PROSES DAN FUNGSI RITUAL TIRAKATAN
DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA
DESA MENANG KOTA KEDIRI PROPINSI JAWA TIMUR
SEBUAH KAJIAN FOLKLOR
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Joko Nugroho
NIM : 004114036
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
PROSES DAN FUNGSI RITUAL TIRAKATAN
DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA
DESA MENANG KOTA KEDIRI PROPINSI JAWA TIMUR
SEBUAH KAJIAN FOLKLOR
SKRIPSI
Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat memperoleh Gelar Sarjana Sastra Indonesia
Program Studi Sastra Indonesia
Oleh
Joko Nugroho
NIM : 004114036
PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA JURUSAN SASTRA INDONESIA
FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA
Motto
Tumandang marang Rogo
Kasunyatan ing Jiwo
Halaman Persembahan
ABSTRAK
Nugroho, Joko. 2006. Proses dan Fungsi Ritual Tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota Kediri Propinsi Jawa Timur: Sebuah Kajian Folklor. Skripsi Strata I (S-I). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
Penelitian ini membahas tentang Proses dan Fungsi Ritual Tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur: Sebuah Kajian Folklor. Judul ini dipilih karena ketertarikan penulis terhadap peziarah yang datang untuk meminta berkah di Petilasan Sri Aji Jayabaya, bahkan ada yang tinggal hingga bertahun-tahun tanpa mendirikan rumah.
Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan konteks sejarah dan budaya Kota Kediri, (2) mendeskripsikan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, (3) mendeskripsikan proses ritual tirakatan malam 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, serta (4) melacak dan menjelaskan fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri.
Penelitian ini menggunakan pendekatan folklor sebagai pendekatan utama, sedangkan pendekatan analisis sastra, deskriptif historis, dan, etnografi sebagai pendekatan tambahan. Kerangka teori yang digunakan sebagai bahan referensi adalah teori proses ritual dan upacara keagamaan, serta fungsi-fungsi proses ritual. Penelitian ini menggunakan beberapa teknik pengumpulan data, yaitu: teknik studi pustaka, teknik observasi, teknik wawancara, serta teknik perekaman dan pengarsipan. Nara sumber dalam penelitian ini adalah juru kunci dan peziarah. Tempat penelitian adalah Petilasan Sri Aji Jayabaya.
ABSTRACT
Nugroho, Joko. 2006. Ritual Process and Function of Tirakatan in Petilasan Sri Aji Jayabaya in Menang Village, Kediri City, East java: A Folklor Study. Skripsi Strata I (S-I). Program Studi Sastra Indonesia, Jurusan Sastra Indonesia, Fakultas Sastra, Universitas Sanata Dharma.
This study discuses about the ritual process and function of Tirakatan of Petilasan Sri Aji Jayabaya, Menang Village, Kediri City, East Java: A Folklore Study. This topic is chosen because (1) the special study about this ritual has never been done before. (2) Folklore studies in Indonesia in recent days are still limited.
The aims of this study are (1) to describe historical and cultural context of Kediri region, (2) to describe ritual processes of TirakatanJumat Legi and Selasa Kliwon at Petilasan Sri Aji Jayabaya, Menang, Kediri, East Java, (3) to describe ritual process of Tirakatan malam 1 Suro at that place, and (4) teaching and explaining the ritual process function of Tirakatan at that place.
This Study use folklore approach as the main approach besides literature analysis, describtive historical approach, and ethnography. The theoretical frameworks for this study are theories of ritual process, religious ritual, and functions of ritual process. This study uses the method of library research, observation, interview, and data recording. The informants are the key-keeper and the pilgrims. This study took place at the Petilasan Sri Aji Jayabaya.
KATA PENGANTAR
Pujian penuh syukur pada Tuhan Yang Maha Esa sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi berjudul fungsi dan proses ritual di Petilasan Sri Aji
Jayabaya Desa Menang Kota Kediri Propinsi Jawa Timur melaui tinjauan : teori
foklor. Penulis mengucapkan terima kasih yang sangat dalam kepada:
• Dekan Fakultas Sastra Dr. Fr.B.Alip. M.Pd.,MA dan Ketua Jurusan Sastra
Indonesia Drs. B.Rahmanto, M.Hum yang telah berkenan memberikan
surat ijin penelitian.
• Dosen pembimbing I Drs. Yoseph Yapi.Taum, M.Hum dan S.E. Peni Adji,
S.S., M.Hum selaku dosen pembimbing II yang telah meluangkan waktu
untuk memberikan masukan, koreksi bahasa, dan keleluasaan berproses
bagi penulis dalam menyusun skripsi.
• Dosen pembimbing akademis, Dra. Fr. Tjandra, M.Hum atas kemudahan
dalam bimbingan KRS selama penulis kuliah.
• Seluruh Dosen Sastra Indonesia Universitas Sanata Dharma Yogyakarta
yang telah mendidik penulis selama belajar di jurusan Sastra Indonesia
dengan tekunnya.
• Mbak Nik berdua, mbak Ros, dan seluruh Staf Pengajaran dan
Administrasi Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta atas
kesabarannya menghadapi kebandelan penulis.
• Seluruh Staf Perpustakaan atas bantuan, pelayanan, dan kesabarannya
• Bapak Heri Santoso yang telah memperkaya pengetahuan penulis tentang
sejarah Indonesia dan atas revisi penerjemahan Bahasa Jawa Kromo ke
Bahasa Indonesia yang memusingkan padahal bahasa Ibu penulis sendiri.
• Para nara sumber penelitian baik juru kunci, tetua desa Menang, dan
semua peziarah di Petilasan Sri Aji Jayabaya atas waktu dan kesabaran
menanggapi pertanyaan penulis yang bertubi-tubi.
• Bapak Bardi yang berkenan meminjamkan salinan manuskrip Babad
Kediri yang telah lama penulis cari selama ini. Selamat atas diterbitkannya
buku Babad Kediri.
• Bapak Loo Jit Long dan Ibu Saminah yang telah membesarkan dan
mendidik penulis dengan penuh kasih sayang. Terima kasih juga untuk
Mas Gun sekeluarga atas perhatian saat penulis kuliah. Kalian adalah
keluarga terhebat yang pernah penulis miliki.
• Valentina Yasis Poerwandri Anindita yang mengingatkan penulis untuk
segera lulus karena umur yang sudah mulai merenta di Sastra Indonesia.
• Dita yang selalu memberi dorongan dan Ernes yang selalu terganggu tidur
malamnya karena penulis harus begadang tiap hari.
• Mimi atas pinjaman printernya, lewat Anez.
• Kawan-kawan begadang, Anez, Hepi, Brindel, Hendi, Ernes, Toni,
Ginting, dan Muji atas transfer ilmunya selama ini.
• Teman-teman Gassika yang semburat ke seleruh pelosok tanah air, kalian
• Teman-teman di Sindo dan Bengkel Sastra yang telah memperkaya
wawasan penulis dalam bidang jurnalistik dan teater.
• Kelik, Ami, Hendro, Santi, Fifa, Ani, Sigit, Retno, Yeni, Eko, dan semua
teman Sastra Indonesia angkatan 2000 lainnya yang telah atau belum lulus.
• Bapak Wanto sekeluarga yang berkenan memberi tempat berteduh selama
penulis menuntut ilmu di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.
• Semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu-persatu, atas curahan ide,
wacana, dan, dukungan baik secara langsung ataupun tidak kepada
penulis, terima kasih banyak dan mohon maaf jika ada kesalahan dalam
mencantumkan nama.
Semoga karangan yang sederhana ini akan ada gunanya, terlebih dapat
bermanfaat untuk menambah gairah tulisan-tulisan tentang kekayaan folklor di
Indonesia. Jika terdapat berbagai kelemahan dalam tulisan ini merupakan
DAFTAR ISI
PERNYATAAN KEASLIAN KARYA .………..….. vi
ABSTRAK.………..……… vii
1.4 Manfaat Penelitian…..……….
1.5 Tinjauan Pustaka………...………
1.6 Landasan Teori……….
1.6.1 Folklor……….………
1.6.3 Fungsi-fungsi Proses Ritual………..………..
1.7 Metode Penelitian……….……
1.7.1 Lokasi dan Nara Sumber Penelitian………..…
1.7.2 Pendekatan………..
1.7.4.1.4 Teknik Perekaman dan Pengarsipan……….
1.7.4.2 Teknik Analisis Data………...
1.7.5 Instrumen Penelitian………...
1.8 Sistematika Penyajian………...
BAB II KONTEKS BUDAYA DAN SEJARAH KEDIRI...
2.1 Pengantar...
2.2 Topografi dan Demografi kota Kediri...
2.3 Mitos dan Sejarah Kota Kediri...
2.3.1 Mitos di Kota Kediri...
2.3.2 Sejarah Kota Kediri...
2.4 Sejarah Sri Aji Jayabaya...
2.5 Konteks Sejarah dan Budaya di Petilasan Sri Aji Jayabaya………….
2.5.1 Petilasan Sri Aji Jayabaya Sebelum dipugar....……… ……….
2.5.2 Petilasan Sri Aji Jayabaya Setelah dipugar………..…………...
BAB III PROSES RITUAL TIRAKATAN JUMAT LEGI DAN SELASA
KLIWON DI PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA
MENANG KOTA KEDIRI………...
3.1 Pengantar………..
3.2 Persiapan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon…..………...
3.2.1 Tempat Upacara………...………...
3.2.2 Saat Upacara………...
3.2.3 Benda Upacara………….………...
3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara………...
3.3 Pelaksanaan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon…..…………..
3.3.1 Proses Ritual Pribadi………...
3.3.1.1 Tempat Upacara………...
3.3.1.2 Saat Upacara……….…………...
3.3.1.3 Benda Upacara………..…………...
3.3.1.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara…....
3.3.2.3 Benda Upacara………..……...
3.3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara……
3.4 Rangkuman……… …..
BAB IV PROSES RITUAL 1 SURO ATAU MUHHARAM DI
PETILASAN SRI AJI JAYABAYA DESA MENANG KOTA
KEDIRI………
4.1 Pengantar………..
4.2 Persiapan Proses Ritual 1 Suro atau Muhharam………...
4.2.1 Tempat Upacara………...………...
4.2.2 Saat Upacara………...
4.2.3 Benda Upacara………
4.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara………...
4.3 Pelaksanaan Proses Ritual 1 Suro atau Muhharam………...
4.3.1 Proses Ritual di Pamuksan Sri Aji Jayabaya………...
4.3.1.1 Tempat Upacara………...
4.3.1.2 Saat Upacara……….………...
4.3.1.3 Benda Upacara………..………...
4.3.1.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara……
4.3.2 Proses Ritual Di Sendang Tirtokamandanu………
4.3.2.1 Tempat Upacara………...
4.3.2.2 Saat Upacara………
4.3.2.3 Benda Upacara……….
4.4 Rangkuman………...
BAB V FUNGSI PROSES RITUAL TIRAKATAN DI PETILASAN SRI
AJI JAYABAYA DESA PAMENANG KEDIRI………...
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN 1 : DAFTAR PERTANYAAN
LAMPIRAN 2 : DAFTAR NARA SUMBER
LAMPIRAN 3 : FOTO PERSIAPAN PROSES RITUAL TIRAKATAN JUMAT
LEGI DAN SELASA KLIWON
LAMPIRAN 4 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TIRAKATAN
PRIBADI JUMAT LEGI DAN SELASA KLIWON
LAMPIRAN 5 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TIRAKATAN
SYUKURAN JUMAT LEGI DAN SELASA KLIWON
LAMPIRAN 6 : FOTO PERSIAPAN PROSES RITUAL 1 SURO
LAMPIRAN 7 : FOTO ALAT MUSIK DALAM PROSES RITUAL 1 SURO
LAMPIRAN 8 : FOTO PROSES RITUAL PEMBUKAAN DAN
PEMBERANGKATAN PERARAKAN BENDA PUSAKA
LAMPIRAN 9 : FOTO PERARAKAN BENDA PUSAKA MENUJU
PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
LAMPIRAN 10 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL 1 SURO DI
PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
LAMPIRAN 11 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TABUR BUNGA
DI PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
LAMPIRAN 12 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL CAOS DAHAR DI
PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
LAMPIRAN 14 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL 1 SURO DI
SENDANG TIRTOKAMANDANU
LAMPIRAN 15 : FOTO PELAKSANAAN PROSES RITUAL TABUR BUNGA
DI SENDANG TIRTO KAMANDANU
LAMPIRAN 16 : FOTO PEZIARAH YANG BEREBUT AIR SENDANG DAN
BUNGA KANTHIL DI SENDANG TIRTOKAMANDANU
LAMPIRAN 17 : RANGKAIAN KEGIATAN ZIARAH 1 SURO 1939 DI DESA
MENANG
LAMPIRAN 18 : SEJARAH SRI AJI JAYABAYA YANG DIBACAKAN
PADA PROSES RITUAL 1 SURO
LAMPIRAN 19 : DENAH PAMUKSAN SRI AJI JAYABAYA
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Perkembangan teknologi di era globalisasi dewasa ini tidak menghambat
kehidupan kebudayaan dan tradisi lisan di Indonesia. Hal ini terbukti dari masih
banyaknya tempat-tempat yang dianggap keramat dan didatangi orang untuk
berziarah. Tempat-tempat ziarah yang dianggap keramat itu dapat berupa sebuah
gua, daerah gunung berapi, petilasan (makam leluhur atau orang suci), pohon
besar, dan masih banyak lagi. Kedatangan peziarah mengunjungi tempat-tempat
tersebut didorong berbagai macam alasan. Ada yang bertujuan untuk mencari
kekayaan, sukses dalam pekerjaan, jodoh, menikmati suasana hening, dan masih
banyak alasan lain dari tujuan peziarah tersebut.
Berbagai macam alasan peziarah mendatangi tempat-tempat yang
dianggap keramat itu sebenarnya memiliki hubungan erat dengan emosi
keagamaan yang dimilikinya. Menurut Koentjaraningrat (1967: 218), emosi
keagamaan adalah suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah
menghinggapi seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran
itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian menghilang
lagi. Emosi keagamaan itulah yang mendorong orang berlaku serba religius.
Perilaku manusia yang serba religius ini mendorong mereka untuk
mendatangi tempat-tempat keramat yang dianggap sebagai tempat besemayamnya
tertentu, yang kebetulan tersimpan di tempat keramat itu. Maka tempat-tempat
keramat itu pada saat-saat tertentu dijadikan sebagai pusat kegiatan keagamaan,
seperti upacara-upacara persembahan kepada “Yang Maha Kuasa”.
Tempat-tempat keramat yang dipercaya bersemayam tokoh leluhur yang
pada masa hidupnya memiliki kharisma merupakan salah satu tempat favorit
untuk didatangi peziarah, terlebih jika tokoh itu dimitoskan oleh pendukungnya
dan dijadikan sebagai panutan perilaku kelompok orang tertentu. Tempat keramat
yang didukung oleh keberadaan mitos yang kharismatis itu akan menjadi tempat
ziarah dengan tujuan dan maksud tertentu. Ziarah yang dilakukan ini pada
hakikatnya menyadarkan kondisi manusia sebagai pengembara di dunia yang
hanya mampir ngombe1. Ziarah ke tempat-tempat keramat maksudnya sangat
bervariasi dan salah satunya adalah untuk memperoleh restu leluhur yang
dianggap telah lulus dalam ujian hidup (Subagya, 1981: 141).
Salah satu tempat ziarah yang kharismatik adalah Petilasan Sri Aji
Jayabaya yang terletak di Desa Menang, kecamatan Pagu, kabupaten Kediri,
sekitar delapan kilometer arah utara dari pusat Kota Kediri. Kota Kediri berada di
sebelah selatan Propinsi Jawa Timur. Selain Petilasan Sri Aji Jayabaya, di kota ini
masih ada banyak tersimpan cerita dan tradisi lisan lainnya. Cerita dan tradisi
lisan di Kota Kediri masih terlihat lestari, hal ini ditandai dengan banyaknya
kegiatan-kegiatan religi dan kepercayaan masyarakat terhadap mitos serta hal-hal
gaib.
1
Petilasan Sri Aji Jayabaya yang dipercaya orang menjadi tempat
muksanya2 Sri Aji Jayabaya, yaitu raja kerajaan Kediri yang memerintah sekitar
tahun 1135 – 1157 M.. Jayabaya sangat dikenal masyarakat Indonesia oleh karena
ramalan-ramalannya tentang hari depan Pulau Jawa (bangsa Indonesia) dari segala
aspek. Ramalan Jayabaya yang sampai hari ini dianggap masih tetap relevan dan
aktual bagi sebagian masyarakat Jawa, bisa disejajarkan dengan Nostradamus,
"peramal" dari daratan Eropa.
Tidak mengherankan jika situs yang dipagari tembok - bangunan baru -
setinggi lima meter, dengan luas sekitar 25 meter persegi, dapat menjadi medan
magnet bagi ribuan manusia pada setiap 1 Sura atau Muhharam. Tiap menjelang 1
Sura, masyarakat dari dalam dan luar Kota Kediri berbondong-bondong memadati
Petilasan Sri Aji Jayabaya untuk meminta berkah.3
Tradisi lisan yang berkembang di Petilasan Sri Aji Jayabaya ini bermula
dari mimpi Warsodikromo (1860), tentang sebuah gundukan tanah yang telah
menjadi rawa, di sana dulu pernah bertahta seorang raja Kediri yang tersohor yaitu
Sri Aji Jayabaya. Atas petuah dalam mimpi itu penduduk mengadakan pencarian
terhadap petilasan atau makam tersebut. Akhirnya, dengan dibantu oleh seorang
ahli metaphisik, petilasan tersebut atau peninggalan kerajaan Kediri itu berhasil
diketemukan. Letaknya di bawah naungan pohon kemuning. Dan mulai saat itu
tempat yang dulunya hanya sebuah gundukan tanah, mulai ramai didatangi
pengunjung untuk berziarah (Hondodento 1989: 8).
2
Pada tahun 1975, keluarga besar Hondodento memugar petilasan Sri Aji
Jayabaya yang terdiri dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang
Tirtokamandanu. Bangunan Pamoksan Sri Aji Jayabaya yang dipugar meliputi,
Loka Muksa4, Loka Busana5, serta Loka Makuta6. Sebelumnya banyak juga di
antara peziarah yang datang dan ingin memugar, namun belum ada satu pun dapat
menyelesaikan pemugaran tersebut. Pemugaran yang dilakukan oleh keluarga
besar Hondodento ini menjadikan Pamoksan Sri Aji Jayabaya makin ramai
didatangi orang-orang untuk berziarah.
Setelah keluarga besar Hondodento berhasil memugar Pamoksan Sri Aji
Jayabaya dan dilanjutkan dengan pemugaran Sendang Tirtokamandanu, sekitar
satu kilo dari Pamoksan Sri Aji Jayabaya. Sendang ini konon digunakan untuk
memandikan putra-putri raja Jayabaya sebelum mengunjungi pamuksan.
Sendang Tirtokamandanu dan Pamoksan Sri Aji Jayabaya sekarang tidak
hanya dipadati peziarah menjelang 1 Sura atau Muhharam saja, tetapi setiap
malam Jumat Legi dan Selasa Kliwon juga ramai oleh kedatangan peziarah yang
kebanyakan berasal dari luar Kota Kediri. Mereka datang dengan berbagai macam
permintaan, ada yang meminta agar cepat mendapat jodoh, dagangan sukses,
sembuh dari sakit, dan ada juga yang hanya ingin menikmati suasana sunyi.
Setiap harinya ada saja peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya
selain hari Jumat Legi, Selasa Kliwon, dan tanggal 1 Suro, bahkan terdapat
beberapa orang yang tinggal bertahun-tahun tanpa mendirikan rumah dan hanya
bermukim di sekitar pendopo pamuksan atau sendang dengan perbekalan
4
Tempat Sri Aji Jayabaya muksa
5
seadanya. Keperluan sehari-hari untuk makan dan minum mereka menunggu
kiriman dari saudara-saudaranya yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya setiap
hari Jumat Legi atau Selasa Kliwon. Kejadian-kejadian tersebut mempertebal
keingintahuan peneliti untuk mendalami keberadaan proses ritual dan fungsi
tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa
Timur.
Melalui teori folklor, penelitian ini menitikberatkan pada permasalahan
sebagai berikut: (1) konteks budaya dan sejarah Kota Kediri, (2) proses ritual
tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa
Menang, Kota Kediri, (3) proses ritual 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji
Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, (4) fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan
Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri.
Peneliti berharap dengan kajian terhadap proses ritual tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya ini dapat memberikan informasi lebih dalam tentang
keberadaan salah satu tradisi lisan yang ada di masyarakat Kota Kediri, Propinsi
Jawa Timur, dan sebagai wujud pelestarian satu dari sekian banyak tradisi lisan
yang masih ada di negara Indonesia.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang, masalah-masalah yang ingin dibahas dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut.
1.2.2 Bagaimanakah proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di
Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri?
1.2.3 Bagaimanakah proses ritual tirakatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan
Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri?
1.2.4 Apa fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa
Menang, Kota Kediri?
1.3 Tujuan Penelitian
Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk memberikan gambaran tentang
proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri
yang meliputi:
1.2.1 mendeskripsikan konteks budaya dan sejarah Kota Kediri,
1.2.2 mendeskripsikan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon di
Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri,
1.2.3 mendeskripsikan proses ritual tirakatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan
Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri,
1.2.4 melacak dan menjelaskan fungsi proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji
Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Dalam bidang folklor, dapat menambah khazanah bacaan studi tentang
proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota
1.4.2 Dalam bidang wisata, studi ini dapat memperkenalkan salah satu lokasi
wisata ziarah yang ada di Kota Kediri Propinsi Jawa Timur.
1.5 Tinjauan Pustaka
Penelitian ini membahas Petilasan Sri Aji Jayabaya berkenaan dengan
proses ritual tirakatan yang ada di sana. Nama Jayabaya memang tidak asing bagi
masyarakat Indonesia. Hal ini terbukti dengan banyaknya buku dan media cetak
yang menuliskan tentang keberadaan Jayabaya terlebih tentang
ramalan-ramalannya, baik itu dihubungkan dengan politik (ratu adil) atau pun keberadaan
alam Indonesia, seperti buku Ramalan Sakti Prabu Jayabaya: Membuka Tabir
Tanda-tanda Jaman. Dalam buku ini secara garis besar berisi tentang isi ramalan
Jayabaya yang dihubungkan dengan fenomena politik dan alam yang terjadi di
Indoneisia (Purwadi, 2003). Soesetro dan Zein Al Arief (1999) juga menulis
tentang ramalan Jayabaya yang dikaitkan dengan fenomena reformasi politik di
Indonesia dalam bukunya yang berjudul Membuka Tabir Ramalan Jayabaya Di
Era Reformasi.7
Banyaknya tulisan mengenai Jayabaya terlebih tentang
ramalan-ramalannya, hanya sedikit yang ditemui oleh peneliti, buku atau artikel yang
menuliskan keberadaan Petilasan Sri Aji Jayabaya. Kebanyakan media cetak
menulis berita atau artikel secara sepintas menyebutkan keberadaan Petilsan Sri
Aji Jayabaya. tulisan itupun berkenaan dengan kegiatan proses ritual 1 Suro yang
diadakan oleh Yayasan Hondodento. Seperti dalam kutipan berikut: “Labuhan
yang diselenggarakan oleh Yayasan Hondodento itu merupakan salah satu
rangkaian dalam upacara ziarah dan ritual yang dilakukan pada bulan Suro.
Sebelumnya telah dilakukan di Komplek Candi peninggalan Prabu Jayabaya di
daerah Mamenang Kediri”.8
Hingga saat ini peneliti hanya menemukan satu buku tentang keberadaan
Petilasan Sri Aji Jayabaya. Buku itu ditulis dan diterbitkan oleh Yayasan
Hondodento dengan judul Petilasan Sang Prabu Sri Aji Jayabaya. Secara garis
besar isi buku ini mengenai hal ihwal pemugaran Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan
Sendang Tirto Kamandanu di desa Menang. Jadi buku ini lebih banyak
mengungkapkan tentang arsitektur bangunan dan dampak pemugaran dari
Pamoksan Sri Aji Jayabaya dan Sendang Tirtokamandanu bukan tentang proses
ritual atau upacara keagamaan di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
Peneliti juga pernah menemukan satu judul artikel tentang petilasan Sri Aji
Jayabaya. Judul artikel itu adalah Pamoksan Sri Aji Jayabaya ing Menang.9
Artikel ini ditulis oleh Suwarsono dalam majalah Jaya Baya. Majalah Jaya Baya
adalah salah satu media cetak yang ada di Surabaya yang menggunakan Bahasa
Jawa. Artikel ini berbicara tentang sejarah singkat dan daya tarik Petilasan Sri Aji
Jayabaya bagi peziarah.
Perbedaan penelitian Proses Dan Fungsi Ritual Tirakatan Di Petilasan Sri
Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur Sebuah Kajian
Foklor ini adalah melanjutkan penelitian-penelitian yang sudah ada. Penelitian ini
akan mendeskripsikan secara terperinci tentang sejarah, proses ritual, dan fungsi
proses ritual bagi pendukungnya. Jadi dalam penelitian ini tidak lagi berisi tentang
arsitek dan daya tarik Petilasan Sri Aji Jayabaya saja namun berusaha
mendeskripsikan tentang proses ritual tirakatan di Petilasan Sri AJj Jayabaya
secara mendalam.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Folklor
Folklor adalah sebagian kebudayaan suatu kolektif, yang tersebar dan
diwariskan turun-temurun, di antara kolektif macam apa saja, secara tradisional
dalam versi yang berbeda, baik dalam bentuk lisan maupun contoh yang disertai
dengan gerak isyarat atau alat pembantu pengingat (Danandjaja, 1984: 2).
Menurut Brunvand (dalam Danandjaja, 1984: 21) berdasarkan tipenya folklor
dibagi menjadi tiga kelompok : (1) folklor lisan (verbal folklore), (2) folklor
sebagian lisan (partly verbal folklore), dan (3) floklor bukan lisan (non verbal
folklore)
(1) Folklor lisan adalah folklor yang bentuknya memang murni lisan.
Bentuk-bentuk folklor yang termasuk ke dalam kelompok besar ini antara lain (a)
bahasa rakyat (folk speech), (b) ungkapan tradisional, (c) pertanyaan tradisional,
(d) pertanyaan rakyat, (e) cerita prosa rakyat, dan (f) nyanyian rakyat.
(2) Folklor sebagian lisan adalah folklor yang bentuknya merupakan
campuran unsur lisan dan unsur bukan lisan. Bentuk-bentuk folklor ini adalah
(3) Folklor bukan lisan adalah folklor yang bentuknya bukan lisan,
walaupun cara pembuatannya diajarkan secara lisan. Bentuk-bentuk folklor ini
dibagi menjadi dua subkelompok, yaitu yang berupa material atau yang bukan
material.
Dalam penelitian ini akan digunakan teori folklor sebagian lisan yang
berbentuk kepercayaan rakyat. Kepercayaan rakyat atau yang sering kali juga
disebut sebagai “takhyul” atau kini lebih dikenal sebagai folk belief (Danandjaja,
1984: 153).
Dundes dalam Danandjaja (1984: 155) mendefinisikan folk belief sebagai
ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat, dan satu atau lebih akibat;
beberapa dari syarat-syaratnya bersifat tanda, sedangkan yang lainnya bersifat
sebab.
Takhyul mencakup bukan saja kepercayaan (belief), melainkan juga
kelakuan (behavior), pengalaman-pengalaman (experiences), ada kalanya juga
alat, dan biasanya juga ungkapan serta sajak (Bruvand dalam Danandjaja, 1984:
153).
Lebih lanjut Danandjaja (1984), menambahkan bahwa takhyul
menyangkut kepercayaan dan praktik (kebiasaan). Pada umumnya diwariskan
melalui media tutur kata. Tutur kata ini dijelaskan dengan syarat-syarat, yang
terdiri dari tanda-tanda (sigus) atau sebab-sebab (causes), dan yang diperkirakan
Berdasarkan maknanya, takhyul dibagi menjadi dua jenis, yaitu (a)
hubungan asosiasi dan (b) ilmu gaib atau magic. Takhyul tersebut dapat dijelaskan
melalui contoh takhyul berikut ini
(1) Jika mendengar suara katak (tanda), maka akan turun hujan (akibat).
(2) Jika kita memandikan kucing (sebab), maka akan turun hujan (akibat).
Takhyul dalam contoh (1) adalah berdasarkan hubungan sebab akibat menurut
hubungan asosiasi. Sedangkan takhyul yang kedua, yaitu perbuatan manusia yang
dilakukan dengan sengaja yang menyebabkan suatu “akibat”, adalah yang kita
sebut ilmu gaib atau magic (Danandjaja, 1984: 154).
Teori folk belief sebagai ungkapan tradisional dari satu atau lebih syarat
dan satu atau lebih akibat digunakan untuk menjelaskan proses ritual tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya dalam hubungannya dengan tanda-tanda atau
sebab-sebab terciptanya tempat-tempat, alat-alat, waktu, dan orang yang memimpin
upacara. Dan juga untuk menjelaskan akibat yang muncul setelah dilakukannya
upacara keagamaan.
1.6.2 Teori Proses Ritual dan Upacara Keagamaan
Menurut Koentjaraningrat (1967: 218) emosi keagamaan atau religious
emotion yaitu suatu getaran jiwa yang pada suatu ketika pernah menghinggapi
seorang manusia dalam jangka waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin
hanya berlangsung beberapa detik saja untuk kemudian menghilang lagi. Emosi
Kelakuan serba religi menurut tata kelakuan yang baku, disebut upacara
keagamaan atau religious ceremonies atau rites. Menurut Van Gennep dalam
Koentjaraningrat (1985: 32) proses ritual dan upacara keagamaan secara universal
pada asasnya berfungsi sebagai aktivitas untuk menimbulkan kembali semangat
kehidupan sosial antara warga masyarakat. Hal ini disebabkan karena selalu ada
saat-saat di mana semangat kehidupan sosial itu menurun, dan sebagai akibatnya
akan timbul kelesuan dalam masyarakat. Kelesuan inilah yang menyebabkan
manusia membuat upacara keagamaan.
Senada dengan Van Gennep, Robertson Smith mengatakan bahwa upacara
religi atau agama, yang biasanya dilaksanakan oleh banyak warga masyarakat
pemeluk religi atau agama yang bersangkutan bersama-sama, mempunyai fungsi
sosial untuk mengintensifkan solidaritas masyarakat. Para pemeluk suatu religi
atau agama memang ada menjalankan kewajiban mereka untuk melakukan
upacara itu secara sungguh-sungguh, tetapi tidak sedikit pula yang hanya
melakukannya setengah-setengah saja. Motivasi mereka tidak terutama untuk
berbakti kepada dewa atau Tuhannya, atau untuk mengalami kepuasan
keagamaannya secara pribadi, tetapi juga karena mereka menganggap melakukan
upacara itu sebagai suatu kewajiban sosial (Koentjaraningrat 1985: 24).
Proses ritual atau ritus adalah tata cara dalam upacara keagamaan (KBBI,
1989: 844). Sedangkan tirakatan adalah mengasingkan diri ke tempat yang sunyi
(di gunung, dsb) (KBBI, 1989: 1061). Jadi pengertian proses ritual tirakatan
adalah tata cara dalam upacara keagamaan dengan cara mengasingkan diri ke
menganalisis tata cara dalam proses ritual tirakatan 1 Suro, Jumat Legi dan Selasa
Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
Menurut Koentjaraningrat, (1967: 230-234) tiap-tiap upacara keagamaan
dapat dikelompokkan ke dalam empat komponen, yaitu : (a) tempat-tempat
upacara, (b) saat-saat upacara, (c) benda-benda upacara, (d) orang-orang yang
melakukan dan memimpin upacara.
(a) Tempat-tempat upacara yang keramat itu adalah biasanya suatu tempat
yang dikhususkan dan yang tidak boleh didatangi oleh barang siapa yang
tidak berkepentingan. Malahan mereka yang mempunyai kepentingan
tidak boleh sembarangan berada di tempat upacara. Mereka harus
berhati-hati dan harus memperberhati-hatikan berbagai macam larangan dan pantangan.
(b) Saat-saat upacara biasanya dirasakan sebagai saat-saat yang genting dan
gawat, dan yang penuh dengan bahaya gaib. Saat itu biasanya saat yang
berulang tetap, sejajar dengan irama gerak alam semesta.
(c) Benda-benda dan alat-alat upacara merupakan perlengkapan yang dipakai
dalam hal menjalankan upacara-upacara keagamaan. Alat-alat upacara
yang amat lazim di mana-mana adalah patung yang mempunyai fungsi
sebagai lambang dari dewa atau roh nenek moyang yang menjadi tujuan
dari upacara.
(d) Orang-orang yang melakukan dan memimpin upacara adalah orang-orang
yang karena suatu pendidikan yang lama menjadi ahli dalam hal
Disamping empat komponen upacara keagamaan, Koentjaraningrat
menambahkan unsur-unsur dari upacara keagamaan, yaitu : (a) bersaji, (b)
berkorban, (c) berdoa, (d) makan bersama, (e) menari dan menyanyi, (f) berpawai,
(g) memainkan seni drama, (h) berpuasa, (i) intoxikasi, (j) bertapa, (k) bersamadi.
Secara singkat unsur-unsur itu dijelaskan oleh Koentjaraningrat sebagai berikut :
(a) Bersaji, meliputi perbuatan-perbuatan upacara yang biasanya diterangkan
sebagai perbuatan-perbuatan untuk menyajikan makanan, benda-benda,
atau lain-lainnya kepada dewa, roh-roh nenek moyang, atau makhluk halus
lainnya, tetapi yang di dalam praktek jauh lebih komplek dari pada itu.
(b) Berkorban merupakan suatu perbuatan pembunuhan binatang-binatang
korban, atau manusia, secara upacara.
(c) Berdoa adalah suatu unsur yang ada dalam banyak upacara keagamaan di
dunia. Doa itu pada mulanya adalah rupa-rupanya suatu ucapan dari
keinginan manusia yang diminta dari para leluhur, dan juga ucapan-ucapan
hormat dan pujian kepada leluhur itu.
(d) Dasar pemikiran dari perbuatan makan bersama adalah rupa-rupanya
mencari hubungan dengan dewa-dewa dengan cara mengundang dewa
pada suatu pertemuan makan bersama.
(e) Jalan pikiran yang ada tentang menari dan menyanyi adalah rupa-rupanya
memaksa alam bergerak.
(f) Berpawai atau dalam bahasa asing procession, merupakan juga suatu
perbuatan yang amat umum dalam banyak religi di dunia. Pada
dewa, lambang-lambang totem, benda-benda pusaka yang sakti, dan
sebagainya, dengan maksud supaya kesaktian yang memancar dari
benda-benda itu bisa memberi pengaruh kepada keadaan sekitar tempat tinggal
manusia dan terutama pada tempat-tempat yang dilalui oleh pawai itu.
(g) Memainkan seni drama seringkali mempunyai arti sebagai suatu upacara
agama, kalau yang dimainkan itu suatu cerita suci dari mitologi atau dari
kitab-kitab suci.
(h) Dasar yang ada pada perbuatan berpuasa bisa bermacam-macam, misalnya
membersihkan diri atau meguatkan batin dengan penderitaan
(i) Intoxikasi terdiri dari perbuatan-perbuatan untuk memabukkan atau
menghilangkan kesadaran diri para pelaku upacara. Dengan demikian
maka para pelaku upacara sering melihat bayangan-bayangan atau
khayalan-khayalan.
(j) Bertapa ada dalam agama-agama dan religi-religi yang mempunyai
konsepsi bahwa rohani itu lebih penting dari jasmani. Demikian ada
pendirian bahwa kalau hasrat-hasrat jasmani dari manusia itu bisa ditekan,
maka jiwa akan menjadi lebih bersih dan suci.
(k) Bersamadi adalah berbagai macam perbuatan serba religi yang bertujuan
untuk memusatkan perhatian si pelaku kepada maksudnya atau kepada
hal-hal yang suci (Koentjaraningrat, 1967: 240-247).
Teori proses ritual yang terdiri dari empat komponen dan sebelas unsur ini
digunakan peneliti untuk mendeskripsikan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri
penggunaan teori-teori lain yang akan mendukung pendeskripsian tentang
keberadaan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang,
Kota Kediri, Propinsi Jawa Timur ini.
1.6.3 Fungsi-fungsi dalam Proses Ritual
Fungsi proses ritual secara umum terbagi menjadi empat, yaitu fungsi
spiritual, sosiologis, ekonomis, dan politis. Proses ritual sebagai fungsi spiritual
yaitu usaha manusia dalam berkomunikasi dengan dunia gaib. Cara manusia
berkomunikasi melalui upacara-upacara keagamaan baik untuk memohon
keselamatan, menjaga keseimbangan kosmos, bahkan pembinaan hubungan baik
dengan para leluhur dan Tuhannya (Rostiyati, 1994 :106-107).
Proses ritual memiliki fungsi spiritual juga berhubungan erat dengan
emosi keagamaan yang dimiliki individu itu sendiri. Menurut Koentjaraningrat
(1967: 218) emosi keagamaan atau religious emotion yaitu suatu getaran jiwa
yang pada suatu ketika pernah menghinggapi seorang manusia dalam jangka
waktu hidupnya, walaupun getaran itu mungkin hanya berlangsung beberapa detik
saja untuk kemudian menghilang lagi. Emosi keagamaan inilah yang mendorong
manusia untuk berlaku serba religi dan menyebabkan sifat keramat atau mistis
pada segala sesuatu yang bersangkutan dengan kelakuan serba religi tersebut,
seperti: tempat, waktu, benda-benda, dan orang-orang yang bersangkutan.
Sebagai fungsi sosiologis, upacara keagamaan memiliki
penjelasan-penjelasan sebagai aktivitas untuk mengintensifkan kembali semangat kehidupan
tidak menjalankan kewajiban mereka secara sungguh-sungguh, tetapi hanya
melakukannya karena mereka menganggap melakukan upacara itu sebagai suatu
kewajiban sosial saja (Rostiyati, 1994 :111-112).
Menurut Endraswara (2005: 229-231) prinsip ekonomis orang Jawa untuk
meraih kabegjan (keberuntungan) tidak dicapai semata menggunakan sistim pasar.
Orang Jawa khususnya mencoba menerapkan manajemen batin yang secara tidak
langsung akan membuat roda ekonomis lancar. Demikian halnya dengan fungsi
ekonomis yang ada dalam proses ritual tirakatan di petilasan Sri Aji Jayabaya,
selain erat hubungannya dengan dibukanya sebagai obyek ziarah dan wisata yang
secara ekonomis langsung dapat dirasakan oleh penduduk setempat, juga
berhubungan dengan perilaku ekonomis yang diwarnai dengan ritual-ritual.
Kepercayaan akan ritual-ritual ini menyebabkan penduduk setempat mendatangi
petilasan Sri Aji Jayabaya dan meminta pertolongan agar roda perekonomianya
selalu berjalan dengan lancar.
Proses ritual berfungsi politis ini berkaitan dengan mesianistik atau sang
pembebas. Mesianistik ini dengan cara menggunakan kepercayaan masyarakat
terhadap sosok sang pembebas atau orang Jawa menyebutnya sebagai “Ratu
Adil”. Lantaran kuatnya mitos ratu adil di hati rakyat, maka banyak tokoh politik
yang memiliki visi populis dengan menggunakan paham mesianistik untuk
memperoleh dukungan rakyat. Gerakan mesianistik berupa ratu adil ini sangat
dirasakan di Indonesia pada akhir abad ke-20.10 Selanjutnya menurut Endraswara
(2005: 236) hakikat politik dalam budaya Jawa adalah kekuasaan. Jadi, berpolitik
dengan menggunakan mistik pun sebagai upaya meraih kekuasaan. Kekuasaan
dalam masyarakat Jawa ini sangat terkait dengan konsep kasekten (kesaktian)
seseorang. Dengan konsep ini, maka akan diperoleh kewibawaan seorang
pemimpin.
Pengertian budaya atau kebudayaan adalah hasil kegiatan dan penciptaan
batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian, dan adat istiadat (KBBI,
1989: 1061). Meluasnya pengertian budaya ini membuat peneliti harus membatasi
fungsi budaya dalam penelitian ini. Fungsi budaya dalam proses ritual tirakatan di
sini tidak diartikan berdiri sendiri, melainkan akan melekat pada kategori-kategori
fungsi dalam proses ritual tirakatan yang lain, yaitu fungsi spiritual, sosiologis,
ekonomis, dan politis. Maksudnya adalah bagaimana fungsi budaya dalam proses
ritual tiraktan itu dapat menjadi budaya spiritual, budaya ekonomis, budaya
sosiologis, dan budaya politis bagi pendukungnya.
Teori fungsi proses ritual tirakatan ini digunakan untuk menjelaskan
fungsi makna religius, sosiologisl, ekonomis, politis, dan budaya dari proses ritual
tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang, Kota Kediri, Propinsi Jawa
Timur.
1.7 Metode Penelitian
Metode penelitian adalah proses atau langkah-langkah yang akan
dilakukan peneliti untuk mencapai kebenaran ilmiah. Dalam bagian ini akan
proses ritual tirakatan yang ada di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota
Kediri.
1.7.1 Lokasi dan Nara Sumber Penelitian
1.7.1.1 Lokasi penelitian ini berada di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota Kediri Propinsi Jawa Timur.
1.7.1.2 Nara sumber penelitian adalah juru kunci dan peziarah yang datang ke Petilasan Sri Aji Jayabaya.
1.7.2 Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan Folklor sebagai pendekatan
utama. Akan tetapi pendekatan analisis sastra, histografi, dan etnografi juga
dimungkinkan pula sebagai pendekatan tambahan, khususnya dalam menganalisis
teks mitos, sejarah, dan budaya Kota Kediri.
1.7.3 Metode
Metode dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif.
Menurut KBBI, (1989: 228) arti deskriptif adalah bersifat pemaparan atau
penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci. Sedangkan kualitatif
menurut Bogdan dan Taylor dalam Moleong (1989: 3) mendefinisikan metode
tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Jadi metode
penelitian deskriptif kualitatif merupakan metode penelitian dengan cara
pemaparan atau penggambaran dengan kata-kata secara jelas dan terperinci
terhadap data yang berupa “kata-kata tertulis” atau “lisan” dari orang-orang
dengan perilaku yang dapat diamati peneliti.
1.7.4 Teknik Penelitian
Teknik penelitian menjelaskan tentang proses pengumpulan data di
lapangan yang meliputi studi pustaka, observasi, wawancara, dan perekaman serta
pencatatan. Proses pengumpulan data ini diakhiri dengan menganalisis data yang
sudah di dapat di lapangan.
1.7.4.1 Teknik Pengumpulan Data
Sesuai dengan sifat penelitian kualitatif yang terbuka dan luwes, metode
dan tipe pengumpulan data dalam penelitian kualitatif sangat beragam,
disesuaikan dengan masalah, tujuan penelitian, serta sifat objek yang diteliti.
Dapat disebutkan antara lain: wawancara, observasi, diskusi kelompok terfokus,
analisis terhadap karya (tulisan, film, karya seni lain), analisis dokumen, analisis
catatan pribadi, studi kasus, studi riwayat hidup, dan lain sebagainya
(Poerwandari, 1998: 61).
Menurut Endraswara, metode pengumpulan data dalam folklor dapat
dilakukan melalui dua cara. Pertama, inventarisasi melalui seluruh judul tulisan
inventarisasi secara langsung di masyarakat (Endraswara, 2005: 210). Lebih
mendalam Taum (2002), menambahkan bahwa pengumpulan data penelitian
kualitatif tradisi atau sastra lisan, berisi tentang, teknik-teknik wawancara,
pengamatan, perekaman, pencatatan, dan pengarsipan yang diperlukan untuk
mendapatkan data sastra lisan dari tempat penelitian (Taum, 2002: 88).
Dalam penelitian ini akan digunakan penggabungan kedua cara
pengumpulan data yaitu melalui inventarisasi seluruh judul tulisan sastra lisan di
media massa dan inventarisasi langsung di masyarakat dengan wawancara dan
observasi di Petilasan Sri Aji Jayabaya.
1.7.4.1.1 Teknik Studi Pustaka
Metode kepustakaan adalah mencari data mengenai hal-hal atau variabel
yang berupa catatan, transkrip, buku, surat kabar, majalah, rapat, dan sebagainya
(Arikunto, 1993: 234). Lebih lanjut Taum (2002), mengatakan studi pustaka dapat
berupa buku-buku di perpustakaan atau koleksi pribadi dan teman mengenai
kolektif suatu suku bangsa yang akan menjadi sasaran studi (Taum, 2002: 86).
Teknik kepustakaan ini dipergunakan untuk mendapatkan data yang konkret dan
menelaah pustaka yang ada kaitannya dengan objek penelitian yaitu proses ritual
dan kepercayaan orang jawa khususnya masyarakat Kediri terhadap keberadaan
1.7.4.1.2 Teknik Observasi
Komaruddin, (1974: 97) berpendapat bahwa observasi akan menghasilkan
deskripsi yang khusus tentang apa yang telah terjadi, dari peristiwa-peristiwa
sejarah, atau hasil dari peristiwa-peristiwa. Cara ini digunakan untuk mendukung
hasil wawancara untuk memperoleh gambaran utuh tentang proses ritual tirakatan
masyarakat Jawa di petilasan Sri Aji Jayabaya.
Menurut Guba dan Lincoln dalam Moleong (1989: 137-138) menjelaskan
beberapa alasan mengapa observasi atau pengamatan dilakukan dalam penelitian,
yaitu pertama, teknik pengamatan ini didasarkan atas pengalaman secara langsung
di lapangan. Kedua, teknik pengamatan juga memungkinkan melihat dan
mengamati sendiri, kemudian mencatat perilaku dan kejadian sebagaimana yang
terjadi pada keadaan sebenarnya. Ketiga, pengamatan memungkinkan peneliti
mencatat peristiwa dalam situasi yang berkaitan dengan pengetahuan proposional
maupun pengetahuan yang langsung diperoleh dari data. Keempat, sering terjadi
keraguan pada peneliti tentang data yang di dapat, apakah ada yang “menceng”
atau bias. Maka untuk mengecek keakuratan data tersebut ialah dengan jalan
memanfaatkan pengamatan. Kelima, teknik pengamatan memungkinkan peneliti
mampu memahami situasi-situasi yang rumit atau kompleks. Keenam, dalam
kasus-kasus tertentu di mana teknik komunikasi lainnya tidak dimungkinkan,
pengamatan dapat menjadi alat yang sangat bermanfaat.
Secara metodologis penggunaan pengamatan memiliki empat tujuan
sebagai berikut: pertama, pengamatan mengoptimalkan kemampuan peneliti dari
Kedua, pengamatan memungkinkan peneliti untuk melihat dunia sebagaimana
yang dilihat oleh subjek penelitian, hidup pada saat itu, menangkap arti fenomena
dari segi pengertian subjek, menangkap kehidupan budaya dari segi pandangan
dan anutan para subjek pada keadaan waktu itu. Ketiga, pengamatan
memungkinkan peneliti merasakan apa yang dirasakan dan dihayati oleh subjek
sehingga memungkinkan pula sebagai peneliti menjadi sumber data. Keempat,
pengamatan memungkinkan pembentukan pengetahuan yang diketahui bersama,
baik dari pihaknya maupun dari pihak subjek (Guba dan Lincoln dalam Moleong,
1989: 138).
Menurut Patton dalam Moleong (1989), peranan peneliti sebagai pengamat
memiliki lima karakteristik sebagai berikut: pertama, ditinjau dari segi peranan
pengamat yang diamati. Peranan pengamat itu ialah pada latar pengamat berperan
serta penuh, pengamatan sebagian, atau pengamatan oleh orang luar.
Kedua, ditinjau dari segi gambaran peranan peneliti terhadap yang lainnya.
Pada pengamatan terbuka, subjek mengetahui persis bahwa pengamatan sedang
dilakukan oleh seorang pengamat. Pada situasi lainnya, pengamat hanya diketahui
oleh sebagian, sedangkan sebagian lainnya tidak mengetahui. Situasi lain lagi,
yaitu pada pengamatan tertutup, subjek sama sekali tidak mengetahui kehadiran
pengamat dan tidak mengetahui bahwa sedang diadakan pengamatan.
Ketiga, berkenaan dengan gambaran maksud pengamat terhadap lainnya.
Pada sisi yang satu, kepada seluruh subjek diberitahukan maksud dan tujuan
pengamatan. Penjelasan tentang maksud barangkali hanya diberitahukan kepada
itu tidak diberitahukan sama sekali. Masih ada lagi yang lainnya, yaitu dengan
sengaja peneliti memberitahukan maksudnya, tetapi secara tersamar atau
disembunyikan atau barangkali maksudnya diputarbalikkan.
Keempat, dimensi ini berkenaan dengan lamanya pengamatan dilakukan.
Pengamatan dilakukan hanya pada saat-saat yang singkat. Di pihak lain
pengamatan dilakukan untuk jangka waktu yang lama.
Kelima, fokus suatu pengamatan. Di satu sisi fokus studi untuk keperluan
pengamatan sangat sempit. Di pihak lain fokus studi itu secara meluas, yaitu dari
segi pandangan keutuhan (holistik) jadi mencakup seluruh latar dengan
unsur-unsurnya (Patton dalam Moleong, 1989: 141-142).
Dalam penelitian ini peneliti berperan sebagai orang luar dan subjek sama
sekali tidak mengetahui bahwa sedang diadakan pengamatan. Peneliti
memberitahukan maksud dan tujuannya, tetapi secara tersamar atau
disembunyikan telah melakukan pengamatan. Lamanya pengamatan dilakukan
dalam untuk jangka waktu yang lama. Fokus studi dilakukan secara meluas, yaitu
dari segi pandangan keutuhan (holistik) jadi mencakup seluruh latar dengan
unsur-unsurnya. Peneliti di sini telah melakukan observasi awal di Petilasan Sri
Aji Jayabaya untuk selanjutnya peneliti akan melakukan observasi pada saat
wawancara berlangsung. Observasi ini akan diwujudkan dalam catatan lapangan
yang dapat menambah pemahaman peneliti terhadap situasi yang dialami oleh
1.7.4.1.3 Teknik Wawancara
Wawancara sebagai suatu proses tanya-jawab lisan, yaitu dua orang atau
lebih berhadap-hadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang lain dan
mendengarkan dengan telinga sendiri suaranya. Metode ini merupakan alat
pengumpul informasi yang langsung tentang beberapa jenis data sosial, baik yang
terpendam (latent) maupun yang memanifes (Hadi, 1979: 192).
Peneliti melakukan wawancara orientasi kancah dengan menggunakan
pertanyaan tak terstruktur. Pertanyaan biasanya tidak disusun terlebih dahulu,
malah disesuaikan dengan keadaan dan ciri yang unik dari responden.
Pelaksanaan tanya-jawab mengalir seperti dalam percakapan sehari-hari (Guba
dan Lincoln dalam Moleong, 1989: 152). Patton dalam Moleong, (1989: 148)
menambahkan bahwa wawancara jenis ini pertanyaan yang diajukan sangat
bergantung pada pewawancara itu sendiri, jadi bergantung pada spontanitasnya
dalam mengajukan pertanyaan kepada yang diwawancarai.
Pedoman wawancara digunakan untuk mengingatkan peneliti mengenai
aspek-aspek yang harus dibahas, sekaligus menjadi daftar untuk mencocokkan
apakah aspek-aspek relevan tersebut telah ditanyakan atau belum. Dengan
pedoman demikian, peneliti harus memikirkan bagaimana pertanyaan tersebut
akan dijabarkan secara konkrit dalam kalimat tanya, sekaligus menyesuaikan
pertanyaan dengan konteks aktual saat wawancara berlangsung. Tidak ada
pertanyaan-pertanyaan standar yang mengatur pendalaman atas jawaban
responden. Hal ini tergantung peneliti dalam mengungkap apa yang perlu
terhadap apa yang perlu diungkap, pendalaman terhadap pertanyaan pada
pendekatan ini tergantung pada respon yang diberikan oleh responden. Metode
wawancara dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mewawancarai nara
sumber yang dipilih oleh peneliti untuk memperoleh pengetahuan tentang
kepercayaan masyarakat terhadap proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji
Jayabaya.
Nara sumber menurut Spradley dalam Taum (2002: 87) mengatakan
bahwa informan adalah seorang pembicara asli (native speaker) yang merupakan
sumber informan, secara harfiah, mereka menjadi guru bagi peneliti. Informan
dalam penelitian ini meliputi dua bagian yaitu juru kunci dan peziarah. Juru kunci
sebagai informan dalam penelitian ini merupakan orang yang bahasa ibunya
adalah bahasa Jawa dan merupakan penduduk asli pulau Jawa, dengan alasan juru
kunci merupakan pewaris dari tradisi lisan di Petilasan Sri Aji Jayabaya. Suseno
(1984) menyebutkan bahwa orang Jawa adalah orang yang bahasa ibunya bahasa
Jawa dan merupakan penduduk asli bagian tengah dan timur pulau Jawa, yaitu
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Sedangkan peziarah adalah orang-orang yang
datang ke petilasan Sri Aji Jayabaya untuk mengikuti proses ritual tirakatan dan
bukan pewaris asli tradisi lisan tersebut. Peziarah ini ada yang merupakan
masyarakat sekitar atau dari luar Desa Menang.
Peneliti membatasi jumlah informan dalam penelitian ini adalah 15
(sepuluh) orang. Juru kunci sebanyak 4 orang (2 juru kunci Pamuksan Sri Aji
Jayabaya dan Sendang Tirtokamandanu), sedangkan peziarah dibatasi sebanyak
Menang sebanyak 1 orang.. Pembatasan informan ini didasarkan atas pendapat
Moleong, (1989) yang mengatakan bahwa dalam hal tertentu informan perlu
direkrut seperlunya dan diberitahu tentang maksud dan tujuan penelitian. Agar
peneliti memperoleh informan yang benar-benar memenuhi persyaratan dan bila
perlu mengetes informasi yang diberikannya, apakah benar atau tidak. Jadi,
informan harus mempunyai banyak pengalaman tentang suatu peristiwa yang
menjadi latar penelitian (Moleong, 1989: 97-98). Peneliti berharap dengan teknik
pemilihan sampel seperti ini dapat lebih mengungkapkan proses ritual tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya, Desa Menang, Kota Kediri Propinsi Jawa Timur.
1.7.4.1.4 Teknik Perekaman dan Pengarsipan
Perekaman dan pencatatan digunakan untuk mendapatkan data utama dari
penelitian. Perekaman dengan menggunakan tape recorder perlu disesuaikan
dengan suasana. Teknik pencatatan bisa digunakan untuk mentranskripsikan hasil
rekaman menjadi bahan tulis dan mencatat berbagai aspek yang berkaitan dengan
suasana penceritaan dan informasi-informasi lain yang dipandang perlu selama
melakukan wawancara dan pengamatan. Untuk melengkapi data-data lapangan,
peneliti dapat pula mempergunakan kamera foto untuk mengabadikan kegiatan
penuturan ataupun ritual-ritual lain yang menyertai penuturan tersebut (Taum,
2002: 88-89)
Pengarsipan dalam penelitian ini menggunakan dua langkah, yakni:
Pertama, cheking data (pemeriksaan) oleh informan kembali, yaitu dengan cara
Kedua, konsultasi ahli, artinya peneliti dapat menyerahkan data kepada anggota
lain atau ahli (dosen pembimbing). Dari kedua langkah tersebut pengarsipan
dalam penelitian ini mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
(a) Bahan Folklor: klasifikasi, masyarakat, tanggal, bulan, tahun rekaman, dan
bahasa cerita tesebut.
(b) Teks yang sudah ditranskripsikan: teks asli dan terjemahannya.
(c) Kolofon: keterangan tentang waktu, tempat, dan pelaku pencatatan.
(d) Keterangan sekitar bahan: berbagai catatan etnografis, keterangan tentang teks
yang kurang jelas, penilaian dan interpretasi peneliti sendiri.
1.7.4.2 Teknik Analisis Data
Data-data yang sudah diperoleh kemudian dijabarkan dengan
menggunakan teknik analisis kualitatif. Dalam manganalisis data menurut
Endraswara, menggunakan cara gunting lipat, artinya suatu saat ada informasi
yang kurang relevan digunting, yang kurang layak ditampilkan dilipat
(Endraswara, 2005: 211). Secara garis besar analisis data dalam penelitian ini
melalui proses pengorganisasian, koding, dan analisis data. Organisasi data
dilakukan sebagai langkah awal analisis dan pengolahan data. Melalui
pengorganisasian data, data akan diorganisasi dengan rapi, sistematik dan
lengkap. Langkah berikutnya yaitu pengkodingan.
Langkah pertama dalam koding adalah open coding, yaitu membuka diri
agar memperoleh variasi data yang lengkap. Kemudian memperdalam analisis
telah terklarifikasi rapi. Peneliti lalu melakukan hubungan antar kategori, agar
tidak terjadi pengulangan-pengulangan. Terakhir melakukan display coding yaitu
memaparkan kategori dan analisis deskriptif secara mendalam. Analisis data yang
mendalam ini kemudian dihubungkan dengan teori folklor dan proses ritual
keagamaan. Selanjutnya analisis data ini akan dipaparkan secara terperinci dalam
bentuk deskriptif kualitatif. Sebagai catatan hasil penelitian di sini tidak
membatasi atau memaksakan kategori-kategori data ke dalam teori yang sudah
ditentukan.
1.7.5 Instrumen Penelitian
Penelitian ini menggunakan sebuah daftar pertanyaan untuk mendapatkan
informasi yang dibutuhkan. Instrumen tersebut terlampir dalam penelitian ini.
1.8 Sistematika Penyajian
Laporan hasil penelitian ini terdiri dari enam bab. Bab I berisi
pendahuluan. Dalam bab ini diuraikan perihal latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan penelitian, mamfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori,
metode penelitian, dan sistematika pnyajian. Bab II berisi konteks sejarah dan
budaya Kota Kediri. Bab III berisi proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa
Kliwon di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kota Kediri. Bab IV berisi
proses ritual tirakatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa
Menang Kota Kediri. Bab V berisi fungsi proses ritual tirakatakan di Petilasan Sri
berisi kesimpulan dan saran. Selain itu terdapat pula Daftar Pustaka dan
Bab II
KONTEKS BUDAYA DAN SEJARAH KEDIRI
2.1 Pengantar
Uraian mengenai konteks Kediri ini akan mencakup Topografi dan
Demografi kota Kediri, Mitos dan Sejarah kota Kediri, Sejarah Raja Jayabaya,
dan Konteks Sejarah dan Budaya di Petilasan Sri Aji Jayabaya. Uraian mengenai
hal ini penting untuk mengetahui konteks dan jalinan Proses Ritual Tirakatan di
Petilasan Sri Aji Jayabaya kota Kediri propinsi Jawa Timur.
2.2 Topografi dan Demografi kota Kediri
Kota Kediri berada di ketinggian 67 m di atas permukaan air laut dan
terletak antara -111.05 s/d -112.03 Bujur Timur dan -7.45 s/d -7.55 Lintang
Selatan. Di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Gampengrejo, sebelah
timur berbatasan dengan kecamatan Wates dan Gurah, sebelah selatan berbatasan
dengan kecamatan Kandat dan Ngadiluwih, sebelah barat berbatasan dengan
kecamatan Grogol dan Semen. Luas wilayah kota Kediri mencapai 63,40 Km2
terbelah sungai Brantas yang mengalir dari selatan ke utara menjadi dua wilayah
barat sungai dan timur sungai.
Secara administratif, kota kediri yang mempunyai luas wilayah 63,40 km²
terbagi menjadi tiga kecamatan yaitu kecamatan Mojoroto, kecamatan Kota dan
kecamatan Pesantren. Wilayah barat sungai secara keseluruhan termasuk dalam
dalam wilayah kecamatan Kota, 14,9 km² dan kecamatan Pesantren 23,9 km²
(BPS, 2005: 1-2).
Jumlah penduduk kota kediri pada tahun 2004 telah mencapai 241.170
jiwa, bertambah 191 jiwa dari tahun 2003. Perkembangan penduduk kota Kediri
tahun 2004 dibanding tahun 2003 adalah sebesar 0,08 persen di mana
perkembangan penduduk perempuan relatif lebih besar dibandingkan penduduk
laki-laki, yaitu 118.371 jiwa untuk perempuan dan 122.799 jiwa untuk laki-laki.
Angka petambahan alami, yang merupakan selisih antara jumlah yang lahir
dengan yang meninggal di kota Kediri tahun 2004 mencapai 923 jiwa. Jumlah
penduduk yang pindah atau keluar meninggalkan kota Kediri lebih banyak
dibandingkan yang datang ke kota Kediri. Hal ini dapat diketahui dari angka
migrasi netto yaitu selisih penduduk yang datang dikurangi yang pindah, di mana
tahun 2004 mencapai negatif 732 jiwa. Tingkat kepadatan penduduk kota kediri
pada tahun 2004 telah mencapai 3.804 jiwa per km². Apabila dirinci menurut
kecamatan, maka kecamatan kota mempunyai tingkat kepadatan penduduk paling
tinggi dibandingkan dengan dua kecamatan lainnya yaitu mencapai 5.737 jiwa per
km², sedangkan kecamatan mojoroto mencapai 3.505 jiwa per km² dan 2.906 jiwa
per km² untuk kecamatan pesantren (BPS, 2005: 40-42).
Jumlah pencari kerja pada tahun 2004 meningkat sebanyak 1.266 orang
dari 2.632 orang pada tahun 2003. Jumlah pencari kerja pada tahun 2004
sebanyak 3.898 orang dengan persentase perempuan adalah 57 persen dan 43
persen adalah laki-laki. Peningkatan jumlah pencari kerja yang mencapai 48,1
penempatan tenaga kerja atau yang diterima kerja yang mencapai 442 orang di
tahun 2004 (BPS, 2005: 58).
Besaran upah minimum kota Kediri terus mengalami peningkatan dari
tahun ke tahun dengan besarnya inflasi, yaitu 361.250 rupiah pada tahun 2002
meningkat sebesar 31,36 persen dibanding tahun 2001, pada tahun 2003 mencapai
415.000 rupiah, meningkat sebesar 14,86 persen dan tahun 2004 mencapai
480.000 rupiah, meningkat sebesar 15,66 persen (BPS, 2005: 62-63).
Pada tahun 2004 di kota kediri jumlah sekolah dasar (SD) sekolah
menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah umum (SMU) mengalami
penurunan karena pada tahun 2004 ada beberapa sekolah yang dimerger.
Penurunan jumlah sekolah dari tahun 2003 hingga 2004 mencapai 7 sekolah. Hal
ini berpengaruh pada penurunan jumlah murid SD dan SMU, sedangkan murid
SMP mengalami peningkatan. Penurunan jumlah murid sekolah dari tahun 2003
hingga 2004 mencapai 347 murid. Sedangkan tenaga pengajar juga mengalami
penurunan dari tahun 2003 hingga 2004 sebanyak 11 guru. (BPS, 2005: 65).
Menurut Badan Pusat Statistik kota Kediri tahun 2004 jumlah pemeluk
agama di kota Kediri diperinci sebagai berikut: Islam 215.102, Kristen 16.097,
Katholik 7.402, Hindu 817, dan Budha 1.752 (BPS, 2005: 141). Jumlah
keseluruhan pemeluk agama dan jumlah penduduk di kota Kediri adalah sama
yaitu 241.170 orang, namun menurut kenyataan di lapangan, masih banyak
masyarakat kota Kediri yang menganut suatu aliran kepercayaan tertentu. Hal ini
senada dengan pendapat Mulder dalam Suseno (1984), yang memperkirakan
organisasi kebatinan (Suseno, 1984: 13). Kedudukan aliran kepercayaan di kota
Kediri sudah mengalami akulturasi dengan kelima agama yang berkembang baik
di Indonesia. Contohnya aliran kepercayaan Paguyuban Ngesti Tunggal
(Pangestu) yang cukup besar penganutnya di kota Kediri ini, para penganutnya
selain menganut agama tertentu mereka juga menjalankan kewajiban sebagai
anggota paguyupan.
Melihat jumlah penduduk, sekolah yang dimerger, pencari kerja, besaran
upah minimum, dan banyaknya penduduk yang keluar dari kota Kediri ini
tentunya akan mendukung pelestarian proses ritual tirakatan yang ada di Petilasan
Sri Aji Jayabaya.
2.3 Mitos dan Sejarah Kota Kediri
Mitos di sini berisi tentang beberapa contoh mitos yang masih dipercaya
dan melekat pada kehidupan sehari-hari masyarakat Kediri. Sedangkan sejarah
kota Kediri menjabarkan penemuan penggunaan kata Kediri atau Kadiri pertama
kali dalam sumber-sumber sejarah yang berupa prasasti batu atau lempengan emas
dan sumber tertulis lainnya.
2.3.1 Mitos di Kota Kediri
Menurut Endraswara (2005: 163) mitos disebut juga mite (myth). Mite
adalah prosa rakyat yang dianggap benar-benar terjadi serta dianggap suci oleh
empunya cerita. Karena itu, dalam mite sering ada tokoh pujaan yang dipuji atau
implikasinya selalu muncul dalam bentuk penghormatan. Penghormatan yang
disebut ada kalanya juga sering dimanifestasikan dalam wujud pengorbanan.
Pemahanan atas cerita yang bernuansa mitos ini pada kenyataannya menjadi
sebuah keyakinan yang berlebihan dan mempengaruhi pola pikir masyarakat
kearah takhyul. Sehingga, tidak jarang masyarakat menganggap keramat suatu
mitos. Mite biasanya mengisahkan terjadinya alam semesta, dunia, manusia, maut,
binatang, topografi, gejala alam, dan sebagainya.
Dalam masyarakat Jawa, dikenal berbagai macam cerita rakyat. Artinya,
ragam cerita prosa seperti mitos, legenda, dan dongeng yang berkembang di
masyarakat. Dalam cerita-cerita rakyat itu, banyak yang berbau dongeng.
Pemahaman mereka atas dongeng pun lalu menyempit, hanya terbatas pada tokoh
hewan, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda keramat lainnya. Sedangkan, cerita
yang tokohnya dominan manusia mereka pahami sebagai cerita rakyat
(Endraswara, 2005: 163).
Demikian juga kebanyakan cerita rakyat atau mitos yang ada di kota
Kediri yang menceritakan tentang tokoh manusia di antaranya Prabu Kelono
Sewandono (sejarah kuda lumping sesuai dengan cerita Panji Asmorobangun),
Totok Kerot, Muksanya Raja Jayabaya, dan Cerita Dewi Kilisuci.
2.3.1.1 Prabu Kelono Sewandono
Alkisah, Pujonggo Anom melaporkan permintaan Dewi Songgolangit
yang tidak lain adalah Dewi Sekartaji kepada Prabu Kelono Sewandono. Karena
petunjuk kepada Sang Dewata Agung. Di ujung semedinya, Sang Dewata
mengabulkan permohonan keduanya sehingga dalam waktu singkat Prabu Kelono
Sewandono dapat memenuhi patemboyo (sayembra) Dewi Sekartaji.
Dilain pihak, Prabu Singobarong yang juga menaruh hati pada Sang Dewi,
murka karena merasa dilangkahi, maka ditantanglah Prabu Kelono Sewandono.
Dengan Pecut Kyai Samandiman, Prabu Kelono Sewandono unggul dalam
peperangan dan sebagai tanda penghormatan, bersama Singo Kumbang yang
berwujud seekor babi hutan, Prabu Singobarong mengabdikan dirinya sebagai
penari untuk melengkapi patemboyo yang diajukan Dewi Sekartaji. Lihat juga
(http://www.kotakediri.go.id/news/search/index.php)
2.3.1.2 Totok Kerot
Pada zaman kerajaan Kadiri diperintah oleh Prabu Jayabaya, datanglah
seorang raksasa perempuan yang dikenal dengan nama dewi Totok Kerot. Seluruh
penduduk merasa ketakutan, karena raksasa itu setiap hari memakan hewan ternak
milik mereka. Awalnya penduduk desa tidak ada yang berani melawan raksasa
perempuan itu. Namun kemudian penduduk yang merasa resah memberanikan diri
untuk mengeroyok raksasa itu. Akhirnya raksasa perempuan itu roboh, tetapi
belum mati, lalu Senopati Tunggul Wulung bertanya kepadanya, “Di mana tempat
tinggalmu?” Jawab raksasa itu, “Rumahku di Lodoyong (Lodaya), di tepi laut
selatan,”. Kemudian Tunggul Wulung bertanya lagi katanya, “Apa maksudmu
masuk ke daerah kami?” Raksasa itu pun menjawab dengan lantang katanya,
Semua perkataan raksasa perempuan itu disampaikan Tunggul Wulung
kepada Sang Prabu Aji Jayabaya. Kemudian Sang Prabu mendatangi tempat
raksasa perempuan itu dan menjumpainya. Sang Prabu Jayabaya bertanya lagi
kepada raksasa itu tentang maksud kedatangannya ke Kadiri? Sekali lagi raksasa
itu menjawab “Aku akan melamar Prabu Jayabaya, untuk kujadikan suamiku.”
Kemudian Sang Prabu berkata, ”Kalau memang benar demikian kehendakmu
dewata tak mengizinkan. Tetapi saya akan memberi tahu kepadamu, kelak setelah
aku tiada (muksa), kira-kira dua puluh tahun kemudian, di tanah sebelah barat
kerajaan Kadiri ada orang yang mengangkat diri menjadi raja. Kerajaan itu beribu
kota di Prambanan. Nama raja itu Prabu Prawatasari, dialah yang akan menjadi
jodohmu.”
Sebelum Prabu Jayabaya melanjutkan sabdanya, raksasa itu
menghembuskan napas terakhir. Sang Prabu merasa sangat heran hati, lalu
memberi perintah kepada Tunggul Wulung sebagai berikut: pertama desa di
sebelah selatan Mamenang diberi nama Gumurah. Sebab ketika penduduk desa
mengeroyok raksasa perempuan itu dengan bersorak-sorak dan berteriak-teriak
sehingga menimbulkan suara hiruk-pikuk yang dalam bahasa Jawa dikatakan
gumurah atau gumerah.
Kedua, raja memerintahkan agar dibuat patung yang serupa dengan
raksasa perempuan yang baru meninggal ini, sedang wajahnya hendaklah dipahat
serupa dengan wajah patung gupala. Patung raksasa itu diberi nama patung Totok
Kerot. Desa tempat patung itu dinamakan desa Nyaen. Tinggi patung itu empat
(bahasa Jawa), bulat besar, posisinya berlutut. Hingga sekarang patung raksasa
perempuan atau Totok Kerot itu masih ada dan terletak di dusun Kunir desa
Bulupasar kecamatan Gurah sekitar 8 (delapan) Km di timur kota Kediri. Terdapat
banyak versi tentang Cerita Totok Kerot ini sedangkan dalam penelitian ini
diambil dari kisah Babad Kadiri atau Cerita Kediri.11
2.3.1.3 Muksanya Raja Jayabaya
Raja Jayabaya dipercaya oleh mayarakat tidak meninggal dunia,
melainkan muksa, yaitu sukma dan raganya kembali ke alam kelanggengan secara
bersama-sama. Menurut kepercayaan Hindu, seseorang yang telah mencapai
tataran muksa dapat dikatakan telah sempurna dalam menjalankan dharmanya
selama hidup di dunia. Hal ini berarti bahwa raja Jayabaya dianggap telah
mencapai tingkat jiwa tertinggi hingga dianggap muksa atau layak menempati
nirwana (Yudoyono, 1984: 39).
Alkisah semasa hidup raja Jayabaya mempunyai seorang permaisuri yang
bernama dewi Sara. Dari hasil perkawinannya, raja Jayabaya mempunyai putera
empat orang. dewi Pramesti, dewi Pramuna, dewi Sasani dan raden Jayaamijaya.
Di saat kehamilan dewi Pramesti telah berumur 9 (sembilan) bulan, selama tujuh
hari beliau merasakan kesakitan yang tidak kunjung berhenti. Oleh karenanya,
raja Jayabaya beserta permaisuri masuk ke sanggar pamujaan untuk memohon
petunjuk dewata. Kemudian raja Jayabaya mendapat bisikan yang mengatakan “
11 Perlu diketahui bahwa tulisan Babad Kadiri dan tulisan Kalam Wadi ini termasuk ceritera