• Tidak ada hasil yang ditemukan

Wisata Tuur Maasering, Pesona Budaya Minahasa

TUJUAN TUUR MAASERING

Jeffri tampak tidak tinggal diam saat itu, melainkan turut membantu proses operasional pelayanan pengunjung. Di sela-sela kesibukannya, Jepol, demikian dia biasa disapa, bercerita tentang alasannya mendirikan kawasan wisata tersebut. Ada empat alasan, katanya.

Pertama, model bisnis area wisata ini dirancang untuk dapat

melibatkan masyarakat sebagai bagian dari mata rantai ekonomi

Minuman cap tikus hasil penyulingan ditampung dalam seloki untuk disajikan kepada pengunjung Tuur Maasering dengan cara menukarkan tiket masuknya, Minggu (27/12/2020)./Bisnis-Emanuel B. Caesario.

pariwisata, sehingga perekonomian mereka terangkat. Setiap pagi dan petang, petani aren di Kumelembuay menjadi pemasok saguer untuk kawasan ini dan dapat membawa pulang Rp200.000 hingga Rp500.000 sekali pasok.

“Pengganti tiket masuk itu sebetulnya untuk meningkatkan ekonomi petani, karena tiket ditukar dengan saguer dan cap tikus yang dipasok petani,” katanya.

Kedua, jika ekonomi petani aren meningkat, mereka tentu tidak akan

lagi menebang aren untuk menggantinya menjadi lahan pertanian. Pohon aren sangat penting untuk konservasi alam, sebab menjadi panahan erosi dan penyerap air yang besar.

“Jadi, setiap orang yang datang ke Tuur Maasering, dia sudah meningkatkan ekonomi petani aren dan juga berpartisipasi menyelamatkan lingkungan,” katanya.

Ketiga, area wisata ini diharapkan dapat meningkatkan kesadaran

dan mengedukasi masyarakat terhadap makna dan nilai ekonomi saguer dan cap tikus. Dengan demikian, cap tikus sebagai maha karya warisan budaya Minahasa yang luhur, yang akhir-akhir ini kerap

Jeffri Polii atau Jepol, pendiri kawasan wisata Tuur Maasering di pondok utama Tuur Maasering, Minggu (27/12/2020). Jeffri mendirikan Tuur Maasering dengan modal sendiri senilai kurang lebih Rp400 juta, di luar harga lahan./Bisnis-Emanuel B. Caesario.

terpojokan akibat kampanye anti minuman keras, dapat tetap lestari. Di tempat ini, pengunjung tidak diizinkan meminum lebih dari satu seloki cap tikus yang diterima sebagai welcome drink. Sebagai gantinya, mereka dapat membeli saguer yang dijual Rp30.000 untuk satu cerek berukuran 1,5 liter.

Selain itu, ada juga aneka makanan ringan lokal yang dapat dibeli dengan harga Rp15.000 per porsi. Tentu, mereka dapat membeli cap tikus untuk dibawa pulang sebagai cinderamata, tetapi tidak untuk diminim di tempat.

Hal ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa cap tikus dalam tradisi Minahasa adalah minuman pergaulan yang disajikan untuk menghangatkan suasana, minuman pembuka yang disajikan tuan rumah untuk tamu sebelum makan, bukan untuk dikonsumsi secara berlebihan.

Keempat, untuk memantik kreativitas masyarakat lokal terhadap

potensi-potensi wisata yang besar di daerah. Pasalnya, makin banyak masyarakat yang justru menjual lahan yang strategis untuk lokasi wisata karena tidak memahami potensi ekonomi yang besar di baliknya.

“Jadi, ini bukan bisnis murni, lebih banyak edukasi sosial dan budaya, sehingga itulah kenapa anak-anak kecil di sini tidak dipungut biaya untuk masuk,” katanya.

Lulusan sarjana ilmu kelautan dari Universitas Sam Ratulangi ini mengatakan bahwa kawasan wisata ini mulai dia rinsits sejak Februari 2020 atau awal Covid-19 masuk ke Indonesia dengan melibatkan penduduk lokal.

Dia merogoh kocek sendiri hingga Rp400 juta untuk mengembangkan kawasan tersebut. Sekitar Rp300 juta untuk konstruksi kawasan dan Rp100 juta untuk instalasi listrik.

“Untuk pinjaman perbankan, sangat sulit kalau usaha wisata karena Covid-19,” katanya.

Kawasan ini dibangunnya di atas tanahnya sendiri, yang total luasnya sekitar 2 hektare. Dia baru menggunakan 1 hektare untuk area wisata ini. Pria berusia 47 tahun ini mengaku menanam sendiri pohon aren yang ada di kawasan tersebut sejak 20 tahun lalu.

Jeffri mengatakan rata-rata pengunjung harian di kawasan wisata Tuur Maasering sekitar 800 orang pada hari biasa, sedangkan pada akhir pekan rata-rata 1.500 orang. Puncak kunjungan terjadi pada momen libur Natal dan Tahun Baru 2021 lalu yang mencapai sekitar 3.200 orang dalam sehari. Iya benar, hari saat kami datang ke sana. Jesika Leander, salah seorang pengunjung dari Jakarta mengaku terkesan dengan konsep wisata yang ditawarkan Tuur Maasering. Menurutnya, tempat wisata tersebut dapat memadukan dengan sangat baik antara suasana alam yang sejuk, warisan budaya yang khas, serta desain kawasan wisata yang kekinian.

Konsep seperti ini sangat jarang dia temui sebelumnya di area wisata lain, apalagi yang berani menonjolkan minuman beralkohol sebagai daya tarik utamanya. Walaupun tempatnya dibuat sederhana dengan material alam, tetapi suasana yang terbangun justru menjadi lebih menarik.

“Ini anak muda banget sih, tapi cocok untuk tempat santai keluarga juga. Lebih bagus dari pada ke mal-mal terus,” katanya.

Jesika Leander, salah satu pengunjung Tuur Maasering, menerima saguer atau air nira sebagai welcome drink di Tuur Maasering, Minggu (27/12/2020)./Bisnis-Emanuel B. Caesario.

Sementara itu, pengunjung lainnya, Johanis Untu mengatakan bahwa sebagai tempat wisata yang masih baru, Tuur Maasering memang mengundang rasa penasaran banyak orang. Namun, jika tidak banyak hal baru atau variasi daya tarik yang ditawarkan, dia menilai cepat atau lambat tingkat kunjungannya akan menurun.

Johanis sendiri juga tidak sempat mendapatkan tempat untuk duduk, kendati sudah masuk dan membayar tiket. Menurutnya, hal tersebut cukup disayangkan sebab banyak pengunjung yang bernasib sama seperti dirinya. Dirinya pun tidak bisa terlalu berlama-lama di lokasi wisata tersebut.

Adapun, Jepol sendiri mengaku masih memiliki rencana lanjutan untuk pengembangan kawasan wisata tersebut. Dirinya juga tampaknya menyadari bahwa pengembangan kawasan wisata menuntut kreativitas yang tidak boleh terhenti.

Rencananya, di area lahan 1 hektar yang tersisa akan dia dirikan bengkel kreativitas untuk mendidik anak-anak muda setempat maupun anak-anak muda dari daerah lain yang datang berkunjung. Bengkel tersebut akan membantu generasi muda mempelajari warisan-warisan budaya Minahasa, seperti kerajinan, serta makanan dan minuman tradisional.

Dirinya juga berencana lebih banyak melibatkan masyarakat setempat untuk pengembangan pusat wisata kuliner lokal yang lebih besar skalanya di sana. Selain itu, Jepol juga berencana akan bekerja sama dengan pemilik lahan lainnya untuk mengembangkan wisata jelajah alam dengan melibatkan anak-anak muda setempat sebagai pemandu.

Mimpinya yang pertama untuk membangun Tuur Maasering berhasil dia wujudkan dengan modal nekat dan semangat keberpihakan pada masyarakat setempat. Dia yakin, mimpinya yang lain pun akan mampu dia wujudkan dengan bermodalkan semangat yang sama. Mungkin ada banyak orang yang memiliki kegelisahan dan mimpi yang sama seperti Jepol, tetapi tidak banyak yang cukup berani dan memiliki kesempatan untuk mewujudkan itu.

dukungan diam-diam terhadap mimpi tersebut. Ramainya kunjungan ke Tuur Maasering tampaknya adalah wujud restu masyarakat terhadap buah kreativitas Jepol dan masyarakat setempat untuk melestarikan budaya dan alam Minahasa.

Karya telah tayang di Bisnis Indonesia, 3 Februari 2021 Wisata Tuur Maasering, Pesona Budaya Minahasa dalam Seloki Cap Tikus

Jendri Pauner Bertahan