• Tidak ada hasil yang ditemukan

Migrasi ke Luar Negeri (Transnational

Migration)

Hingga akhir dasawarsa 1980-an, migrasi tenaga kerja internasional masih dipandang dalam perspektif ekonomi politik, yaitu

Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan pada ketidaksamaan tingkat

upah secara global, hubungan negara pengirim dan negara penerima, perpindahan modal, peran perusahaan multinasional, serta perubahan struktur tenaga kerja internasional (lihat misalnya, Mulyadi, 2003 dalam Safrida, 2008). Umumnya migrasi internasional berhubungan dengan pertumbuhan ekonomi dan transisi demograi suatu negara. Ketika pertumbuhan penduduk lebih tinggi dari

pertumbuhan ekonomi,

kesempatan kerja yang tersedia di suatu negara tidak mencukupi, maka migrasi internasional merupakan suatu pemecahan masalah (Tjiptoherijanto, 1997). Di sisi lain, penduduk di negara-negara yang lebih maju telah mencapai tingkat kesejahteraan tertentu sehingga tidak mau lagi terlibat ke dalam pekerjaan-pekerjaan berupah rendah dan keterampilan rendah. Oleh karena itu, jenis pekerjaan ini dimasuki oleh pekerja-pekerja dari negara miskin. Contohnya, pekerjaan konstruksi dan perkebunan di Malaysia yang mempekerjakan buruh-buruh dari Indonesia, serta pekerjaan teknisi, jasa, dan pekerjaan domestik di negara-negara Timur Tengah (lihat antara lain Syahriani, 2007 dalam Safrida, 2008). Buruh migran yang memiliki latar belakang pendidikan rendah umumnya ditempatkan sebagai pembantu

rumah tangga, sopir, dan buruh perkebunan (Safrida, 2008: 22).

Menurut sejarahnya, migrasi tenaga kerja Indonesia ke luar negeri (transnational migration) telah terjadi sejak zaman kolonial. Pada sekitar tahun 1969-1979, hampir 50% total tenaga kerja migran Indonesia bekerja di negara-negara Eropa, terutama negeri Belanda. Kemudian, dalam tahun 1979-1989, arus tujuan berpindah ke negara-negara Timur Tengah, dan setelah tahun 1989 negara tujuan bertambah ke negara-negara Asia Timur seperti Hong Kong, Taiwan, dan Korea Selatan, serta Asia Tenggara seperti Singapura dan Malaysia. Perubahan negara tujuan terjadi karena terjadinya perubahan

perkembangan ekonomi

dan peraturan keimigrasian, khususnya mengenai buruh migran di negara-negara tersebut (Tjiptoherijanto, 1997:45).

Saat ini jumlah TKI terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 1983, jumlah TKI yang tercatat sebesar 27.671 orang dan pada tahun 1992 meningkat menjadi 158.750 orang. Dari jumlah tersebut, jumlah TKI perempuan lebih besar dari jumlah TKI laki-laki. Antara tahun 1983-1992 jumlah buruh migran perempuan meningkat rata-rata 12,1% per tahun, sementara Migrasi Internasional, Remitansi, dan Perubahan Agraria

buruh migran laki-laki naik 6,3% per tahun (Tjiptoherijanto, 1997: 43-45). Peningkatan jumlah TKI perempuan disebabkan agen-agen pengerah tenaga kerja migran Perusahaan Jasa Tenaga Kerja Indonesia (PJTKI melalui calo atau sponsor justru memfasilitasi calon TKI perempuan (atau Tenaga Kerja Wanita/TKW) dengan memberikan “uang bekal” sebelum keberangkatan. Besarnya uang bekal berbeda-beda tergantung pada agen dan dapat digunakan oleh keluarganya. Memang pada akhirnya TKW itu sendiri yang akan membayar kembali uang bekal yang diberikan calo atau sponsor, baik melalui pemotongan gaji atau dilunasi pada akhir kontrak kerja.

Dalam 10 tahun terakhir dapat kita lihat bahwa penerimaan buruh industri, perdagangan, dan jasa di kota mensyaratkan secara ketat batasan umur dan tingkat pendidikan. Mereka yang tidak dapat memenuhi persyaratan tersebut, kemudian menjadi TKI/TKW. Calon TKW, khususnya untuk menjadi pekerja domestik, tidak membutuhkan tingkat pendidikan tertentu, tidak mensyaratkan ijazah, batasan umur yang diminta tidak ketat

(sampai dengan umur 40 tahun, asalkan lulus tes kesehatan) dan sering kali lebih disukai perempuan yang sudah menikah. Jika sektor ekonomi perkotaan lebih suka mempekerjakan perempuan, begitu pula dengan rekrutmen buruh migran yang memudahkan persyaratan bagi perempuan, terutama yang datang dari pedesaan.

Praktik-praktik ini secara tidak langsung merupakan akibat kebijakan pemerintah yang mendorong peningkatan jumlah pengiriman buruh migran ke luar negeri demi mengatasi masalah pengangguran di dalam negeri serta kebutuhan akan devisa negara yang makin meningkat. Pemerintah sendiri sejak tahun 1985 telah mendorong pengiriman buruh migran ke luar negeri atau disebut sebagai “ekspor tenaga kerja” di dalam dokumen Repelita IV. Walaupun pengiriman buruh migran telah dilakukan sejak tahun 1980-an, sejak krisis Asia tahun 1997/1998 yang berpengaruh besar pada penutupan sejumlah besar industri manufaktur di Indonesia, pemerintah lebih gencar lagi mendorong pengiriman buruh migran (lihat Graik 1).

Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan

Grafi k 1 Pertumbuhan Jumlah Buruh Migran Perempuan dan Laki-laki Selama 1983-2007

Sumber: BNP2TKI, 2008

Terlepas dari kualitas data mengenai jumlah buruh migran transnasional yang terdokumentasi (legal), Grai k 1 memperlihatkan bahwa sejak tahun 1996 terjadi peningkatan jumlah buruh migran yang tinggi yaitu 517.160 orang dibanding pada tahun sebelumnya (1995) sebanyak 120.886 orang (BNP2TKI, 2008). Secara keseluruhan jumlah

dan perkembangan TKI dapat dilihat pada tabel-tabel berikut. Data dalam tabel-tabel berikut merupakan data yang belum mencakup jumlah buruh migran yang bekerja secara ilegal baik dalam pengertian tanpa dokumen resmi maupun penduduk yang tinggal di perbatasan dan bekerja pada keluarga atau kerabatnya di negara tetangga dengan menggunakan dokumen pas lintas batas.

Tabel 1.Jumlah TKI Berdasarkan Negara Tujuan tahun 1983-2007

Tahun Jumlah TKI Total

Laki-laki Perempuan 1983 15.676 11.995 27.671 1984 15.897 20.161 36.058 1985 15.756 39.720 55.476 1986 6.390 22.805 29.195 1987 14.482 42.833 57.315 1988 13.264 48.487 61.751 1989 16.143 52.799 68.942 1990 34.699 58.782 93.481 1991 41.368 76.837 118.205 1992 51.608 107.142 158.750

1993 n.a n.a n.a

1994 42.833 132.354 175.187 1995 39.102 81.784 120.886 1996 228.337 288.832 517.169 1997 39.309 195.944 235.253 1998 90.452 321.157 411.609 1999 124.828 302.791 427.619 2000 137.949 297.273 435.222 2001 55.206 239.942 295.148 2002 116.779 363.614 480.393 2003 80.041 213.824 293.865 2004 84.075 296.615 380.690 2005 149.265 325.045 474.310 2006 138.000 542.000 680 2007 152.887 543.859 696.746

Sumber: data 1983-1992 berasal dari Siagian (1996 dalam Tjiptoherijanto 1997), data 1994-2007 dari situs BNP2TKI.

Migr asi Int er nasional: R ealit a dan P er ub ahan K es ejaht er aan 88 Jur

nal Analisis Sosial V

ol. 15 No. 2 Desember 2010

Tabel 2. Jumlah TKI Berdasarkan Negara Tujuan Tahun 1983-2007 No Negara Tujuan 1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000 2001 2002 2003 2004 2005 2006 2007 A. Asia Pasifik 1 Malaysia 41,712 23,909 321,756 36,248 132,950 169,700 191,700 74,390 152,680 89,439 127,175 201,887 219,664 222,198 2 Singapura 15,678 22,982 31,235 35,487 41,045 34,829 25,707 33,924 16,071 6,103 9,131 25,087 28,650 37,496 3 Brunei D. 1,846 997 2,292 2,659 6,246 6,477 4,370 5,736 8,502 1,146 6,503 4,978 4,991 5,952 4 Hongkong 3,306 3,878 3,143 5,282 19,531 12,762 21,709 22,622 20,431 3,509 14,183 12,143 21,251 29,973 5 Taiwan 3,423 4,807 9,535 9,597 17,479 29,372 50,508 35,986 35,922 1,930 969 48,576 48,016 50,810 6 Korea Selatan 3,294 9,141 9,609 8,385 6,837 11,078 6,699 4,092 4,273 7,495 2,924 4,506 4,035 3,830 7 Jepang 0 0 0 0 0 0 0 1,388 444 100 85 102 38 96 8 Lain-lain 1,474 2,163 2,799 3,963 3,823 4,073 3,503 9 1 0 0 12 115 1,711 B. Timur Tengah 9 Arab Saudi 96,533 43,521 127,137 121,965 161,062 131,157 114,067 99,224 213,603 171,038 203,446 150,235 277,619 257,217 10 UEA 1,948 4,640 7,857 9,365 16,961 17,584 9,558 10,672 7,779 1,475 133 5,622 22,684 28,184 11 Kuwait 76 1 29 0 116 4,222 3,771 3,189 16,418 10,268 15,989 16,842 28,075 25,756 12 Bahrain 1 4 0 4 12 113 169 1,542 666 88 0 21 640 2,267 13 Qatar 19 34 81 2 329 561 949 1,012 916 180 62 1,002 7,982 10,449 14 Oman/Tunisia 0 0 0 0 0 0 0 519 1,311 495 0 1,216 5,234 7,150 15 Yordania 0 0 0 0 0 0 6 363 1,233 226 68 2,081 10,978 12,062 16 Lain-lain 133 155 232 401 1,041 999 648 76 35 0 1 0 28 402 C. US dan Eropa 17 USA 3,950 3,445 901 1,074 2,563 3,300 1,302 273 40 171 17 0 0 0 18 Belanda 951 666 187 43 150 290 77 38 55 83 3 0 0 10 19 Lain-lain 843 543 376 781 1,464 1,625 489 93 13 119 1 0 0 1,283

Sumber: Data 1983-1992 berasal dari Siagian (1996 dalam Tjiptoherijanto 1997), data 1994-2007 dari situs BNP2TKI.

Migrasi Int er nasional, R emitansi, dan P erub ahan Agraria

Selain terkait dengan kegagalan pemerintah dalam menyediakan lapangan kerja di dalam negeri sehingga mendorong peningkatan jumlah pengiriman buruh migran ke luar negeri, faktor dominan lain yang mendorong penduduk desa bermigrasi adalah menyempitnya kesempatan atau peluang kerja, terutama bagi masyarakat pedesaan yang miskin karena perubahan agraria yang terjadi di pedesaan. Perubahan agraria yang cepat dalam beberapa dasawarsa terakhir akibat liberalisasi sektor pertanian telah menimbulkan perubahan struktur agraria di pedesaan, baik berupa perubahan struktur kepemilikan tanah maupun struktur lapangan pekerjaan di bidang pertanian. Akibatnya, lahan pertanian menjadi semakin sempit dan biaya produksi pertanian menjadi semakin tinggi, maka banyak dari pekerja sektor pertanian di pedesaan yang terlempar dari sektor ini dan mencari sumber penghidupan (livelihoods) yang lebih baik dengan cara bermigrasi ke kota maupun ke luar negeri.

Berdasarkan data penelitian, menyempitnya peluang atau kesempatan kerja di sektor pertanian, serta terbatasnya peluang untuk memasuki pekerjaan bukan pertanian, menyebabkan bermigrasi ke luar

negeri menjadi pilihan untuk menjadi sumber penghidupan. Pilihan ini juga tidak terlepas dari adanya kebijakan yang dapat dikatakan mempermudah bagi penduduk desa untuk bermigrasi ke luar negeri.

Adanya kebijakan yang mendorong peningkatan jumlah pengiriman buruh migran ke luar negeri demi mengatasi masalah pengangguran di dalam negeri sejak tahun 1980-an menjadi faktor yang memudahkan bagi calon TKI, karena tidak membutuhkan tingkat pendidikan tertentu, tidak mensyaratkan adanya ijazah, batasan umur yang diminta tidak ketat (sampai dengan umur 40 tahun, asalkan lulus tes kesehatan) dan sering kali lebih menyukai perempuan yang sudah menikah. Jika sektor ekonomi perkotaan lebih suka mempekerjakan perempuan, begitu pula dengan rekrutmen buruh migran yang memudahkan persyaratan bagi perempuan, terutama dari pedesaan.

Terkait dengan umur dan tingkat pendidikan, negara-negara yang menjadi tujuan para migran di lokasi studi kebanyakan adalah negara di Timur Tengah yaitu: Arab Saudi, Kuwait. Negara Kawasan Timur Tengah menjadi tujuan para buruh migrant

Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan yang pergi pada rentang waktu

antara akhir 1980-an sampai pertengahan tahun 1995. Mulai tahun 1995 dan seterusnya negara yang menjadi tujuan menjadi lebih banyak seperti Malaysia, Korea, Taiwan, dan Brunei. Seperti diuraikan oleh salah seorang informan bahwa pada tahun 1995 terjadi semacam eksodus tenaga kerja (laki-laki) dengan tingkat pendidikan setingkat SMP dan SMA ke Malaysia dan Korea. Secara rinci negara yang menjadi tujuan dan jenis pekerjaan para migran di Dusun Sengon adalah:

Arab Saudi dengan jenis

pekerjaan PRT, supir pribadi (laki-laki), dan tukang kebun.

Kuwait dengan jenis

pekerjaan PRT, supir pribadi (laki-laki), dan tukang kebun.

Brunei dengan jenis

pekerjaan PRT. Hanya sedikit responden yang pergi ke negara ini.

Malaysia dengan jenis

pekerjaan pelayan restoran, tukang kebun (pemeliharaan jalan tol), buruh perkebunan, industri rumah tangga (sawmill).

Taiwan dengan jenis

pekerjaan menjadi buruh industri atau pengasuh jompo.

Korea dengan jenis pekerjaan

menjadi buruh industri.

Pilihan pekerjaan menjadi pembantu rumah tangga (PRT) dalam hal ini terkait dengan tingkat pendidikan yang rendah dan minimnya ketrampilan dan pengetahuan. Bahkan di antara rumah tangga responden terdapat responden yang bekerja pada saat belum menyelesaikan sekolah tingkat SD (putus sekolah) dan/atau selepas sekolah tingkat SD tanpa mempunyai pengetahuan mengurus rumah tangga. Sementara itu, responden yang bekerja selain sebagai PRT, mempunyai tingkat pendidikan sedikit lebih tinggi yaitu setingkat SMP dan setingkat SMA dan melakukan pekerjaan yang membutuhkan pengetahuan dan ketrampilan tertentu. Tabel berikut memperlihatkan rentang umur TKI di lokasi studi serta negara tujuan, serta tabel-tabel yang memperlihatkan kaitan antara rendahnya pendidikan dengan jenis pekerjaan dan negara tujuan.

Tabel 1. Usia Saat Pertama Berangkat ke Luar Negeri Rentang Umur Jumlah RT %

< 15 4 8 15 – 20 11 22 21 – 30 12 24 31 – 40 3 6 Tidak Ingat 20 40 Jumlah 50 100

Sumber: Data Penelitian tahun 2009

Tabel 2. Tingkat Pendidikan Tingkat Pendidikan Jumlah RT %

Tingkat Dasar 27 54

Sekolah Menengah Pertama 14 28

Sekolah Menengah Atas 7 14

Perguruan Tinggi - 0

Tidak Bisa Diideniikasi 2 4

Jumlah 50 100

Sumber: Data Penelitian tahun 2009

Tabel 3. Negara Tujuan

Negara Tujuan %

Negara Timur Tengah (Saudi Arabia, Kuwait, Syria, dan Lebanon) 62 Negara Asia Timur (Korea Selatan, Taiwan, Hong Kong) 15 Negara Asia Tenggara (Malaysia, Brunei Darussalam) 23

Jumlah 100

Sumber: Data Penelitian tahun 2009

Tabel 4. Jenis Pekerjaan

Jenis Pekerjaan Jumlah RT % Pembantu Rumah Tangga, Penjaga Jompo 39 78

Buruh kolam ikan 1 2

Restoran (pelayan, jasa pembersih) 2 4

Buruh pabrik 4 8

Buruh perkebunan 3 6

Buruh industri kecil 1 2

Jumlah 50 100

Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan Berdasarkan data dalam Tabel

2 dan Tabel 3 terlihat bahwa terdapat kaitan antara tingkat pendidikan dengan negara yang dituju oleh TKI serta jenis pekerjaan yang dilakukan. Walaupun demikian, saat ini memang sudah terdapat variasi dalam hal jenis pekerjaan dan negara tujuan yang dituju oleh responden. Dalam beberapa kasus, responden dengan pendidikan setingkat SMP yang tadinya bekerja sebagai PRT di negara Timur Tengah mulai berpindah negara tujuan dan jenis pekerjaan, yaitu Malaysia dan Taiwan dengan jenis pekerjaan sebagai buruh pabrik atau penjaga orang jompo. Variasi lainnya yaitu adanya responden yang menjadi PRT berpindah negara tujuan atau kota tujuan. Hal tersebut disebabkan adanya aturan yang menempatkan migran tidak bisa menuju tempat yang sama pada tahun berikutnya.

Mengenai pekerjaan sebelum menjadi migran, rata-rata

responden menyatakan

pekerjaan sebelumnya adalah buruh tani, yaitu menjadi tenaga buruh harian atau borongan (nandur, nderep). Akan tetapi, dari beberapa responden yang diwawancarai sebenarnya mereka pernah bekerja bukan sebagai buruh tani, tetapi karena hanya dilakukan beberapa bulan, jadi tidak dianggap sebagai pekerjaan. Sementara responden

lainnya dinyatakan belum pernah bekerja karena selepas sekolah mereka langsung memutuskan untuk menjadi migran ke luar negeri. Tabel 5 di bawah ini memperlihatkan pekerjaan utama responden dalam rumah tangga.

Tabel 5. Pekerjaan Utama Responden dalam Rumah

Tangga Pekerjaan Utama dalam Rumah Tangga Jumlah RT % Buruh tani 12 24

Bagi hasil dan penyakap 14 28 Pemilik tanah 6 12 Usaha kecil 5 10 Peternakan 4 8 Tidak bekerja 2 4 Guru sekolah 1 2 Ibu rumah tangga 3 6 Pamong desa 1 2 Supir kendaraan sewaan 1 2 Sponsor 1 2 Jumlah 50 100

Sumber: Data Penelitian tahun 2009

Dari tabel tersebut terlihat bahwa 52% responden merupakan buruh tani dan penyakap yang sangat tergantung pada pertanian; dan rumah tangga hanya akan mendapatkan penghasilan pada musim panen atau musim tanam saja. Di luar itu, otomatis tidak ada pendapatan lain sehingga Migrasi Internasional, Remitansi, dan Perubahan Agraria

harus berhutang kepada tetangga untuk memenuhi kebutuhan hidup sampai musim tanam atau musim panen berikutnya. Berdasarkan data wawancara, diketahui pula bahwa dalam rumah tangga sebenarnya ada lebih dari satu mata pencaharian, tetapi mata pencaharian tersebut juga merupakan mata pencaharian dengan penghasilan kecil. Pilihan menjadi buruh migran dalam hal ini bisa dipahami sebagai pilihan yang paling mungkin untuk dilakukan untuk memperbaiki penghidupan yang selama ini sulit untuk dipenuhi.

Bagian III. Migrasi dan