• Tidak ada hasil yang ditemukan

Cerita PAL setelah dianalisis menggunakan strukturalisme model Levi Strauss telah membuka pemahaman kita bahwa cerita rakyat ada, berkembang dan memiliki fungsi bagi pemiliknya yang komunal. Berdasarkan hasil analisis dapat dilihat bahwa cerita PAL mengandung banyak pesan kehidupan yang perlu dipahami khususnya bagi orang Jawa sebagai latar belakang budaya pemilik cerita tersebut. Langkah selanjutnya yang perlu dilakukan adalah berkaitan dengan pelestarian cerita PAL yang dilakukan oleh masyarakat pemiliknya, yaitu masyarakat Desa Limbasari, Kecamatan Bobotsari, Kabupaten Purbalingga.

Berdasarkan hasil wawancara dengan informan, pelestarian cerita PAL yang dilakukan oleh masyarakat Desa Limbasari hanya sebatas penampilan semacam kesenian ketoprak atau drama di atas panggung ketika acara peringatan Hari Kemerdekaan RI, itu pun tidak setiap tahun ditampilkan. Pelestarian yang lain untuk menjaga agar cerita PAL tetap ada, dikenang oleh masyarakatnya hampir tidak ada.

Menurut Kaliyem (70 th), beberapa kali ada anak sekolah yang mendapat tugas untuk mendapatkan cerita rakyat, menanyakan tentang cerita PAL. Demikian juga ada mahasiswa yang tertarik dengan folklor khususnya cerita rakyat menanyakan cerita PAL. Biasanya siswa atau mahasiswa tersebut datang menanyakan cerita PAL, kemudian menanyakan apakah cerita PAL telah ditulis dan dibukukan.

Melihat kenyataan yang ada, maka penulis tertarik untuk melakukan sebuah upaya untuk melestarikan cerita PAL , dengan langkah memberikan alternatif model pelestarian yang dapat dilakukan untuk melestarikan cerita PAL. Selanjutnya model pelestarian ini ditawarkan kepada masyarakat Desa Limbasari untuk memilih model pelestarian yang dianggap sesuai untuk cerita PAL.

10.2. Alternatif Model Pelestarian

Alternatif model pelestarian yang ditawarkan antara lain adalah sebagai berikut; a) melalui pementasan rutin digedung pertunjukan, b) panulisan dalam bentuk buku, c) melalui pembelajaran di sekolah, dan d) alternatif lain yang sesuai.

Keempat alternatif ini penulis ambil dengan beberapa pertimbangan. Pertama, pementasan rutin di gedung dijadikan alternatif karena menurut penutur cerita, bahwa cerita PAL pernah dipentaskan, tetapi sifatnya tidak rutin, sehingga tidak ada jaminan bahwa cerita tersebut akan terus dipentaskan pada acara-acara tertentu. Kedua, penulisan cerita PAL dalam bentuk buku dijadikan alternatif pelestarian juga didasarkan hasil wawancara dengan penutur cerita, bahwa satu-satunya buku yang menceritakan PAL adalah buku yang diterbitkan oleh dinas P

dan K pada tahun 1978, yang anonim dan merupakan hasil penelitian, sehingga perlu adanya buku lain yang lebih menyegarkan baik dari bahasa maupun fisik buku, tanpa mengubah inti cerita. Ketiga, melalui pembelajaran sekolah dipilih sebagai alternatif pelestarian karena cerita rakyat ada dalam kurikulum sekolah. Selain itu, didasarkan juga dari hasil wawancara dengan penutur yang mengatakan bahwa ada beberapa siswa maupun mahasiswa yang tertarik untuk mengetahui cerita PAL. Keempat, alternatif lain yang sesuai dijadikan pilihan pelestarian agar masyarakat bebas menentukan kreatifitasnya dalam melestarikan cerita PAL.

Alternatif cerita PAL melalui pembelajaran di sekolah yang ditawarkan peneliti juga merupakan upaya memberikan alternatif pada guru khususnya guru bahasa Indonesia yang kesulitan mencari bahan ajar pada materi cerita rakyat. Selain itu penggunaan cerita PAL sebagai bahan ajar dapat dijadikan pilihan model pembelajaran kontekstual. Pembelajaran ini mengaitkan pembelajaran dengan dunia empiris yang dihadapi siswa. Selama ini, biasanya cerita rakyat yang disampaikan ke siswa adalah cerita rakyat yang sudah terkenal, seperti Malin Kundang, Sang Kuriang, dan cerita rakyat lainnya yang tidak berhubungan dengan lingkungan atau daerah siswa berada, sehingga cerita-cerita tersebut kurang mengena pada dunia empiris siswa. Keberadaan cerita PAL yang mengaitkan nama-nama daerah di sekitar tempat tinggal siswa akan memudahkan siswa memahami cerita dan mengaitkan cerita dengan dunia empiris siswa. 10.3. Hasil Survai

Hasil wawancara dengan responden yaitu masyarakat Desa Limbasari berkaitan dengan alternatif model pelestarian cerita PAL, didapat hasil yang tergambar dalam tabel berikut ini.

Tabel 8

Rekapitulasi Pilihan Responden terhadap Alternatif Model Pelestarian PAL No Responden Model 1 Model 2 Model 3 Model 4

1 Responden 1 √ 2 Responden 2 √ 3 Responden 3 √ 4 Responden 4 √ 5 Responden 5 √ 6 Responden 6 √ 7 Responden 7 √ 8 Responden 8 √ 9 Responden 9 √ 10 Responden 10 √ 11 Responden 11 √ 12 Responden 12 √ 13 Responden 13 √ 14 Responden 14 √ 15 Responden 15 √ 16 Responden 16 √ 17 Responden 17 √ 18 Responden 18 √ 19 Responden 19 √ 20 Responden 20 √ Jumlah 2 10 7 1 % 10 50 35 5 Keterangan:

Model 1 : melalui pementasan rutin digedung pertunjukan, Model 2 : panulisan dalam bentuk buku

Model 3 : melalui pembelajaran di sekolah Model 4 : alternatif lain yang sesuai.

Data pada tabel tersebut menunjukan bahwa dari 20 responden, 2 responden atau 10% memilih alternatif yang pertama yaitu pementasan rutin di gedung pertunjukan, 10 atau 50% responden memilih penulisan dalam bentuk buku, 7 atau 35 % memilih melalui pembelajaran di sekolah, dan 3 responden atau 15 % memilih alternatif yang lain. Satu responden memberikan alternatif untuk melestarikan cerita PAL yaitu dengan model napak tilas. Menurut informan model

ini diperlukan agar masyarakat melihat lebih langsung tempat-tempat yang ada dalam cerita.

Berdasarkan hasil pilihan para responden maka dapat diambil simpulan bahwa masyarakat Desa Limbasari menginginkan cerita tersebut dapat dijadikan buku yang sekaligus dapat dijadikan sebagai bahan pembelajaran di sekolah. Simpulan ini didasarkan juga bahwa untuk bahan pembelajaran, buku merupakan sarana yang tepat, karena dengan buku siswa dapat membaca dan memahami cerita PAL. Atas dasar inilah penulis menawarkan sebuah alternatif pembelajaran cerita PAL di madrasah untuk melestarikan cerita PAL.

Pemilihan Madrasah Tsanawiyah sebagai tempat alternatif pembelajaran, lebih dikarenakan pada kurikulum Madrasah Tsanawiyah terdapat materi cerita rakyat. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kurnianto, S.Pd., guru Bahasa Indonesia MTs Negeri Bobotsari mengatakan bahwa biasanya materi cerita rakyat diambil dari cerita yang ada dalam buku cetak. Guru belum memperkenalkan cerita rakyat yang ada di daerah, sehingga cerita rakyat lokal yang ada belum mendapat kesempatan untuk disampaikan kepada siswa.

Hasil penelitian pelestarian cerita PAL ini tidak hanya dapat digunakan di Madrasah Tsanawiyah, namun juga di SMP karena kurikulum baik di SMP maupun di Madrasah Tsanawiyah tidak berbeda. Terlebih lagi di Kabupaten Purbalingga, menurut Kurnianto,S.Pd. kegiatan MGMP (Musyawarah Guru Mata Pelajaran) Bahasa Indonesia melibatkan SMP dan MTs di wilayah tersebut.

10.4. Model Pelestarian Cerita PAL di Madrasah Tsanawiyah a) Latar Belakang Filosofis

Cerita PAL merupakan karya sastra sebagai hasil kreatifitas para pendahulu dan diakui sebagai milik bersama. Levi Strauss memandang bahwa karya sastra cerita rakyat merupakan sebuah mitos. Mitos dalam pandangan Levi Strauss tidaklah sama dengan pengertian mitos yang biasa digunakan dalam kajian mitologi. Mitos menurut Levi Strauss tidak harus dipertentangkan dengan sejarah atau kenyataan, karena perbedaan makna dari dua konsep ini terasa semakin sulit dipertahankan. Apa yang dianggap oleh suatu masyarakat atau kelompok sebagai sejarah atau kisah tentang hal yang benar-benar terjadi, ternyata hanya dianggap sebuah dongeng yang tidak harus diyakini kebenarannya oleh masyarakat atau kelompok lainnya.

Cerita PAL sebagi sebuah mitos memiliki struktur tertentu. Struktur ini setelah dianalasis menggunakan strukturalisme Levi Strauss memperlihatkan bahwa cerita PAL merupakan keinginan-keinginan pemiliknya yang tidak disadari dan diekspresikan melalui sebuah cerita. Cerita PAL dalam filosofi orang Jawa sebagai latar belakang pemiliknya menggambarkan perjalanan manusia dalam kehidupannya. Perjalanan hidup manusia berdasarkan cerita PAL dimulai dari menghadapi alam, membentuk kekuasaan, kehidupan bermasyarakat dan penentuan kehidupan.

Melalui cerita PAL pandangan-pandangan filosofis orang Jawa berkaitan dengan kehidupan disampaikan secara simbolik. Penyampaian secara simbolik ini juga erat kaitannya dengan anggapan masyarakat Jawa bahwa

ketika kita memberikan nasihat jangan bersifat menggurui. Jika menyampaikan nasihat secara langsung seolah-olah kita sedang menggurui, hal itu tidak baik saru lan ora ilok. Sehingga masyarakat Jawa sering menggunakan simbol-simbol dalam memberikan arahan maupun nasihat. Menghadapi kebiasaan orang Jawa menggunakan simbol-simbol bahasa ini maka perlu sifat kritis dan pemahaman terlebih dahulu terhadap perkataan orang Jawa. Sebab jika perkataan orang Jawa ditelan mentah-mentah, tanpa adanya pemahaman yang baik, maka sering terjadi kesalahan pemahaman atau salah interpretasi.

Falsafah orang Jawa terhadap kehidupan disimbolkan melalui tokoh dan perilaku tokoh dalam cerita PAL. Bagaimana manusia sebaiknya memperlakukan alam, hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan manusia dengan makhluk lain, hubungan manusia dengan Tuhan, dan hubungan manusia dengan dirinya sendiri, disampaikan melalui interaksi tokoh-tokoh dalam cerita PAL.

Cerita rakyat yang ternyata sarat dengan petuah dan nasihat-nasihat ini lah yang perlu dikaji dan diberikan kepada siswa agar siswa memahami dan dapat mengambil pelajaran dari cerita yang disampaikan.

b) Dasar Estetika

Estetika dimaknai sebagi keindahan. Cerita PAL sebagai sebuah karya sastra tentu saja mengandung keindahan. Setiap karya seni mengandung keindahan yang berwujud penjelamaan pengalaman kejiwaan ke dalam bentuk alamiah yang tepat dan menarik sesuai dengan yang diungkapkannya.

Thomas Aquino (Suroso,2008:72) menyatakan bahwa ada tiga syarat untuk keindahan, yaitu; 1) keutuhan atau kesempurnaan, karena segala kekurangan mengakibatkan keburukan atau kejelekan; 2) keselarasan atau kesimbangan bentuk, sesatu yang harmonis; 3) sinar kejelasan, yakni segala sesatu yang memancarkan nilai-nilai terang atau cemerlang.

Tiga syarat keindahan yang disampaikan Thomas Aquino telah terpenuhi dalam cerita PAL. Pertama, sebagai sebuah karya sastra bentuk dan isi cerita PAL dapat dianggap telah utuh sebagai sebuah mitos maupun legenda, karena baik cerita maupun isinya mengisahkan kejadian tentang manusia dan kemanusiaannya. Kedua, keselarasan atau kesimbangan bentuk dalam PAL dapat dilihat dari struktur cerita maupun alur cerita yang dikisahkan. Cerita PAL menggambarkan alur kehidupan manusia yang diawali dari menghadapi alam, membentuk kekuasaan, kehidupan bermasyarakat dan diakhiri dengan penentuan kehidupan. Ketiga, sinar kejelasan yang dapat dilihat dari cerita PAL adalah tentang nilai-nilai yang diungkapkan melalui jalinan cerita, bahwa seseorang yang melakukan tindakan baik akan menemukan kebaikan dan orang yang melakukan tindak kejahatan atau keburukan akan menerima apa yang telah mereka perbuat.

c) Dasar Budaya

Cerita PAL sebagai sebuah legenda yang merupakan sastra lisan sekaligus masuk salah satu bidang kajian folklor. Salah satu fungsi dari sastra lisan dan folklor adalah sistem proyeksi. Cerita PAL merupakan sebuah

proyeksi yang mengungkapkan secara terselubung atau secara gamblang bagaimana budaya orang Jawa memandang dunianya.

Budaya inilah yang perlu digali dan dikaji melalui pendidikan, sehingga siswa dapat memahami bahwa bangsa kita memiliki budaya yang tinggi. Hal ini sangat penting untuk dijadikan landasan berpikir bagi para pendidik khususnya untuk mencari jatidiri bangsa yang hampir hilang sekarang ini. Gencarnya arus informasi dan budaya luar yang mempengaruhi gaya hidup masyarakat sangat besar pengaruhnya dalam mengikis budaya luhur bangsa. Oleh sebab itu perlu adanya pengenalan terhadap budaya sendiri melalui pemahaman terhadap hasil karya para pendahulu yang sarat dengan pesan dan ajaran-ajaran kehidupan.

d) Orientasi Model

Model pembelajaran ini dirancang untuk pembelajaran cerita rakyat PAL sebagai bahan ajar dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia. Model ini berorientasi pada pembelajaran kontekstual atau CTL ( Contextual Teaching and Learning). CTL dipengaruhi oleh filsafat konstruktifisme yang digagas oleh Mark Baldwin dan selanjutnya dikembangkan oleh Jean Piaget. Dasar teori belajarnya termasuk ke dalam rumpun belajar information-Processing Models dan teori belajar Vigotsky yang termasuk ke dalam Social Interaction Models yang menekankan keaktifan seseorang dalam belajar.

Pembelajaran kontekstual merupakan strategi belajar yang diarahkan pada upaya membantu dan menginspirasi peserta didik melalui proses pengaitan pembelajaran dengan dunia empiris atau dunia nyata

pembelajar. Proses yang dikembangkan adalah melalui dorongan kearah berkembangnya pengalaman baru dengan cara memadukan antara pengetahuan dengan penerapannya di dalam kehidupan peserta didik. Proses ini akan mengakrabkan peserta didik dengan lingkungannya, baik lingkungan keluarga, masyarakat, maupun dunia kerja. Harapannya dengan pembelajaran kontekstual peserta didik menjadi lebih termotifasi untuk belajar.

e) Model Pembelajaran 1) Sintax (urutan kegiatan)

Langkah-langkah dalam model kontekstual ini terdiri dari tujuh langkah. Langkah-langkah dalam model ini adalah sebagai berikut.

(1) Siswa dikelompokan menjadi kelompok kecil yang terdiri dari 4 sampai 5 siswa.

(2) Setiap kelompok menyimak cerita yang disampaikan oleh guru, dengan berusaha menemukan hal yang berhubungan dengan cerita tersebut, misalnya struktur cerita, tokoh dan nilai yang ada dalam cerita.

(3) Siswa mendiskusikan hasil temuannya dalam kelompok, dan melaporkan hasil diskusinya.

(4) Siswa melakukan observasi dan wawancara kepada masyarakat berkaitan dengan cerita rakyat yang ada di daerahnya.

(5) Siswa melakukan diskusi kelas dengan dipimpin oleh guru tentang hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan. Dalam kegiatan ini, siswa membandingkan cerita rakyat yang diperoleh dari daerah masing-masing.

(6) Siswa melakukan refleksi tentang apa yang telah diperolehnya dalam proses pembelajaran.

(7) Siswa melaporkan hasil kerja kelompoknya untuk dinilai oleh guru. Penilaian didasarkan pada proses belajar dan hasil kerja siswa.

2) Sistem Sosial

Model ini bercirikan proses aktif siswa dalam menemukan, menambah, serta memahami lebih dalam mengenai materi cerita rakyat sebagai kearifan lokal yang ada ditengah masyarakat. Komunikasi dengan orang lain sangat penting dalam pelaksanaan pembelajaran, sehingga menumbuhkan kemampuan mengontruksi sesuatu hal secara bekerja sama. Pembelajaran mengintegrasikan kehidupan sosial di kelas maupun di lingkungan masyarakat. 3) Prinsip-prinsip Reaksi

Prinsip-prinsip reaksi ini diperlukan pada tahap awal pembelajaran ketika guru mengenalkan cerita rakyat PAL yang ada di Desa Limbasari sebagai salah satu hasil kebudayaan yang dimiliki masyarakat. Prinsip reaksi ini juga dilakukan ketika mendiskusikan dan menyimpulkan keberadaan cerita rakyat dalam masyarakat.

4) Sistem Penunjang

Sistem penunjang yang diperlukan dalam model pembelajaran ini adalah ketersediaan sarana yang ada pada dunia empiris siswa, masyarakat yang kondusif untuk proses pembelajaran dan bahan pembelajaran yang menarik dan bermanfaat bagi siswa maupun komunitas masyarakat berkenaan dengan pelestarian cerita rakyat.

5) Dampak Instruksional/Penyerta

Dampak yang diharapkan dari model pelestarian cerita rakyat PAL melalui pembelajaran di Madrasah Tsanawiyah adalah sebagai berikut.

(1) Siswa mengenal dan memahami cerita PAL sebagai sebuah hasil karya sastra yang mengandung nilai-nilai dan norma-norma bermasyarakat yang perlu untuk dilestarikan.

(2) Siswa dapat lebih bijak dalam melakukan penafsiran-penafsiran terhadap karya sastra khususnya untuk cerita rakyat yang berupa dongeng, mitos maupun legenda.

(3) Cerita PAL dapat bertahan keberadaannya sebagai sebuah karya sastra yang mengandung banyak pesan-pesan kehidupan.

(4) Masyarakat Desa Limbasari mempunyai harapan yang baik terhadap pelestarian cerita rakyat yang dimilikinya, sebab melalui pembelajaran di sekolah cerita tersebut akan lebih dikenal oleh masyarakat khususnya generasi penerus.

(5) Model pelestarian yang disusun dapat memberikan kontribusi pada pelestarian cerita rakyat lainnya yang masih hidup dan berkembang di masyarakat.

(6) Model yang telah disusun dapat dimanfaatkan oleh guru untuk pembelajaran Bahasa Indonesia, dan selanjutnya dapat dikembangkan agar lebih sempurna.

Selanjutnya model pembelajaran cerita PAL dapat digambarkan melalui bagan berikut ini.

Keterangan:

= Dampak Instruksional = Dampak Penyerta

Gambar 25

Model Pembelajaran Cerita Rakyat PAL Guru Prinsip belajar Mengajar Siswa Pretes

Proses belajar mengajar

Sintaksis 1. Pembagian kelompok 2. Analisis simakan 3. Mengontruksi materi 4. Merefleksikan 5. Mencari dan menemukan data pelengkap melalui observasi dan wawancara di lapangan 6. Mendiskusikan dan

mengontruksi data yang diperoleh 7. Melaporkan hasil temuan 8. Memberikan penghargaan kelompok 1. Meningkatkan apresiasi sastra, cerita rakyat 2. Pembelajaran bermakna 3. Pembelajaran efektif Hasil belajar 1. 1.Siswa mengenal dan memahami cerita PAL 2. 2. Siswa dapat melestarikan cerita rakyat

Sistem Prinsip Sistem Sosial Raksi Penunjang

6) Penyusunan Silabus

SILABUS

Dokumen terkait