlaku. Risiko Kepatuhan muncul akibat adanya potensi penyimpangan dari kepatuhan terhadap peraturan-peraturan yang berlaku. Untuk memastikan kepatuhan Bank terhadap peraturan yang berlaku, SKHK secara berkala melakukan kajian terhadap kepatuhan di seluruh proses organisasi Bank. Kajian secara teratur tersebut dilengkapi dengan tinjauan kepatuhan khusus yang dilakukan sebelum peluncuran produk baru atau sebagai tanggapan atas transaksi yang mencurigakan atau kegiatan lain yang di luar kebiasaan. BCA juga berkomitmen untuk mematuhi Undang-Undang Anti Pencucian Uang Indonesia dan telah menerapkan kebijakan
Know Your Customer (KYC). Kebijakan KYC
ditujukan untuk menangani risiko sehubungan dengan potensi pihak eksternal menggunakan rekening nasabah BCA untuk transaksi kriminal.
Implementasi Basel II
Sejalan dengan peraturan Bank Indonesia, pada tahun 2010 BCA memulai penerapan format pelaporan bank bulanan yang sesuai dengan prinsip-prinsip Basel II. Format pelaporan yang baru menuntut Bank untuk memasukkan risiko operasional sebagai tambahan dari risiko kredit dan risiko pasar dalam menghitung kecukupan modal. Untuk risiko operasional, BCA telah mematuhi ketentuan Bank Indonesia terkait dengan perhitungan Aset Tertimbang Menurut Risiko (ATMR) untuk menerapkan formulasi beban modal untuk risiko operasional dengan menggunakan Pendekatan Indikator Dasar (PID), yang dimulai dengan pengenaan biaya modal sebesar 5% dari pendapatan kotor pada semester pertama tahun 2010 dan 10% pada semester kedua tahun 2010. Pengenaan penuh beban modal sebesar 15% akan dilaksanakan mulai tahun 2011. Dengan memperhitungkan
rasio kecukupan modal (Capital Adequacy Ratio - CAR) BCA adalah 13,5%. Namun demikian, jika hanya memperhitungkan risiko kredit dan risiko pasar seperti di tahun 2009, rasio CAR BCA adalah 15,0%.
Implikasi penerapan cadangan modal dalam penghitungan risiko operasional dengan menggunakan PID cukup signifikan. Sesuai peraturan Bank Indonesia, BCA hanya dapat menggunakan PID untuk mengelola risiko operasional. Berdasarkan data historis di BCA, kerugian operasional aktual lebih rendah daripada perhitungan CAR menggunakan pendekatan PID. Akan lebih menguntungkan bagi BCA apabila Bank Indonesia mengizinkan bank untuk menggunakan pendekatan yang lebih maju (more advanced approach) dalam mengukur risiko operasional dalam rangka perhitungan CAR.
Rencana ke Depan
BCA akan terus menyesuaikan kebijakan dan prosedur pengelolaan risiko sejalan dengan perubahan situasi makro ekonomi serta perkembangan kondisi perbankan internasional dan domestik. Kebijakan pengelolaan risiko akan disesuaikan dengan kebutuhan mengacu kepada peraturan yang berlaku dalam rangka penerapan prinsip kehati-hatian dan
international best practices.
Untuk deteksi dini risiko operasional selain menggunakan Operational Risk Management
Information System (ORMIS), BCA juga akan
terus mengembangkan penerapan pengelolaan risiko operasional dan mempersiapkan penerapan pendekatan yang lebih maju (more
introduction business review business support