• Tidak ada hasil yang ditemukan

4 PENGETAHUAN DAN PERILAKU PETANI DALAM BUDI DAYA DAN PENGENDALIAN HAMA

MENTIMUN

Pendahuluan

Mentimun (Cucumis sativus L) merupakan salah satu komoditas hortikultura komersial yang dibudidayakan hampir di seluruh wilayah Indonesia mulai dari dataran rendah hingga tinggi. Pada tahun 2013, luas areal panen mentimun mencapai 49 296 ha dengan produksi 491 636 ton dan rata-rata hasil 9.97 t/ha (Kementerian Pertanian 2015). Luas areal panen dan produksi mentimun tersebut jauh lebih rendah dibandingkan lima tahun yang lalu. Walaupun produksi mentimun masih mampu memenuhi kebutuhan nasional, namun penurunan luas lahan perlu diwaspadai agar Indonesia tidak tergantung pada impor di kemudian hari. Penurunan luas lahan tersebut disebabkan oleh perubahan komoditas yang ditanam oleh petani atau konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian. Sedangkan angka rata-rata hasil 9,97 t/ha tergolong belum optimal, karena menurut hasil penelitian AVNET (Asean Vegetable Network) potensi hasil mentimun berkisar antara 12 – 19 t/ha (Sumpena dan Permadi 2005) dan potensi hasil 3 varietas mentimun yang dihasilkan oleh Balai Penelitian Tanaman Sayuran berkisar antara 21 – 35 t/ha (Sumpena dan Permadi 1999). Rendahnya produktivitas tanaman mentimun di tingkat petani disebabkan beberapa faktor seperti ketidaksesuaian lingkungan, teknologi budi daya yang tidak tepat atau serangan organisme pengganggu tanaman.

Pasca revolusi hijau, pupuk anorganik dan pestisida merupakan sarana produksi penting dalam proses produksi komoditas pertanian. Menurut Rerkasem (2005) petani sayur di negara Asia tropis sangat tergantung pada kedua komponen sarana produksi tersebut dan saat ini penggunaannya cenderung berlebihan. Phupaibul et al. (2002) melaporkan aplikasi pupuk N anorganik pada tanaman sayuran di Thailand mencapai 600 kg per ha per tahun. Di Filipina, tanaman kubis dipupuk 211 kg N per ha per musim tanam (Poudel et al. 1998). Sedangkan di Indonesia, tanaman sayur dipupuk urea sebesar 350-1000 kg per musim tanam (Widowati et al. 2011). Perilaku petani ini dikhawatirkan akan meningkatkan kelimpahan populasi hama yang pada akhirnya akan meningkatkan penggunaan pestisida. Menurut Altieri dan Nicholls (2003) penggunaan pupuk anorganik yang berlebihan dapat menyebabkan ketidakseimbangan nutrisi dan menurunkan resistensi tanaman terhadap serangan hama.

Sejumlah spesies serangga dan patogen telah dilaporkan menyerang tanaman mentimun di Indonesia mulai dari stadia vegetatif hingga generatif (Prabowo 2009), namun serangga Lepidoptera yang ditemukan hanya satu spesies dengan kerapatan kurang dari satu individu per tanaman. Menurut Brown dan Darwin (2003), Diaphania indica Saunders (Lepidoptera: Crambidae) merupakan hama yang umum ditemukan menyerang tanaman famili Cucurbitaceae. Spesies ini tersebar di Pakistan, India, Jepang, Kepulauan Pasifik, Australia, Afrika, dan Amerika Selatan (Peter dan David 1991; Capinera 2001). Lebih lanjut Thamrin dan Asikin (2006) melaporkan D. indica dapat menimbulkan kerusakan sebesar 80 – 100% pada tanaman pare di lahan rawa pasang surut Indonesia.

Umumnya, petani sayuran menggunakan pestisida untuk mengendalikan serangan organisme pengganggu tanaman. Hal ini dilakukan karena bahan kimia memiliki efek knock-down dan mudah diperoleh. Aplikasi pestisida yang tidak tepat dapat menyebabkan terjadinya resistensi, resurjensi, residu insektisida pada bahan pangan serta terbunuhnya musuh alami. Dibiyantoro (1998) telah melaporkan adanya kandungan residu pestisida BHC yang melebihi ambang batas residu yang diizinkan pada mentimun. Walaupun belum ada laporan mengenai dampak negatif pestisida lainnya yang terjadi pada ekosistem pertanian mentimun namun perilaku petani dalam budi daya mentimun dan tindakan pengendalian hama yang dilakukan harus mulai diidentifikasi mengingat kebiasaan petani tanaman hortikultura yang sangat intensif menggunakan pestisida. Di Indonesia, dalam satu musim tanam petani kubis mengaplikasikan 7 macam insektisida dengan interval 2 - 3 hari (Rauf et al. 2004), sedangkan petani cabai mengaplikasikan campuran 2 – 6 insektisida sebanyak 21 kali untuk mengendalikan hama Heliothis armigera saja (Adiyoga 2007). Fenomena penggunaan pestisida yang berlebihan ini juga terjadi di beberapa di negara Asia seperti Malaysia (Mazlan dan Mumford 2005), Myanmar (Rerkasem 2005), Thailand (Tirado et al. 2008), dan India (Jeyanthi dan Kombairaju 2005). Mengingat dampak negatif yang ditimbulkan oleh input kimia pada pertanian modern dan tingginya kebutuhan sayuran maka perlu dikembangkan teknik budi daya sayuran yang dapat menjaga kelestarian lingkungan serta menjamin produksi sayuran berkelanjutan seperti pertanian organik. Pada sistem pertanian organik, penggunaan pupuk dan pestisida sintetik dilarang. Sistem tersebut mengandalkan input organik dan daur ulang untuk pasokan hara serta menekankan disain sistem pertanaman dan proses biologi tanah untuk pengendalian hama (Rigby dan Cáceres 2001).

Penelitian ini bertujuan untuk 1) mendalami aspek-aspek yang berkaitan dengan petani dan sistem budi daya mentimun; dan 2) mengidentifikasi hama penting menurut petani dan teknik pengendalian yang dilakukan

Bahan dan Metode Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian dilaksanakan mulai bulan Januari sampai Mei 2015 pada petani mentimun yang berada di empat tipe lanskap, yaitu lanskap sangat sederhana, sederhana, kompleks, dan sangat kompleks. Keempat tipe lanskap tersebut berada di kawasan Bogor, Sukabumi dan Cianjur Jawa Barat (Gambar 4.1).

Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan paradigma penelitian kuantitatif dengan pengumpulan data menggunakan metode survei. Sampel penelitian adalah petani sayuran yang pernah menanam mentimun. Sampel penelitian terdiri dari 17 petani mentimun di lanskap sangat sederhana, 19 petani mentimun di lanskap sederhana, 26 petani mentimun di lanskap kompleks dan sangat kompleks. Pengumpulan data dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuesioner terstruktur yang dilengkapi dengan alat bantu, berupa gambar-gambar berbagai hama pada tanaman mentimun. Peubah-peubah yang ditanyakan kepada petani meliputi karakteristik petani, data umum areal yang mereka kelola, budi daya tanaman mentimun yang

dilakukan, hama, penyakit, serangga penyerbuk serta analisis usaha tani (Lampiran 2).

Gambar 4.1 Peta lokasi penelitian wawancara petani mentimun

Analisis Data

Data primer yang diperoleh dari hasil wawancara kemudian direkapitulasi dan ditabulasi untuk mendapatkan persentase atau gambaran tentang karakter petani, pengetahuan dan perilaku petani dalam budi daya tanaman mentimun.

Hasil Karakteristik Petani Mentimun

Pada umumnya, luas lahan yang diusahakan untuk pertanaman mentimun adalah kurang dari 0.25 ha (Tabel 4.1). Sebanyak 23% petani responden di lanskap sangat kompleks menanam mentimun lebih dari 1 ha. Sebagian besar petani responden membudidayakan tanaman mentimun pada lahan orang lain dengan status sewa (48%) dan petani penggarap (27%). Umur rata-rata petani responden antara 50 – 59 tahun (38.6%) dan beberapa petani berusia lebih dari 60 tahun (10%). Usia rata-rata petani responden di lanskap kompleks lebih muda yaitu 40 - 49 tahun (Tabel 4.1). Umumnya, tingkat pendidikan petani responden adalah sekolah dasar (52.3%) dan hanya sedikit petani yang merupakan lulusan perguruan tinggi (3.4%). Petani yang dapat mencapai tingkat pendidikan yang lebih tinggi dijumpai pada lanskap kompleks (67%) dan sangat kompleks (33%).

Tabel 4.1 Karakteristik petani mentimun di empat tipe lanskap pertanian Jawa Barat Karakteristik SS (n = 17) S (n = 19) K (n = 26) SK (n = 26) Total (%)

Luas lahan garapan (ha)

<0.25 10 10 10 8 43.2

0.26 – 0.50 3 6 9 4 25.0

0.51 – 0.75 0 1 2 1 4.5

0.76 – 1.00 3 1 3 7 15.9

>1 1 1 2 6 11.4

Status kepemilikan lahan

Milik sendiri 6 4 7 5 24.7 Sewa 5 9 12 17 48.3 Penggarap 7 6 7 4 27.0 Umur (tahun) 20 – 29 0 3 0 3 6.8 30 – 39 2 2 7 5 18.2 40 – 49 5 5 9 4 26.1 50 – 59 8 8 8 10 38.6 >60 2 1 2 4 10.2 Pendidikan Tidak sekolah 1 1 2 5 10.2 SD 12 9 12 13 52.3 SMP 4 5 6 3 20.5 SMU 0 4 4 4 13.6 PT 0 0 2 1 3.4 KelompokTani Anggota 6 7 8 6 30.7 Bukan anggota 11 12 18 20 69.3

Pengalaman budi daya mentimun (tahun)

1 - 5 10 8 11 14 48.9

6 - 10 3 3 3 4 14.8

>10 4 8 12 8 36.3

SS= lanskap sangat sederhana; S= lanskap sederhana; K= lanskap kompleks; SK= lanskap sangat kompleks

Petani responden yang memiliki pendidikan formal di bidang pertanian hanya 3.4%. Walaupun sebanyak 31% petani responden terlibat sebagai anggota kelompok tani, namun tidak ada diantara mereka yang menerima pelatihan budi daya mentimun baik dari penyuluh maupun stakeholders lainnya. Sebagian besar pengetahuan petani responden dalam budi daya mentimun diperoleh dari pengalaman orang tuanya, bekerja pada petani lain atau bertanya dengan petani lain. Sebanyak 49% petani responden memiliki 1 – 5 tahun pengalaman dalam budi daya

tanaman mentimun, sedangkan yang memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun adalah 36%.

Perilaku Petani dalam Budi Daya Mentimun

Tanaman mentimun umumnya ditanam bergiliran dengan tanaman kacang panjang atau padi (84%) (Tabel 4.2). Hal ini dilakukan untuk menjaga kesuburan tanah dan juga memotong siklus hidup hama. Sebagian besar responden (90%) menanam mentimun secara monokultur. Jika tanaman mentimun ditanam secara tumpang sari, umumnya ditanaman dengan tanaman pare (Momordica charantia) atau oyong (Luffa acutangula).

Umumnya petani responden menanam mentimun varietas Bandana (73%) (Tabel 4.2). Pemilihan varietas biasanya dilakukan karena alasan produksi tinggi (50%), tahan serangan hama dan penyakit (14%), mudah diperoleh (7%) dan 29% karena alasan lain seperti harga murah.

Tabel 4.2 Perilaku petani dalam budi daya mentimun di empat tipe lanskap pertanian Jawa Barat

Karakteristik SS S K SK Total (%) Pola tanam Bergiliran 13 19 23 19 84.1 Terus menerus 4 0 3 7 15.9 Cara bertanam Monokultur 14 19 23 24 90.9 Polikultur 3 0 3 2 9.1 Varietas Bandana 15 14 20 15 72.7 Wulan 0 3 6 9 20.5 Ethana 2 0 0 0 2.3 Alicia 0 1 0 2 3.4 Venus 0 1 0 0 1.1 Pemakaian mulsa Ya 3 14 20 22 67 Tidak 14 5 6 4 33 Jenis mulsa Plastik 2 14 20 22 98.3 Jerami 1 0 0 0 1.7

SS= lanskap sangat sederhana; S= lanskap sederhana; K= lanskap kompleks; SK= lanskap sangat kompleks

Pengetahuan Petani tentang Komunitas Serangga Mentimun

Hama yang sering ditemui petani responden pada pertanaman mentimun adalah Diaphania indica, Aulacophora similis, Chrysodeixis chalcites, Aphis

gossypii dan Dacus cucurbitae. Hama tersebut mudah dikenali oleh petani responden karena sering terlihat di pertanaman mentimun. Petani responden mengenali lalat buah sebagai belatung (larva) di dalam buah mentimun yang menyebabkan buah busuk dan mudah rontok. Petani responden menempatkan D. indica sebagai hama utama di sepanjang masa pertumbuhan tanaman mentimun (69% responden). Sedangkan A. similis dianggap sebagai hama utama oleh 31% responden pada masa awal pertumbuhan tanaman mentimun (Gambar 4.2). Seluruh petani responden tidak mengenal serangga yang berperan sebagai musuh alami pada pertanaman mentimun. Umumnya petani yang diwawancarai pernah melihat serangga mengunjungi bunga mentimun namun hanya 10% responden yang mengetahui manfaat serangga penyerbuk bagi tanaman mentimun.

Gambar 4.2 Hama utama tanaman mentimun pada lanskap sangat sederhana, sederhana, kompleks dan sangat kompleks berdasarkan penilaian petani

Perilaku Petani dalam Pengendalian Hama dan Penyakit

Umumnya petani responden menggunakan pestisida untuk mengendalikan hama pada pertanaman mentimun. Hasil survei menunjukkan bahwa ditemukan 14 jenis pestisida yang umum digunakan petani responden pada pertanaman mentimun dan beberapa diantaranya memiliki bahan aktif yang sama. Pada Gambar 4.3, hanya pestisida yang umum digunakan oleh petani responden saja yang ditampilkan, sedangkan pestisida yang hanya digunakan oleh kurang dari delapan responden dikelompokkan pada lain-lain. Sebagian besar petani responden (22%) menggunakan pestisida berbahan aktif deltametrin untuk mengendalikan untuk mengendalikan hama pada pertanaman mentimun.

0 5 10 15 20 25 30 Sangat sederhana

Sederhana Kompleks Sangat kompleks P erse ntase re sponde n

Gambar 4.3 Jenis pestisida yang umum digunakan petani untuk mengendalikan hama tanaman mentimun di lanskap sangat sederhana (SS), sederhana (S), kompleks (K) dan sangat kompleks (SK)

Seluruh petani responden (100%) yang diwawancarai tergantung kepada pestisida untuk mengendalikan hama yang ditemukan pada pertanaman mentimun. Sebanyak 42% petani responden mengatakan bahwa aplikasi pestisida dilakukan setelah melihat banyaknya hama pada pertanaman. Namun, hasil survei menunjukkan bahwa petani menggunakan sistem kalender dalam aplikasi pestisida dengan interval waktu aplikasi 7 – 10 hari (65%) (Gambar 4.4). Dalam satu musim tanam, pestisida umumnya diaplikasikan sebanyak 3 -5 kali (35%) dan bahkan lebih dari 10 kali (34%) (Gambar 4.5).

Gambar 4.4 Interval waktu aplikasi pestisida pada pertanaman mentimun dalam satu musim tanam

0 5 10 15 SS S K SK Persentase responden Lansk ap Lain-lain Lamda sihalotrin Imidakloropid Deltamethrin Klorantraniliprol 0 4 8 12 16 20 1 - 3 4 - 6 7 - 10 > 10 Tergantung populasi hama P erse ntase re sponde n

Interval aplikasi pestisida (hari)

Kompleks Sangat kompleks Sangat sederhana Sederhana

Gambar 4.5 Jumlah aplikasi pestisida pada pertanaman mentimun dalam satu musim tanam

Pembahasan

Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani (90%) berada pada kisaran usia 20 – 59 tahun. Umumnya, petani responden tidak memiliki pendidikan formal di bidang pertanian dan juga tidak pernah mendapat pelatihan budi daya mentimun. Pengetahuan budi daya mentimun diperoleh dari pengalaman orang tuanya, bekerja pada petani lain atau bertanya pada petani lain. Karakteristik umur petani mentimun ini tidak jauh berbeda dengan petani kentang dan nenas. Rauf (1999) melaporkan bahwa umur petani kentang sebagian besar berkisar antara 20 – 50 tahun. Petani nenas di Subang Jawa Barat umumnya berumur 20 – 50 tahun (Mamahit 2009). Walaupun mayoritas petani responden berpendidikan SD, namun mengingat umur petani tersebut masih tergolong produktif maka petani tersebut masih berpotensi untuk mengembangkan diri dengan menambah pengetahuan dalam bidang budi daya mentimun. Menurut Palebangan et al. (2006), umur produktif petani berkisar antara 15 – 55 tahun. Sedangkan proses adopsi inovasi teknologi pertanian paling tinggi terjadi pada petani berumur 40 – 50 tahun (Soekartiwi 1998). Oleh karena itu, kegiatan pelatihan dan penyuluhan bagi petani mentimun perlu ditingkatkan.

Umumnya luas lahan garapan petani mentimun hanya < 0.50 ha dengan status kepemilikan sebagian besar adalah sewa. Hal ini berimplikasi pada perilaku petani dalam budi daya mentimun. Petani akan berusaha semaksimal mungkin untuk menghindari kegagalan terutama yang disebabkan oleh hama dan penyakit tanaman. Menurut Purwoto (1993), luas lahan garapan memengaruhi perilaku petani di Jawa Tengah dalam mengambil resiko. Petani yang memiliki lahan garapan padi cukup luas lebih berani mengambil resiko dalam berusaha tani dibandingkan dengan petani yang memiliki luas lahan garapan lebih sempit.

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18

< 3 kali 3 - 5 kali 6 - 10 kali > 10 kali

Per se nt as e res ponden

Petani responden menempatkan D. indica sebagai hama utama di sepanjang masa pertumbuhan tanaman mentimun (69% responden). Menurut Brown dan Darwin (2003), D. indica merupakan hama yang umum ditemukan menyerang tanaman famili Cucurbitaceae. Seluruh petani responden tidak mengenal serangga yang berperan sebagai musuh alami pada pertanaman mentimun dan tidak mengetahui bahwa hama mentimun tersebut dapat dikendalikan oleh serangga lain. Hal ini menyebabkan petani sangat tergantung pada penggunaan pestisida. Di samping itu, sebagian besar petani yang diwawancarai tidak mengetahui manfaat serangga penyerbuk bagi tanaman mentimun. Padahal tanaman mentimun merupakan salah satu tumbuhan yang tidak bisa melakukan penyerbukan sendiri karena letak bunga jantan dan betina terpisah walaupun masih dalam satu tanaman (Johnson 1972). Sehingga proses penyerbukan tanaman mentimun harus dibantu oleh serangga penyerbuk (Shwetha et al. 2012). Hal ini menunjukkan bahwa petani mentimun membutuhkan penyuluhan dalam hal budi daya dan juga pendampingan dalam proses produksi.

Simpulan

Petani mentimun di wilayah survei umumnya memiliki usia produktif, luas lahan garapan < 0.5 ha namun tidak memiliki pendidikan formal di bidang pertanian dan juga tidak pernah mengikuti penyuluhan pertanian. Hama utama yang ditemukan di sepanjang masa pertumbuhan tanaman mentimun adalah D. indica, sedangkan A. similis dianggap sebagai hama utama pada masa awal pertumbuhan tanaman mentimun. Seluruh petani responden tidak mengenal dan mengetahui peran serangga sebagai musuh alami pada pertanaman mentimun. Oleh karena itu, petani menggunakan pestisida dalam mengendalikan hama. Petani tidak mengetahui manfaat serangga penyerbuk bagi tanaman mentimun.

5 HUBUNGAN KOMPLEKSITAS LANSKAP DENGAN

Dokumen terkait