• Tidak ada hasil yang ditemukan

Migrasi dan Perubahan Agraria

Merujuk pada hasil penelitian Hayami dan Kikuchi di daerah Subang, konsep perubahan agraria adalah terjadinya perubahan dalam pola produksi pertanian dan distribusi pendapatan pada komunitas pedesaan yang melibatkan perubahan-perubahan besar pada pranata (kelembagaan), seperti hak milik atas harta benda dan penetapan-penetapan perjanjian (Hayami dan Kikuchi, 1981:3).5 Dengan demikian, perubahan agraria yang dikemukakan oleh Hayami & Kikuchi tidak langsung tertuju pada tanah, tetapi lebih pada bagaimana input teknologi pertanian (bibit, pupuk, mekanisasi, irigasi) telah mengubah hubungan kerja (pranata) antara pemilik tanah dengan buruhnya (misalnya tenaga panen digantikan dengan

tebasan atau bergantinya

nilai/tingkat upah hubungan penyakapan antara petani pemilik dengan penggarap) dan membuat masyarakat menjadi terstratiikasi berdasarkan tingkat ekonomi.

5 Lihat khususnya halaman 183-216. 5 Lihat khususnya halaman 183-216.

Sementara itu, hasil studi lain yang pernah dilakukan di Desa Mariuk, melihat perubahan agraria secara lebih spesiik ke arah hubungan antara input teknologi dan tingkat pendapatan rumah tangga petani (Ben White dan Wiradi, 1989). Dalam studi ini juga terlihat terjadinya peningkatan dalam penggunaan teknologi pertanian seperti dalam uraian mengenai perubahan teknologi dan produktivitas padi, yaitu:

Tahun 1971 23% rumah

tangga memakai New Improved Variety (NIV), dan 6% rumah tangga menggunakan Modern Variety (MV). Tetapi pada tahun 1981, 100% rumah tangga sudah memakai MV. Penggunaan pupuk kimia pada

tahun 1971 sudah digunakan oleh 89% rumah tangga. Dan, pada tahun 1981 meningkat menjadi 100% rumah tangga yang menggunakan pupuk kimia.

Rata-rata dosis pupuk

sebanyak 135 kg/ha pada

tahun 1971 meningkat menjadi 257 kg/ha pada tahun 1981.

Rata-rata panen padi 2,5

ton/ha pada 1971 meningkat menjadi 3,8 ton/ha pada 1981.

Mekanisasi berupa

digunakannya traktor juga meningkat. Penggunaan traktor di Mariuk sudah lama dilakukan (terlihat sejak survei pertama tahun 1968-1973). Dari 2 traktor meningkat 90% di tahun 1981.6

Sama halnya dengan penelitian yang dilakukan Hayami & Kikuchi (1981), penelitian Ben White dan Wiradi (1989) juga mencatat bahwa aspek ekonomi lebih ditekankan dalam melakukan analisis, dibandingkan aspek politik, sosial, dan ideologi, terutama dalam melihat perubahan agraria, yang diturunkan ke dalam hal-hal berikut:

Perubahan dalam produksi

padi.

6 Hal penting yang ditemukan dalam penelitian ini adalah bahwa perubahan-perubahan teknologi tersebut dilakukan baik oleh petani pemilik lahan luas, petani dengan lahan kecil, dan petani penggarap. Hal yang sama juga ditemukan dalam studi sebelumnya, perubahan penggunaan teknologi dan hasil panen tidak dipengaruhi oleh bentuk penguasaan tanah atau land tenure (Sajogjo dan Collier, 1972:14 dalam White dan Wiradi 1989:273).

Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan Bagaimana pendapatan dari

padi didistribusikan di antara pemilik lahan dan petani tanpa lahan.

Walaupun ada tingkat

diversifikasi ekonomi yang tinggi (karena adanya sumber pendapatan non- pertanian), padi masih memberikan pendapatan sampai 2/3 dari total pendapatan pertanian dan 1/5 dari total pendapatan rumah tangga petani.

Analisis terhadap sumber

pendapatan nonpertanian menjadi inklusif di sini.

Kedua hasil studi tersebut

menunjukkan bahwa

masuknya teknologi pertanian memperburuk pendapatan tunakisma petani karena tenaga kerja yang tidak memiliki tanah dan penyakap yang pendapatannya terutama dari nafkah yang diperoleh dari tenaganya akan terus menurun. Dengan demikian perubahan teknologi dalam pertanian tidak bermanfaat bagi si miskin. (Hayami dan Kikuchi, hal. 65, 204, 206-207, 208-209). Dalam bahasa yang agak lain, kesimpulan dari penelitian Ben White dan Wiradi ini antara lain menyebutkan bahwa, walaupun sektor pertanian menghasilkan cukup pendapatan untuk

mempertahankan kehidupan penduduk desa pada tingkat yang minimal, sebagian besar pendapatan dari sektor ini dinikmati oleh rumah tangga petani pemilik lahan besar (≥ 1,0 Ha) yang jumlahnya sedikit, sementara mayoritas rumah tangga petani memiliki pendapatan pertanian yang tidak cukup untuk melakukan reproduksi pertanian. Dengan kalimat lain, bagi mayoritas rumah tangga petani gurem dan buruh tani, pendapatan dari pertanian tidak cukup untuk konsumsi dan menyimpan modal untuk masa tanam baru.

Perbedaannya, Hayami dan Kikuchi (1981:186) lebih memfokuskan pada pandangan mengenai adanya norma sosial (kelembagaan) sehingga masyarakat petani tetap terlihat relatif homogen sedangkan dalam Ben White dan Wiradi secara spesiik terlihat adanya perbedaan berdasarkan “kelas” pemilikan dan penguasaan tanah serta buruh tani, termasuk tunakisma petani dan tunakisma bukan petani. Perubahan ketimpangan dan kemiskinan memang terjadi pada saat produktivitas pertanian mengalami peningkatan, tetapi perubahan tersebut hanya terjadi secara parsial.

Struktur pemilikan dan penguasaan tanah di lokasi studi Migrasi Internasional, Remitansi, dan Perubahan Agraria

pada tingkat desa memang sudah timpang. Merujuk pada hasil studi yang menyangkut penguasaan tanah di lokasi studi terlihat distribusi pemilikan tanah sawah sangat timpang. Di tingkat desa keadaannya sangat mencolok, yaitu dari 114 rumah tangga yang dijadikan sampel, 70% tidak mempunyai sawah dan hanya 30% mempunyai sawah. Dari 114 RT tersebut, rata-rata kepemilikannya pun kecil yaitu 0,50 ha per RT dan 1,67 ha per pemilik (Faisal Kasryno, et.al. 1984).

Jika dibandingkan dengan data penelitian IPS tahun 1970/71, ternyata dalam waktu 10 tahun jumlah tunakisma meningkat sekali. Jumlah rumah tangga tunakisma di tingkat desa yang tadinya berjumlah 33% pada tahun 1970/71 meningkat menjadi 70% pada tahun 1979/81. Dengan demikian, telah terjadi peningkatan persentase sebanyak 37% (Faisal Kasryno, et.al. 1984).

Ketimpangan tersebut juga ditunjukkan oleh data Proil Desa pada tahun 2009 (data tahun 2008). Terlihat bahwa 38% adalah keluarga pemilik tanah sawah, sementara 61,7% keluarga tidak memiliki tanah sawah. Dari 38% keluarga pemilik tanah tersebut (600 keluarga), 47,2% di antaranya merupakan keluarga yang memiliki tanah kurang dari

1 ha; sementara jumlah keluarga yang memiliki tanah lebih dari 10 Ha hanya 4 keluarga (0,7%).

Berdasarkan data survei, dari 50 rumah tangga yang dijadikan sampel hanya terdapat 8 rumah tangga (16%) yang memliki tanah, baik dari hasil bekerja sebagai TKI maupun berasal dari warisan. Dari 8 rumah tangga tersebut, 4 rumah tangga memiliki tanah yang berasal dari warisan dan 4 rumah tangga lainnya memiliki tanah dari hasil bekerja sebagai TKI. Pada kenyataannya pemilikan tanah sawah oleh rumah tangga yang menjadi sampel juga kecil, yaitu rata-rata 0,4 ha. Secara rinci, dari 8 rumah tangga tersebut, satu rumah tangga memiliki tanah seluas 1,4 ha, kemudian 6 rumah tangga memiliki 0,35 ha dan 1 rumah tangga memiliki 0,28 ha. Tabel 7 memperlihatkan keluarga yang memiliki tanah sawah dan tidak memiliki tanah sawah.

Tabel 7. Rumah Tangga yang Memiliki dan Tidak Memiliki

Tanah Sawah

Jenis Keluarga Jumlah Rumah Tangga % Memiliki Tanah Sawah 8 Tidak Memiliki Tanah Sawah 42 Jumlah 50

Sumber: Data Lapangan Tahun 2009

Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan Selain melalui pemilikan,

penggarapan tanah oleh rumah tangga dilakukan melalui penyakapan yaitu sewa, bagi-hasil, serta menerima gadai dari pemilik tahan lain. Jadi, dari 42 rumah tangga yang tidak memiliki tanah, 19 rumah tangga di antaranya menguasai tanah sawah melalui mekanisme sewa, bagi-hasil, dan menerima gadai. Sejumlah empat rumah tangga menguasai tanah melalui sewa, 5 rumah tangga menguasai melalui bagi-hasil serta 8 rumah tangga menguasai tanah sawah melalui gadai, yaitu sebagai penerima gadai. Tabel 8 memperlihatkan secara rinci pemilikan dan penguasaan tanah rumah tangga di lokasi studi.

Tabel 8. Pemilikan dan Penguasaan Tanah Sawah

Rumah Tangga Pemilikan dan Penguasaan Tanah Sawah Jumlah Rumah Tangga % Pemilikan Beli 4 8 Warisan 4 8 Penguasaan Sewa 4 8 Bagi-hasil 5 10 Gadai 8 16 Tunakisma Mutlak 25 50 Jumlah 50

Sumber: Data Lapangan Tahun 2009

Berdasarkan data yang ada, luas tanah yang dikuasai rumah tangga melalui penyakapan juga kecil, yaitu berkisar antara 0,2 ha sampai di atas 1,5 ha. Dari 16 rumah tangga yang melakukan penyakapan, sebanyak 5 (lima) rumah tangga menguasai tanah dengan luas antara 0,1 ha – 0,5 ha. Jumlah rumah tangga yang bisa menguasai tanah dengan luas antara 0,6 ha – 1,0 ha agak banyak dibanding dengan luas tanah yang lain, yaitu 7 rumah tangga. Dari 7 rumah tangga tersebut, 4 rumah tangga di antaranya menguasai tanah dengan cara maro. Tabel 10 memperlihatkan luas penyakapan tanah rumah tangga di Dusun Sengon.

Tabel . Luas Penyakapan oleh Rumah Tangga di Dusun

Sengon Luas Penyakapan (ha) Jumlah Rumah Tangga % 0 33 66 0,1 – 0,5 5 10 0,6 – 1,0 9 18 1,0 – 1,5 3 6 Jumlah 50 100

Sumber: Data Survei tahun 2009 Hal lain menyangkut penyakapan, rumah tangga yang menyakap hampir semuanya berakhir tahun 2009. Menurut informan dan responden, saat ini sulit karena selain terbatasnya tanah yang Migrasi Internasional, Remitansi, dan Perubahan Agraria

akan digadaikan, juga karena faktor harga yang cenderung terus naik. Bagi penduduk Dusun Sengon, selama harga gadai maupun harga sewa masih bisa dijangkau maka hal tersebut akan terus dilakukan.

Dalam hal produksi pertanian, hampir seluruh proses produksi pertanian dilakukan dengan menggunakan tenaga buruh upahan (harian) atau borongan, mulai dari saat penanaman sampai saat panen. Selain penggunaan buruh harian atau buruh borongan, petani kebanyakan sudah menggunakan cara tebasan dalam memanen padi, dan tidak lagi menggunakan tenaga rumah tangga atau buruh upahan secara langsung. Secara ekonomi hitungan antara tebasan dan memanen sendiri relatif sama. Dalam tebasan keuntungan bisa diperkirakan hanya sekitar 1 sampai 2 kuintal saja. Pilihan untuk menebas hasil panen, karena tebasan lebih praktis. Responden hanya menerima bersih saja tanpa harus memikirkan upah bawon bagi tenaga nderep. Hal lain yang mempengaruhi pilihan untuk menggunakan cara tebasan adalah jenis varietas yang ditanam oleh kebanyakan petani pemilik tanah di Dusun Sengon yaitu varietas padi jenis IR 42 yang mempunyai nilai

jual tinggi. Varietas padi IR 42 mempunyai nilai jual yang lebih tinggi dibanding jenis padi IR 10. Harga jual padi jenis IR 42 adalah Rp 300.000,00/kuintal, sementara harga jual padi jenis IR 10 berkisar antara Rp. 220.000,00 sampai Rp. 250.000,00 per kuintal. Pilihan varietas padi tersebut jelas menguntungkan, oleh karena itulah petani pemilik tanah lebih suka memanen dengan cara tebasan untuk mengurangi biaya produksi.

Dengan demikian, dalam hubungan antara petani dan tengkulak, terjadi hubungan yang saling menguntungkan. Petani di satu sisi tidak lagi harus memikirkan atau mengeluarkan bawon yang merepotkan. Di sisi lain, mandor tebasan hanya tinggal menaksir harga hasil panen. Mandor tebasan hanya tinggal membayar dan pemilik menerima bersih hasil panen.

Dalam hubungan tersebut, posisi mandor tebasan tetap lebih tinggi, karena bisa menekan harga panen. Bagi pemilik tanah sawah, yang terpenting adalah mendapatkan uang. Dalam hubungan ini juga kadang terjadi tawar-menawar antara pemilik tanah dengan mandor tebasan, tergantung dari kebutuhan masing-masing pihak. Hitungan untung-rugi sangat tergantung

Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan pada perkiraan mandor tebasan

dalam menilai hasil panen tanah sawah tertentu.

Penggunaan tenaga tebasan inilah yang dalam lingkup perubahan agraria telah mengubah cara produksi serta kelembagaan yang sebelumnya ada, serta makin memperkecil peluang atau kesempatan petani dalam mendapatkan penghasilan.

Bagian V. Penutup

Secara umum, migrasi tenaga kerja dan remitansi membawa pembangunan ke desa-desa.

Responden menyatakan

bahwa migrasi dan remitansi telah menyediakan beberapa bentuk jaminan mendapatkan pendapatan yang lebih tinggi dan mendapatkan pekerjaan yang lebih permanen. Situasi ini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan ketidakpastian ekonomi dengan semakin sempitnya kesempatan kerja di daerah perkotaan telah mempengaruhi meningkatnya jumlah migrasi tenaga kerja internasional,

Sehubungan dengan adanya peningkatan laju migrasi ke luar negeri, mata pencaharian rumah tangga pedesaan juga berubah.

Rumah tangga buruh migran di luar negeri sangat bergantung pada kiriman uang dari para migran. Meskipun tidak dikirim secara teratur dan tidak pasti, setidaknya, mereka memiliki sesuatu untuk bergantung, terutama untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan biaya pendidikan anak-anak.

Migrasi dan remitansi secara keseluruhan dipengaruhi oleh adanya perubahan produksi pertanian dan kepemilikan tanah di kedua desa, meskipun tidak sebagai faktor tunggal. Perlu dicatat bahwa ketimpangan kepemilikan lahan pertanian telah lama, jauh sebelum maraknya migrasi internasional. Studi ini menemukan bahwa distribusi kepemilikan tanah tidak berubah meskipun remitansi cukup signiikan mengalir ke desa. Hal tersebut terlihat dari hanya sedikit rumah tangga migran yang bisa membeli tanah, sementara lainnya hanya bisa melakukan penyakapan melalui sewa atau gadai.

Dalam hal ini, dapat disimpulkan bahwa migrasi internasional dan remintasi tidak mempengaruhi struktur agraria di desa-desa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertanian masih memainkan peranan penting dalam mata pencaharian desa dan rumah Migrasi Internasional, Remitansi, dan Perubahan Agraria

tangga. Oleh karena itu, menjual lahan pertanian untuk biaya keperluan migrasi tidak disukai. Mendapatkan pinjaman dari rentenir (pemimpin desa dan agen tenaga kerja) dianggap lebih baik dibandingkan dengan menjual tanah, meskipun dengan tingkat bunga tinggi.

Dengan demikian, berdasarkan hasil studi migrasi, remitansi, dan perubahan agraria didapat beberapa kesimpulan sebagai berikut:

Perubahan kepemilikan/ 1.

penguasaan tanah tidak menyebabkan terjadinya peningkatan jumlah orang bermigrasi ke luar negeri. Pernyataan tersebut berarti bahwa pertama, kondisi kepemilikan tanah di Desa Mariuk memang sudah timpang yaitu dengan terdapatnya kira-kira 80 yang memiliki tanah sementara 20 tidak mempunyai tanah; kedua, perubahan penguasaan tanah di Desa Mariuk juga sangat kecil, perpindahan penguasaan tanah hanya terjadi pada lapisan petani dengan kepemilikan dan penguasaan yang kecil 0,5 bahu sampai 1 ha; ketiga, perubahan kepemilikan dan penguasaan tanah bukan

untuk keperluan menjadi migran tetapi untuk membeli tanah di lokasi lain yang lebih murah; dan keempat, tidak ditemui adanya responden yang menjual tanah sawahnya untuk biaya atau modal menjadi migran ke luar negeri. Terdapat satu kasus seorang responden yang menjual tanah pekarangan untuk biaya/ modal ke luar negeri, karena tidak ada tetangga yang bersedia meminjamkan uang kepadanya.

Remintansi tidak

2.

menyebabkan terjadinya perubahan agraria dalam arti akumulasi penguasaan tanah. Remitansi tidak ditujukan untuk membeli tanah sawah, tetapi lebih ditujukan untuk memperbaiki rumah atau membeli tanah pekarangan. Memperbaiki rumah dalam hal ini merupakan tujuan utama bagi rumah tangga migran karena kebanyakan rumah-rumah penduduk Sengon tidak layak huni (tidak ada ventilasi, tidak ada sarana MCK, dan masih terbuat dari bilik dengan saluran buangan yang juga tidak layak).

Rumah tangga responden yang bisa memiliki/

Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan menguasai tanah sawah

lebih disebabkan harga tanah masih mampu dijangkau. Rumah tangga responden saat ini hanya mampu menguasai tanah dengan cara kebanyakan yaitu gadai dan beberapa dengan cara sewa. Gadai lebih banyak dipilih juga bukan untuk kepentingan akumulasi modal untuk membeli tanah, tetapi semata-mata untuk mengelola uang supaya tidak habis untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga karena tidak adanya mata pencaharian lain di luar pertanian. Sementara sewa dipilih oleh rumah tangga karena alasan biaya yang lebih rendah yaitu Rp. 12.000.000,00 pertahun, dengan alasan yang sama dengan gadai.

Perubahan agraria yang 3.

terjadi di Desa Mariuk (khususnya Dusun Sengon) tidak berkaitan dengan adanya migrasi. Meningkatnya harga tanah sawah lebih disebabkan karena luktuatifnya harga gabah yang kebanyakan ditanam oleh penduduk yaitu IR 42. Kemudian terjadinya perubahan institusi dalam penguasaan tanah juga tidak disebabkan oleh adanya migrasi ke luar negeri, perubahan institusi penguasaan tanah lebih disebabkan karena alasan tingginya biaya saprodi pertanian. Oleh karena itu, kebanyakan atau hampir semuanya menggunakan cara tebasan untuk memanen padi untuk mengurangi biaya buruh tani dan secara ekonomi lebih menguntungkan.

DAFTAR ACUAN

Bagchi, A.K. 2008. “Immigrants, Morality and Neoliberalism: Development and Changes”. Vol. 39 (2)

Bromley, Ray & Chris Gerry. 1979. Casual Work and Poverty in Third World Cities

Ghosh, B. 2006. Migrants’ Remittances and Development: Myths, Rhetoric and Realities. The Hague: IOM.

Haas, H.d. 2005. International Migration, Remittances and Development: Myth and facts. Third World Quarterly. Vol 26 (8) Hayami, Y. & M. Kikuchi. 1981. Dilema Ekonomi Desa: Suatu Pendekatan Ekonomi terhadap Perubahan Kelembagaan di Asia

Kasryno, Faisal. 1984. Prospek Pembangunan Ekonomi Pedesaan Indonesia. Yayasan Obor Indonesia.

Mc Gee, TG. 1988. The Urbanization Process in the Third World: Exploration in Search of A Theory,

Safrida. 2008. “Dampak Kebijakan Migrasi terhadap Pasar Kerja dan Perekonomian Indonesia.” Disertasi Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor.

Tjiptoherijanto, P. 2000. “International Migration: Process, System and Policy Issues.” Dalam A. Haris Sukamdi & P. Brownlee, Labour Migration in Indonesia: Policies and Practices. Yogyakarta: Population Studies Center Gadjah Mada University.

Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan

Buruh Migran Perempuan