• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KONTEKS BUDAYA DAN SEJARAH KEDIRI

2.3 Mitos dan Sejarah Kota Kediri

2.3.1 Mitos di Kota Kediri

Menurut Endraswara (2005: 163) mitos disebut juga mite (myth). Mite

adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh empunya cerita. Karena itu, dalam mite sering ada tokoh pujaan yang dipuji atau sebaliknya (ditakuti). Baik tokoh mite yang dipuji maupun yang ditakuti

implikasinya selalu muncul dalam bentuk penghormatan. Penghormatan yang disebut ada kalanya juga sering dimanifestasikan dalam wujud pengorbanan. Pemahanan atas cerita yang bernuansa mitos ini pada kenyataannya menjadi sebuah keyakinan yang berlebihan dan mempengaruhi pola pikir masyarakat kearah takhyul. Sehingga, tidak jarang masyarakat menganggap keramat suatu mitos. Mite biasanya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia, maut, binatang, topografi, gejala alam, dan sebagainya.

Dalam masyarakat Jawa, dikenal berbagai macam cerita rakyat. Artinya, ragam cerita prosa seperti mitos, legenda, dan dongeng yang berkembang di masyarakat. Dalam cerita-cerita rakyat itu, banyak yang berbau dongeng. Pemahaman mereka atas dongeng pun lalu menyempit, hanya terbatas pada tokoh hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda keramat lainnya. Sedangkan, cerita yang tokohnya dominan manusia mereka pahami sebagai cerita rakyat (Endraswara, 2005: 163).

Demikian juga kebanyakan cerita rakyat atau mitos yang ada di kota Kediri yang menceritakan tentang tokoh manusia di antaranya Prabu Kelono Sewandono (sejarah kuda lumping sesuai dengan cerita Panji Asmorobangun), Totok Kerot, Muksanya Raja Jayabaya, dan Cerita Dewi Kilisuci.

2.3.1.1 Prabu Kelono Sewandono

Alkisah, Pujonggo Anom melaporkan permintaan Dewi Songgolangit yang tidak lain adalah Dewi Sekartaji kepada Prabu Kelono Sewandono. Karena sulitnya permintaan sang pujaan hati, akhirnya keduanya bersemedi mohon

petunjuk kepada Sang Dewata Agung. Di ujung semedinya, Sang Dewata mengabulkan permohonan keduanya sehingga dalam waktu singkat Prabu Kelono Sewandono dapat memenuhi patemboyo (sayembra) Dewi Sekartaji.

Dilain pihak, Prabu Singobarong yang juga menaruh hati pada Sang Dewi, murka karena merasa dilangkahi, maka ditantanglah Prabu Kelono Sewandono. Dengan Pecut Kyai Samandiman, Prabu Kelono Sewandono unggul dalam peperangan dan sebagai tanda penghormatan, bersama Singo Kumbang yang berwujud seekor babi hutan, Prabu Singobarong mengabdikan dirinya sebagai penari untuk melengkapi patemboyo yang diajukan Dewi Sekartaji. Lihat juga (http://www.kotakediri.go.id/news/search/index.php)

2.3.1.2 Totok Kerot

Pada zaman kerajaan Kadiri diperintah oleh Prabu Jayabaya, datanglah seorang raksasa perempuan yang dikenal dengan nama dewi Totok Kerot. Seluruh penduduk merasa ketakutan, karena raksasa itu setiap hari memakan hewan ternak milik mereka. Awalnya penduduk desa tidak ada yang berani melawan raksasa perempuan itu. Namun kemudian penduduk yang merasa resah memberanikan diri untuk mengeroyok raksasa itu. Akhirnya raksasa perempuan itu roboh, tetapi belum mati, lalu Senopati Tunggul Wulung bertanya kepadanya, “Di mana tempat tinggalmu?” Jawab raksasa itu, “Rumahku di Lodoyong (Lodaya), di tepi laut selatan,”. Kemudian Tunggul Wulung bertanya lagi katanya, “Apa maksudmu masuk ke daerah kami?” Raksasa itu pun menjawab dengan lantang katanya, “Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk kujadikan suamiku.”

Semua perkataan raksasa perempuan itu disampaikan Tunggul Wulung kepada Sang Prabu Aji Jayabaya. Kemudian Sang Prabu mendatangi tempat raksasa perempuan itu dan menjumpainya. Sang Prabu Jayabaya bertanya lagi kepada raksasa itu tentang maksud kedatangannya ke Kadiri? Sekali lagi raksasa itu menjawab “Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk kujadikan suamiku.” Kemudian Sang Prabu berkata, ”Kalau memang benar demikian kehendakmu dewata tak mengizinkan. Tetapi saya akan memberi tahu kepadamu, kelak setelah aku tiada (muksa), kira-kira dua puluh tahun kemudian, di tanah sebelah barat kerajaan Kadiri ada orang yang mengangkat diri menjadi raja. Kerajaan itu beribu kota di Prambanan. Nama raja itu Prabu Prawatasari, dialah yang akan menjadi jodohmu.”

Sebelum Prabu Jayabaya melanjutkan sabdanya, raksasa itu menghembuskan napas terakhir. Sang Prabu merasa sangat heran hati, lalu memberi perintah kepada Tunggul Wulung sebagai berikut: pertama desa di sebelah selatan Mamenang diberi nama Gumurah. Sebab ketika penduduk desa mengeroyok raksasa perempuan itu dengan bersorak-sorak dan berteriak-teriak sehingga menimbulkan suara hiruk-pikuk yang dalam bahasa Jawa dikatakan

gumurah atau gumerah.

Kedua, raja memerintahkan agar dibuat patung yang serupa dengan raksasa perempuan yang baru meninggal ini, sedang wajahnya hendaklah dipahat serupa dengan wajah patung gupala. Patung raksasa itu diberi nama patung Totok Kerot. Desa tempat patung itu dinamakan desa Nyaen. Tinggi patung itu empat belas kaki atau sekitar 300 cm. Bola matanya sebesar alas cawan atau lepek

(bahasa Jawa), bulat besar, posisinya berlutut. Hingga sekarang patung raksasa perempuan atau Totok Kerot itu masih ada dan terletak di dusun Kunir desa Bulupasar kecamatan Gurah sekitar 8 (delapan) Km di timur kota Kediri. Terdapat banyak versi tentang Cerita Totok Kerot ini sedangkan dalam penelitian ini diambil dari kisah Babad Kadiri atau Cerita Kediri.11

2.3.1.3 Muksanya Raja Jayabaya

Raja Jayabaya dipercaya oleh mayarakat tidak meninggal dunia, melainkan muksa, yaitu sukma dan raganya kembali ke alam kelanggengan secara bersama-sama. Menurut kepercayaan Hindu, seseorang yang telah mencapai tataran muksa dapat dikatakan telah sempurna dalam menjalankan dharmanya selama hidup di dunia. Hal ini berarti bahwa raja Jayabaya dianggap telah mencapai tingkat jiwa tertinggi hingga dianggap muksa atau layak menempati nirwana (Yudoyono, 1984: 39).

Alkisah semasa hidup raja Jayabaya mempunyai seorang permaisuri yang bernama dewi Sara. Dari hasil perkawinannya, raja Jayabaya mempunyai putera empat orang. dewi Pramesti, dewi Pramuna, dewi Sasani dan raden Jayaamijaya. Di saat kehamilan dewi Pramesti telah berumur 9 (sembilan) bulan, selama tujuh hari beliau merasakan kesakitan yang tidak kunjung berhenti. Oleh karenanya, raja Jayabaya beserta permaisuri masuk ke sanggar pamujaan untuk memohon petunjuk dewata. Kemudian raja Jayabaya mendapat bisikan yang mengatakan “

11 Perlu diketahui bahwa tulisan Babad Kadiri dan tulisan Kalam Wadi ini termasuk ceritera “Padalangan”. Jadi ada ketidaksamaan dengan tulisan yang ada di Pustaka Raja, Babad Tanah Jawi, apalagi tulisan Babad Demak. Yang memperbaiki dan menyempurnakan kalimat adalah

Hei… prabu Jayabaya, ketahuilah bahwa cucumu tidak mungkin akan lahir bila kamu tidak melepaskan kedudukanmu sebagai titisan dewa Wisnu. Apabila hal ini terjadi berkepanjangan, maka akan merusakkan segalanya.” (Yudoyono, 1984: 39-40).

Tanggap akan maksud bisikan tersebut raja Jayabaya segera memanggil seluruh perwira dan kerabat kerajaan. Dalam pertemuan itu raja Jayabaya menceritakan kembali wahyu yang dibisikkan dewata kepadanya. Setelah usai memaparkan segalanya raja Jayabaya kemudian melakukan ritual “ngraga sukma” (melepaskan sukmanya) sebagai titisan dewa Wisnu. Tidak lama kemudian dari rahim dewi Pramesti lahirlah bayi laki-laki. Bayi tersebut kemudian diberi nama raden Anglingdarma oleh raja Jayabaya. Tiba-tiba cahaya terang memancar dari tubuh bayi hingga menyilaukan semua yang hadir di situ. Setelah cahaya itu meredup jasad raja Jayabaya seakan ikut meredup dan menghilang. Raja Jayabaya muksa, kembali kealam kelanggengan. Suatu pertanda bahwa beliau telah sempurna dalam menjalankan dharmanya selama hidup di dunia (Yudoyono, 1984: 40).

Cerita mitos ini sangat memberpengaruhi terhadap proses ritual tirakatan di petilasan Sri Aji Jayabaya. Hal ini terlihat jelas dari doa-doa yang dihantarkan kepada Tuhan selalu lewat perantara Sri Aji Jayabaya dan juga pujian-pujian yang menyatakan keluhuran namanya. Lebih terperinci dapat dilihat dalam Bab III dan Bab IV.

2.3.1.4 Dewi Kilisuci

Mitologi masyarakat Kediri mengatakan bahwa nama Kediri berasal dari nama kedi yang artinya mandul atau tidak berdatang bulan dan dikaitkan dengan Rara Kilisuci yang bertapa di gua Selamangleng (kaki gunung Klotok di sebelah barat kota Kediri). Mitologi tersebut disinggung pula dalam makalah Bapak Sunarto Timur mengenai etimologi Kadiri yang dihubungkan dengan semacam kakografi, yaitu berdasarkan kalimat sang rara kêdi ring daha, perkataan kêdi

diartikan: mandul, tidak berdatang bulan. Di dalam bahasa Jawa Kuna kêdi berarti orang dikebiri, bidan, dukun (Kartoadmodjo, 1985: 40).

Walaupun Rara Kilisuci sebagai orang yang mandul namun mempunyai pribadi yang tinggi, mampu melaksanakan segala sesuatu tanpa pertolongan orang lain, atau dhiri yang berarti dapat berdikari. Rara Kilisuci juga tidak mau berhubungan dengan lelaki, tak mau bersuami atau wadat dalam bahasa Jawa. Setelah lama bertapa di gua selomangleng akhirnya Rara Kilisuci pun menjadi Dewi Kilisuci yang menjaga ketentraman hidup pada masyarakat di kota Kediri.

Babad Kediri juga menuliskan bahwa dalam perjalanan waktu, banyak wanita di Kediri yang meniru perbuatan Rara Kilisuci yang dhiri atau angkuh itu, merasa mampu melakukan pekerjaan apapun juga, termasuk pekerjaan kaum lelaki. Tetapi mereka hanya menirukan angkuhnya saja, bukan meniru pribadi yang tidak berhubungan dengan pria dan rela mengorbankan kesenangan duniawi dengan menjadi pendeta yang suci. Perbuatan Rara Kilisuci itu tidak hanya ditirukan kaum wanita, tetapi kaum lelaki juga ikut-ikutan menjadi angkuh atau sombong dan dhiri, namun memiliki sifat seperti wanita. Karenanya bila seorang

pria dari kediri berperang, jika yang menantang perang orang Kediri, maka orang Kediri ini akan menang. Tetapi bila yang menyerbu orang luar atau orang asing terlebih dahulu, orang Kediri biasanya kalah. Sebab wanita itu bila di tempat lain dihormati, tetapi bila di rumah selalu mengalah. Cerita Dewi Kilisuci ini diambil dari buku Babad Kediri.