• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

A. Landasan Teori

2. Metode Almant Z-Score

a. Pengertian Metode Almant Z-Score

Analisis Z-Score pertama kali dikemukakan oelh Edward I Altman pada tahun 1968 sebagai hasil dari penelitinnya. Setelah menyeleksi 22 rasio keuangan, ditemukan 5 rasio yang dapat dikombinasikan untuk melihat perusahaan yang bangkrut dan tidak bangkrut. Altman melakukan beberapa penelitian dengan objek perusahaan yng berbeda kondisinya. Karena itu, Altman menghasilkan beberapa rumus yang berbeda untuk digunakan pada beberapa perusahaan dengan kondisi yang berbeda. Model ini menekankan pada

profitabilitas sebagai komponen yang paling berpengaruh terhadap kebangkrutan (Rudianto, 2013: 254).

Analisis Z-Score adalah metode untuk memprediksi keberlangsungan hidup suatu perusahaan dengan mengkombinasikan beberapa rasio keuangan yang umum dan pemberian bobot yang berbeda satu dengan lainnya.Itu berarti, dengan metode Z-Score dapat diprediksi kemungkinan kebangkrutan suatu perusahaan (Rudianto, 2013: 254).

Dengan melakukan analisis tingkat kebangkrutan dengan menggunakan metode Altman Z-Score, maka pihak perusahaan atau manajemen perusahaan dapat melihat prediksi tingkat kebangkrutan perusahaan yang dikelolanya.Sehingga dapat dilakukan tindakan awal untuk mencegah terjadinya kebangkrutan tersebut.

b. Kelebihan dan Kekurangan Metode Almant Z-Score

Kelebihan dan kekurangan model Altman Z-Score menurut BAPEPAM (2005) dalam Khairiyah (2019: 15-16)

Kelebihan model Altman Z-Score: (Khoiriyah, 2019: 15).

1) Menggabungkan berbagai rasio keuangan secara bersama-sama.

2) Menyediakan koefisien yang sesuai untuk mengkombinasikan variabel-variabel independen.

3) Mudah dalam penerapannya.

4) Rasio laba sebelum bunga dan pajak terhadap total aktova merupakan indicator terbaik untuk mengetahui terjadinya kebangkrutan.

5) Lebih bisa menggambarkan kondisi perusahaan sesuai dengan kenyatannya.

6) Nilai Z-Score lebih ketat dalam menilai tingkat kebangkrutan.

Kekurangan model Altman Z-Score: (Khoiriyah, 2019: 16).

1) Nilai Z-Score bida direkayasa atau dibiaskan melalui prinsip akuntansi yang salah atau rekayasa keuangan lainnya.

2) Formula Z-Score kurang tepat untuk perusahaan baru yang rendah atau bahkan masih merugi. Biasanya hasil dari nilai Z-Scoreakan rendah.

3) Perhitungan Z-Score secara triwulan pada suatu perusahaan dapat memberikan hasil yang tidak konsisten jika perusahaan tersebut mempunyai kebijakan untuk menghapus piutang diakhir tahun secara sekaligus.

c. Analisis Metode Almant Z-Score

Rumus Z-Score pertama dihasilkan Altman pada tahun 1968.

Rumus ini dihasilkan dari penelitian atas berbagai perusahaan manufaktur di Amerika Serikat yang menjual sahamnya di bursa efek.Karena itu, rumus tersebut lebih cocok digunakan untuk memprediksi keberlangsungan usaha perusahaan-perusahaan manufaktur yang go public. Rumus pertama tersebut adalah sebagai berikut: (Rudianto, 2013: 254)

Z = 1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 1,0X5 Dimana:

Z = Indeks Keseluruhan

Skor yang diperoleh merupakan gabungan dari 5 unsur yang berbeda, dimana setiap unsur merupakan rasio keuangan yang berbeda,

maka sangat penting untuk memahami makna dari setiap unsur tersebut. Defenisi dari diskriminasi Z (zeta) adalah: (Rudianto, 2013:

255)

1) Rasio X1 (Modal Kerja : Total Aset)

Mengukur likuiditas dengan membandingkan asset likuid bersih dengan total asset. Asset likuid bersih atau modal kerja didefenisikan sebagai asset lancar dikurangi total kewajiban lancar (asset lancar ā€“ utang lancar). Umumnya, bila perusahaan mengalami kesulitas keuangan, modal kerja akan turun lebih cepat ketimbang total asset sehingga menyebabkan rasio ini turun.

2) Rasio X2 (Laba Ditahan : Total Aset)

Rasio ini merupakan rasio profitabilitas yang mendeteksi kemampuan perusahaan dalam menghasilkan keuantungan. Rasio ini mengukur besarnya kemampuan suatu perusahaan dalam memperoleh keuntungan, ditinjau dari kemampuan perusahaan bersangkutan dalam memperoleh laba dibandingkan kecepatan perputaran operating asset sebagai ukuran efesiensi usaha atau dengan kata lain, rasio ini mengukur akumulasi laba selama perusahaan beroperasi. Umur perusahaan berpengaruh terhadap rasio tersebut karena semakin lama perusahaan beroperasi semakin mungkin memperbesar akumulasi laba ditahan. Hal ini menyebabkan perusahaan yang relatif masih muda umurnya akan menunjukkan hasil rasio yang lebih rendah, kecuali yang labanya sangat besar pada awal berdirinya.

3) Rasio X3 (EBIT : Total Aset)

Rasio ini mengukur profitabilitas, yaitu tingkat pengembalian atas asset, yang dihitung dengan membagi laba sebelum bunga dan pajak (Earning Before Interest and Tax) tahunan perusahaan dengan total asset pada neraca akhir tahun.

Rasio ini menjelaskan pentingnya pencapaian laba perusahaan terutama dalam rangkamemenuhi kewajiban bunga para

investor.Kemampuan untuk bertahan sangat tergantung pada earning power asetnya. Karena itu, rasio ini sangat sesuai digunakan dalam menganalisis risiko kebangkrutan

4) Rasio X4 (Nilai Saham : Total Utang)

Rasio ini merupakan kebalikan dari utang per modal sendiri (DER = Debt to Equity Ratio) yang lebih terkenal. Nilai modal sendiri yang dimaksud adalah nilai pasar modal sendiri, yaitu jumlah saham perusahaan dikalikan dengan pasar saham per lembar sahamnya (jumlah lembar saham x harga pasar saham per lembar). Umumnya, perusahaan-perusahaan yang gagal akanmengakumulasikan lebih banyak utang dibandingkan modal sendiri.

5) Rasio X5 (Penjualan : Total Aset)

Rasio ini mengukur kemampuan manajemen dalam mengguanakan asset untuk menghasilkan penjualan yang merupakan operasi inti dari perusahaan untuk dapat menjaga kelangsungan hidupnya.

Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Z-Score tersebut akan menghasilkan penjualan satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Skor tersebut harus dibandingkan dengan standar penilaian berikut ini untuk menilai keberlangsungan hidup perusahaan:

Z > 2,99 = Zona Aman 1,81< Z < 2,99 = Zona Abu-Abu Z > 1,81 = Zona Berbahaya

Pada tahun 1984, Altman melakukan penelitian kembali di berbagai Negara. Penelitian ini menggunakan berbagai perusahaan manufaktur yang tidak go public. Karena itu, rumus dari hasil penelitian tersebut lebih tepat digunakan untuk perusahaan manufaktur yang tidak menjual sahamnya di bursa efek. Hasil penelitian tersebut menghasilkan

rumus Z-Score yang kedua untuk perusahaan-perusahaan manufaktur yang tidak go public, sebagai berikut: (Rudianto, 2013: 256)

Z = 0,717X1 + 0,847X2 + 3,107X3 + 0,420X4 + 0,998X5 Dimana:

Z = Indeks Keseluruhan

Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Z-Score tersebut akan menghasilkan skor yang berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Skor tersebut harus dibandingkan dengan standar penilaian berikut ini untuk menilai keberlangsungan hidup perusahaan: (Rudianto, 2013: 257)

Z > 2,9 = Zona Aman 1,23< Z < 2,9 = Zona Abu-Abu Z > 1,23 = Zona Berbahaya

Rumus Z-Score terakhir merupakan rumus yang sangat fleksibel karena bisa digunakan di negara berkembang seperti Indonesia. Hasil penelitian tersebut menghasilkan rumus Z-Score ketiga untuk berbagai jenis perusahaan, sebagai berikut: (Rudianto, 2013: 257)

Z = 6.56X1 + 3,26X2 + 6,72X3 + 1,05X4

Dimana:

Z = Indeks Keseluruhan

Hasil perhitungan dengan menggunakan rumus Z-Score tersebut akan menghasilkan skor yang berbeda antara satu perusahaan dengan perusahaan lainnya. Skor tersebut harus dibandingkan dengan standar penilaian berikut ini untuk menilai keberlangsungan hidup perusahaan tersebut: (Rudianto, 2013: 258)

Z > 2,6 = Zona Aman 1,1< Z < 2,6 = Zona Abu-Abu Z > 1,1 = Zona Berbahaya

Dengan mengetahui nilai Z-Score suatu perusahaan, dapat diketahui kondisi badan usaha tersebut apakah mengalami masalah bisnis, atau menghadapi bahaya, atau masih dalam kondisi aman.

Dengan analisis Z-Score ini juga manajemen dapat meramalkan prospek perusahaan di masa yang akan datang dalam menjaga kelangsungan hidupnya. Semakin besar nilai ā€œZā€, semakin besar pula jaminan akan kelangsungan hidup perusahaan dan semakin berkurang risiko kegagalan (Rudianto, 2013: 258).

Dokumen terkait