• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekologi Lanskap

Istilah ‘ekologi lanskap’ pertama kali diperkenalkan oleh Carl Troll pada

tahun 1939. Troll mendefinisikan ekologi lanskap sebagai ilmu yang mempelajari hubungan antara susunan bidang lahan dalam suatu lanskap dengan spesies yang hidup di dalamnya (Forman dan Godron 1986). Ekologi lanskap berbeda dengan cabang ilmu ekologi lainnya, seperti ekologi populasi, komunitas dan ekosistem. Ekologi lanskap menekankan skala spasial yang luas dan dampak ekologi dari pola spasial ekosistem. Secara khusus, ekologi lanskap dianggap sebagai pengembangan dan dinamika heterogenitas spasial, interaksi dan pertukaran di seluruh lanskap yang heterogen, pengaruh heterogenitas spasial pada proses biotik dan abiotik, dan pengelolaan heterogenitas spasial. Dengan demikian, fokus utama dari ekologi lanskap adalah pada (a) wilayah geografis spasial yang heterogen, (b) pengaturan kembali elemen lanskap, dan (c) tindakan manusia sebagai respon terhadap proses ekologi dan pengaruh timbal balik manusia pada proses ekologi (Risser et al. 1984).

Lanskap adalah suatu lahan heterogen yang tersusun dari ekosistem yang saling berinteraksi dan memiliki semacam pola yang berulang-ulang (Forman dan Godron 1986). Lanskap fokus pada tiga karakteristik, yaitu struktur, fungsi dan perubahan.

Struktur Lanskap

Struktur lanskap mengacu pada pola spasial elemen lanskap dan hubungan antara ekosistem yang beda. Struktur lanskap menilai hubungan antara ekosistem sebagai ukuran, bentuk dan jumlah (Forman dan Godron 1986). Menurut Farina (2000), struktur lanskap memiliki dua kualitas, yaitu komposisi dan konfigurasi. Komposisi lanskap didefinisikan sebagai jenis dan sebaran patch dalam lanskap. Komposisi lanskap merupakan indikator yang baik untuk menilai kesesuaian lingkungan terhadap suatu spesies. Konfigurasi mengacu pada karakteristik spasial atau dengan kata lain mengacu pada distribusi spasial tutupan lahan. Struktur dasar lanskap terdiri dari 3 komponen yaitu matriks, patch dan koridor (Gambar 2.1).

Matriks adalah komponen lanskap yang ukurannya paling luas dan terkoneksi serta memegang peranan penting dalam fungsi lanskap (Forman dan Godron 1986). Lebih lanjut (Samways 1995) menjelaskan bahwa matriks merupakan elemen lanskap yang berada di sekitar patch. Menurut Forman (1995) konektivitas adalah ukuran bagaimana suatu koridor, jaringan (network), atau matriks terhubung atau berkesinambungan. Sebagai contoh, suatu lanskap dengan matriksnya adalah hutan, memiliki sedikit celah (gap) dalam tutupan hutannya berarti memiliki konektifitas lebih tinggi.

Patch merupakan suatu area berbentuk poligon yang relatif homogen yang berbeda dari sekitarnya (Forman dan Godron 1986). Patch dapat dibedakan menjadi 5 tipe berdasarkan cara terbentuknya (Gambar 2.2), yaitu: 1) disturbance patch, patch yang terbentuk oleh karena adanya gangguan pada sebagian kecil area matriks, misalnya patch yang terbentuk oleh karena adanya kebakaran hutan; 2) remnant patch, patch yang terbentuk oleh karena adanya gangguan dalam skala luas, misalnya pulau/daratan yang ditumbuhi semak-semak oleh karena lembahnya tergenang oleh banjir; 3) environmental resource patch, patch yang mencerminkan sumberdaya terdistribusi normal pada suatu lingkungan dan merupakan hasil dari sumberdaya yang permanen dan relatif terpisah dari daerah sekitarnya (patch ini tidak disebabkan oleh kerusakan), misalnya terkonsentrasinya amfibi dan reptil di gurun pasir; 4) introduced patch, patch yang didominasi oleh individu hasil introduksi manusia, misalnya perkebunan kelapa sawit; 5) ephemeral patch, spesies teragregasi sementara oleh karena adanya perubahan lingkungan biotik atau abiotik dengan intensitas rendah sehingga akhirnya spesies tersebut beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Perbedaan yang terjadi pada cara terbentuknya patch ini menentukan dinamika spesies di dalamnya (Forman dan Godron 1981).

Gambar 2.2 Tipe patch berdasarkan cara terbentuknya (Forman dan Godron 1981)

Ukuran, bentuk dan jumlah patch memengaruhi jumlah dan keanekaragaman spesies (Forman dan Godron 1981). Lebih lanjut Ludwig et al. (2000) menjelaskan bahwa ukuran patch juga memengaruhi dinamika nutrisi di dalamnya. Luasan suatu

patch yang terisolasi dapat memengaruhi kekayaan fauna khususnya serangga. Kekayaan spesies serangga pemakan biji pada tanaman Vicia sepium meningkat pada area yang terdapat tanaman inang, dan menurun akibat terdapatnya isolasi pada patch (Kruess dan Tscharntke 2000).

Koridor merupakan patch yang bentuknya memanjang (Forman dan Godron 1986). Menurut McGarigal et al. (2014), berdasarkan fungsinya dikenal tiga macam bentuk koridor ini yaitu koridor habitat, koridor perpindahan (movement corridor), dan koridor perintang (barrier corridor). Koridor habitat merupakan koridor yang berfungsi sebagai tempat untuk hidup bagi suatu organisme baik sementara maupun permanen. Koridor perpindahan berfungsi sebagai jalur penghubung perpindahan suatu spesies dari satu habitat ke habitat lainnya. Koridor perintang merupakan koridor yang dapat menghambat aliran energi, nutrisi mineral, dan atau perpindahan spesies ke habitat lain. Koridor habitat dan koridor perpindahan berturut-turut secara pasif dan aktif dapat meningkatkan keterhubungan lanskap dengan organisme, sebaliknya koridor perintang dapat menurunkan keterhubungan lanskap dengan organisme.

Fungsi Lanskap

Fungsi lanskap adalah hasil interaksi antara elemen-elemen spasial, yaitu, aliran energi, material, dan organisme diantara komponen-komponen ekosistem (Forman dan Godron 1986). Fungsi berhubungan dengan struktur, tetapi lebih menyangkut proses-proses biologi, kimia, dan fisik yang terjadi di dalam lanskap. Keanekaragaman dan distribusi spesies, proses-proses populasi (migrasi, kelahiran dan kematian), genetika populasi, dan interaksi tanaman-hama dan musuh alami semuanya dipengaruhi oleh struktur lanskap (Fry 1995).

Perubahan Lanskap

Perubahan lanskap merupakan perubahan yang terjadi pada struktur dan fungsi lanskap dari waktu ke waktu (Forman dan Godron 1986). Faktor penting yang menyebabkan perubahan tersebut adalah karena seringkali terjadi gangguan dalam skala yang luas pada ekosistem tersebut, seperti kebakaran, penebangan pohon dan banjir (Landis dan Menalled 1998). Perubahan lanskap ini mengakibatkan kehilangan spesies dan rusaknya jejaring makanan (Kruess dan Tscharntke 1994).

Hubungan Struktur Lanskap dan Serangga

Habitat alami memiliki peranan yang penting dalam ekosistem pertanian. Hal ini disebabkan habitat alami dapat memelihara keanekaragaman hayati pada lanskap pertanian dan juga memberikan layanan ekosistem seperti pengendalian hayati (Landis et al. 2000; Bianchi et al. 2006; Milligan et al. 2016), konservasi tanah (Mäder et al. 2002), retensi unsur hara (Raudsepp-Hearne et al. 2010), dan penyerbukan tanaman (Klein et al. 2003, 2007; Carvalheiro et al. 2010). Habitat alami atau semi alami terdiri dari habitat pepohonan, padang rumput, hutan, dan habitat tanaman di pinggir/tepi pertanaman budi daya. Keberadaan habitat alami/semi alami tersebut di lanskap pertanian digunakan musuh alami untuk memperoleh inang alternatif, pakan imago parasitoid, tempat berlindung, dan

membuat iklim mikro pada lahan pertanian sesuai bagi perkembangan musuh alami (Landis et al. 2000; Tscharntke et al. 2007; Rusch et al. 2010). Namun, habitat alami tidak selamanya berpengaruh positif terhadap pengendalian hayati. Menurut Tscharntke et al. (2016), hal tersebut diduga disebabkan oleh lima hal, yaitu 1) tidak adanya musuh alami yang efektif mengendalikan populasi hama di daerah tersebut, 2) habitat alami lebih mendukung perkembangan serangga hama dibandingkan musuh alami, 3) tanaman budi daya lebih banyak menyediakan sumber daya yang dibutuhkan musuh alami dibandingkan yang disediakan oleh habitat alami, 4) habitat alami yang tersedia tidak sesuai dalam hal jumlah, jarak, komposisi atau konfigurasi bagi perkembangan musuh alami, dan 5) praktik budi daya yang dilakukan oleh petani mengancam keberadaan musuh alami.

Sejumlah studi menunjukkan bahwa lanskap kompleks, yang dicirikan dengan besarnya proporsi habitat alami, mampu meningkatkan keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami (Finke dan Snyder 2010; Holzschuh et al. 2010). Sebaliknya, kelimpahan dan keanekaragaman musuh alami lebih rendah pada lanskap sederhana dibandingkan dengan lanskap kompleks. Hal ini disebabkan landskap sederhana tidak mampu menyediakan kebutuhan musuh alami, seperti inang alternatif dan pakan bagi imagonya (Ge’neau et al. 2012). Lanskap kompleks disamping dapat meningkatkan keanekaragaman dan kelimpahan musuh alami pada lahan pertanian, juga mampu meningkatkan keefektifan musuh alami dalam mengendalikan serangga hama (Clough et al. 2007). Parasitoid merupakan salah satu kelompok serangga yang kinerjanya dipengaruhi kompleksitas lanskap (Brewer et al. 2008; Zhao et al. 2013). Kinerja dan kelimpahan parasitoid meningkat pada lanskap kompleks yang dicirikan dengan tingginya proporsi habitat alami (Schmidt dan Tscharntke 2005; Steingrover et al. 2010). Kemampuan parasitoid dalam mengendalikan populasi hama di lapangan sangat dipengaruhi oleh kompleksitas komunitas parasitoid. Keanekaragaman parasitoid yang rendah menyebabkan banyak spesies hama tidak terparasit (Kruess dan Tscharntke 1994). Rendahnya keanekaragaman parasitoid ini disebabkan oleh rendahnya daya dukung habitat terhadap perkembangan sejumlah parasitoid yang ada di lapangan (Menalled et al 1999). Habitat alami ini berfungsi sebagai sumber pakan, inang alternatif, tempat berlindung, dan membuat iklim mikro pada lahan pertanian sesuai bagi perkembangan musuh alami (Landis et al. 2000; Gagic et al. 2011).

Pada ekosistem pertanian, kompleksitas komunitas parasitoid dipengaruhi oleh sejumlah faktor yang terdapat pada skala petakan maupun lanskap (Clough et al 2007). Pada skala petakan, kelimpahan dan kekayaan spesies serangga dipengaruhi oleh teknik budi daya tanaman seperti cara pengolahan tanah, penggunaan pestisida dan pupuk anorganik serta keanekaragaman spesies tanaman (Landis et al 2000; Thorbek dan Bilde 2004). Pada skala lanskap, kelimpahan dan kekayaan spesies serangga dipengaruhi oleh fragmentasi habitat dan struktur lanskap (Purtauf et al 2005; Tscharntke et al 2007).

Struktur lanskap tidak saja memengaruhi kekayaan spesies, kelimpahan maupun komposisi serangga, namun juga dilaporkan memengaruhi keanekaragaman fungsional. Geslin et al. (2016) melaporkan bahwa keanekaragaman fungsional serangga penyerbuk menurun seiring dengan bertambah jauhnya perkebunan mangga dari habitat alami. Hal ini berakibat pada menurunnya aktifitas pernyerbukan sehingga menurunkan produksi tanaman tersebut. Menurut Hooper et al. (2005) keanekaragaman fungsional merupakan

parameter yang dapat mengukur dampak keanekaragaman spesies terhadap jasa ekosistem, seperti produksi tanaman, hal ini disebabkan keanekaragaman fungsional memberikan informasi mengenai karakteristik fungsional suatu spesies. Menurut Petchey dan Gaston (2002), setiap spesies memiliki fungsi yang berbeda pada suatu ekosistem karena adanya perbedaan karakteristik dari setiap spesies. Keanekaragaman fungsional dapat diukur dengan melihat nilai community weighted mean (CWM) karakter suatu spesies (Ricotta dan Moretti 2011; Persson et al. 2015). Menurut Ricotta dan Moretti (2011), karakteristik morfologi suatu spesies yang digunakan untuk mengukur CWM adalah karakteristik spesies yang dapat diukur seperti karakteristik morfologi.

Struktur lanskap pertanian memiliki keanekaragaman dan komposisi habitat yang sangat bervariasi, mulai dari sangat sederhana hingga kompleks. Variasi ini terjadi oleh karena adanya pengaruh faktor internal dan eksternal, seperti iklim, tanah, politik, sosial ekonomi dan budaya (Abdoellah et al. 2004). Di daerah Jawa Barat, kompleksitas habitat sangat dipengaruhi oleh rendahnya kepemilikan lahan pertanian. Rata-rata luas kepemilikan lahan pertanian adalah sekitar 4.000 m2 (BPS 2014). Setiap pemilik lahan memiliki hak mutlak untuk memutuskan tanaman pertanian yang dibudidayakan dan hal ini dijamin oleh negara melalui Undang-Undang nomor 12 tahun 1992 tentang Sistem Budi daya Tanaman (Pemerintah Republik Indonesia 1992). Faktor-faktor tersebut pada akhirnya akan menyebabkan perubahan intensitas penggunaan lahan dan selanjutnya akan mengakibatkan fragmentasi habitat (Kruess dan Tscharntke 2000).

Hymenoptera Parasitika

Hymenoptera memiliki lebih dari 153 000 spesies yang telah diidentifikasi terdiri dari 132 famili dan 8 432 genus (Aguiar et al. 2013). Dengan demikian Hymenoptera merupakan kelompok serangga yang mempunyai keanekaragaman spesies yang tinggi setelah ordo Coleoptera dan Lepidoptera. Namun, Grissell (1999) berargumentasi bahwa jika semua spesies yang belum diidentifikasi turut diperhitungkan maka Hymenoptera merupakan ordo yang memiliki keanekaragaman spesies paling banyak. Penelitian yang dilakukan di daerah beriklim sedang (Gaston 1991) dan di daerah tropis (Stork 1991) menunjukkan bahwa Hymenoptera merupakan ordo yang memiliki keanekaragaman spesies paling banyak. Sharkey (2007) menduga jumlah spesies ordo Hymenoptera mencapai 1 000 000. Hymenoptera merupakan kelompok serangga yang paling banyak berinteraksi dengan organisme lain dalam suatu ekosistem dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Kelompok ini terdiri dari 39 famili yang bersifat parasitoid, dua famili (Agaonidae dan Tanaostigmatidae) sebagai fitofag, dan beberapa famili sebagai pembuat puru, predator, dan penyerbuk (LaSalle dan Gauld 1993).

Ordo Hymenoptera memiliki 2 subordo, yaitu Symphyta dan Apocrita (Goulet dan Huber 1993). Symphyta memiliki pertulangan sayap yang lengkap dan ruas pertama abdomen tidak mengalami penggentingan. Sebagian besar spesies pada kelompok ini merupakan fitofag dan memiliki prilaku yang mirip dengan Lepidoptera. Subordo Symphyta terdiri dari 9 superfamili dan 25 famili (Aguiar et al. 2013). Keanekaragaman spesies Symphita lebih tinggi pada daerah tropis dan

sub tropis dibandingkan dengan daerah beriklim sedang (temperate region) (Sharkey 2007).

Apocrita memiliki pertulangan sayap yang sederhana dan ruas pertama abdomen mengalami penggentingan. Berdasarkan struktur ovipositornya subordo ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu aculeate dan parasitica (Goulet dan Huber 1993). Aculeata adalah kelompok Hymenoptera yang struktur ovipositornya mengalami modifikasi sebagai alat penyengat dan kebanyakan spesiesnya adalah predator dan penyerbuk (LaSalle dan Gauld 1993). Kelompok aculeate terdiri dari 2 superfamili dan 23 famili (Aguiar et al. 2013).

Parasitica adalah kelompok Hymenoptera yang struktur ovipositornya tidak berkembang menjadi alat penyengat. Kelompok parasitica terdiri dari 16 superfamili dan 82 famili (Aguiar et al. 2013). Sebagian besar spesies dari kelompok ini merupakan parasitoid (Goulet dan Huber 1993). Parasitoid adalah serangga yang memarasit serangga lain dan mampu melengkapi siklus hidupnya dalam satu inang (Driesche dan Bellows 1996). Parasitoid merupakan kelompok musuh alami yang telah banyak digunakan dalam pengendalian hayati serangga hama. Umumnya program pengendalian hayati tersebut menggunakan parasitoid yang berasal dari ordo Hymenoptera superfamili Ichneumonoidea dan Chalcidoidea (Driesche dan Bellows 1996; Greathead 1986). Superfamili Ichneumonoidea dan Chalcidoidea merupakan superfamili yang memiliki keanekaragaman spesies tertinggi di antara Hymenoptera parasitika lainnya.

Superfamili Ichneumonoidea

Superfamili Ichneumonoidea memiliki ciri-ciri pronotum berbentuk menyerupai segitiga, dan meluas sampai tegula. Antena berbentuk filiform dan umumnya terdiri dari 16 segmen. Trochanters belakang tersegmentasi menjadi dua. Ovipositor naik di depan apeks abdomen, tidak bisa ditarik, dan umumnya sepanjang atau lebih panjang dari tubuh. Venasi biasanya normal. Sayap depan tidak memiliki costal cell (Goulet dan Huber 1993). Superfamili Ichneumonoidea terdiri dari 3 famili, yaitu Ichneumonidae, Braconidae dan Praeichneumonidae (Aguiar et al. 2013).

Ichneumonidae merupakan kelompok parasitoid yang anggotanya banyak memarasit spesies serangga hama. Subfamili parasitoid dari famili Ichneumonidae dikelompokkan berdasarkan tipe inang yang diparasit, yaitu subfamili Ephialtinae merupakan ektoparasitoid larva atau pupa berbagai ordo serangga di dalam jaringan tanaman, subfamili Typhoninae merupakan ektoparasitoid larva Lepidoptera yang hidup terbuka, subfamili Gelinae merupakan ektoparasitoid serangga dalam kokon, subfamili Brachinae, Porizontinae dan Ophioninae merupakan endoparasitoid larva Lepidoptera, subfamili Ichneumoninae merupakan endoparasitoid pupa Lepidoptera, subfamili Scolobatinae merupakan endoparasitoid sawfly dan subfamili Diplazontinae merupakan endoparasitoid larva Syrphidae (Driesche dan Bellows 1996).

Braconidae merupakan kelompok parasitoid yang anggotanya telah banyak digunakan dalam program pengendalian hayati serangga hama ordo Lepidoptera, Coleoptera, Diptera dan Hemiptera (kutudaun) (Goulet dan Huber 1993; Driesche dan Bellows 1996). Subfamili parasitoid dari famili Braconidae dikelompokkan berdasarkan tipe inang yang diparasit, yaitu subfamili Aphidiinae merupakan endoparasitoid kutudaun, subfamili Meteorinae, Blacinae, Microgasterinae dan

Rogadinae merupakan endoparasitoid larva Lepidoptera dan Coleoptera, subfamili Euphorinae merupakan endoparasitoid imago Coleoptera dan nimfa Hemiptera, subfamili Cheloninae merupakan endoparasitoid telur – larva Lepidoptera, subfamili Alysiinae merupakan endoparasitoid telur dan larva Diptera, subfamili Braconinae merupakan ektoparasitoid larva Lepidoptera yang hidup tersembunyi (Driesche dan Bellows 1996).

Superfamili Chalcidoidea

Superfamili Chalcidoidea memiliki ciri-ciri antena berbentuk genikulat dengan jumlah segmen maksimal 13 segmen. Umunya tubuh berwarna hitam, namun beberapa berwarna hijau metalik atau biru (Goulet dan Huber 1993). Superfamili Chalcidoidea terdiri dari 23 famili (Aguiar et al. 2013), namun hanya 6 famili yang anggotanya banyak digunakan dalam kegiatan pengendalian hayati, yaitu famili Aphelinidae, Chalcididae, Encyrtidae, Eulophidae, Mymaridae dan Trichogrammatidae (Driesche dan Bellows 1996).

Aphelinidae merupakan parasitoid Hemiptera dan parasitoid telur dari berbagai ordo serangga (Goulet dan Huber 1993). Beberapa spesies dari famili ini merupakan agensia pengendali hayati yang efektif mengendalikan hama, contoh Aphelinus asychis efektif mengendalikan 3 spesies aphid (Tatsumi dan Takada 2005), Encarsia diaspidicola merupakan agensia hayati yang efektif mengendalikan Pseudaulacaspis pentagona (Neumann et al. 2010).

Chalcididae terdiri dari 93 genus dan 1474 spesies (Aguiar et al. 2013). Beberapa spesies dari famili ini telah banyak digunakan dalam kegiatan pengendalian hayati seperti Opius sp dan Brachymeria lasus (Waterhause 1998).

Encyrtidae terdiri dari 495 genus dan 4061 spesies (Aguiar et al. 2013). Beberapa spesies dari famili ini telah banyak digunakan dalam kegiatan pengendalian hayati, seperti Diaphorencyrtus aligarhensis digunakan untuk mengendalikan Diaphorina citri, Copidosoma sp. digunakan untuk mengendalikan Trichoplusia ni (Waterhause 1998).

Eulophidae terdiri dari 336 genus dan 4972 spesies (Aguiar et al. 2013). Eulophidae merupakan salah satu famili penting dari superfamili Chalcidoidea. Kisaran ini parasitoid dari famili ini cukup luas, mencakup telur laba-laba, Hemiptera, Thysanoptera, Coleoptera, Lepidoptera, dan Diptera (Goulet dan Huber 1993; Driesche dan Bellows 1996). Beberapa spesies dari famili telah banyak digunakan dalam kegiatan pengendalian hayati, seperti Hemiptarsenus sp. digunakan untuk mengendalikan Ophiomyia phaseoli, Euplectrus sp digunakan untuk mengendalikan Trichoplusia ni (Waterhause 1998).

Trichogrammatidae terdiri dari 100 genus dan 884 spesies (Aguiar et al. 2013). Semua anggota famili ini adalah parasitoid telur serangga lain (Pinto dan Stouthamer 1994). Beberapa spesies dari famili ini seperti Trichogramma minutum dan T. pretiosum telah digunakan dalam pengendalian berbagai jenis Lepidoptera melalui pelepasan massal (Driesche dan Bellows 1996).

Pemencaran dan Persebaran Serangga

Pemencaran serangga merupakan distribusi suatu spesies dalam konteks ruang yang tidak melibatkan pergerakan serangga tersebut. Berdasarkan pola

sebaran individu suatu spesies dalam ruang, pemencaran serangga dibedakan menjadi acak, kelompok dan teratur (Poole 1974) (Gambar 2.3). Pola sebaran serangga dapat ditentukan dengan menggunakan indeks dispersi (Iδ), yaitu rasio ragam terhadap rata-rata (σ2/μ), nilai-κ Binomial negatif dan indeks Morisita (Iγ) (Poole 1974; Southwood dan Henderson 2000).

Gambar 2.3 Ilustrasi pola pemencaran serangga (Poole 1974)

Pola pemencaran hama perlu diketahui untuk menetapkan pola pengambilan contoh yang sesuai baik untuk perencanaan penelitian maupun monitoring dinamika populasi hama (Ruiz-Cardenas et al. 2009). Menurut Ruesink dan Kogan (1975) pola sebaran hama penting diketahui untuk menetapkan pola pengambilan contoh dan jumlah contoh yang sesuai. Sedangkan pola sebaran musuh alami perlu diketahui untuk memastikan efektifitas musuh alami tersebut. Pola sebaran serangga di lapangan terdiri dari merata, acak, dan kelompok (Ruesink dan Kogan 1975). Pada umumnya, pola sebaran serangga adalah mengelompok, seperti Diaphorina citri Kuwayama (Costa et al. 2010), penggerek buah kopi (Wiryadiputra 2014), kelompok telur Ostrinia furnacalis (Lopez 2014), dan parasitoid Cotesia flavipes (Dinardo-Miranda 2014).

Pola pemencaran musuh musuh alami perlu diketahui untuk melakukan konservasi terhadap musuh alami tersebut. Dengan memahami pergerakan parasitoid maka akan diketahui habitat yang berperan sebagai source maupun sink bagi parasitoid tersebut sehingga dapat diketahui dengan pasti lokasi penempatan refugia dan tanaman penghasil nektar serta serbuk sari bagi parasitoid (Gurr et al. 2003; Gurr et al. 2004; Wratten et al. 2004). Sebaran dan gerakan serangga dapat dipelajari dengan cara menandai serangga tersebut.

Pergerakan serangga dapat dipelajari dengan sejumlah teknik, seperti tags, mutilasi, pewarna, serbuk, isotop stabil, genetik, radioisotop, dan protein (Hagler dan Jackson 2001; Lavandero et al. 2004a,b). Metode yang digunakan harus mempertimbangkan beberapa hal, antara lain tidak berpengaruh pada serangga yang ditandai, murah, tahan lama, dan mudah untuk diterapkan. Setiap teknik penandaan serangga mungkin memiliki efek yang berbeda pada setiap serangga, oleh karena itu perlu dilakukan studi pendahuluan sebelum suatu teknik penandaan digunakan dalam studi pemencaran serangga (Hagler dan Jackson 2001).

Teknik radioisotop dapat digunakan sebagai penanda serangga karena radioistop dapat memancarkan sinar radioaktif. Radioisotop yang digunakan untuk penandaan serangga antara lain 3H. 32P, 14Ca, 45K, 35S, 59Fe dan 14C. Pemilihan jenis radioisotop yang akan digunakan untuk penandaan serangga berdasarkan beberapa pertimbangan, yaitu 1) sifat nuklir zat radioaktif, seperti umur paruh, jenis radiasi, dan energi yang dipancarkan. Umur paruh radioisotop sangat penting dalam

pemilihan jenis radioisotop yang akan digunakan dalam penelitian karena akan disesuaikan dengan umur serangga dan waktu percobaan; 2) sifat difusi zat radioaktif, yaitu sifat kemudahan terserap oleh tubuh serangga; dan 3) aspek ekologi, seperti habitat serangga, lama siklus hidup dan kemungkinan kontaminasi terhadap lingkungan (Southwood 1968). Radioisotop yang ideal digunakan untuk percobaan lapang adalah 32P. Radioisotop ini merupakan pemancar sinar beta kuat dengan energi 1.72 Mev sangat mudah dideteksi dengan semua alat deteksi radioisotop, misalnya GM counter, liquid scintillation counter. Unsur radioaktif 32P dapat bersatu dengan sel/jaringan sehingga tidak mudah hilang. Radioisotop tersebut memiliki waktu paruh selama 14.3 hari di alam, yang berarti dalam kurun waktu tersebut kandungan radioaktifitas akan menurun separuhnya (Sutrisno 2008). Radioisotop 32P telah digunakan untuk menandai lalat kedelai Ophiomyia phaseoli Tryon (Rahayu 1989), Trichogramma chilonis (Ishii) (Bhattacharyya dan Gautam 2008), dan nyamuk (Zhang et al. 2016).

3 KOMPOSISI DAN KONFIGURASI LANSKAP PERTANIAN

Dokumen terkait