• Tidak ada hasil yang ditemukan

Riwayat Cap Tikus, Pudarnya Pesona

MINUMAN DEWA

Alternatif sejarah cap tikus yang lebih banyak bersifat mitologis dijelaskan oleh Jessy Wenas, penulis buku berjudul Sejarah dan Kebudayaan Minahasa. Dalam mitos yang berkembang di Minahasa, masyarakat lokal percaya bahwa saguer adalah minuman para dewa.

Ada tiga dewa saguer yang dikenal Minahasa, yakni Makawiley, Kiri Waerong, dan Perengkuan. Masyarakat meyakini bahwa cap tikus pertama kali dibuat oleh Parengkuan. Parengkuan sendiri memiliki kata dasar ‘rengku’ yang berarti minum sekali teguk dari tempat minum yang kecil, atau seloki.

Makawiley diakui sebagai dewa saguer pertama, sedangkan Kiri Waerong dihubungkan dengan pembuatan gula merah dari saguer yang dimasak. Mitos ini tidak lain adalah upaya masyarakat Minahasa untuk menjelaskan makna sakral di balik minuman tradisional mereka.

Minuman ini digunakan dalam upacara memasuki rumah baru. Sang tuan rumah harus menyiapkan cap tikus kepada pemimpin upacara atau Tonaas, sambil penari Maengket menyanyikan “tuasan e sopi e

maka wale”, artinya tuangkan cap tikus wahai tuan rumah.

Oleh karena itu, terlepas dari benar atau tidaknya versi sejarah yang dijelaskan Reiner atau versi mitos yang dijelaskan Jessy, cap tikus sejak awal sudah dikaitkan oleh masayarakat Minahasa sebagai sesuatu yang sakral. Kehadiran cap tikus menandai suatu tahap perkembangan budaya Minahasa.

Namun, perkembangan zaman belakangan kian mereduksi makna tersebut dari cap tikus. Kasus-kasus kriminalitas yang dikaitkan dengan cap tikus menyebabkan narasi tentang yang luhur di balik minuman ini justru berganti menjadi narasi tentang sesuatu yang rendah, hina, dan pangkal kejahatan.

Salah satu narasi tersebut, misalnya, berkembang pada 2015 lalu dengan slogan yang dikampanyekan kepolisian, yakni ‘Brenti Jo

Bagate’, yang artinya berhentilah meminum minuman keras. Cap

tikus menjadi salah satu yang paling disasar kampanye ini, sebab menjadi minuman paling populer, berharga murah, dan didistribusikan secara tidak resmi, sehingga konsumsinya sangat mudah menjadi berlebihan.

Reiner sendiri tidak setuju dengan narasi tersebut. Menurutnya, tidak benar untuk memojokkan cap tikus sebagai biang masalah, semata-mata karena ulah negatif beberapa peminumnya yang pada Riwayat Cap Tikus, Pudarnya Pesona Minuman Para Dewa

dasarnya tidak mampu mengontrol diri sendiri.

“Cap tikus ini tidak ada hubungannya dengan kriminalitas. Ini kreativitas masyarakat untuk tidak sekadar hidup subsisten, tetapi harus lebih maju. Masa sudah 200 tahun nasibnya masih seperti ini. Naif sekali. Jangan jadikan cap tikus ini subordinat , padahal ini kekayaan budaya,” katanya.

Reiner mengatakan bahwa kritik dan pembatasan terhadap cap tikus terjadi karena produk ini semata-mata dilihat sebagai minuman keras, sedangkan minuman keras sendiri diyakini sebagai penyebab kriminalitas. Reiner tidak setuju dengan cara berpikir tersebut. “Ekonomi ini hanya dihambat oleh asumsi sosial yang disalahtafsirkan. Memangnya semua peminum itu kriminal? Berapa persen? Ketika minuman keras dikonsumsi oleh masyarakat yang kelas sosialnya lebih tinggi, kenapa tidak membawa pengaruh kriminalitas? Kenapa ketika kelas bawah yang mengonsumsi dituduh menjadi pelaku kriminal?” katanya.

Mantan dosen fakultas sastra di Universitas Sam Ratulangi, Manado, ini menyayangkan bahwa produk kearifan lokal dengan latar belakang budaya yang kuat justru ditekan hanya oleh satu perspektif, padahal produk tersebut memiliki kekuatan ekonomi yang sangat potensial jika dikembangkan secara lebih serius.

Hal ini juga disetujui oleh Jeffri Polii, seorang aktivis lingkungan hidup, pemerhati isu sosial budaya, dan pendiri kawasan wisata saguer dan cap tikus bernama Tuur Maasering di Kecamatan Kumelembuay, Tomohon, Sulawesi Utara.

Menurutnya, persoalan kriminalitas yang dipicu oleh kemabukan selayaknya menjadi ranah pihak berwajib, tetapi jangan dipersalahkan pada pengrajin cap tikus dan produknya.

Produksi minuman cap tikus oleh pengrajin pada dasarnya netral dan semata demi mencari nafkah. Produk ini justru menjadi bagian integral dari budaya Minahasa. Konsumsi cap tikus pun tidak melulu berujung pada kriminalitas.

“Tidak adil jika minuman lokal yang adalah mahakarya leluhur itu dipersalahkan, tetapi minuman branded yang berkelas justru selalu menjadi minuman yang sangat komersial di negara ini,” katanya. Jeffri merintis Tuur Maasering sebagai upaya untuk membangkitkan lagi pesona cap tikus sebagai warisan budaya Minahasa yang luhur. Area wisata tersebut baru mulai beroperasi pada Oktober 2020 lalu dan sejak itu selalu kedatangan ratusan pengunjung setiap hari.

Jeffri memberdayakan para petani aren lokal di Kumelembuay untuk memasok saguer ke area wisata tersebut. Menurutnya, setiap pagi dan petang petani setempat bisa mendapatkan uang Rp200.000 hingga Rp500.000 dari hasil pasokan saguer ke Tuur Maasering. Jeffri menyajikan satu tempurung saguer dan satu seloki cap tikus sebagai minuman pembuka bagi pengunjung Tuur Maasering yang ditukarkan dengan tiket masuk seharga Rp15.000 per orang.

Kehadiran area wisata tersebut memberikan makna baru bagi cap tikus, sekaligus kesadaran bagi masyarakat dan wisatawan bahwa minuman nira atau saguer dan cap tikus dapat memberikan nilai ekonomi yang tinggi, asalkan bisa dikelola secara kreatif.

Pengunjung memadati area wisata alam dan budaya Tuur Maasering, Minggu (27/12/2020). Area wisata tersebut mendapat kunjungan wisatawan hingga 800 orang per hari pada hari biasa dan sekitar 1.500 orang pada akhir pekan. Selama liburan Natal 2020 dan Tahun Baru 2021, jumlah pengunjung membeludak hingga 3.200 orang per hari./Bisnis-Emanuel B. Caesario.

Upaya mengangkat pamor cap tikus ini tidak saja dilakukan oleh Jefrii. Sebelumnya, pemerintah Minahasa Selatan, Sulawesi Utara, juga telah berhasil memperjuangkan legalitas produk cap tikus dan meluncurkan produk berizin dengan merek Cap Tikus 1978 bersama PT Jobubu Jarum Minahasa (JJM)

Produk tersebut sudah mulai dipasarkan sejak awal 2019 dengan dua varian rasa, yakni rasa original dan rasa kopi. Setiap botol dijual dengan harga Rp80.000 di sejumlah supermarket dan pusat oleh-oleh di Manado dan kota lain di Sulawesi Utara, lengkap dengan pita cukainya. Produk tersebut bahkan kini dapat dengan mudah dibeli di aplikasi marketplace.

Menurut keterangan di botol produk tersebut, JJM selaku produsen produk tersebut melibatkan 50.000 petani aren di Sulawesi Utara untuk menjadi pemasok bahan baku cap tikus. Konon, menurut informasi di botol itu, resep produk ini telah berkembang sejak abad ke-17 sebagai minuman untuk menjamu tamu bangsawan.

Sejak beroperasi pada awal 2019, Cap Tikus 1978 segera menjadi penyumbang besar penerimaan cukai di Manado. Pada kuartal II/2019, penerimaan bea dan cukai Manado sudah mencapai Rp11,6 miliar, atau 87,2% dari target setahun penuh. JJM sendiri menyumbang cukai sebesar Rp5 miliar.

Dua varian rasa Cap Tikus 1978 dipajang di salah satu gerai minuman keras di Kota Manado, Minggu (3/1/2021). PT Jobubu Jarum Minahasa (JJM) selaku produsen menjual minuman tersebut dengan harga Rp80.000 per botol berukuran 320 ml./Bisnis-Emanuel B. Caesario.

Pada Oktober 2020 lalu, Kantor Pelayanan dan Pengawasan Bea dan Cukai atau KPPBC Manado juga memberikan penghargaan kepada JJM sebagai pemberi cukai terbesar. Hal tersebut membuktikan bahwa produk cap tikus memiliki potensi ekonomi yang besar. Kepala Seksi Bidang Perindustrian Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Sulawesi Utara Laurens Frits Pua mengatakan bahwa Cap Tikus 1978 praktis menjadi produk minuman keras lokal yang dapat diterima dengan baik, tidak saja oleh masyarakat lokal, tetapi juga wisatawan di Sulawesi Utara. Menurutnya, JJM sendiri menargetkan setoran cukai setidaknya Rp1 miliar per bulan. Kini perusahaan ini tengah berencana mengembangkan minuman keras lainnya, yakni soju dengan merek Daebak, ke pasar ekspor Korea Selatan dan China.

Sayangnya, tidak semua pengrajin cap tikus saat ini di Minahasa mampu menikmati taraf hidup yang lebih baik berkat penjualan cap tikus. Produk ini masih tetap dipasarkan secara tradisional dan kerap terpojokkan oleh tekanan sosial.

Frits mengatakan pihaknya juga kesulitan untuk bisa membantu pengembangan produk industri lokal cap tikus yang dikembangkan secara mandiri oleh masyarakat, sebab tidak mengantongi izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Berbeda dibandingkan produk mandiri masyarakat, Cap Tikus 1978 sudah mendapatkan izin BPOM dengan nomor BPOM RI MD 170018003057. Hal ini memungkinkan produk ini dipasarkan secara luas.

Upaya Jefrii Polii dengan Tuur Maasering dan pemerintah Minahasa Selatan dengan Cap Tikus 1978 tidak lain adalah bentuk perjuangan dan perlawanan untuk menempatkan cap tikus pada posisinya yang semestinya, yakni warisan budaya yang luhur dan modal ekonomi yang besar bagi masyarakat Minahasa.

Sayang sekali jika makna dan narasi besar keluhuran warisan budaya di balik minuman tradisional yang telah menghidupi masyarakat dan Riwayat Cap Tikus, Pudarnya Pesona Minuman Para Dewa

mengikat budaya Minahasa secara turun temurun ini justru direduksi maknanya semata-mata sebagai biang masalah.

Wisata Tuur Maasering,