• Tidak ada hasil yang ditemukan

Indah Suryani1, Zulfiadi Zulhan2, Adil Jamali3

1,2Teknik Metalurgi FTTM ITB

3Pusat Penelitian Metalurgi dan Material LIPI

E-mail: indah.sur93@gmail.com1, zulfiadi.zulhan@gmail.com2, adilj03@yahoo.com3

Abstrak

Metode isotermal -gradien temperatur digunakan untuk mempelajari reduksi pelet konsentrat pasir besi menggunakan reduktor bed batubara. Penelitian dimulai dengan karakterisasi bahan baku konsentrat pasir besi menggunakan XRD dan XRF. Konsentrat pasir besi kemudian diaglomerasi menjadi pelet dengan penambahan

2% bentonit dan penambahan Na2CO3 divariasikan dari 1% hingga 5%. Pelet dikeringkan dalam oven lalu

dilanjutkan dengan proses reduksi menggunakan reduktor bed batubara. Proses reduksi dilakukan pada

temperatur isotermal 980oC selama 30 menit dilanjutkan dengan gradien temperatur menuju temperatur akhir

1180oC, 1230oC, 1280oC, 1330oC, dan 1380oC selama 1 jam. Pada temperatur akhir ditahan selama 10 menit.

Pelet yang telah direduksi dianalisis X-ray mapping. Pelet yang telah direduksi memperlihatkan lubang pada

bagian tengah pada temperature 1330oC, dan 1380oC. Selain itu, logam besi cenderung berada pada bagian

permukaan luar pelet dan oksida cenderung berada di bagian dalam.

Kata kunci: Pasir besi, Reduksi, Gradien temperatur, Na2CO3

PENDAHULUAN

Pasir besi merupakan salah satu alternatif sumber besi dalam pembuatan besi dan baja. Di Indonesia pasir besi terdapat di sepanjang pantai bagian selatan Pulau Jawa dan pantai barat Pulau Sumatera. Menurut pemutakhiran data dan neraca sumber daya mineral[1], sumber daya pasir besi di Indonesia mencapai 2,12 milyar ton dengan cadangan sebesar 173,81 juta ton. Jumlah ini jauh lebih besar dibanding dengan bijih besi primer yang memiliki sumber daya sebesar 712,46 juta ton dan cadangan sebesar 65,58 juta ton.

Berdasarkan Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2012 dan diperbaharui dalam Permen ESDM Nomor 1 Tahun 2014 tentang Peningkatan Nilai Tambah Mineral Melalui Kegiatan Pengolahan dan Pemurnian Mineral di Dalam Negeri, hingga akhir tahun 2016 komoditas pasir besi diperbolehkan untuk diekspor dengan ketentuan produk konsentrat memiliki batasan minimum besi diatas atau sama dengan 58%. Selama 3 tahun semenjak peraturan tersebut dikeluarkan, pemegang Ijin Usaha Pertambangan (IUP) diwajibkan untuk menunjukkan keseriusan membangun fasilitas pemurnian untuk mendapatkan ijin penjualan konsentrat ke luar negeri. Pada tahun 2017, hasil produksi yang dapat diekspor sudah merupakan produk pemurnian berupa besi spon, besi wantah, dan terak berupa TiO2, TiCl4, V2O5, dan logam paduan dengan ketentuan tertentu. Hingga saat ini, pasir besi di Indonesia diolah hingga konsentrat yang kemudian diaglomerasi menjadi pelet konsentrat pasir besi.

Penelitian reduksi konsentrat pasir besi yang telah dilakukan di Metalurgi ITB oleh Fu’adi[2], Cocen[3], dan Akbar[4] pada kondisi isotermal. Pada penelitian tersebut tidak dilakukan pemisahan TiO2 dari besi. Mengacu pada paten Sasabe (US pantent 3,218,152)[5], TiO2 dapat dipisahkan dari besi logam pada selang temperatur 1350 – 1500 °C dengan metode gradien temperatur. Pada penelitian ini, metode paten yang diajukan oleh Sasabe dikombinasikan dengan metode isotermal terutama untuk mendapatkan proses pemisahan logam besi dan oksida titanium pada temperatur yang lebih rendah. Metode yang digunakan ini dinamakan metode isotermal - gradien temperatur.

METODE PERCOBAAN

Pasir besi yang digunakan berupa konsentrat berasal dari Sukabumi dan komposisi kimia ditunjukkan pada Tabel 1. Konsentrat pasir besi yang telah dicampur dengan bentonit dan Na2CO3 kemudian dipeletisasi menggunakan rotating disc pelletizer hingga didapat pelet berukuran 14-16mm. Bentonit ditambahkan sebesar 2% berat dan divariasikan Na2CO3 dari 0% hingga 5%. Setelah itu, pelet dikeringkan untuk menghilangkan kadar air. Pelet yang telah dikeringkan ini kemudian direduksi menggunakan metode isotermal - gradien temperatur dengan reduktor bed batubara. Analisis proksimat batubara ditunjukkan pada

Tabel 2. Pelet dimasukkan ke dalam krusibel 20ml seperti diperlihatkan pada Gambar 1. Tabel 2. Komposisi kimia konsentrat pasir besi

Tabel 3. Data hasil analisis proksimat (air dried basis)

Moisture Volatile Matter Ash Carbon Fixed

8,13% 36,03% 10,37% 45,47%

Gambar 1. Skematik pelet dalam krusibel

Proses reduksi menggunakan metode isotermal gradien temperatur dengan reduktor bed batubara dimana profil temperatur untuk percobaan ditunjukkan pada Gambar 2. Periode pertama, krusibel yang telah diisi dengan pelet dan batubara dipanaskan secara isotermal pada temperatur 980oC selama 30 menit. Periode kedua, krusibel tersebut dipanaskan dari 980oC hingga temperatur akhir yang telah ditentukan dengan jangka waktu 60 menit. Temperatur akhir yang digunakan adalah 1180oC, 1230oC, 1280oC, 1330oC, dan 1380oC. Setelah itu, krusibel dipertahankan pada kondisi isotermal selama 10 menit pada temperatur akhir. Pelet yang telah direduksi dibelah menjadi dua untuk kemudian ditentukan %Fe metal dan %Fe total dengan analisis kimia menggunakan metode titrasi dan analisis persebaran unsur menggunakan analisis X-ray mapping.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Metode Isotermal - Gradien temperatur terhadap Hasil Reduksi

Metode isotermal-gradien temperatur pada penelitian ini menggunakan temperatur isothermal 980oC. Temperatur ini dipilih berdasarkan penelitian Adhiwiguna[6] yang menyebutkan bahwa berdasarkan hasil TG/DTA dan XRD dari sampel campuran konsentrat pasir besi dan batubara didapatkan pada temperatur antara 900-1000oC proses reduksi telah berlangsung relatif sempurna untuk menghasilkan besi.

Si Al Fe Ti K Ca Mn Mg P Zn O

Gambar 2. Profil temperatur reduksi

Produk besi spon yang dihasilkan serupa dengan yang telah dideskripsikan oleh Sasabe[5] menggunakan pelet konsentrat pasir besi yang direduksi pada temperatur akhir 1350-1500oC yaitu pelet yang memiliki lubang di bagian tengah. Pada penelitian ini, lubang terbentuk pada temperatur akhir yang lebih rendah yaitu 1330oC seperti diperlihatkan pada

Gambar 3. Pada temperatur akhir 1180oC dan 1230oC sudah terlihat perbedaan antara lapisan bagian dalam dan bagian luar.

Gambar 3. Penampang pelet pasir besi setelah reduksi pada penambahan 3% Na2CO3

Gambar 4 memperlihatkan persen metalisasi yang dihitung berdasarkan data

kehilangan berat. Persen metalisasi tertinggi dicapai pada temperatur 1280oC, setelah itu persen metalisasi menurun. Hal ini dapat terjadi dikarenakan laju gradien temperatur yang semakin cepat memungkinkan adanya besi oksida berupa wustit yang belum sempat tereduksi pada waktu 100 menit. Sedangkan pada temperatur 1180oC hingga 1280oC, oksida besi yang belum sempat tereduksi pada temperatur isotermal dapat kembali tereduksi selama gradien temperatur dikarenakan belum adanya kerak metal yang menghalangi reduktor mereduksi lapisan dalam pelet.

Gambar 4. Persen metalisasi dengan temperatur akhir reduksi pada pelet tanpa penambahan

aditif

Kurva penentuan % Fe metal melalui titrasi yang ditunjukkan pada Gambar 5 memperlihatkan perbedaan kadar besi di bagian luar dengan kadar besi di bagian dalam atau bagian tengah pelet yang telah direduksi. Perbedaan ini menunjukkan bahwa pada bagian

dalam lebih banyak mengandung oksida pengotor. Hasil ini mirip saat dibandingkan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Fu’adi[2] bahwa pada bagian dalam masih didominasi oleh besi oksida. Selain itu meningkatnya temperatur akhir yang digunakan saat berlangsungnya gradien temperatur dapat menghasilkan %Fe metal yang lebih tinggi.

Gambar 5. Hubungan %Fe metal terhadap temperatur

Perbedaan antara pelet setelah direduksi menggunakan metode isotermal dengan metode isotermal - gradien temperatur dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6(a) adalah pelet bersama penampang yang dihasilkan pada temperatur 1100oC selama 90 menit dan sebelumnya telah dilakukan firing 1250oC selama 60 menit. Sedangkan Gambar 6 (b) adalah pellet setelah direduksi bersama penampangnya dengan menggunakan metode isotermal-gradien temperatur pada temperatur akhir 1180oC dan Gambar 6(c) adalah pelet setelah direduksi bersama penampang dengan menggunakan metode isotermal-gradien temperatur pada temperatur akhir 1380oC.

Gambar 6. Metode isotermal (a)[2],Metode isotermal - gradien temperatur (b) dan (c)

Pengaruh Penambahan Aditif Na2CO3

Penambahan aditif dimaksudkan untuk menghasilkan produk yang lebih baik atau mempercepat proses. Berdasarkan Gambar 7, % metalisasi yang dihitung dari data kehilangan berat menunjukkan kecenderungan meningkat dengan penambahan Na2CO3. Secara umum, persen metalisasi tertinggi dicapai pada penambahan 5% Na2CO3.

Kurva yang terbentuk dari data perhitungan persen metalisasi dan penambahan Na2CO3 memperlihatkan hasil yang fluktuatif. Fluktuatifnya kurva diakibatkan dari hasil percobaan yang memiliki standar deviasi yang besar terutama ketika temperatur rendah. Pada temperatur 1180oC, standar deviasi dapat mencapai 24% yaitu pada penambahan 3% Na2CO3. Walaupun demikian, dapat dilihat bahwa persen metalisasi cenderung meningkat seiring penambahan Na2CO3.

Gambar 7. Hubungan % metalisasi dengan penambahan Na2CO3 pada berbagai temperatur akhir reduksi

Gambar 8 menunjukkan bahwa penambahan 5% Na2CO3 dapat meningkatkan %Fe

metal. Walaupun perbedaannya cukup kecil dan semakin menyempit pada temperatur akhir yang lebih tinggi. Ini menunjukkan bahwa ada titik optimum %Fe metal yang dapat dicapai saat reduksi atau telah mendekati %Fe total pada sampel tersebut.

Gambar 8. Hubungan %Fe metal hasil titrasi dengan temperatur akhir reduksi Perubahan Volume Pelet Setelah Reduksi

Pada metode reduksi yang digunakan ini terjadi pengurangan volume atau shringkage dari produk besi spon. Perilaku perubahan volume yang terjadi berbeda dengan yang diprediksi oleh Chateerjee[7] yang menyatakan bahwa saat reduksi bijih magnetit volume produk akhir menyusut sebanyak 4 hingga 5%. Gambar 9 memperlihatkan hubungan antara persen reduksi dengan penyusutan volume pelet setelah reduksi. Penyusutan rata-rata volume bernilai 26,68% dengan nilai penurunan terendah 8,07% dan tertinggi pada 43,18%.

Gambar 9. Hubungan persen penyusutan volume dengan persen reduksi

Fenomena shrinkage pada produk besi spon ini dikarenakan pada awalnya mineral dominan pada pasir besi adalah magnetit. Perlakuan firing atau proses hematisasi seperti yang dilakukan pada penelitian sebelumnya tidak dilakukan pada percobaan ini, maka mineral magnetit hanya mengalami swelling yang sedikit saat tereduksi menjadi wustit. Sedangkan pada saat wustit tereduksi menjadi besi metal akan terjadi penyusutan volume karena pertumbuhan inti besi[8].

Pelet hasil reduksi yang dihasilkan sangatlah berbeda dengan pelet hasil reduksi yang dihasilkan pada penelitian yang dilakukan oleh Fu’adi[2]. Pelet hasil reduksi ini sangat keras dan relatif sulit untuk dibelah karena adanya lapisan besi metal pada permukaan bola besi spon yang telah dijelaskan sebelumnya.

Pemisahan Oksida Pengotor dari Besi Metal

Metode gradien temperatur yang diajukan Sasabe[5] menyebutkan bahwa oksida pengotor khususnya titanium dapat terpisah dari besi metal. Fenomena ini juga ditemui pada metode isotermal – gradien temperatur yang digunakan pada percobaan ini. Perbedaan metode pada penelitian ini dengan metode Sasabe adalah gradien temperatur dari temperatur kamar ke temperatur 1000oC diganti dengan isotermal pada temperatur 980oC selama 30 menit.

Terpisahnya oksida pengotor, khususnya titanium oksida sudah dapat diamati pada temperatur di atas 1280oC. Hasil X-ray mapping dengan perbesaran 200x pada Gambar 10 terlihat jelas bahwa ada bagian yang banyak mengandung elemen-elemen oksida yang berkumpul pada lokasi tertentu dan terpisah dari elemen besi. Unsur titanium sendiri terdapat pada bagian oksida pengotor yang terpisah dari besi.

Gambar 10. X-ray mapping pada penampang besi spon dengan temperatur akhir reduksi

1380oC dan penambahan 5%Na2CO3, perbesaran 200x

Pada uji X-ray mapping selanjutnya dilakukan dengan pembesaran yang lebih kecil yaitu 30x. X- ray mapping dilakukan pada bagian perbatasan bagian luar dan dalam sehingga didapat persebaran yang mewakili kedua daerah. Hasil X-ray mapping dari pelet setelah direduksi pada perbesaran 30x ditunjukkan pada Gambar 11. Gambar 11(a) memperlihatkan bahwa unsur besi masih menyebar namun hanya terdapat sedikit di bagian dalam atau tengah. Ini ditunjukkan dengan warna merah yang tidak dominan di bagian tengah. Sedangkan unsur Ti masih menyebar. Gambar 11(b) menunjukkan bahwa unsur Ti yang masih dalam bentuk oksida berkumpul ke daerah yang lebih tengah. Unsur oksigen juga ikut terdeteksi di daerah tersebut yang dapat diprediksi bahwa unsur pengotor dan sebagian unsur besi masih dalam bentuk oksida.

Gambar 11. X-ray mapping dari pelet setelah direduksi dengan reduktor bed batubara pada

Hasil X-ray mapping untuk sampel yang ketiga pada Gambar 12(a) memperlihatkan