• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pendahuluan

Lanskap terdiri dari berbagai elemen yang sangat memengaruhi keanekaragaman, komposisi, kelimpahan, dan sebaran serangga. Oleh karena itu, kuantifikasi di tingkat kelas penggunaan lahan merupakan prasyarat dalam menganalisis lanskap (Turner 1987). Lebih lanjut Turner (2001) menjelaskan bahwa dalam menganalisis lanskap harus dipahami berapa dan bagaimana elemen lanskap tersebut disusun. Kuantifikasi lanskap perlu dilakukan untuk memahami komposisi dan konfigurasi lanskap. Sejumlah penelitian telah menunjukkan bahwa komposisi dan konfigurasi lanskap memengaruhi kelimpahan dan kekayaan spesies serangga (Hunter 2002, Marino dan Landis 1996). Peningkatan fragmentasi habitat pada skala lokal dapat menyebabkan kepunahan spesies beberapa serangga (Landis et al. 2000). Menurut Kruess dan Tscharntke (1994) fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan habitat yang luas dan berkelanjutan diperkecil atau dibagi menjadi dua atau lebih fragmen. Perangkat spasial remote sensing GIS memiliki kapasitas untuk mengkuantifikasi pola penggunaan lahan dan memahami keanekaragaman spasial (Turner 1990; Sinha dan Sharma 2006).

Pengelompokan lanskap pertanian menjadi lanskap kompleks dan lanskap sederhana dilakukan berdasarkan atas proporsi habitat alami, keanekaragaman jenis tanaman budi daya dan jumlah patch. Pengelompokan berdasarkan proporsi habitat alami bervariasi antar peneliti. Persson et al. (2015) mengelompokkan lanskap pertanian berdasarkan proporsi habitat alami. Lanskap kompleks dicirikan dengan proporsi habitat alami sebesar 8% dan habitat pertanian 80%, sedangkan lanskap sederhana dicirikan dengan proporsi habitat alami hanya 1% dan habitat pertanian mencapai 90%. Sedangkan Marino dan Landis (1996) mengelompokkan lanskap dengan proporsi habitat pertanian 71.4% dan habitat alami 11.2% sebagai lanskap sederhana, sedangkan lanskap kompleks memiliki proporsi habitat pertanian 59.4% dan habitat alami 14.3%. Thies et al. (2003) menyebutkan bahwa lanskap yang memiliki proporsi tanaman nonpertanian <3% tergolong dalam lanskap sederhana sedangkan proporsi tanaman nonpertanian >50% adalah lanskap kompleks. Pengelompokan lanskap berdasarkan jumlah patch dilakukan oleh Flick et al. (2012). Lanskap dikelompokkan menjadi 4 kelompok lanskap. Pertama, lanskap dengan kekayaan patch yang tinggi, kepadatan patch yang tinggi (high patch richness, high patch density), yaitu lanskap yang memiliki kekayaan patch 6-8 jenis patch dengan kepadatan patch berkisar antara 81.46-112 m/ha. Kedua, lanskap dengan kekayaaan patch yang tinggi, kepadatan patch yang rendah (high patch richness, low patch density), yaitu lanskap yang memiliki 6-8 jenis patch dan kepadatan patch 50.91-76.37 m/ha. Ketiga, lanskap dengan kekayaan patch rendah, kepadatan patch rendah (low patch richness, low patch density), yaitu lanskap yang memiliki jenis patch 4-5 dengan kepadatan patch 50.91-61.09 m/ha. Keempat, lanskap dengan kekayaan patch rendah, kepadatan patch tinggi (low patch richness, high patch density), yaitu lanskap yang memiliki 4-5 jenis patch dan kepadatan patch 71.27-101. m/ha.

Intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian telah mengakibatkan perubahan struktur spasial, keanekaragaman habitat dan komposisi habitat. Lanskap pertanian yang berada di sekitar Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango terdapat pada dataran rendah hingga sedang dan memiliki tingkat kompleksitas yang beragam. Lanskap sederhana dicirikan dengan rendahnya proporsi habitat alami, sedangkan lanskap kompleks memiliki proporsi habitat alami yang lebih tinggi. Karakteristik lanskap seperti konfigurasi dan komposisi elemen lanskap memengaruhi keanekaragaman hayati (Forman dan Godron 1986; Cushman et al. 2010). Untuk mempelajari hubungan antara kompleksitas lanskap dengan keanekaragaman serangga maka struktur lanskap harus dikuantifikasi.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui komposisi dan konfigurasi lanskap pertanian di wilayah Bogor, Cianjur dan Sukabumi, Jawa Barat.

Bahan dan Metode Lokasi dan Waktu

Penelitian dilaksanakan di lanskap pertanian yang berada di kawasan Bogor, Sukabumi dan Cianjur, Jawa Barat (Gambar 3.1). Penelitian ini dilaksanakan mulai Oktober 2014 sampai dengan Februari 2015.

Gambar 3.1 Lokasi penelitian di kawasan Bogor, Sukabumi dan Cianjur (16 lokasi)

Penentuan Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalahan lanskap pertanian yang memenuhi beberapa kriteria, yaitu (1) memiliki lahan pertanaman mentimun berumur kurang dari dua minggu, (2) luas lahan pertanaman mentimun tersebut minimal 1 250 m2 (25 m x 50 m), (3) jarak antar lokasi penelitian minimal 3 km, dan (4) memiliki habitat alami.

Pengumpulan Data Spasial Lanskap

Pengumpulan data spasial lanskap diawali dengan menentukan titik koordinat lokasi penelitian menggunakan global positioning system (GPS). Lokasi penelitian dan informasi geografisnya disajikan pada Tabel 3.1. Titik koordinat tersebut selanjutnya digunakan untuk menduga posisi masing-masing lokasi pertanian melalui Google earth sehingga diperoleh foto udara untuk setiap lokasi penelitian (Gambar 3.2). Selanjutnya dilakukan groundcheck untuk memastikan komoditas yang ditanam serta menentukan batas areal pertanian dengan areal lain dengan menggunakan GPS. Metode groundcheck yang dilakukan mengadopsi metode yang dilakukan oleh Thies et al. (2003) yaitu dengan cara menggambar kondisi lanskap pada radius 100 m, 200 m, 300 m, 400 m dan 500 m dalam bentuk peta berdasarkan penggunaan lahan dan jenis komoditas yang ditanam.

Tabel 3.1 Letak administratif, koordinat dan ketinggian lokasi penelitian

No Lokasi Letak administrasi Koordinat lokasi Ketinggian (m dpl) 1 Situ Gede Ds. Situ Gede, Kec. Bogor Barat,

Kab. Bogor

06o32’59.8” LS; 106o44’39.5” BT

190 2 Petir Ds. Petir, Kec Dramaga, Kab.

Bogor

06o37’58.6” LS;

106o43’04.8” BT 482

3 Laladon Ds. Laladon, Kec. Ciomas, Kab. Bogor

06o34’56.9” LS;

106o45’04.7” BT 218

4 Mekarjaya Ds. Mekarjaya, Kec. Ciomas, Kab. Bogor

06o36’44.0” LS;

106o46’30.5” BT 282

5 Cibanteng Ds. Cibanteng, Kec. Ciampea, Kab. Bogor

06o32’54.2” LS;

106o42’43.0” BT 187

6 Cihideung Udik Ds. Cihideung Udik, Kec. Ciampea, Kab. Bogor

06o35’03.8” LS;

106o43’11.0” BT 239

7 Pabuaran Ds. Pabuaran, Kec. Kemang, Kab. Bogor

06o30’01.4” LS;

106o42’45.8” BT 140

8 Bantarjaya Ds. Bantarjaya, Kec. Ranca Bungur, Kab. Bogor

06o32’03.6” LS;

106o43’35.9” BT 184

9 Cibadak Ds. Karang Tengah, Kec. Cibadak, Kab. Sukabumi

06o53’21.8” LS;

106o48’15.1” BT 464

10 Benda Ds. Benda, Kec. Cicurug, Kab. Sukabumi

06o46’09.9” LS;

106o49’27.4” BT 644

11 Kompa Ds. Kompa, Kec.Parung Kuda, Kab. Sukabumi

06o49’01.9” LS;

106o45’11.8” BT 458

12 Sukaluyu Ds. Selajambe, Kec. Sukaluyu, Kab. Cianjur

06o48’21.7” LS;

107o13’57.5” BT 294

13 Sindangjaya Ds. Sindangjaya, Kec. Ciranjang, Kab. Cianjur

06o47’45.9” LS;

107o16’01.1” BT 274

14 Karang Tengah Ds. Bojong, Kec. Karang Tengah, Kab. Cianjur

06o48’15.6” LS;

107o10’46.5” BT 361

15 Jamali Ds. Jamali, Kec. Mande, Kab. Cianjur

06o44’31.8” LS;

107o11’32.7” BT 404

16 Cikanyere Ds. Cikanyere, Kec. Sukaresmi, Kab. Cianjur

06o43’57.2” LS;

Gambar 3. 2 Foto udara lokasi penelitian yang digunakan sebagai pedoman dalam melakukan groundcheck. (A) Sukaluyu, (B) Kompa, (C) Bantarjaya, dan (D) Jamali.

Analisis Data

Data yang diperoleh dari hasil groundcheck dipadukan dengan foto udara yang diperoleh dari Google earth dan digunakan untuk membuat peta penggunaan lahan dengan bantuan perangkat lunak Quantum GIS (Quantum GIS Development Team 2014). Peta penggunaan lahan tersebut selanjutnya digunakan untuk melakukan analisis habitat dengan bantuan perangkat lunak FRAGSTATS versi 4 (McGarigal et al. 2014). Ukuran-ukuran lanskap dalam analisis habitat diperoleh berdasarkan metode McGarigal et al. (2014), meliputi:

Class Area (CA), jumlah keseluruhan area semua patch pada kelas yang sama (ha).

Total Landscape Area (TLA), jumlah keseluruhan luasan patch dalam lanskap (ha).

Number of Patch (NumP), jumlah keseluruhan patch yang ada baik pada kelas maupun tingkatan lanskap. Semakin tinggi nilai NumP dalam suatu lanskap maka lanskap tersebut terfragmentasi.

Mean Patch Size (MPS), rata-rata luas patch pada kelas yang sama(ha). Nilai MPS yang kecil menunjukkan bahwa suatu patch semakin terfragmentasi.

Total Edge (TE), merupakan total perimeter/panjang dari edge (m).

Lokasi penelitian dikelompokkan berdasarkan kompleksitas lanskap dan jarak ke habitat alami. Berdasarkan kompleksitas lanskap, lokasi penelitian dikelompokkan menjadi empat tipe lanskap, yaitu sangat sederhana, sederhana, kompleks dan sangat kompleks. Pengelompokan ini dilakukan berdasarkan skor dan bobot nilai CA, NumP dan MPS habitat alami (Tabel 3.2). Persentase bobot ditentukan berdasarkan pengaruh parameter lanskap terhadap kompleksitas lanskap. Berdasarkan jarak lokasi pertanaman mentimun dari habitat pepohonan, lokasi penelitian dikelompokkan menjadi dua, yaitu lokasi penelitian yang berjarak jauh

(≥ 400 m) dan dekat (≤ 200 m) dari habitat alami.

Tabel 3.2 Skor dan bobot parameter lanskap yang digunakan pada pengelompokan lanskap

Skor

Parameter lanskap

Pepohonan Semak

CA (ha) NumP MPS (ha) CA (ha) NumP MPS (ha) 1 4 – 12 8 – 11 0.3 – 1.3 0.2 – 4.6 1 – 4 0.2 – 0.4 2 13 – 21 12 – 15 1.4 – 2.3 4.7 – 8.9 5 – 8 0.5 – 0.7 3 22 – 30 16 – 19 2.4 – 3.3 9.0 – 13.4 9 – 12 0.8 – 1.0 4 31 – 39 20 – 23 3.4 – 4.3 13.5 – 17.7 13 – 16 1.1 – 1.3

Bobot 33% 25% 25% 7% 5% 5%

CA= Class Area; NumP= Number of Patches; MPS= Mean Patch Size

Hasil Komposisi Lanskap

Lanskap pertanian di wilayah Bogor, Sukabumi dan Cianjur umumnya digunakan sebagai lahan pertanian, semak, pepohonan, perumahan, jalan dan sumber air (Gambar 3.3). Secara umum, penggunaan lahan didominasi oleh lahan pertanian (16.20% – 68.56%) (Tabel 3.3). Proporsi area pepohonan di lokasi penelitian bervariasi antara 4.60% - 61.40%. Proporsi luas area pepohonan tertinggi ditemukan di lokasi penelitian Desa Jamali, sedangkan proporsi terendah ditemukan di Desa Bojong (Tabel 3.3). Proporsi luas area pepohonan berkurang seiring dengan bertambah luasnya area pertanian (AdjR2= 0.39, P= 0.006) (Gambar 3.4).

Secara umum, lahan pertanian di lokasi penelitian ditanami 24 jenis tanaman budi daya (Gambar 3.5). Komposisi tanaman yang ditanam pada areal pertanian sangat bervariasi. Lahan pertanian yang berada di Desa Bojong, Mekarjaya, Sindangjaya, Selajambe, Kompa, Laladon, Pabuaran, Situgede dan Karang Tengah didominasi oleh tanaman padi. Dalam radius 500 m, luas lahan pertanian bervariasi antara 12.80 – 53.83 ha. Sedangkan jenis tanaman yang dibudidayakan berjumlah

3 – 15 tanaman (Tabel 3.3). Lokasi penelitian yang berada di Desa Sindangjaya memiliki keragaman tanaman pertanian yang rendah karena daerah tersebut hanya ditanami oleh 3 jenis tanaman pertanian dan keragaman tertinggi ditemukan di daerah Petir (15 tanaman budi daya) (Tabel 3.4).

Tabel 3.3 Proporsi penggunaan lahan dalam radius 500 m (78.56 ha) di 16 lanskap pertanian

No Lokasi Proporsi luas (%)

A B C D E F 1 Ds. Bojong 64.31 4.60 3.27 23.03 4.78 0.00 2 Ds. Mekarjaya 40.74 7.87 8.56 42.06 0.00 0.77 3 Ds. Sindangjaya 65.92 6.51 5.20 21.92 0.45 0.00 4 Ds. Salajambe 65.87 5.53 4.97 20.17 3.46 0.00 5 Ds. Kompa 68.53 17.41 0.54 10.65 1.31 1.55 6 Ds. Laladon 68.56 6.34 1.87 21.82 0.62 0.78 7 Ds. Pabuaran 35.09 11.45 10.42 40.91 0.62 1.51 8 Ds. Situgede 35.38 18.64 1.26 34.86 1.30 8.56 9 Ds. Bantarjaya 48.16 25.41 0.23 21.81 2.40 1.99 10 Ds. Karang Tengah 52.93 25.81 1.44 14.07 2.29 3.45 11 Ds. Cihideung udik 61.25 16.37 4.78 13.95 0.83 2.83 12 Ds. Cikanyere 30.55 23.12 22.60 23.72 0.00 0.00 13 Ds. Benda 56.18 28.98 5.83 8.58 0.44 0.00 14 Ds. Cibanteng 39.41 35.33 2.16 18.98 1.11 3.00 15 Ds. Jamali 28.52 49.08 10.58 9.07 2.60 0.15 16 Ds. Petir 52.48 35.52 0.85 13.60 0.00 0.55 A= Pertanian; B= Pepohonan; C= Semak; D= Perumahan; E= Jalan; F= Badan air

Gambar 3.4 Hubungan proporsi luas area pepohonan dan pertanian dalam radius 500 m di 16 lanskap pertanian (AdjR2= 0.39, P= 0.006)

Gambar 3.5 Komposisi tanaman pertanian pada radius 500 m di 16 lanskap pertanian

Tabel 3.4 Luas area pertanian dalam radius 500 m dan jumlah jenis tanaman yang ditanami pada area tersebut

No Lokasi Luas area pertanian

(ha) Jumlah komoditas pertanian 1 Ds. Bojong 50.64 4 2 Ds. Mekarjaya 31.99 5 3 Ds. Sindangjaya 51.76 3 4 Ds. Salajambe 51.72 5 5 Ds. Kompa 53.81 6 6 Ds. Laladon 53.83 9 7 Ds. Pabuaran 27.55 5 8 Ds. Situgede 27.78 5 9 Ds. Bantarjaya 37.01 13 10 Ds. Karang Tengah 41.56 10 11 Ds. Cihideung udik 48.09 10 12 Ds. Cikanyere 23.99 9 13 Ds. Benda 44.05 11 14 Ds. Cibanteng 28.44 8 15 Ds. Jamali 12.80 8 16 Ds. Petir 41.21 15 Struktur Lanskap

Lanskap di lokasi penelitian ditentukan berdasarkan dua tingkat hierarki mulai dari tingkat yang lebih luas yaitu skala lanskap dan dilanjutkan dengan tingkat yang lebih sempit yaitu skala kelas.

Skala Lanskap. Hasil analisis spasial lanskap menunjukkan bahwa lokasi penelitian di Desa Benda memiliki jumlah patch (NumP) yang paling banyak, yaitu 190 patch, kemudian diikuti oleh Desa Cihideung udik (137 patch) dan Desa Laladon (130 patch) (Tabel 3.5). Hal ini menunjukkan bahwa lanskap pertanian di lokasi tersebut membentuk kelompok-kelompok kecil (terpecah-pecah) sehingga lanskap tersebut mengalami fragmentasi. Jumlah patch terkecil ditemukan di lokasi penelitian yang berada di Desa Mekarjaya dan Jamali yaitu 46 patch, diikuti dengan Desa Bojong (50 patch) dan Sindangjaya (55 patch). Lanskap pertanian di daerah ini relatif sedikit mengalami fragmentasi.

Fragmentasi suatu lanskap juga dapat dilihat dari nilai Mean Patch Size (MPS). Suatu lanskap dikatakan terfragmentasi jika memiliki nilai NumP yang besar dan nilai MPS yang kecil. Nilai MPS terbesar ditemukan pada lokasi penelitian di Desa Jamali, yaitu 1.72 ha, kemudian diikuti oleh Desa Mekarjaya (1.71 ha) dan Desa Bojong (1.58) (Tabel 3.5). Sedangkan nilai MPS terkecil ditemukan di lokasi penelitian di Desa Benda yaitu sebesar 0.41, kemudian diikuti Desa Cihideung udik (0.57) dan Desa Laladon (0.60). Hal ini menunjukkan bahwa lokasi-lokasi penelitian tersebut sangat terfragmentasi. Sebaliknya lokasi penelitian di Desa Jamali, Mekarjaya dan Bojong relatif sedikit terfragmentasi.

Bentuk patch dan lanskap dapat dilihat dari nilai Total edge (TE), Nilai Mean Shape Index (MSI) dan Mean Patch Fractal Dimension (MPFD). Hasil analisis habitat menunjukkan bahwa lokasi penelitian di Desa Benda mempunyai edge yang

lebih panjang dibandingkan lokasi lainnya yaitu sebesar 59 812 m. Sedangkan nilai TE terendah ditemukan di Desa Jamali yaitu sebesar 26 735 (Tabel 3.5). Hal ini menunjukkan bahwa lanskap di Desa Benda lebih memanjang sedangkan lanskap di Desa Jamali lebih bundar.

Nilai Mean Shape Index (MSI) dan Mean Patch Fractal Dimension (MPFD) menunjukkan bentuk suatu patch (habitat). Bentuk patch dalam lanskap akan teratur jika nilai MSI adalah satu, namun jikan nilai MSI lebih besar dari satu maka bentuk patch dalam lanskap tidak teratur (McGarigal et al. 2014). Nilai MSI semua lokasi penelitian memiliki nilai lebih besar dari satu (Tabel 3.5). Hal ini menunjukkan bahwa bentuk patch di semua lokasi penelitian tersebut tidak teratur. Tingkat kompleksitas bentuk patch dalam suatu lanskap dapat diukur dengan nilai MPFD. Hasil analisis habitat menunjukkan bahwa nilai MPFD di semua lokasi penelitian relatif sama yaitu berkisar antara 1.37 – 1.44 (Tabel 3.5). Hal ini menunjukkan bahwa semua patch di seluruh lokasi penelitian tersebut memiliki bentuk yang sederhana yaitu berbentuk persegi.

Tabel 3.5 Nilai parameter lanskap 16 lokasi penelitian

No Lokasi NumP MPS (ha) TE (m) MSI MPFD 1 Ds. Bojong 50 1.58 31 269 1.59 1.38 2 Ds. Mekarjaya 46 1.71 30 190 1.61 1.39 3 Ds. Sindangjaya 55 1.43 28 302 1.57 1.42 4 Ds. Salajambe 58 1.35 31 519 1.64 1.42 5 Ds. Kompa 72 1.09 40 347 1.83 1.44 6 Ds. Laladon 130 0.60 45 586 1.55 1.44 7 Ds. Pabuaran 69 1.14 37 894 1.64 1.39 8 Ds. Situgede 67 1.17 34 600 1.55 1.42 9 Ds. Bantarjaya 125 0.63 50 766 1.57 1.41 10 Ds. Karang Tengah 105 0.75 54 368 1.73 1.42 11 Ds. Cihideung udik 137 0.57 54 832 1.56 1.42 12 Ds. Cikanyere 92 0.85 38 068 1.38 1.37 13 Ds. Benda 190 0.41 59 812 1.45 1.41 14 Ds. Cibanteng 95 0.83 46 388 1.63 1.41 15 Ds. Jamali 46 1.72 26 735 1.50 1.37 16 Ds. Petir 117 0.67 47 362 1.46 1.41

CA= Class Area; NumP= Number of Patches; MPS= Mean Patch Size; TE= Total Edge; MSI=

Mean Shape Index; MPFD= Mean Patch Fractal Dimensions

Skala Kelas. Lanskap pertanian di 16 lokasi penelitian terdiri atas enam tipe penggunaan lahan, yaitu pertanian, pepohonan, semak, perumahan, jalan dan badan air. Nilai Class Area (CA) menunjukkan luas penggunaan lahan dari suatu elemen lanskap. Nilai CA yang besar menyatakan bahwa elemen lanskap tersebut merupakan elemen yang dominan. Hasil analisis habitat menunjukkan bahwa lahan pertanian memiliki nilai CA terbesar yaitu 39.14 ha (49.82%) (Tabel 3.6). Hal ini menunjukkan bahwa matriks pada lokasi penelitian adalah lahan pertanian.

Lahan pertanian juga merupakan elemen lanskap yang memiliki jumlah patch paling banyak (47 patch) serta total edge paling panjang (18 489 m) dibandingkan

dengan elemen lanskap lainnya. Area pepohonan memiliki rata-rata ukuran patch paling besar yaitu 1.38 ha. Jalan dan badan air merupakan elemen lanskap yang paling sedikit menempati lanskap dengan jumlah patch paling sedikit (2.4 – 2.6) dan rata-rata ukuran patch kurang dari 1 ha (Tabel 3.5).

Kompleksitas Lanskap

Berdasarkan kompleksitas lanskap, lokasi penelitian dikelompokkan menjadi empat tipe lanskap yaitu sangat sederhana, sederhana, kompleks, dan sangat kompleks. Kompleksitas lanskap ditentukan oleh beberapa parameter dari elemen penyusun lanskap yaitu luas area (CA), rata-rata ukuran patch (MPS), dan jumlah patch (NumP) habitat pepohonan dan semak. Lanskap sangat sederhana dicirikan dengan CA pepohonan berkisar antara 3.63 – 6.18 ha, MPS pepohonan 0.45 – 0.77 ha, NumP pepohonan 8 – 9, CA semak 2.58 – 6.72 ha, MPS semak 0.56 – 0.96 ha, dan NumP semak 4 -7. Sedangkan lanskap sangat kompleks memiliki CA pepohonan berkisar antara 22.72 – 48.53 ha, MPS pepohonan 1.14 – 4.31 ha, NumP pepohonan 9 - 20, CA semak 0.66 – 8.36 ha, MPS semak 0.17 – 1.19 ha dan NumP semak 4 -15 (Tabel 3.7).

Hasil analisis menunjukkan bahwa matriks lanskap pada penelitian ini adalah lahan pertanian, proporsi lahan pertanian pada keempat tipe lanskap tidak berbeda (F1,14= 1.52; P= 0.24). Proporsi habitat alami pada keempat tipe lanskap lanskap menunjukkan perbedaan (F1,14= 10.05; P= 0.01). Proporsi habitat alami pada lanskap sangat sederhana lebih rendah (12%) dibandingkan dengan sangat kompleks (35%) (Tabel 3.8).

Pembahasan

Lanskap pertanian di Jawa Barat, khususnya lanskap pertanian yang berada di kawasan sekitar Gunung Salak dan Gunung Gede Pangrango, dapat dikelompokkan menjadi empat tipe lanskap yaitu lanskap sangat sederhana, sederhana, kompleks dan sangat kompleks. Secara umum, perbedaan keempat tipe lanskap ini terletak pada luas lahan yang digunakan sebagai lahan pertanian dan habitat alami (habitat pepohonan dan semak). Namun terdapat kesamaan dalam jenis penggunaan lahannya dan elemen lanskap terluas (matriks). Pada keempat tipe lanskap tersebut, penggunaan lahan terdiri dari lahan pertanian, pepohonan, semak, perumahan, perkebunan, jalan dan badan air. Elemen lanskap yang berperan sebagai matriks pada keempat tipe lanskap tersebut adalah lahan pertanian. Menurut Forman dan Godron (1986) matriks adalah elemen lanskap yang paling luas dan mempunyai peranan yang dominan dalam fungsi keseluruhan lanskap. Pada keempat tipe lanskap tersebut, lahan pertanian merupakan elemen lanskap yang paling luas yaitu berkisar antara 45 – 59% dari luas masing-masing tipe lanskap.

Matriks merupakan elemen lanskap yang dapat memengaruhi keanekaragaman spesies serangga pada suatu habitat. Keanekaragaman spesies serangga pada suatu habitat dipengaruhi oleh kualitas habitat tersebut (Duelli 1997) dan kondisi di sekitar habitat tersebut atau disebut juga matrix effect (Thies dan Tscharntke 1999; Weibull et al. 2000). Oleh karena itu, pengaruh lahan pertanian yang merupakan matriks pada keempat tipe lanskap tersebut terhadap struktur komunitas serangga perlu dianalisis.

27 Tabel 3.6 Rata-rata (+SD) nilai parameter lanskap 16 lokasi penelitian pada level kelas

Kelas CA (ha) NumP MPS (ha) TE (m) MSI MPFD

Pertanian 39.14 + 12.52 47.5 + 33.6 1.23 + 0.94 18 489 + 7 904 1.43 + 0.06 1.39 + 0.02 Pepohonan 16.29 + 11.92 12.8 + 4.7 1.38 + 1.13 7 946 + 3 880 1.75 + 0.30 1.41 + 0.04 Semak 4.15 + 4.49 6.6 + 3.9 0.55 + 0.37 2 411 + 1 934 1.38 + 0.13 1.39 + 0.03 Perumahan 16.65 + 8.12 20.3 + 7.0 1.01 + 0.92 8 064 + 2 076 1.47 + 0.11 1.40 + 0.03 Jalan 1.34 + 1.05 2.6 + 1.8 0.77 + 0.95 2 919 + 1 548 4.97 + 1.94 1.68 + 0.09 Badan air 1.79 + 1.84 2.4 + 1.3 0.74 + 0.63 2 282 + 1 534 3.32 + 1.66 1.53 + 0.11 CA= Class Area; NumP= Number of Patches; MPS= Mean Patch Size; TE= Total Edge; MSI= Mean Shape Index; MPFD= Mean Patch Fractal Dimensions

28 Tabel 3.7 Nilai CA, MPS dan NumP pada area pepohonan dan semak serta tipe lanskap di 16 lokasi penelitian

Lokasi CA pepohonan (ha) MPS pepohonan (ha) NumP pepohonan CA semak (ha) MPS semak (ha) NumP semak Total persentase pembobotan Tipe lanskap Ds. Bojong 3.63 0.45 8 2.58 0.64 4 105% Sangat sederhana Ds. Mekarjaya 6.18 0.77 8 6.72 0.96 7 122% Ds. Sindangjaya 5.11 0.64 8 4.08 0.58 7 110% Ds. Salajambe 4.34 0.48 9 3.90 0.56 7 110% Ds. Kompa 13.67 0.72 19 0.43 0.43 1 150% Sederhana Ds. Laladon 4.98 0.31 16 1.47 0.24 6 155% Ds. Pabuaran 8.99 0.82 11 8.19 1.02 8 127% Ds. Situgede 14.63 1.83 8 0.99 0.25 4 153% Ds. Bantarjaya 20.75 1.05 20 0.18 0.18 1 178% Kompleks Ds. Karang Tengah 20.27 0.45 12 1.13 0.38 3 178% Ds. Cihideung udik 12.85 0.68 19 3.75 0.47 8 188% Ds. Cikanyere 18.16 1.30 14 17.74 1.27 14 204% Ds. Benda 22.72 1.14 20 4.57 0.30 15 246% Sangat kompleks Ds. Cibanteng 30.25 3.08 10 1.70 0.19 9 221% Ds. Jamali 48.53 4.31 14 8.36 1.19 7 301% Ds. Petir 25.54 2.84 9 0.66 0.17 4 206%

Tabel 3.8 Luas lahan dan proporsi penggunaan lahan pada lanskap sangat sederhana (SS), sederhana (S), kompleks (K) dan sangat kompleks (SK)

Penggunaan lahan Lanskap F(1,14) P SS S K SK Luas (ha) 78.56 + 0.00 78.56 + 0.00 78.56 + 0.00 78.56 + 0.00 Proporsi Habitat alami 0.12 + 0.03 0.22 + 0.03 0.31 + 0.14 0.35 + 0.15 10.05 0.01 Pertanian 0.59 + 0.11 0.48 + 0.14 0.47 + 0.15 0.45 + 0.17 1.52 0.24 Pepohonan 0.06 + 0.01 0.18 + 0.05 0.24 + 0.11 0.30 + 0.12 13.45 0.003 Semak 0.05 + 0.02 0.03 + 0.04 0.07 + 0.09 0.05 + 0.04 0.05 0.82 Perumahan 0.27 + 0.09 0.25 + 0.13 0.19 + 0.04 0.13 + 0.05 4.99 0.04 Jalan 0.02 + 0.02 0.01 + 0.01 0.01 + 0.01 0.02 + 0.01 0.79 0.39 Badan air 0.01 + 0.01 0.03 + 0.03 0.01 + 0.01 0.01 + 0.01 0.01 0.93 Proporsi dihitung berdasarkan luas area masing-masing tipe penggunaan lahan per lanskap (radius 500 m). Habitat alami terdiri dari area pepohonan dan semak.

Jumlah patch memberikan informasi mengenai fragmentasi yang terjadi dalam suatu lanskap. Fragmentasi habitat adalah peristiwa yang menyebabkan patch yang luas terbagi-bagi menjadi dua atau beberapa patch dengan ukuran yang lebih kecil (Meffe dan Carroll 1997). Semakin banyak patch yang terbentuk berarti fragmentasi semakin besar. Lanskap sangat sederhana memiliki patch sebanyak 52 patch, hal ini menunjukkan bahwa lanskap sangat sederhana sedikit terfragmentasi dan lebih didominasi oleh lahan pertanian. Jumlah patch pada lanskap sangat kompleks adalah 124 patch, hal ini menunjukkan bahwa lahan pertanian yang merupakan matriks pada lanskap sangat kompleks banyak terfragmentasi. Lahan pertanian pada lanskap sangat kompleks terfragmentasi oleh area pepohonan pada lanskap tersebut.

Simpulan

Lanskap pertanian di wilayah Bogor, Sukabumi dan Cianjur, Jawa Barat memiliki jenis penggunaan lahan yang sama, yaitu lahan pertanian, pepohonan, semak, perumahan, jalan dan badan air. Dalam radius 500 m, komposisi dan konfigurasi lanskap tersebut sangat bervariasi. Proporsi lahan pertanian berkisar 16.20% – 68.56%, sedangkan area pepohonan berkisar antara 4.6% – 61.40%. Jenis tanaman yang dibudidayakan berjumlah 3 – 15 jenis tanaman. Jumlah patch (NumP) berkisar antara 46 – 190, MPS berkisar antara 0.41 – 1.72 ha, TE berkisar antara 26 735 – 59 812 m. Berdasarkan proporsi habitat alami, lanskap dikelompokkan menjadi empat tipe lanskap, yaitu lanskap sangat sederhana (habitat alami 12%), sederhana (habitat alami 22%), kompleks (habitat alami 31%) dan sangat kompleks (habitat alami 35%). Berdasarkan jarak dari habitat alami, lanskap dikelompokkan menjadi dua, yaitu pertanaman dekat dari habitat alami (< 200 m) dan jauh dari habitat alami (> 400 m).

4 PENGETAHUAN DAN PERILAKU PETANI DALAM BUDI

Dokumen terkait