• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pandemi

Ekonomi Provinsi Bali sangat terpukul menyusul ditutupnya sektor pariwisata akibat pandemi Covid-19. Bagaimana perjuangan para srikandi UKM di Pulau Dewata mempertahankan bisnisnya?

Ni Made Yuliani Djajanegara (70), pemilik Bali Tangi (foto oleh Farid Firdaus)

Ni Made Yuliani Djajanegara (70), telah mengalami tiga kali tekanan berat ekonomi di Pulau Dewata. Mulai Bom Bali 2002, Bom Bali 2005 dan terakhir pandemi Covid-19 sejak 2020 hingga saat ini. “Resesi ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini yang terberat bagi saya, karena tidak terlihat ujungnya,” kata Pendiri Bali Tangi, produsen kosmetik herbal, saat ditemui Investor Daily di Denpasar awal Januari lalu.

Yuliani mendirikan Bali Tangi sejak krisis moneter 1998 lalu. Saat itu suami Yuliani, Wayan Sukhana kehilangan pekerjaan karena perusahaan farmasi tempat dia bekerja di Jakarta bangkrut. Krisis itu merupakan titik balik hidup keluarga Sukhana-Yuliani, yang dikarunia tiga anak laki-laki.

Meskipun saat itu, Yuliani punya pilihan untuk tetap bertahan sebagai perawat, namun suaminya sempat depresi berat karena menganggur. Sedangkan anak-anak butuh biaya sekolah. Sayangnya, usia Sukhana dan Yuliani saat itu sudah kepala lima, sehingga sulit mendapatkan pekerjaan baru.

Masuk tahun 2000, Yuliani dan Sukhana mulai merintis usaha cinderamata khas Bali. Namun karena kecintaan Yuliani terhadap kerajinan bunga kering, mengantarkannya pada produksi boreh atau lulur spa dari bahan-bahan alami. Alhasil, berdirilah Bali Tangi. Yuliani mengisahkan periode 5 tahun pertama dia membangun bisnis tidaklah mudah. Sebab dia harus menghadapi pukulan ekonomi akibat tragedi Bom Bali I dan II.

“Kalau bom yang pertama itu masih bisa cepat pulihnya. Begitu bom yang kedua, orang-orang sudah geregetan sekali. Dari rangkaian tragedi bom tersebut kita belajar, bahwa penduduk kita banyak, dan bagaimana mengembangkan usaha dengan sumber daya lokal,” kata Yuliani mengenang.

Bali Tangi memiliki arti Bali yang bangkit. Semangat ini selalu tertanam pada diri Yuliani dan Sukhana. Selepas 2005, usaha Bali Tangi terus berkembang dengan berbagai varian lulur, message oil, sabun, shower gel, scrub dan produk spa lain. Pasarnya juga meluas hingga ekspor ke Asia, Eropa, Amerika Serikat, hingga Australia. Jelang 2010, Bali Tangi memutuskan membangun pabrik yang menandakan fase ekspansi baru. Modal pendirian pabrik yang berlokasi di Denpasar tersebut dibantu pembiayaan dari Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI) cabang Bali.

“Sebelum ada pabrik, jumlah karyawan hanya 4 orang. Tapi setelah ada pabrik, jumlah karyawan terus bertambah jadi 54 orang. Pabrik ini penting agar kami bisa ekspor,” kata Yuliani.

Namun memasuki 2020, pandemi Covid-19 menghantam. Bali Tangi terpaksa mengurangi jumlah karyawan hingga tinggal 18 orang. Yuliani mengaku, selama masa pagebluk, produksinya hanya mengandalkan pesanan, utamanya permintaan dari pelaku spa

freelance. Sedangkan pesanan ekspor, meskipun masih tetap ada

namun jumlah anjlok signifikan.

“Misalnya satu supplier yang dalam kedaaan normal bisa memesan hingga 27 ribu potong sabun, kini saat pandemi hanya memesan 9 ribu potong,” Yuliani mengisahkan.

Yuliani sebenarnya berencana menggenjot pasar ekspor. Namun situasi pandemi membuatnya tak berani mengambil langkah ekspansi besar. Dia juga menahan diri tak menerima tawaran pinjaman murah dari perbankan untuk modal kerja.

“Selama pandemi belum mereda, maka pariwisata belum berjalan normal, sehingga bisnis kami masih dalam moda bertahan,” ungkapnya.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), ekonomi Bali terkontraksi hingga minus 12,28% secara tahunan hingga kuartal III 2020, dan diperkirakan masih negatif sampai akhir 2020. Lapangan usaha yang terkait erat dengan pariwisata mengalami penurunan terdalam.

Cita-cita yang Tertunda

Cita-cita yang tertunda juga dialami Ni Luh Gede Jeni Meiyana (45). Perempuan penguasaha sepatu dan tas kulit dengan brand Meiga Collection ini sebenarnya menargetkan punya gerai sendiri pada 2020 lalu. Namun pandemi Covid-19 membuat pesanan sepatu dan tas dari pelanggan anjlok hingga 70%.

Jeni sempat mendapatkan tawaran pinjaman bunga murah dari Bank Pembangunan Daerah (BPD) Bali antara Rp500 juta hingga Rp1 miliar. Fasilitas pinjaman itu memang bisa menghantarkan Jeni mewujudkan mimpinya punya gerai besar. Tapi ketidakpastian ekonomi akibat pandemi membuat perempuan dengan 2 cucu ini gamang.

“Kalau ada yang menawarkan pinjaman besar, saya tidak berani, karena takutnya tidak bisa bayar. Kalau memang saya rasa bisa bayar, pasti saya ambil, kalau tidak lebih baik pending dulu,” kata dia. Meiga Collection berdiri sejak 2010, yang bermula dari kegemaran Jeni mengoleksi sepatu. Usaha ini dinilai lebih menjanjikan dibanding usaha snack bar, yang sebelumnya sempat dia geluti. Dalam mendesain dan memproduksi sepatu, Jeni dibantu 5 orang karyawan. Suami Jeni ikut membantu mengurusi bahan baku.

“Meiga Collection menjadi sumber utama pendapatan keluarga kami,” ungkapnya.

Sejak dua tahun lalu, Meiga Collection sudah masuk daftar usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) binaan Bank Indonesia. Jeni mengakui mendapat banyak manfaat lantaran BI punya pelatihan

digital marketing dan didorong untuk masuk pasar internasional.

Sebagai perempuan, dirinya juga merasa lebih sensitif dengan pasar yang ingin dibidiknya.

“Saat ada pameran-pameran, seperti pameran UMKM Bali Bangkit,

Ni Luh Gede Jeni Meiyana (45), pemilik Meiga Collection (foto oleh Farid Firdaus).

kami sering dibilang, perempuan Bali itu kuat-kuat sekali karena jadi tulang punggung,” kata Jeni saat ditemui di Taman Budaya Bali, awal Januari lalu.

Urung Ambil Pinjaman

Kisah perjuangan serupa juga dialami Anak Agung Indra Dwipayani (34) yang akrab dipanggil Gung In, pengusaha kain Endek Bali Collection. Mengandalkan ciri khas kain Endek yang dimodifikasi, usaha Bali Collection sempat menarik minat pengelola gerai Duty Free untuk kerja sama pemasaran.

“Pada 2020, Bali Collection harusnya punya jadwal keliling ke Duty Free di Asia dan Eropa memperkenalkan produk. Kalau deal, maka signifikan sekali dampaknya. Tapi karena ada pandemi jadwalnya batal,” kata Gung In awal Januari lalu.

Selain Duty Free, para pembeli kain Bali Collection seperti pengelola hotel dan vila-vila di Indonesia maupun luar negeri juga membatalkan pesanan karena pemasukan yang merosot akibat pandemi. Akhirnya, Bali Collection harus menahan ekspansi. Kondisi itu membuat Gung In urung mengambil pinjaman baru ke perbankan.

“Ketika Januari 2020, saya sudah melunasi pinjaman yang lama. Rencananya, saya ingin ambil pinjaman lagi pada Maret. Tapi karena banyak pesanan batal, saya belum berani, meskipun ada tawaran bunga 0%,” kata Ibu dari tiga anak ini.

Selama pandemi, Bali Collection yang dirintis sejak 2015 tetap bertahan dengan 25 karyawan. Guna menanggulangi anjloknya permintaan kain jadi, Gung In bernisiatif memproduksi masker tenun endek. Hasilnya terbilang lumayan karena bisa menembus pasar 50 negara. Meski begitu secara ekonomi, kontribusi omzet dari masker masih jauh dibanding kain atau pakaian jadi.

“Bayangkan harga masker sekitar Rp50 ribu per buah, s

ementara harga satu kain tenun dibandrol Rp1,5 juta hingga Rp2 juta per potong,” kata Gung In. (Farid Firdaus)

Karya telah tayang di Investor Daily, 2 Februari 2021 Bagian 1 : Strategi Srikandi UMKM Bali Bertahan Saat Pandemi

Senja di Lembongan, Bali (Foto oleh Farid Firdaus).

Amunisi Terakhir UMKM