• Tidak ada hasil yang ditemukan

Migrasi dan Penghidupan (Nafkah)

Migrasi yang dilakukan oleh penduduk di lokasi penelitian dapat dikatakan sebagai sumber penghidupan ditengah kondisi menyempitnya peluang kerja. Poin penting dalam konsep penghidupan dapat dianggap sebagai strategi untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Pakpahan dan Pasandaran (1990, dalam Agusanty, et al. t.th:7)3 menyebutkan bahwa masalah mempertahankan kelangsungan hidup

berbeda-beda menurut derajatnya, mulai dari mempertahankan masalah hidup dan mati sampai dengan mempertahankan hidup agar dapat menjalankan aktivitas sehari-hari seperti mampu bekerja secara normal sesuai dengan jenis pekerjaannya masing-masing. Lapangan pekerjaan yang tersedia bagi rumah tangga merupakan sumber tersedianya pendapatan bagi rumah tangga yang bersangkutan. Seberapa luas tersedianya lapangan pekerjaan dapat dimanfaatkan sesuai dengan keterampilan yang dimiliki setiap anggota rumah tangga dan akan menentukan derajat tingkat pendapatan bagi rumah tangga tersebut.

Pendekatan livelihood dapat diidentikkan dengan strategi mendapatkan nafkah, yaitu berbagai upaya yang dilakukan seseorang untuk memanfaatkan berbagai sumber daya yang dimilikinya untuk mendapatkan penghasilan sehingga mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya, melalui mata pencaharian. Dalam hal ini, mata pencaharian secara umum dapat dimaknai sebagai pekerjaan yang menjadi pokok penghidupan

3 Agusanty, H. dan A.A. Arief. “Kemitraan Usaha dan Jaringan Sosial Pembudidaya Rumput Laut di Kabupaten Takalar (Studi Kasus Desa Punaga, Kecamatan Mangarabombang).” Jurnal Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan, Universitas Hasanuddin.

Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan dan menjadi realitas jaminan

kehidupan seseorang atau negara untuk memanfaatkan segala kemampuan dan tuntutannya serta kekayaan yang dimilikinya. Melalui pekerjaan ini pula diharapkan masing-masing individu mampu mendapatkan penghasilan untuk membiayai kebutuhannya sehari-hari. Mata pencaharian meliputi pendapatan (baik yang bersifat tunai maupun barang), lembaga-lembaga sosial, relasi gender, hak-hak kepemilikan yang diperlukan guna mendukung dan menjamin kehidupan (Depdikbud 19834 ; Ellis 1998; Chambers dalam Nurmalinda 2002). Dengan kata lain, sistem mata pencaharian adalah wujud karya manusia yang dilakukan guna mendapatkan nafkah bagi pemenuhan kehidupan sehari-hari dan menjadi pokok penghidupan baginya.

Merujuk kembali pada data dalam Tabel 5, terlihat bahwa 52% rumah tangga merupakan buruh tani dan penyakap. Pada kenyataannya rumah tangga yang melakukan penyakapan hanya mampu menyakap tanah dengan ukuran yang kecil. Data tersebut juga menunjukkan

bahwa di lokasi studi antara penduduk yang memiliki tanah dengan penduduk yang tidak memiliki tanah perbandingannya lebih banyak yang tidak mempunyai tanah. Dalam memenuhi kebutuhan hidup setelah masa tanam dan masa panen, rumah tangga lebih banyak mengandalkan berhutang kepada tetangga yang akan dibayar setelah panen. Hal itu diistilahkan dengan yarnen, yang merupakan kependekan dari bayar setelah panen.

Besarnya pendapatan (gaji) yang diterima oleh responden yang menjadi TKI ke negara-negara Timur Tengah secara rata-rata sampai tahun 2008 tidak mengalami kenaikan. Jumlah pendapatan yang berkisar antara 600 real atau 450 dinar, atau setara dengan dengan Rp. 1.000.000,00 atau Rp. 1.200.000,00 atau lebih berdasarkan nilai tukar yang berlaku. Besarnya pendapatan baru naik pada tahun 2009 menjadi 800 real, itu pun baru merupakan informasi yang diterima secara luas di kalangan penduduk Dusun Sengon. Walaupun demikian, jumlah pendapatan tersebut masih dianggap lebih besar dibanding Migrasi Internasional, Remitansi, dan Perubahan Agraria

4 Tim penyusun. 1983. Sistem Ekonomi Tradisional Sebagai Perwujudan Tanggapan Masyarakat terhadap Lingkungan Daerah Kalimantan Selatan. Banjarmasin: DEPDIKBUD dalam http://fuzah07.wordpress.com/2009/04/04/sistem-mata-pencaharian/].

menjadi buruh tanah, walaupun secara relatif tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Jika dibuat semacam pola besarnya pendapatan berdasarkan nilai tukar uang asing, maka besarnya pendapatan dalam rentang tahun antara tahun 1980an akhir sampai saat ini adalah:

Tahun 1987 – 1990-an:

Rp. 300.000,00 s/d Rp. 400.000,00

Tahun 1998 (ketika krisis):

• Rp. 700.000,00 Tahun 1998 – 2008: Rp. • 1.100.000,00 s/d Rp. 1.500.000,00

Pengiriman pendapatan kepada keluarga oleh TKI tidak dilakukan secara reguler, dalam arti setiap bulan sekali. Responden secara rata-rata mengirim uang 3 sampai 5 bulan sekali. Mungkin ini juga berhubungan dengan adanya pemotongan yang dilakukan oleh pihak Perusahaan Penyalur dalam 5 bulan pertama. Di sisi lain, pengiriman pendapatan ini juga tergantung dari permintaan keluarga di Indonesia. Artinya, jika keluarga di Indonesia membutuhkan uang baik untuk kebutuhan hidup, tambahan biaya perbaikan rumah, biaya berobat atau lainnya, maka TKI baru mengrim.

Rata-rata jumlah uang (pendapatan) yang dibawa pulang oleh TKI adalah sekitar Rp. 15.000.000,00 sampai Rp. 20.000.000,00. Pola penggunaan uang yang dilakukan oleh rata-rata rumah tangga di lokasi studi secara rinci seperti terlihat dalam Tabel 6 sebagai berikut:

Tabel 6 Pola Penggunaan Remitansi oleh Rumah Tangga Kepergian Penggunaan Pertama Membayar hutang/memenuhi kebutuhan sehari-hari Kedua Membeli pekarangan atau membangun atau memperbaiki rumah Ketiga Membeli, menyewa, atau menerima gadai tanah sawah

Sumber: Data Lapangan 2009 Dengan demikian, penggunaan uang kiriman atau pendapatan TKI memang tidak dikhususkan untuk membeli tanah sawah. Penggunaan uang kiriman atau pendapatan paling banyak untuk gabungan antara memenuhi kebutuhan sehari-hari (biaya kebutuhan makan, sekolah anak, atau membiayai pengobatan orang tua) atau memperbaiki rumah. Jika responden belum mempunyai rumah maka uang kiriman atau pendapatan

Migrasi Internasional: Realita dan Perubahan Kesejahteraan digunakan untuk membeli dan

sekaligus membangun atau memperbaiki rumah.

Dalam beberapa kasus, terdapat rumah tangga responden yang bisa menguasai tanah dengan cara membeli atau menerima gadai dan/atau menyewa tanah. Rumah tangga responden yang bisa membeli sawah adalah responden yang memang pergi dalam rentang waktu yang cukup lama, dan uang kiriman memang untuk membeli sawah. Tanah-tanah sawah tersebut bisa dibeli oleh responden karena harganya masih murah yaitu Rp. 50.000.000,00 per hektare.

Beberapa rumah tangga responden lain menguasai tanah dengan cara menerima gadai sebesar Rp. 50.000.000,00 untuk jangka waktu 2 tahun atau 4 kali panen. Kemudian cara lainnya adalah dengan cara menyewa tanah sawah sebesar Rp. 10.000.000,00 s/d Rp. 12.000.000,00 untuk satu tahun atau 2 kali panen. Menurut responden, saat ini pun sudah mulai sulit untuk menyewa atau menerima gadai karena harga tanah yang terus meningkat. Setelah krisis sampai saat ini, menurut beberapa responden, harga tanah sawah sudah mencapai

harga Rp. 180.000.000,00 s/d Rp. 200.000.000,00.

Bagian IV. Migrasi dan