• Tidak ada hasil yang ditemukan

Jakarta terpilih sebagai tuan rumah perhelatan kongres penerbit dunia, International Publishers Association (IPA) 2022. Perhelatan pada 11-14 November 2022 mendatang dianggap memberikan peluang bagi insan perbukuan Indonesia yang tengah terpuruk.

Foto: Pixabay.com

Independen --- Ketua Harian Komite Jakarta Kota Buku, Laura Bangun Prinsloo menambahkan acara IPA 2022 bakal menguliti juga alih wahana konten. “Intelectual property (IP) management and licensing jadi masa depan industri penerbitan,” ujar Ketua Komite Buku Nasional (KBN) 2016-2019 ini saat jadi pembicara dalam diskusi daring Alih Wahana Konten sebagai Masa Depan Penerbitan pada 1 Februari 2021.

KBN mencatat monetisasi hak cipta buku dan non-buku pada Maret-Juni 2019 sebesar Rp38,33 miliar selepas Indonesia jadi Market Focus Country pada London Book Fair, 12-14 Maret 2020 lalu. Nilai ini meningkat jadi Rp50 miliar hingga akhir tahun.

Bagi Laura, IPA bisa menjadi jalan keluar bagi industri buku dalam negeri yang sedang merosot. Data Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) menyebutkan, bila pada 2015 perputaran oplah buku di Indonesia mencapai 102 juta eksemplar maka pada 2019 jumlah menjadi 94 juta kopi. Sebanyak 3 juta kopi yang terbit di antaranya adalah buku-buku teks sekolah.

Ketua Ikapi 2015-2020, Rosidayati Rozalina menghitung dengan rata-rata penyerapan 65 persen pada 2019 maka satu judul buku dengan 3.000 cetakan fisik baru bisa habis dalam waktu satu tahun lebih. “Terjadi penurunan (penjualan) hingga 60 persen dibandingkan periode yang sama sebelum Covid-19,” tutur Ida, sapaan akrab Rosidayanti, saat diskusi daring Market Insights Indonesia: The Future of the World of Books After the Pandemic, awal Oktober 2020 lalu. Ida merujuk data perputaran oplah buku itu pada data penjualan jaringan toko buku terbesar di Indonesia, Gramedia—dengan 122 toko di Indonesia—dan toko buku lainnya. “Saya yakin penerbit tidak bisa memenuhi target penjualan 2020,” ujar Ida.

Direktur Utama PT Gramedia Pustaka Utama, Wandi S. Brata mengakui adanya penurunan penjualan buku fisik di jaringan Gramedia. Sebelum 2010, kontribusi penjualan buku lebih dari 60%, lebih besar dibandingkan dengan produk alat tulis, peralatan olahraga, dan kebutuhan lainnya pada pendapatan toko. Proporsi penjualan buku itu terus merosot dan jadi lebih kecil, hingga mencapai 40,53% berbanding 59,47% pada 2019. “Hingga Agustus 2020, porsi buku 48,40 persen sementara non buku mencapai 52,60 persen,” terang Wandi.

Bagaimana dengan pertumbuhan penjualan buku cetak? Wandi memaparkan, sebelum 2010, pertumbuhannya bisa mencapai 30% per tahun. Namun selepas 2010, pertumbuhannya merosot terus hingga sempat minus 0,48% pada 2017. Dua tahun berikutnya, hanya 7,48% dan 4,20%.

“Untuk mendapatkan gambaran lebih luas, penting kiranya kita mendapat patokan awal buat menghitung persentase-persentase tadi,”ujar Wandi.

Laporan Ikapi 2015, Industri Penerbitan Buku Indonesia dalam Data dan Angka, terbitan Ikapi mencatat, jaringan toko buku Gramedia menampung sekitar 61% dari seluruh buku umum yang beredar di Indonesia. Sisanya beredar lewat toko buku kecil, perwakilan penerbit, proyek pengadaan buku, dan penjualan langsung oleh penerbit.

Dengan estimasi mencetak 3 ribu eksemplar untuk setiap judul saat survei digelar, Ikapi mencatat ada 101,23 juta eksemplar buku yang beredar dalam setahun dari 711 penerbit.

Hasil survei yang melengkapi buku ini, merinci penerimaan judul baru oleh jaringan toko buku Gramedia pada 2013 sebanyak 26.628 judul, sementara pada 2014 tercatat sebanyak 24.204 judul. Sementara penerimaan pengajuan International Standard Book Number (ISBN) di Perpustakaan Nasional (Perpusnas) pada 2013 mencapai 36.624 judul dan bertambah jadi 44.327 pada 2014. Data di Perpusnas ini melingkupi seluruh judul buku yang diajukan penerbit untuk mendapat ISBN.

Ikapi menemukan kecenderungan jumlah eksemplar yang dicetak tidak dipengaruhi besar kecilnya penerbit. Karena penerbit-penerbit buku anak dan buku sekolah mencetak dalam tiras lebih besar dibanding buku umum dan buku perguruan tinggi.

Sekitar 66% penerbit mencetak buku dalam jumlah 3.000 eksemplar per judul. Sementara yang menerbitkan dengan tiras hingga 5.000 eksemplar ada 19%, tiras 10 ribu eksemplar ada 12%, dan yang mencetak dengan 15 ribu eksemplar hanya 3%. Mereka yang mencetak buku di atas 10 ribu eksemplar per judul adalah penerbit buku pelajaran sekolah.

Penjualan buku pelajaran ini menyumbang 12,04% penjualan di toko buku Gramedia pada 2014. Secara fisik, setara dengan 3,42 juta eksemplar buku. Secara komposisi, Gramedia mencatat penjualan buku sekolah ini ada di peringkat empat setelah buku anak, buku religi spiritual, dan buku fiksi.

Buku anak bisa mencapai penjualan tertinggi karena harga rata-ratanya yang lebih murah, sekitar Rp30 ribu dibandingkan jenis lainnya. Pada 2014, masih data dari Gramedia, buku anak menyumbang Rp304 miliar atau 22,64% dari total penjualan seluruh buku.

Secara nasional pada 2014, pendapatan dari penjualan buku umum mencapai Rp2,034 triliun dari pangsa pasar sekitar Rp14,1 triliun. Sedangkan pendapatan dari buku pendidikan jumlahnya mencapai Rp3,51 triliun.

Berkaca dari data-data itu dan kondisi saat pandemi, Wandi optimis penjualan buku masih memiliki masa depan cerah di Indonesia. Namun perlu transformasi ke arah digital. Dia merujuk pada penjualan buku cetak secara daring pada Agustus 2020 di Gramedia yang mencapai peningkatan 261% lewat berbagai platform dan aplikasi. “Kami bertransformasi sebagai penerbitan. Sekarang kami IP

(intellectual property) manager, developers, and enchancers,”

ungkap Wandi yang bakal memperkecil porsi pencetakan buku fisik dan beralih ke buku elektronik, audio book ke depannya.

Pendiri sekaligus Pemimpin Redaksi penerbit Marjin Kiri, Ronny Agustinus mengungkapkan, adaptasi dengan dunia digital, termasuk alih wahana konten, penting karena terbukti bisa menyelamatkan di era pandemi. Kekalutan dan ketidaktahuan masyarakat soal Covid-19 memang sempat menyurutkan pasar pada awal-awal pandemi, sekitar April-Mei 2020 lalu.

Namun guncangan itu, ungkap Ronny, bakal lebih terasa pada pemain besar yang mengandalkan jaringan toko-toko buku di mal atau pusat perbelanjaan. Seiring pembatasan sosial berskala besar, banyak toko yang terpaksa tutup atau sepi karena tidak ada pengunjung.

“Kawan-kawan yang kecil sudah lama eksplorasi market place,

online, dan indie. Jaringan distribusi mandiri yang tidak tergantung

pada toko besar, itu yang rasanya menyelamatkan para penerbit kecil ini,” kata Ronny yang dalam enam tahun belakangan sudah memaksimalkan penjualan daring.

Potensi pasar untuk buku elektronik, ungkap Ronny, memang ada. Namun dia belum berniat untuk alih wahana secara total karena pembaca umumnya masih menyukai buku fisik. Apalagi jika buku itu cukup mudah dicari dan didapatkan. “Alasannya saya juga tidak tahu,” tutur penerjemah yang menyukai karya-karya sastra Amerika Latin ini.

Soal rencana IPA 2022, Ronny mengajak para penerbit indie untuk berpartisipasi setidaknya mengeksplorasi berbagai jaringan baru. Marjin Kiri sendiri pernah ikut serta pada Frankfurt Book Fair 2014. Dari keikutsertaan itu, Marjin Kiri mendapatkan pengalaman yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya. “Kita akan tahu, penerbitan kecil seperti yang saya lakukan ini banyak sekali di luar. Membangun jaringan dengan mereka sangat banyak gunanya,” imbuh Ronny. Dari keikutsertaan, buku Dawuk karya Mahfud Ikhwan keluaran Marjin Kiri jadi buku pertama dari Indonesia yang terjual hak ciptanya pada hari pertama Frankfurt Book Fair 2019. Penerbit asal Mesir, Sefsafa menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Arab.

Suasana di toko buku Argosy, New York. [Bayu/Independen.id]

Minimnya Dukungan