• Tidak ada hasil yang ditemukan

SURYA, SURABAYA - Seiring dengan semakin masifnya penggunaaan perangkat serta inovasi digital di masyarakat, tentu semakin banyak pula data serta informasi konsumen yang terhimpun dan dapat dimanfaatkan.

Namun bagaimana sejatinya big data tersebut dapat dimanfaatkan perbankan untuk mengambil keputusan menyalurkan kredit kepada UMKM?

Menurut Weddy Irsan, Head of Secured Lending Retail & SME Bank Commonwealth, banyak ‘lumbung data’ yang data-datanya dapat dimanfaatkan perbankan untuk menentukan apakah UMKM tertentu layak mendapatkan pembiayaan atau tidak.

Salah satu lumbung data itu adalah perusahaan telekomunikasi. Menurutnya, perusahaan-perusahaan telekomunikasi tentu punya data yang menggambarkan profil pelaku UMKM. Misalnya, berapa pemakaian data internet, SMS, serta durasi panggilan telepon dari seorang pelanggan, hingga lokasinya.

“Misalnya ada UMKM yang bilang kalau lokasinya di Jakarta Barat, tapi dari data yang diperoleh dari perusahaan telekomunikasi tersebut, bisa ketahuan kalau ternyata lokasinya lain. Jadi, data dari perusahaan telekomunikasi tersebut bisa menjadi filtering sebelum bank atau

fintech memutuskan memberi pinjaman,” urainya.

Selain perusahaan telekomunikasi, lumbung data lain yang dijadikan contoh oleh Weddy adalah BPJS Ketenagakerjaan. Menurut dia BPJS Ketenagakerjaan tentu punya catatan berapa jumlah pekerja yang

dimiliki oleh UMKM tertentu dan apakah mereka tertib membayar iuran BPJS. Dari data ini saja, bisa terlihat bagaimana kekuatan modal dari UMKM pemberi kerja.

“Jadi data ini perlu dikembangkan oleh Perbankan untuk menjangkau UMKM. Tetapi harus ada pihak ketiganya, entah swasta atau pemerintah,” kata Weddy.

Bila akses terhadap Big Data ini kemudian dibuka lebar untuk perbankan, lantas bagaimana masa depan SLIK (Sistem Layanan Informasi Keuangan) atau BI Checking?

Ditanya demikian, Weddy menyebut bahwa SLIK atau BI Checking tak akan serta merta tamat riwayatnya.

“Ya karena tentu saja SLIK atau BI Checking ini juga terus bertransformasi,” pungkasnya.

Gancar Premananto, pengamat ekonomi dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB UA) mengatakan penggunaan big data untuk credit scoring oleh perbankan memang dimungkinkan. Namun diperlukan legalitas hukum dalam melacak jejak keuangan calon nasabah ke berbagai sumber data serta untuk menghindari kemungkinan penyalahgunaan data oleh perbankan.

“Termasuk dalam hal ini izin untuk mengambil data keuangan dari dunia fintech yang seringkali juga borderless, tanpa batasan negara,” kata Gancar.

Alih-alih merekomendasikan kerjasama dengan fintech lending, Gancar lebih antusias menyarakankan perbankan untuk bekerjasama dengan pengembang software pembukuan transaksi usaha.

Kata dia, dengan kerjasama itu dapat dilakukan pelatihan penggunaan

software akuntansi.

“Kerjasama ini dapat dilanjutkan dengan pelatihan penggunaan

software, untuk kemudian dari transaksi yang tercatat akan terlihat

kelayakan dan prospek dari sebuah UMKM. Hal ini menjadikan UMKM akan lebih siap dalam mengajukan kredit,” tandasnya.

Kusheryansyah, Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI) menyebut perbankan memang memiliki keterbatasan dalam memanfaatkan data alternatif untuk keperluan

credit scoring.

Namun, perbankan pun menyadari bahwa masa depan keuangan juga terletak pada digitalisasi. Makanya, tak sedikit perbankan yang berkolaborasi dengan fintech dalam hal penyaluran pembiayaan. “Sebesar 28% pendanaan fintech di Indonesia ini berasal dari perbankan. Sisanya dari pendanaan individu atau retail, institusi nonbank, dan lain sebagainya. Jadi saya yakin, ke depan bank akan makin mesra dengan fintech,” kata Kusheryansyah.

Terkait penggunaan data-data alternatif, Kusheryansyah menegaskan bahwa data yang diambil oleh fintech anggota AFPI bukan data-data pribadi konsumen. Data-data-data yang diambil dan dianalisis adalah data-data yang dapat dihimpun fintech dari ekosistem digital, bukan dari perangkat yang dipakai oleh konsumen.

“Fintech bisa menggunakan data apa saja selama tak melanggar data

pribadi. Makanya itu kami juga berharap agar UU Perlindungan Data Pribadi juga bisa segera disahkan agar kami tahu apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan terkait dengan itu,” lanjutnya.

Menurut Chief Data Officer fintech lending Kredivo, Paramananda Setyawan, ada sejumlah kelebihan penggunaan data alternatif dalam inovasi credit scoring dibanding metode konvensional yang dipakai perbankan.

Pertama, meningkatkan kualitas penilaian kelayakan kredit dengan mengamati dan menganalisis perilaku debitur saat mendaftar dan pola pembelanjaannya.

“Di Kredivo, berbagai sumber data alternatif yang digunakan untuk proses penilaian tersebut membantu menghasilkan analisis yang cepat dan lebih akurat, yang tentunya tetap mengutamakan perlindungan privasi pengguna sesuai dengan ketentuan regulator saat ini, yaitu pembatasan data digital yang bisa diakses dari

smartphone hanya melalui kamera, mikrofon, dan lokasi,” tambah

Kedua, penggunaan data alternatif memungkinkan kelompok pekerja maupun pengusaha pemula mendapat kesempatan untuk mengakses kredit secara cepat dan mudah.

“Bahkan jika analisa yang dilakukan dari berbagai data alternatif menunjukkan hasil yang baik, mereka akan mendapatkan skor kredit yang tinggi dan memperoleh pinjaman dengan nominal yang besar. Selain itu, inovasi skor kredit juga memungkinkan penyerapan kredit secara lebih cepat, khususnya bagi pelaku UMKM,” tuturnya.

Ketiga, penggunaan data alternatif dalam analisis credit scoring menjadikan penyajian data lebih akurat dan real-time. Menurut Paramananda, dalam model credit scoring yang dianut perbankan, riwayat kredit calon peminjam yang buruk akan berpengaruh terhadap hasil analisa, paling tidak 1 sampai 2 tahun setelah proses kredit tersebut. Apabila peminjam pernah mengalami gagal bayar pada 2 tahun lalu, dia masih dianggap sebagai calon peminjam yang berpotensi berisiko meski kondisi keuangannya telah mengalami perubahan positif dalam 2 tahu n tersebut.

“Sedangkan dalam inovasi credit scoring (di Kredivo), yang digunakan merupakan data yang real-time, sehingga bisa menjadi solusi bagi mereka yang pernah gagal bayar,” sambung Paramananda.

Kemudian, penggunaan data alternatif juga bisa mengurangi bias informasi karena human error. Maksudnya, karena yang dipergunakan oleh fintech adalah teknologi dan alat digital automasi dengan algoritma yang ditetapkan sedemikian rupa, maka peluang untuk terjadinya bias informasi karena kesalahan manusia, dapat dihindari. “Algoritma yang digunakan fintech mampu memberikan hasil analisa yang akurat sesuai dengan profil risiko pengguna. Namun, itu semua tetap harus diikuti dengan prinsip kehati-hatian, baik dari pelaku

fintech ataupun pengguna, “ pungkasnya.

Cara Penagihan Dikeluhkan

Di tengah tren pertumbuhan, fintech lending masih mendapat pandangan miring dari beberapa orang. Masyarakat yang lebih familiar dengan istilah pinjaman online (pinjol) untuk menyebut Penyaluran Kredit Fintech dan Perbankan Lebih Kencang Dengan Big Data

fintech lending, umumnya takut meminjam uang ke fintech karena

takut ‘diteror’ apabila terlambat membayar angsuran.

Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional, Rizal E Halim menyebutkan, terdapat beberapa persoalan terkait pinjaman online. Di antaranya, masih banyak aplikasi pinjaman online tak berizin yang dapat diunduh publik secara mudah.

“Konsumen pun kesulitan membedakan mana pinjol yang sudah terdaftar, berizin, serta ilegal. Karena itu BPKN mengingatkan masyarakat gar menggunakan layanan pinjol yang sudah terdaftar dan berizin di Otoritas Jasa Keuangan,” ujar Rizal beberapa waktu lalu.

Pengambilan data pribadi konsumen juga menjadi persoalan lain yang terkait dengan Fintech lending.

“Walaupun sudah ada pembatasan data yang bisa diambil aplikasi, tapi dalam praktiknya masih ada data pribadi yang diambil. Ketika ada peminjam yang belum memenuhi kewajibannya, kontak orang di ponsel peminjam dihubungi dan ikut diancam,” sambungnya.

“Masyarakat perlu berhati-hati dalam memberikan persetujuan sebelum install aplikasi atau ketika akan menggunakan layanan. Lihat kembali syarat dan ketentuan peminjaman, besaran bunga, tenor peminjaman, dan denda karena terlambat bayar cicilan. Konsumen harus bijak,” kata dia.

Ketua Harian Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Kuseryansyah tak menampik bahwa di lapangan, masih ada masyarakat yang memberikan pandangan miring terhadap

fintech lending. Penyebabnya, banyak orang yang menjadi korban

pelanggaran praktik fintech.

Data yang dihimpun AFPI dari layanan Jendela Konsumen, pada Januari 2020 hingga November 2020 saja, terdapat 3.726 laporan yang masuk.

Namun dia pun menegaskan bahwa 149 fintech lending yang kini sudah mengantongi izin dari OJK, dibatasi aturan yang ketat dalam

praktik operasionalnya.

“Anggota kami yang terdaftar di OJK dilarang melakukan teror, ancaman, dan penyalahgunaan data pribadi. Kami bahkan tidak berani melakukan pelanggaran data pribadi karena bisa terjerat UU ITE,” tutur Kuseryansyah.

“Di AFPI, ada SOP penagihan dan code of conduct (kode etik, red). Jadi kalau ada yang menagih dengan melakukan teror, itu pasti fintech ilegal. Kalau anggota kami ada yang melakukan itu, maka akan ada majelis etik yang siap mengadili,” tegasnya.

Meski demikian, Kuseryansyah juga mengingatkan masyarakat agar bijak sebelum meminjam dana ke fintech. Menurutnya, lembaga keuangan manapun, baik perbankan maupun nonbank, pasti akan melakukan penagihan apabila ada nasabah yang terlambat menyelesaikan kewajibannya.

“Mau pinjam ke bank, multifinance, atau fintech, kalau terlambat bayar angsuran pasti akan ditagih. Di fintech memang bunga pinjamannya lebih tinggi. Jadi calon peminjam harus mengukur kapasitas sendiri. Sebab kalau tidak, berisiko ditagih. Dan proses penagihan pasti dilakukan sesuai tingkat keterlambatan bayar,” imbuhnya. (eben haezer)

Karya telah tayang di Surya.co.id, 27 Januari 2021 Penyaluran Kredit Fintech dan Perbankan Lebih Kencang Dengan Big Data

Di-PHK Karena Pandemi,