• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB III PROSES RITUAL TIRAKATAN JUMAT LEGI DAN SELASA

3.2 Persiapan Tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon…

Persiapan proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon ini meliputi tempat upacara, saat upacara atau pemilihan waktu, benda upacara, dan orang yang melakukan upacara. Persiapan-persiapan tersebut dijelaskan di bawah ini.

3.2.1 Tempat Upacara

Persiapan yang dilakukan pada tempat proses ritual ini terdiri dari Sendang Tirtokamandanu dan Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Persiapan di Sendang Tirtokamandanu meliputi pembersihkan tempat penampungan air sendang yang digunakan peziarah untuk membersihkan diri atau mandi. Tempat penampungan air ini dibuat menyerupai kamar mandi pada umunnya, sedangkan kolam pemandian seperti disebutkan di dalam Bab II tidak lagi digunakan untuk mandi. Hal ini dikarenakan banyak peziarah yang merasa risih atau malu jika harus membersihkan diri terlebih mandi di tempat terbuka seperti di kolam pemandian Sendang Tirtokamandanu. Tempat lain yang dipersiapkan di wilayah Sendang Tirtokamandanu adalah tempat semadi yang digunakan peziarah berdoa setelah membersihkan diri dan bagian pendapa yang digunakan untuk peziarah menanti giliran membersihkan diri.

Di Pamuksan Sri Aji Jayabaya persiapan dilakukan seperti halnya di Sendang Tirtokamandanu, yaitu dengan cara membersihkan wilayah pamuksan yang terdiri dari Loka Muksa, Loka Busana, dan Loka Makota. Setelah semua tempat dalam keadaan bersih, dilanjutkan dengan pemasangan kain berwarna kuning di sekeliling pagar beton Loka Muksa hingga tertutup seperti tembok. Penutupan ini bertujuan untuk menambah kesakralan peziarah dalam berdoa di Loka Muksa. Pembersihan juga dilakukan di pendapa yang digunakan peziarah untuk menunggu giliran berdoa di Loka Muksa terlebih jika ada peziarah memakai pendapa untuk tempat menginap.

3.2.2 Saat Upacara

Tahun 1933 M, Raja Mataram Sri Sultan Agung Prabu Hanyokrokusumo mengganti konsep penanggalan Jawa dari sistem penanggalan Matahari menjadi sistem penanggalan Bulan. Perubahan penanggalan berlaku untuk seluruh Pulau Jawa dan Madura kecuali Banten, karena tidak termasuk daerah Mataram. Sejarah perubahan ini berkaitan proses ritual 1 Suro dan akan di bahas lebih mendalam pada Bab proses ritual tirakatan 1 Suro atau Muhharam di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang Kediri.

Meskipun kalender Hijriah dan kalender Jawa dasar penanggalannya sama yaitu penampakan bulan, namun kalender Jawa bukanlah kalender Hijriah. Meski mengadopsi konsep dasar penanggalan Hijriah, kalender Jawa tidak mengikuti aturan penanggalannya. Hal ini terlihat pada konsep hari pasaran yang terdiri dari lima hari Kliwon, Legi, Pahing, Pon, dan Wage yang merupakan wujud unsur-unsur Jawa yang tidak ditemui dalam penanggalan Hijriah. Secara astronomis, kalender Jawa tergolong mathematical calendar, sedangkan kalender Hijriah

astronomical calendar. Mathematical atau aritmatical calendar merupakan sistem penanggalan yang aturannya didasarkan pada perhitungan matematika dari fenomena alam. Kalender Masehi juga tergolong mathematical calendar. Adapun

astronomical calendar merupakan kalender berdasarkan fenomena alam itu sendiri, seperti kalender Hijriah dan kalender Cina. Sifatnya yang pasti sebagai

mathematical calendar membuat penanggalan Jawa tidak mengalami sengketa atau kerancuan dalam penentuan awal bulan seperti penanggalan Hijriah.22

Menurut penanggalan Jawa, pergantian hari dimulai pada pukul 18.00. Jadi hari Jumat dalam penanggalan Jawa sama dengan hari Kamis dalam penanggalan Masehi. Hal ini dikarenakan penanggalan Jawa yang menggunakan sistem penampakan bulan, bukannya sistem penampakan matahari seperti pada penanggalan Masehi. Jadi jika dalam penanggalan masehi pergantian hari dihitung mulai pukul 00.00 dalam penanggalan Jawa dimulai pukul 18.00.

Pemilihan hari Jumat Legi untuk melaksanakan proses ritual tirakatan di Petilasan Sri Aji Jayabaya dipercayai merupakan hari baik untuk meminta berkah kepada Sang Hyang Widi melalui perantara Sri Aji Jayabaya. Dan pemilihan hari Selasa Kliwon selain merupakan hari baik juga dikeramatkan oleh sebagian masyarakat Kota Kediri, khususnya di wilayah Petilasan Sri Aji Jayabaya ini.

3.2.3 Benda Upacara

Persiapan benda upacara ini terdiri dari anglo, sesaji bunga, dan makanan untuk ritual syukuran. Anglo atau tungku untuk membakar kemenyan sebelum dipakai dalam proses ritual Jumat Legi dan Selasa Kliwon, selalu dibersihkan dahulu dari sisa-sisa abu arang maupun dari gumpalan kemenyan yang menempel. Pembersihan ini dilakukan dengan cara menyikat tungku hingga bersih. Sesaji bunga terdiri dari bunga sekar telon dan kemenyan. Sesaji bunga ini bisa dibeli di sekitar wilayah petilasan atau dibawa peziarah dari di rumah masing-masing. Bunga yang digunakan untuk sesaji ini harus dalam keadaan segar atau minimal dipetik pada pagi hari.

Peziarah yang akan mengadakan syukuran selain membawa sesaji bunga juga mempersiapkan beberapa jenis makanan untuk acara makan bersama. Proses ritual syukuran (dengan cara makan bersama) merupakan upaya peziarah dalam menjalin hubungan dengan Sri Aji Jayabaya sendiri pada suatu perjamuan makan bersama. Undangan kepada Sri Aji Jayabaya ini dimaksudkan agar segala permintaan peziarah dapat direstui oleh Tuhan melalui perantara Sri Aji Jayabaya.

Selanjutnya makanan untuk upacara makan bersama ini akan disebut sebagai sesaji makanan. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan dalam mempersiapkan sesaji makanan. Pertama, sebelum memulai memasak sesaji makanan terlebih dahulu dilakukan doa dengan mengucap “Bismillah, sak perlu unjuk caos dahar kagem Sri Aji Jayabaya” yang artinya kurang lebih “Bismillah, sesaji makan ini digunakan untuk persembahan kepada Sri Aji Jayabaya” (wawancara dengan Bapak. Kamdani, laki-laki, 55 tahun, juru kunci, Desa Menang. Direkam pada hari Kamis, 15-9-2005 oleh Joko Nugroho, di Petilasan Sri Aji Jayabaya Desa Menang). Dalam doa di atas terlihat bahwa makanan tersebut merupakan bentuk sesaji dalam proses ritual syukuran. Cara memasak makanan untuk acara syukuran terdapat sebuah pantangan, yaitu bahan baku dan dalam proses memasak tidak boleh dicicipi terlebih dahulu. Alasan yang mendasarinya adalah karena acara makan bersama bermakna mengundang roh nenek moyang (Sri Aji Jayabaya) ke dalam sebuah perjamuan makan bersama. Menurut kepercayaan masyarakat Jawa roh nenek moyang hanya memakan rasa dan aroma dari makanan tersebut maka secara kuantitas wujud makanan tidak akan berkurang namun rasa dan aromanya akan memudar dan hilang (menjadi

hambar). Jadi jika di dalam mepersiapkan sesaji makanan untuk proses ritual syukuran dicicipi terlebih dahulu maka orang yang mempersiapkan dianggap telah berani mendahului roh nenek moyang (Sri Aji Jayabaya) dan sesaji makanan itu diangga tidak layak untuk dijadikan sesaji makanan.

3.2.4 Orang yang Memimpin dan Melakukan Upacara

Persiapan yang dilakukan oleh juru kunci adalah berdoa secara pribadi di Loka Muksa memohon izin kepada Sri Aji Jayabaya untuk melaksanakan tugasnya dalam memimpin proses ritual tirakatan Jumat Legi dan Selasa Kliwon. Persiapan yang dilakukan peziarah, yaitu: meminta izin kepada juru kunci yang ada di Sendang Tirtokamandanu untuk melakukan ritual pembersihan diri sebelum mendatangi pamuksan. Membersihkan diri ini dikaitkan dengan kegiatan mandi di Sendang Tirtokamandanu. Selanjutnya peziarah berdoa di tempat semadi yang ada di Sendang Tirtokamandanu bersama juru kunci sendang. Setelah melakukan persiapan di Sendang Tirtokamandanu peziarah diperbolehkan datang ke Pamuksan Sri Aji Jayabaya. Kedatangan peziarah ke pamuksan dengan membawa bunga untuk sesaji, baik bunga yang dibawa dari rumah maupun yang telah dibeli di sekitar wilayah petilasan. Terakhir peziarah meminta izin kepada juru kunci yang ada di pamuksan untuk melakukan proses ritual tirakatan pribadi di Loka Muksa Sri Aji Jayabaya.