• Tidak ada hasil yang ditemukan

METODE PENELITIAN

Dalam dokumen Journal of Islamic Studies (Halaman 25-33)

Jenis penelitian yang dipakai pada penelitian ini adalah penelitian studi kepus-takaan (library research) yakni dengan cara mengumpulkan beberapa data dan informa-si dari berbagai macam buku maupun litera-tur-literatur yang ada, dokumen-dokumen maupun catatan-catatan yang erat kaitanya dengan objek penelitian yang sedang diteliti.22

Sifat penelitian yang dilakukan ini adalah bersifat Deskriptif-Analitis. Metode pendekatan yang dipakai pada penelitian ini terdiri dari beberapa metode pendekatan yaitu; Pendekatan Yuridis; Dalam hal ini peneliti akan mengkaji berbagai kekurang-an atau kelemahkekurang-an berbagai aturkekurang-an hukum yang menyangkut anak luar nikah, Pendekatan Normatif; mendekati masalah yang diteliti dengan berdasarkan pada teks teks al-Quran, al-Hadis, Kaidah Ushul Fiqih serta pendapat ahli hukum Islam yang ada kaitannya dengan masalah yang diteliti. Pendekatan Historis; Dalam hal ini peneliti mengkaji terhadap pengungkapan sejarah, sosial, politik maupun budaya mengenai eksistensi peraturan perundang-undangan yang menyangkut mengenai mengenai ma-salah status hukum anak di luar nikah. Pendekatan Filosofis; pemecahan masalah dengan melalui proses berfikir yang menda lam, mendasar dan terarah dalam penemuan hakikat mengenai suatu hal yang ada dan mungkin ada.23

Teknik pengumpulan data yang diguna kan dalam penelitian pustaka, maka teknik pengumpulan data yang dipakai yakni dengan teknik pengumpulan (inventarisir) data literal yang terdiri dari data primer, sekunder dan tertier yang ada kaitanya 21Roihan A. Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,

2006), h. 68.

dengan masalah yang diteliti. Dengan demikian maka metode yang dipakai yakni dengan cara mengumpulkan beberapa data dengan melakukan jalan studi kepustakaan. Peneliti di sini memilih beberapa buku yang erat kaitannya dengan masalah yang diteliti yakni masalah status hukum anak di luar nikah.

Kewenangan peradilan dalam asal usul anak

Mahkamah Konstitusi (MK) telah membuat suatu terobosan hukum lewat judicial review Pasal 43 ayat (1) UU No 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan secara bersyarat. Dalam hal ini MK telah memu-tuskan bahwa anak luar nikah tidak hanya mempunyai hubungan hukum dengan ibunya saja, namun anak luar nikah tersebut juga memiliki hubungan hukum dengan ayah biologisnya sepanjang bisa dibuktikan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi atau alat bukti lain menurut hukum.

Apabila untuk membuktikan hubungan darah atau biologis, maka hal tersebut bisa melalui tes DNA, namun apakah hubungan hukum tersebut nantinya menjadi anak ya-ng sah atau bukan yaya-ng berakibat memun-culkan beberapa hak baru bagi si anak, dalam hal ini diprediksi dampak tersebut terhadap peradilan akan banyak kecenderu-ngan tren gugatan yang diajukan untuk mendapatkan hak waris anak luar nikah dari ayah biologisnya tersebut.

Persoalan mengenai asal-usul seorang anak (nasab) dalam Hukum Islam dapat diketahui melalui tiga sebab yakni (1) melalui jalan al-Firasy yakni berdasarkan pada kelahiran karena adanya pernikahan yang sah, (2) melalui jalan iqrar, yakni suatu pengakuan yang dilaksanakan oleh seseorang terhadap seorang anak dengan menyatakan jika anak tersebut adalah anak-22Mardalis, Metode Penelitian Suatu Pendekatan Proposal, Cet. 10, (Jakarta: Bumi

Aksara, 2008), h. 28.

23Hadari Nawawi dan Mimi Martini,

nya, (3) melalui jalan bayyinah, yakni melalui metode pembuktian yang berdasar-kan kepada bukti-bukti yang sah seorang anak tersebut memang benar anak si Fulan. Untuk yang terakhir ini termasuk juga anak yang lahir dari wathi syubhat serta anak yang lahir dari pernikahan fasid. dalam hal ini maka dapat diketahui bahwa dalam hukum Islam kedudukan anak terbagi men-jadi dua bagian yakni anak yang dapat diketahui hubungan darah dengan bapak-nya serta anak yang tidak dapat diketahui hubungan darah dengan bapaknya. Anak yang tidak diketahui secara jelas hubungan darah dengan bapaknya maka secara otoma tis hanya memiliki hubungan keperdataan dengan ibu yang melahirkan sang anak tersebut, dalam hal ini sang anak bisa me-miliki hubungan keperdataan dengan bapak nya, apabila bapaknya itu mengakuinya sang anak tersebut.24

Regulasi untuk masalah pencatatan pernikahan di Indonesia telah diatur dalam beberapa pasal peraturan perundang-unda-ngan. Misalnya Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 1 tahun 1974 Mengatur “Tiap tiap perkawinan dicatat menurut pe-raturan perundang undangan yang berla-ku”. Pencatatan dilakukan oleh pegawai

pencatat nikah (PPN) sebagaimana dimak-sud oleh Undang Undang Nomor 32 tahun 1954 tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk. Adapun tata cara pencatatan nikah berpedoman kepada ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 9 tahun 1975. Kemudi-an Pasal 10 ayat (3) PeraturKemudi-an Pemerintah Nomor 9 tahun 1975 menentukan bahwa perkawinan dilaksanakan dihadapan pega-wai pencatat yang dihadiri oleh dua orang saksi. Fungsi pencatatan nikah disebutkan

24Tim Penyusunan Naskah Analisa Hukum Islam Tentang Anak Luar Nikah, Analisa Hukum

Islam tentang anak luar nikah, (Jakarta: Direktorat

Pembinaan Peradilan Agama Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Penyelenggaraan Haji Departemen Agama RI, 2004), h. 69.

25Pasal tersebut memiliki tujuan dalam rangka penerbitan administrasi pernikahan karena pernikahan merupakan suatu perbuatan hukum

pada angka 4.b penjelasan umum Undang Undang Nomor 1 tahun 1974:

“Pencatatan tiap tiap perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa peristiwa penting dalam kehidup-an seseorkehidup-ang, misalnya kelahirkehidup-an,kemati- kelahiran,kemati-an ykelahiran,kemati-ang dinyatakkelahiran,kemati-an dalam surat surat keterangan, suatu akta yang juga dimuat dalam daftar pencatatan.

Perintah Pasal 2 ayat (2) Undang Undang Nomor 1 tahun 197425 untuk me-laksanakan pencatatan terhadap suatu per-nikahan yang dilaksanakan tersebut dituju-kan kepada segenap warga negara Indone-sia, baik warga tersebut berada di Indonesia ataupun berada di luar wilayah Indonesia. Untuk warga negara Indonesia yang melaksanakan pernikahan di luar wilayah Indonesia pun diatur dengan peraturan yang terdapat dalam di dalam Pasal 56 Undang Undang Nomor 1 tahun 1974

(1) Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang wargane-gara Indonesia atau seorang warganewargane-gara Indonesia dengan warga negara Asing adalah sah bilamana dilakukan hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan dan bagi warga negara Indonesia tidak melanggar ketentuan Undang-undang ini.

(2) Dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami istri itu kembali di wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatat perkawinan tempat tinggal mereka.

Dalam Pasal 10 ayat (3) Peraturan Pemerintah tahun 1975 mengatur bahwa pernikahan harus dilakukan di depan pegawai pencatat nikah yang dihadiri oleh dua orang saksi. Pada Pasal 11 ayat (1) dan

yang memiliki banyak relasi serta implikasi hukum, terutama antara suami-istri dan orang tua-anak. Dengan adanya pencatatan tersebut, selain untuk ketertiban administrasi, juga untuk memberikan perlindungan hukum, terutama pada istri dan anak. Lihat Agus Moh Najib, Pengembangan Metodologi

Fikih Indonesia dan Kontribusinya bagi Pembentukan Hukum Nasional, Cet I, (Jakarta:

FORPERTAIS Vol. I No. I Juli – Desember 2017 ayat (3) dinyatakan bahwa sesaat sesudah

pernikahan dilaksanakan, kemudian kedua mempelai menandatangi akta pernikahan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat nikah tersebut. Dengan adanya penandata-nganan akta pernikahan tersebut, maka pernikahan tersebut telah tercatat secara resmi dan sah menurut hukum positif. kemudian pada Pasal 13 ayat (2):

Kepada masing masing suami isteri diberikan kutipan akta perkawinan terse-but. Dengan diperolehnya kutipan akta perkawinan itu perkawinan mereka telah dinyatakan sebagai perkawinan yang mempunyai hak mendapat pengakuan dan perlindungan hukum.

Kalau kita cermati, Perintah undang-undang untuk mencatatkan pernikahan berlaku juga bagi bangsa Indonesia yang memeluk agama Islam, namun bedanya bahwa pencatatan pernikahan bagi umat Islam dilakukan di kantor urusan agama (KUA) kecamatan setempat, adapun bagi warga Indonesia yang beragama non Islam, maka pencatatan perkawinannnya dilaku-kan di dilaku-kantor catatan sipil setempat.

Pengakuan anak yang dalam hukum Islam dikenal dengan lembaga istilhaq dimana pengakuan tersebut dilakukan oleh seorang mukallaf (baligh, serta berkemauan keras) bahwa yang bersangkutan merupa-kan ayah seorang anak yang tidak diketahui nasabnya, pada dasarnya hampir sama dengan konsep yang ada di dalam KUHP perdata. Di dalam KUHP perdata pengaku-an pengaku-anak dibagi menjadi dua yakni: pertama: pengakuan yang dilakukan secara sukarela kemudian yang kedua pengakuan anak ya-ng dipaksakan. Peya-ngakuan sukarela merupa kan suatu pengakuan yang dilaksanakan oleh seseorang dengan suatu cara yang te-lah ditentukan oleh undang-undang, bahwa dia merupakan bapaknya (ibunya) terhadap seorang anak yang telah dilahirkan di luar nikah.

Konsekuensi hukumnya maka dengan adanya pengakuan tersebut, timbulah hubu-ngan Perdata antara si anak dehubu-ngan si ayah (ibu) yang telah mengakuinya tersebut.

Sementara pengakuan anak yang dipaksa-kan merupadipaksa-kan suatu pengakuan yang dila-kukan oleh si anak yang lahir di luar pernikahan tersebut, dengan jalan mengaju-kan gugatan terhadap ayah atau ibunya kepada Pengadilan, di mana penggugat meminta agar anak luar nikah dalam arti sempit itu diakui sebagai anak dari ayah atau ibunya tersebut.

Anak luar nikah yang dapat diakui adalah anak luar kawin dalam arti sempit, yaitu anak yang terlahir dari ibu dan bapak yang tidak terikat pernikahhan yang sah baik di antara mereka maupun dengan orang lain (tidak tergolong anak zina atau anak sumbang).

Menurut Ahmad Husni ada beberapa syarat yang dibutuhkan untuk pengakuan anak secara tidak langsung pada umumnya hampir sama dengan syarat-syarat pada pengakuan anak untuk diri sendiri, namun untuk pengakuan anak secara tidak langsu-ng, syaratnya ditambah dua lagi yakni (1) bahwa orang yang dihubungkan nasab kepadanya tersebut membenarkan jika dia benar memiliki hubungan nasab dengan seseorang yang dihubungkan masa kepada-nya tersebut, (2) bahwa ada beberapa saksi yang kemudian membenarkan pengakuan tersebut dari orang yang dihubungkan na-sab kepadanya serta saksi-saksi tersebut dibutuhkan apabila orang lain yang dihubu ngkan nasab kepadanya tersebut tidak mem benarkan pengakuan yang dilakukannya tersebut.

Jika beberapa syarat untuk pengakuan anak baik untuk diri sendiri ataupun untuk kepentingan orang lain telah terpenuhi, maka pengakuan tersebut menjadi sah secara hukum. Demikian pula jika seorang lelaki melakukan hubungan badan dengan seorang wanita di luar nikah sampai wanita tersebut menjadi hamil, kemudian lelaki yang melakukan hubungan badan di luar nikah tadi atau orang lain yang bukan menanam benih di rahim wanita tersebut, selanjutnya menikah dengan wanita hamil tersebut, maka anak yang dilahirkan dari wanita tersebut menjadi anak yang sah. Hal

ini dikarenakan sebab apabila seorang lelaki bersedia menikahi wanita hamil tersebut, maka hal tersebut artinya secara diam-diam lelaki tersebut telah mengakui anak yang lahir dari pernikahan tersebut, kecuali jika lelaki (suami) wanita tersebut melakukan pengingkaran dengan cara lian. Ketentuan tersebut sejalan dengan aturan dalam fiqih Syafii, yang menyebutkan bahwa wanita hamil karena zina26bisa saja dinikahi oleh laki-laki yang bukan meng-hamilinya dan dianggap sah sebagai suami isteri dengan segala akibat hukumnya yang timbul. Dengan demikian maka lelaki dan wanita yang menikah tersebut bisa melaku-kan hubungan badan tanpa menunggu kela-hiran anak yang dikandung oleh isterinya tersebut, sebagaimana diutarakan oleh Imam Hanafi. Demikian pula mengenai kedudukan anak yang dilahirkan tersebut menjadi anak sah dari suami isteri yang telah menikah tersebut meski bukan dari orang yang menghamili wanita tersebut.

Di dalam Pasal 53 Kompilasi Hukum Islam Indonesia dijelaskan bahwa laki-laki yang telah menghamili boleh menikahi dengan wanita yang telah dihamili tersebut. ini bertujuan agar tidak terjadi percampuran nasab anak yang lahir tersebut jika wanita yang hamil tersebut nikah dengan orang yang bukan menghamilinya. Pada dasarnya jika terdapat suatu alasan yang kuat menge-nai motivasi tentang pengakuan anak, baik untuk diri sendiri ataupun untuk orang lain, tidak ada masalahnya hakim mengambil pendapat sebagaimana yang diutarakan oleh Syafii meski syarat yang dijelaskan oleh Imam Hanafi di atas bisa dijadikan 26Agama Islam mengajarkan bahwa hubungan yang terlalu bebas antara laki laki dan wanita yang bukan muhrimnya dibatasi. Hal ini untuk menghindari terjadinya perbuatan zina. Lihat Husni Rahim, Sistem Otoritas Administrasi Islam, (Jakarta: Logos. 1998), h. 120.

27Pembuktian yang berlaku di Peradilan Agama mengacu kepada Pasal 164 HIR, Pasal 284 R.Bg dan Pasal 1866 BW yakni bukti tertulis (surat), bukti dengan saksi-saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Lihat Chatib Rasyid dan Syaifuddin,

Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktik

dasar untuk menetapkan pengakuan anak untuk wanita hamil dan melahirkan anak. Pada prinsipnya Hukum Islam memiliki ciri khas bahwa kita harus semampunya dalam menggali hukum terhadap persoalan persoa lan baru termasuk juga pengembangan DNA sebagai salah satu metode untuk pem-buktian di Pengadilan27, Hal ini dikarena-kan hukum-hukum yang berasal dari al-Quran dan al-Sunnah sangat terbatas.28 Adapun persoalan-persoalan yang dapat diijtihadi ialah persoalan-persoalan hukum

syari yang tidak memiliki dalil yang qathy.29

Ijtihad mempunyai beberapa metode yang berbeda dengan pemikiran

(bebas-liberal) manusia dalam membentuk suatu

hukum sebab dalam ushul fikih telah diten-tukan bagaimana metode-metode yang bisa diterapkan untuk menggali suatu hukum yang semuanya berpangkal kepada syariah. 30

Dalam hal penyelesaiannya suatu ka-sus yang ada kaitannya dengan pelacakan asal usul anak dimana dalam hal ini ada seorang anak dan seseorang yang patut di-duga dan diindikasikan sebagai orang tua dari anak tersebut, maka metode pembukti-an pelacakpembukti-an asal usul pembukti-anak tersebut bisa dilakukan dengan cara DNA diambil lang-sung dari tubuh sang anak dan dari tubuh orang tua dari anak tersebut, selanjutnya di-cocokan diantara keduanya tersebut. Sete-lah dilakukan pemeriksaan dengan cermat kemudian kesimpulannya jika ada kesama-an maka artinya kesama-antara skesama-ang kesama-anak dengkesama-an orang yang patut diduga sebagai orang tuanya ada hubungannya dan sebaliknya

pada Peradilan Agama, (Yogyakarta: UII Press,

2009), h. 108.

28Muhammad Alwi al-Maliki, Syariat

Islam Pergumulan Teks dan Realitas, (Yogyakarta:

eLSAQ press, 2003), h. 139.

29TM Hasbi Ash Shiddieqy, Kelengkapan

Dasar-dasar Fiqih Islam: Pengantar Ushul Fiqih,

Cet I, (Medan: Islamiyah, 1953), h. 57.

30Abdul Ghofur Anshori dan Yulkarnain

Harahab, Hukum Islam Dinamika dan

Perkembangannya di Indonesia, Cet. I (Yogyakarta:

FORPERTAIS Vol. I No. I Juli – Desember 2017 jika tidak ada kesamaan antara sang anak

dengan orang yang patut diduga sebagai orang tuanya maka artinya tidak ada hubu-ngannya. Maka dari itu seorang hakim harus juga memahami beberapa konsep dalam pembuktian melalui tes DNA dalam menyelesaikan perkara anak luar nikah.

Adapun uraian metode yang dipakai dalam pembuktian pelacakan asal usul anak dengan cara tes DNA di atas dilakukan de-ngan tiga langkah yakni: pertama mengam-bil DNA dari salah satu organ tubuh manu-sia yang di dalamnya dijumpai sel yang masih hidup; kedua DNA yang telah diam-bil tersebut selanjutnya dicampur dengan zat kimia berupa proteinase yang dalam hal ini memiliki fungsi untuk menghancurkan sel, dalam hal ini larutan tersebut bercam-pur menjadi satu antara zat protein, zat karbohidrat, zat lemak, DNA dan zat lain-nya; ketiga Dengan memisahkan antara bagian yang satu lainnya selain dengan bagian DNA dengan memakai larutan Fenol. Kemudian setelah tahapan tahapan tersebut dilalui, maka baru dapat diketahui bentuk dari DNA yang berupa suatu larutan kental serta akan terilustrasikan juga tenta-ng identitas seseoratenta-ng yatenta-ng sedatenta-ng dilacak tersebut dengan melalui cara membaca tanda-tanda yang telah tergambar tersebut. Pengaruh terhadap Budaya Hukum di Masyarakat

Dewasa ini, kondisi sosial semakin memprihatinkan hal ini dikarenakan hubu-ngan seksual pranikah semakin marak dila-kukan di Negara Indonesia tanpa lagi mem-perhatikan nilai-nilai agama dan norma hu-kum. Bahkan tidak jarang dari hasil hubung an seksual pra nikah tersebut sampai kemu-dian melahirkan seorang anak. Jika kondisi ini terjadi, maka bisa dipastikan bahwa

31Aditya Nugroho Pradana, “Harmonisasi Peraturan Perundang-Undangan Terhadap Anak Luar Kawin Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010”, Tesis Magister,

Malang: Universitas Brawijaya, 2013, h. 4.

kehadiran seorang anak tidak lagi merupa-kan suatu kebahagiaan namun justru suatu bencana bagi keluarga. Sementara dalam lingkungan sosial, kejadian seperti itu dini-lai sebagai suatu aib bagi keluarga.31

Hukum sebagai suatu kaidah atau nor-ma sosial, tidak bisa terlepas dari beberapa nilai yang berlaku di dalam suatu masyara-kat, bahkan bisa dikatakan apabila hukum merupakan suatu pencerminan serta konkre tisasi terhadap nilai-nilai yang pada suatu waktu berlaku dalam masyarakat.32

Masyarakat hukum merupakan tempat bergeraknya hukum pada kehidupan sehari-harinya yang meliputi sejauh mana kepatu-han masyarakat kepada hukum, kepedulian masyarakat dalam menegakkan hukum un-tuk mendapatkan ketertiban dan kedamai-an.33 Masyarakat hukum Indonesia adalah suatu bangsa yang negaranya berdasarkan pada hukum (rechtstaat), berbentuk repub-lik, dengan sistem pemerintahannya ber-bentuk demokrasi. Masyarakat ini pada dasarnya merupakan satu kesatuan masya-rakat hukum yang lebih kecil, yang biasa dikenal dengan sebutan masyarakat hukum adat. Beberapa kesatuan masyarakat hukum yang lebih kecil tersebut merupakan suatu bentuk dari masyarakat tradisional yang mempunyai beberapa tradisi hukum tersen-diri yang keberadaannya diakui. Oleh kare-na itu, sebagai suatu sistem masyarakat hukum, beberapa kesatuan masyarakat hu-kum tersebut mempunyai beberapa kompo-nen sistem tersendiri. Maka dari itu, mereka juga mempunyai suatu struktur sosial, sis-tem budaya, sissis-tem pendidikan, sissis-tem fil-safat, sistem konsep hukum, sistem pem-bentukan dan sistem penerapan hukum yang serba khas dan berbeda dengan lainnya.

32Soerjono Soekanto, Pokok-Pokok

Sosiologi Hukum, Cet. XX, (Jakarta: Raja GrafindoPersada, 2011), h. 16.

33Muhammad Joni dan Zulchaina Z Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam

Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: Citra

Pada tingkatan yang lebih besar, masyarakat hukum Indonesia mempunyai satu kesatuan hukum (hukum nasional)34 yang menyelesaikan seluruh sistem hukum pada kesatuan-kesatuan masyarakat yang lebih kecil tersebut. Pada tingkatan yang lebih besar ini, maka sistem hukum masya-rakat Indonesia dibentuk oleh masyamasya-rakat hukum Indonesia itu sendiri, lewat suatu sistem perwakilan. Sistem pembentukan tersebut terutama berlaku dalam pemben-tukan peraturan perundangan dari tingkatan yang tertinggi. Adapun pada tingkatan yang lebih rendah pembentukan serta penjabar-an peraturpenjabar-an tersebut dilakspenjabar-anakpenjabar-an oleh lembaga administratif yang ada pada lem-baga eksekutif.

Sementara itu pembangunan hukum di Negara Indonesia diarahkan menuju pemba ngunan masyarakat hukum yang lebih be-sar. Pembangunan tersebut difokuskan pa-da upaya untuk melakukan kodifikasi, unifikasi, serta penyusunan berbagai pera-turan perundang-undangan yang paling mendesak dibutuhkan pada pembangunan tersebut. Berbagai kendala yang dihadapi pada pembangunan bidang ini yakni ber-bagai kesulitan yang bersumber dari karak-teristik masyarakat Indonesia, yakni (1) ada nya berbagai keragaman sistem kemasyara-katan, berbagai tradisi hukum, adanya plu-ralisme hukum yang berasal dari peninggal an pada sistem kolonial, adanya perbedaan tingkat pendidikan serta kesejahteraan, ada nya sikap tradisional yang cenderung untuk menolak adanya perubahan, kebiasaan ketaatan terhadap berbagai tradisi lokal. Hal tersebut merupakan beberapa sebab

34Pembinaan hukum nasional diarahkan untuk melakukan pembaharuan, kodifikasi serta unifikasi pada bidang hukum tertentu dengan mempertimbangkan kesadaran hukum yang ada dalam masyarakat. Lihat Arso Sosroatmodjo dan A Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia, (Jakarta: Bulan Bintang, 2004), h. 18.

35Anwar Harjono, Hukum Islam

keluasan dan Keadilannya, (Jakarta: Bulan

Bintang, 2004), h. 132.

yang menyulitkan dalam proses kodifikasi dan unifikasi hukum; kedua, berbagai kebia saan diatur oleh hukum adat35 yang selalu mempertimbangkan perasaan hukum serta rasa keadilan, merupakan penyebab lainnya yang juga mempunyai pengaruh yang kuat terhadap proses terebut; ketiga, sistem ko-munikasi diantara masyarakat dengan wa-kil-wakilnya yang kurang lancar, kurang-nya pemahaman masyarakat untuk melaku kan berbagai saluran komunikasi untuk menyampaikan berbagai aspirasinya, ada-lah sebab lain yang besar pengaruhnya bagi kualitas hukum yang dibentuk tersebut.36

Budaya hukum masyarakat indonesia harus diarahkan untuk membentuk sebuah sikap dan perilaku anggota masyarakat agar selalu sesuai dengan nilai dan norma pancasila.37 Pada awalnya, budaya masya-rakat hukum Indonesia merupakan budaya hukum yang tidak tertulis (unwritten law), atau budaya yang hidup, tumbuh serta berkembang di dalam masyarakat (living

law). Budaya hukum tersebut hidup dalam

setiap kesatuan kecil masyarakat hukum Indonesia, dengan demikian, budaya hu-kum masyarakat Indonesia merupakan bu-daya hukum living law.38Namun masyara-kat hukum Indonesia dalam perkembang-annya selanjutnya juga terbiasa dengan budaya hukum yang tertulis, yang pada intinya merupakan implikasi dari proses kolonialisme yang ada di Indonesia. Bu-daya hukum kedua tersebut diperkenalkan oleh kolonialisme Belanda yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental. Kedua

Dalam dokumen Journal of Islamic Studies (Halaman 25-33)