• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penelitian ini berawal dari fakta yang ditemukan di lapangan, yaitu ledakan populasi hama sering terjadi sehingga menyebabkan petani gagal panen dan di sisi lain petani sangat tergantung pada penggunaan pestisida. Sehingga timbul beberapa pertanyaan seperti mengapa pengendalian hayati tidak bekerja dan dimanakah musuh alami? Menurut Tscharntke et al. (2007), keberhasilan pengendalian hayati turut dipengaruhi oleh berbagai komponen pada skala lanskap. Struktur komunitas, kekayaan spesies, kelimpahan, dinamika populasi, dan interaksi hama – musuh alami dipengaruhi ukuran patch, konfigurasi spasial, komposisi lanskap, konektivitas habitat, dan kompleksitas habitat (Kareiva 1987; Marino dan Landis 1996; Zabel dan Tscharntke 1998; Tscharntke dan Brandl 2004; Bianci et al. 2006; Finke dan Denno, 2006; Woodcock et al. 2007).

Untuk meningkatkan keberadaan musuh alami khususnya parasitoid pada pertanaman budi daya perlu diketahui faktor-faktor yang memengaruhi seperti karakteristik lanskap dan juga perilaku petani sebagai pengambil keputusan. Karakteristik lanskap yang memengaruhi keberadaan musuh alami adalah kompleksitas lanskap, ukuran patch, jumlah patch, luas habitat dan juga konektivitas. Sedangkan perilaku petani yang mempengaruhi pengambilan keputusan pengendalian dalam budi daya tanaman adalah karakterisitik petani, budi daya dan persepsi petani mengenai hama tersebut (Rukka 2003).

Secara umum, lanskap pertanian di Kabupaten Bogor, Sukabumi, dan Cianjur memiliki tipe penggunaan lahan yang sama yaitu lahan pertanian, pepohonan, semak, perumahan, perkebunan, jalan, dan badan air. Namun, komposisi habitat pada setiap lahan pertanian sangat bervariasi sehingga untuk melihat pengaruh lanskap tersebut terhadap serangga di dalamnya harus dilakukan pengelompokan lanskap. Pada penelitian ini pengelompokan lanskap dilakukan berdasarkan tingkat kompleksitasnya yaitu sangat sederhana, sederhana, kompleks, dan sangat kompleks. Lanskap sangat sederhana dicirikan dengan CA pepohonan berkisar antara 3.63 – 6.18 ha, MPS pepohonan 0.45 – 0.77 ha, NumP pepohonan 8 – 9, CA semak 2.58 – 6.72 ha, MPS semak 0.56 – 0.96 ha, dan NumP semak 4 -7. Lanskap sederhana memiliki karakteristik CA pepohonan berkisar antara 4.98 – 14.63 ha, MPS pepohonan 0.31 – 1.83 ha, NumP pepohonan 8 – 19, CA semak 0.43 – 8.19 ha, MPS semak 0.25 – 1.02 ha, dan NumP semak 1 -8. Lanskap kompleks dicirikan dengan CA pepohonan berkisar antara 12.85 – 20.75 ha, MPS pepohonan 0.45 –

1.30 ha, NumP pepohonan 12 - 20, CA semak 0.18 – 17.74 ha, MPS semak 0.18 –

1.27 ha, dan NumP semak 1 – 14. Sedangkan lanskap sangat kompleks memiliki CA pepohonan berkisar antara 22.72 – 48.53 ha, MPS pepohonan 1.14 – 4.31 ha, NumP pepohonan 9 - 20, CA semak 0.66 – 8.36 ha, MPS semak 0.17 – 1.19 ha, dan NumP semak 4 - 15. Secara umum dapat dikatakan bahwa peningkatan kompleksitas sejalan dengan peningkatan proporsi habitat alami. Lanskap sangat kompleks memiliki proporsi habitat alami sebesar 35% sedangkan lanskap sangat sederhana hanya 12%. Pengelompokan lanskap berdasarkan proporsi habitat alami juga dilakukan oleh beberapa peneliti. Thies et al. (2003) mengelompokan lanskap berdasarkan proporsi tanaman bukan pertanian, lanskap sederhana memiliki proporsi tanaman nonpertanian <3% sedangkan lanskap kompleks >50%. Pengelompokan lanskap yang dilakukan oleh Persson et al. (2015) adalah lanskap

sederhana memiliki proporsi habitat alami hanya 1% dan habitat pertanian 90% sedangkan lanskap kompleks memiliki proporsi habitat alami 8% dan habitat pertanian 80%.

Survei pengetahuan, sikap dan persepsi petani dilakukan untuk mengetahui karakteristik, pengetahuan, dan perilaku petani dalam budi daya tanaman mentimun. Hal ini diyakini akan memengaruhi pengambilan keputusan dalam melakukan suatu tindakan selama melaksanakan budi daya tanaman. Hasil survei menunjukkan bahwa petani di 16 desa merupakan petani yang berada pada usia produktif namun memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Padahal kemampuan adopsi ilmu pengetahuan dan inovasi teknologi sangat tergantung pada usia petani dan tingkat pendidikan (Soekartawi 1998). Rendahnya pendidikan formal yang dimiliki petani dapat diatasi dengan memberikan penyuluhan yang intensif dan pendampingan oleh tenaga punyuluh pertanian.

Keterbatasan luas lahan garapan, status kepemilikan lahan garapan adalah sewa ditambah dengan minimnya pengetahuan yang dimiliki oleh petani memicu petani untuk menggunakan pestisida sebagai satu-satunya cara untuk mengendalikan serangan hama agar tidak terjadi gagal panen. Pemikiran tentang bagaimana mengendalikan hama harus diperbaiki menjadi bagaimana menciptakan lanskap pertanian tidak sesuai bagi perkembangan hama namun sebaliknya mendukung keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami. Sehingga pada akhirnya pengendalian hayati dapat berjalan secara optimal.

Kelimpahan dan kekayaan spesies serangga pada agroekosistem dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terdapat pada skala lokal (petakan) maupun lanskap (Clough et al 2007). Pada skala petakan, kelimpahan, dan kekayaan spesies serangga dipengaruhi oleh teknik budi daya tanaman seperti cara pengolahan tanah, penggunaan pestisida, dan pupuk anorganik serta keanekaragaman spesies tanaman (Landis et al. 2000; Thorbek dan Bilde 2004). Pada skala lanskap, kelimpahan dan kekayaan spesies serangga dipengaruhi oleh fragmentasi habitat dan struktur lanskap (Purtauf et al. 2005; Tscharntke et al. 2007).

Pada skala lokal, perilaku petani dalam menggunakan pupuk anorganik dapat menyebabkan lahan pertanian sesuai bagi kehidupan serangga hama. Menurut Altieri dan Nicholls (2003), penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan dapat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi dan menurunkan resistensi tanaman terhadap serangan hama. Sehingga akan meningkatkan kelimpahan populasi hama yang pada akhirnya akan meningkatkan penggunaan pestisida. Berbagai laporan menyebutkan bahwa petani sayuran diketahui menggunakan pestisida secara berlebihan. Di Indonesia, dalam satu musim tanam petani kubis mengaplikasikan 7 macam insektisida dengan interval 2 -3 hari (Rauf et al. 2004), sedangkan petani cabai mengaplikasikan campuran 2 – 6 insektisida sebanyak 21 kali hanya untuk mengendalikan hama Heliothis armigera (Adiyoga 2007). Pertanian organik dilaporkan dapat meningkatkan keragaman dalam lanskap pertanian, misalnya kumbang Carabidae (Pfiffner dan Niggli 1996), musuh alami (Letourneau dan Goldstein 2001), tumbuhan vaskular (Roschewitz et al. 2005), dan burung (Freemark dan Kirk 2001). Namun Purtauf et al. (2005) menyatakan bahwa fitur-fitur lanskap lebih berperanan penting dalam meningkatkan keanekaragaman hayati lokal dibandingkan dengan pengelolaan tanaman dalam pertanian organik. Keanekaragaman dan kelimpahan hama Lepidoptera pada pertanaman mentimun hanya dipengaruhi oleh komponen yang berada pada skala lokal saja. Menurut

Chaplin-Kramer et al.(2011), fenomena ini dapat dijelaskan dengan dua pendekatan, yaitu pertama, lanskap yang lebih kompleks dapat menurunkan kemampuan musuh alami menemukan inang, dan kedua, konsentrasi sumber daya (resource concentration) lebih berperan dalam penyebaran hama tersebut dibandingkan dengan musuh alaminya.

Kelimpahan parasitoid primer cenderung meningkat seiring dengan meningkatnya kompleksitas lanskap pada diameter 1 000 m (F1,14= 4.06, P= 0.06). Hal yang sama juga dilaporkan oleh beberapa studi terdahulu (Rusch et al. 2016; Zhao et al. 2014). Lebih lanjut, hasil penelitian mengungkapkan bahwa populasi parasitoid primer berkorelasi positif dengan tingkat parasitisasi primer. Lanskap sangat kompleks yang dicirikan dengan tingginya proporsi habitat semi alami merupakan habitat yang mampu menyediakan kebutuhan parasitoid baik pada stadia pradewasa maupun dewasa sehingga habitat alami ini berperan sebagai sarana penghasil dan pemelihara keberadaan parasitoid di lanskap pertanian (Parolin et al. 2012a,b). Peningkatan populasi parasitoid dan parasitisasi primer tersebut berkorelasi positif dengan jumlah patch (NumP) pertanian dan panjang tepi/pinggir (TE) pepohonan dan berkorelasi negatif dengan rata-rata luas patch (MPS) pertanian. Banyaknya jumlah patch pertanian pada lanskap pertanian berdiameter 1 000 m menunjukkan bahwa lahan pertanian tersebut mengalami fragmentasi sehingga membentuk patch pertanian yang kecil-kecil. Ukuran patch pertanian yang kecil menyebabkan jarak antara pertanaman mentimun dan habitat alami semakin dekat sehingga akan meningkatkan mobilitas parasitoid primer tersebut dari habitat pertanian ke habitat alami dan sebaliknya. Sejumlah penelitian sebelumnya melaporkan bahwa tingkat parasitisasi primer lebih tinggi pada lahan pertanian yang berukuran kecil (Bianchi et al. 2006; Fahrig et al. 2011; Segoli dan Rosenheim 2012). Di samping itu, parasitisasi primer juga berkorelasi positif dengan luas habitat (CA) pepohonan dan panjang pinggiran (TE) habitat pepohonan. Keberadaan habitat pepohonan pada areal pertanian memiliki peranan yang sangat penting karena menyediakan sumber daya bagi parasitoid, seperti inang alternatif, pakan bagi imago parasitoid dan tempat berlindung pada saat bera (Landis et al. 2000; Gagic et al. 2011). Pinggiran habitat pepohonan merupakan pertemuan antara habitat pepohonan dengan habitat lainnya, sehingga pinggiran habitat pepohonan ini seringkali berperan sebagai koridor bagi sejumlah spesies serangga (Jauker et al. 2009). Menurut Krewenka et al. (2011), koridor pada lanskap yang terfragmentasi dapat meningkatkan kelimpahan dan kekayaan spesies parasitoid dan pada akhirnya memengaruhi populasi inang pada habitat alternatif.

Jumlah larva D. indica terparasit meningkat sejalan dengan meningkatnya kelimpahan larva D. indica (Gambar 5.5), dimana parasitoid yang dominan adalah A. taragamae (Tabel 5.3). Hal ini menunjukkan bahwa A. taragamae merupakan agens pengendali hayati yang efektif mengendalikan larva D. indica. Menurut Dannon et al. (2010a), musuh alami yang memiliki respon positif terhadap peningkatan populasi hama merupakan indikasi agens pengendali hayati tersebut efektif mengendalikan hama. Lebih lanjut Walde dan Murdoch (1988) menjelaskan bahwa jika laju parasitisme meningkat sejalan dengan meningkatnya kepadatan inang maka musuh alami tersebut berkontribusi terhadap pengaturan populasi inang sehingga terjadi keseimbangan alami.

Kompleksitas lanskap dapat mempertahankan keanekaragaman fungsional (functional diversity) komunitas Hymenoptera parasitika. Hasil penelitian ini

mendukung beberapa penelitian sebelumnya (Forrest et al. 2015; Geslin et al. 2016). Menurut Gagic et al. (2015), peran keanekaragaman fungsional ini terhadap jasa ekosistem lebih penting dibandingkan kontribusi keanekaragaman spesies terhadap jasa ekosistem. Rendahnya keanekaragaman fungsional menyebabkan proses penyerbukan tidak efisien (Forrest et al. 2015; Wood et al. 2015) dan pada akhirnya menyebabkan produksi tanaman manga menurun (Carvalheiro et al. 2010, 2012).

Diaphania indica merupakan Lepidoptera yang selalu ditemukan di semua lokasi penelitian, demikian juga halnya dengan A. taragamae. Kompleksitas lanskap tidak memengaruhi keberadaan inang dan parasitoidnya ini, sehingga diduga keberadaan serangga tersebut hanya dipengaruhi oleh faktor yang ada pada skala lokal. Penelitian yang dilakukan menunjukkan bahwa keberadaan A. taragamae cenderung selalu mengikuti pola keberadaan inangnya dan pemencaran parasitoid tersebut tidak mengarah pada habitat alami maupun refugia. Umumnya imago parasitoid memanfaatkan tanaman berbunga yang berada di luar pertanaman budi daya sebagai sumber energi (Baggen dan Gurr 1998; Tooker dan Hanks 2000). Tanaman liar berbunga ini menyediakan makanan dalam bentuk serbuk sari, nektar, extra-floral nectar dan/atau embun madu serangga homoptera (Leius 1960; Jervis et al. 1993). Makanan tersebut menyediakan nutrisi yang bermanfaat bagi musuh alami untuk meningkatkan sintasan, reproduksi dan kebugaran musuh alami di laboratorium (Berndt dan Wratten 2005; Irvin et al. 2006), meningkatkan laju parasitisasi di lapangan (Tylianakis et al. 2004), dan berkontribusi untuk menurunkan populasi hama di agroekosistem (Gurr et al. 2003). Namun penelitian ini menunjukkan bahwa pemencaran A. taragamae tidak mengarah ke habitat alami atau tanaman refugia yang berada di sekitar pertanaman mentimun. Imago A. taragamae di duga memperoleh sumber energi berupa nectar dari bunga tanaman mentimun. Susilawati (2016) melaporkan bahwa A. taragamae merupakan kelompok pengunjung bunga mentimun. Menurt Shwetha et al. (2012), bunga mentimun menghasilkan nektar dalam jumlah tinggi. Namun demikian, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk memastikan dugaan tersebut.

Untuk mempertahankan keanekaragaman dan kelimpahan parasitoid di pertanaman budi daya, penyediaan habitat alami pada skala lanskap merupakan strategi yang tepat. Semakin luas proporsi habitat alami maka keanekaragaman, kelimpahan dan functional diversity komunitas parasitoid akan meningkat. Proporsi habitat alami pada lanskap radius 500 minimal 31%, sedangkan proporsi lahan pertanian berkisar antara 45 – 47 % dengan jumlah tanaman budi daya yang beragam. Keberadaan habitat alami pada lanskap pertanian dapat diciptakan dengan melakukan rekayasa habitat. Menurut Gurr et al. (2004), rekayasa habitat untuk tujuan pengendalian hayati dapat dilakukan dengan cara menanam tanaman berbunga di sekitar areal pertanaman tanaman budi daya.

Dokumen terkait