• Tidak ada hasil yang ditemukan

8. Analisis Struktur Cerita PAL Model Strukturalisme Levi Strauss

8.2. Struktur Dalam Cerita PAL

Dalam rangka menentukan struktur dalam cerita PAL maka, relasi antar cireteme dihubungkan dengan kebudayaan Jawa sebagai latar belakang pembentuknya. Cerita PAL memberikan gambaran tentang konflik-konflik yang terjadi di dalam kehidupan dan memberikan alternatif penyelesaiannya. Awal mula manusia adalah seorang pengembara yang belum memiliki eksistensi di dunia. Ia harus memperjuangkan eksistensinya di tengah berbagai macam eksistensi dunia. Manusia ini digambarkan tokoh KG yang berjuang mempertahankan eksistensinya dengan mendirikan padepokan. Setelah eksistensi dapat dipertahankan dan lingkungan sosial antarmanusia dapat terwujud, harus ada tatanan, nilai dan norma-norma yang mengatur hubungan tersebut. Bagaimana baiknya manusia berhubungan dengan sesamanya digambarkan oleh tokoh DAW dan WK.

8.2.1. Oposisi Benair Ceriteme-ceriteme dalam Cerita PAL

Anilisis struktural pada dasarnya mereduksi sesuatu menjadi bagian-bagian kecil elemen penyusunnya. Khususnya strukturalisme yang diperkenalkan oleh Levi Strauss, beranggapan bahwa suatu makna dapat diperoleh tidak pada elemen tersebut, tetapi terletak pada relasi antarelemen. Relasi-relasi ini dapat disederhanakan menjadi oposisi berpasangan (binary opposition). Oposisi berpasangan ini akan memperlihatkan proses berpikir manusia.

Untuk mengetahui bagaimanakah proses berpikir pemilik cerita PAL, maka ceriteme-ceriteme yang berhasil didapat dari cerita PAL kemudian dapat

dijelaskan melalui oposisi berpasangan. Berikut ini adalah ceriteme-ceriteme dalam PAL yang dijelaskan melalui oposisi berpasangan.

1) Ceriteme Siti Rumbiah Menikah dengan Ketut Wlingi

Pada kehidupan bermasyarakat, orang Jawa mengenal stratifikasi sosial antara priyayi dengan wong alit. Perbedaan status ini tidak seperti sistem kasta yang berlaku di India dan Bali. Stratifikasi di Jawa sifatnya lebih terbuka. Sistem keanggotaannya tidak hanya diperoleh dari garis keturunan. Ahimsa Putra, ketika menganalisis Para Priyayi menyatakan bahwa priyayi merupakan status sosial yang dicapai melalui proses tertentu. Struktur yang demikian muncul dalam cerita PAL. KG yang berposisi sebagai guru adalah priyayi yang beroposisi dengan muridnya yaitu KW dan P.

Ceriteme menikah yang dilakoni KW adalah jalan ia memperoleh status sebagai priyayi. Status priyayi yang diterimanya tidak lantas didapat secara tiba-tiba. Oposisinya dengan P dapat menjelaskan sejarah mobilitas status tersebut.

P tidak - tidak cakap – tidak - wong alit bertirakat dinikahkan

Wong - murid alit

KW bertirakat – cakap – dinikahkan – priyayi

Gambar 5

Skema ceriteme SR menikah dengan KW

Dari rangkaian ceriteme di atas, terlihat bahwa pada awalnya P dan KW memiliki status yang sama, yaitu wong alit. Namun, pada akhir rangkaian KW menjadi priyayi, sementara P tetap menjadi wong alit. Perbedaan ini dimulai dari elemen bertirakat dan tidak bertirakat. Tirakat adalah usaha-usaha

dalam bentuk menghadapi kesukaran dan kesengsaraan yang berakar pada asumsi usaha semacam itu dapat mengatasi kesukaran-kesukaran, kekecewaan, dan mendatangkan keselamatan (Soesilo,2005:22). Sementara Yana MH (2010:32) mengatakan bahwa tirakat adalah rela dengan sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-maksud ritual dalam budaya ritual keagamaan, yang berakar pada pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam hidup. Dari rangkaian ceriteme tersebut memunculkan oposisi binair:

><

Gambar 6

Oposisi binair ceriteme SR menikah dengan KW

Orang Jawa senang melakukan tirakat melalui berbagai cara misalnya berpuasa, semedi, dan tapabrata. Kegemaran ini dilatarbelakangi pandangan bahwa realitas terbagi menjai dua, yaitu segi lahir dan segi batin. Kedua segi ini menyatu dalam diri manusia. Dimensi lahir manusia terdiri dari tindakan, perkataan, nafsu, dan sebagainya. Sedangkan dimensi batin menyatakan diri dalam kesadaran subjektif dimana kebenaran dan kebijaksanaan sejati ditemukan. Cara Jawa untuk menemukan kebenaran sejati diperoleh melalui “rasa” (Handayani,2004:51-52). Laku tirakat bagi manusia Jawa dipandang mampu meningkatkan kepekaan rasa. Jadi, semakin orang

sering melakukan tirakat, maka semakin dekat orang tersebut dengan kebenaran.

Melalui laku tirakat inilah yang menyebabkan KW dapat menaikan statusnya dari wong alit menjadi priyayi. Sementara P dijadikan contoh manusia yang “malang” karena tidak menjalankan tirakat. Ajaran untuk berprihatin yang salah satunya dijalankan dengan laku tirakat, mengimplikasikan adanya konsep pengetahuan bahwa keberadaan manusia di dunia bergantung pada kekuatan-kekuatan adikodrati.

2) Ceriteme Bertemu dengan Makhluk Halus

Terdapat dua peristiwa yang menceritakan pengalaman bertemu makhluk halus. Pertemuan KG dengan makhluk penghuni sungai dan makhluk halus yang mempersonifikasikan diri sebagai seorang nenek. Pertemuan pertama dengan penghuni sungai berakibat perlawanan, sedangkan dengan seorang nenek meminta petunjuk.

Bertarung – diusir - jahat KG - bertemu makhluk halus

Dimintai pertolongan – menghilang – baik Gambar 7

Skema ceriteme bertemu makhluk halus

Rangkaian ceriteme di atas memperlihatkan oposisi berpasangan yakni:

><

Gambar 8

Oposisi Benair ceriteme bertemu makhluk halus

Seperti manusia, makhluk halus penghuni alam gaib pun ada yang bersifat baik dan jahat. Di dalam cerita PAL pertentangan antara yang baik dan jahat bukan layaknya pertentangan antara hitam dan putih. Lewat cerita PAL oposisi baik dan jahat dapat dilogikakan sebagai berikut.

Dalam perjalanannya KG sampai di sebuah sungai. Banyak makhluk halus di sungai tersebut, agar dapat meneruskan perjalanan, makhluk halus tersebut harus diusir. Keharusan mengusir makhluk halus dimaknai sebagai sikap permusuhan yang dipicu karena ketidak pahaman eksistensi masing-masing. Sebenarnya, pada saat pengusiran, tengah terjadi proses tarik ulur antara KG dengan makhluk halus.

Keberhasilan KG menyisihkan makhluk-makhluk tersebut bermakna bahwa telah tercapai kesepakatan. Bukti dari kesepakatan adalah KG tidak membunuh atau memusnahkan, tetapi memindahkan. Hal inilah yang menyebabkan mengapa pada pertemuan berikutnya, KG malah bertanya. Karena memang telah terjadi kesepakatan atau dalam penjelasan lebih lanjut, telah terjadi pengakuan eksistensi di antara keduanya.

Keputusan KG meminta petunjuk kepada makhluk halus, adalah bentuk penghormatan kepada penghuni alam gaib. Penghormatan tersebut bertujuan mencari selamat dan menjaga keselarasan yang telah dicapai. Dengan bertanya, setidaknya KG telah memohon izin kepada makhluk halus sebelum ia meneruskan tujuannya.

3) Ceriteme Meminta Pertolongan Tuhan

Bagi orang Jawa, Tuhan menempati posisi sentral. Eksistensi-Nya dihayati sebagai kekuatan yang tidak terjangakau oleh manusia. Hal ini dapat dilihat dari sebutan yang disandang-Nya, seperti Sang Maha Agung, Hyang Manon, Hyang Jagad wasesa, Hyang Sukma, dan sebagainya. Ceriteme meminta pertolongan Tuhan ini dilakukan KG dan DAW. KG memohon petunjuk Tuhan, ketika harus berhadapan dengan makhluk halus penghuni sungai. Sementara DAW, memohon pertolongan Tuhan sebagai upaya untuk mengatasi kesulitannya.

Ceriteme meminta pertolongan Tuhan ini dapat digambarkan dalam rangkaian dibawah ini:

DAW mati

menghadapi – meminta petunjuk menyelesaikan masalah masalah

KG hidup

Gambar 9

Skema ceriteme meminta pertolongan Tuhan

Berdasarkan rangkaian ceriteme di atas, dapat dilihat bahwa keduanya dapat menyelesaikan masalah. Namun, bantuan yang diterima KG dan DAW menimbulkan oposisi berpasangan, yaitu:

><

Gambar 10

Oposisi binair ceriteme meminta pertolongan Tuhan

Kematian yang diterima DAW bukanlah suatu kekalahan atau kemalangan, melainkan suatu keberhasilan dalam menyelesaikan masalah. Karena DW meninggal, maka para bupati menyadari kekeliruannya. Orang Jawa menyadari bahwa dunia ini sifatnya fana. Kehidupan yang sejati terletak manakala kematian tiba. Pepatah Jawa, urip mung mampir ngombe yang berarti bahwa hidup hanya sebentar, menjadi contoh yang jelas untuk memahami konsep tersebut (Subagya, 2004:79). Kematian sebagai oposisi dari kehidupan tidak dimaknai sebagi sesuatu yang negatif.

4) Ceriteme Kesulitan Menentukan Arah dan Menggunakan Kesaktian

Cerieme kesulitan menentukan arah dan menggunakan kesaktian menceritakan kebingungan KG dalam menentukan arah perjalanan. Sikap bingung yang dihadapi KG sebagai gambaran bahwa sesungguhnya manusia belum sepenuhnya mampu berhadapan dengan alam. Diceritakan, dengan menggunakan kesaktiannya KG menumpuk batu sebagai alas pijakan yang tinggi. Dari ketinggian itu ia dapat melihat lembah yang dituju berada di sebelah timur laut. Melalui usaha dengan menggunakan kesaktian itulah KG menjadi tahu arah yang dituju.Hal tersebut, memunculkan oposisi berpasangan:

><

Gambar 11

Oposisi binair ceriteme kesulitan menentukan arah dan menggunakan kesaktian

Ketidaktahuan dioposisikan dengan tahu. Keadaan KG yang belum sepenuhnya mampu menghadapi alam adalah cerminan dari ketidaktahuan

manusia tentang keadaan alam sesungguhnya. Meskipun demikian, dalam diri KG terdapat usaha untuk menaklukan alam. Cara yang ditempuh adalah menggunakan kesaktiannya. Manusia pada hakikatnya berpotensi untuk menguasai alam, namun potensi ini harus digali dan dipelajari terlebih dahulu sehingga ia mampu untuk menggunakan alam agar bermanfaat untuk dirinya.

5) Ceriteme Membuka Hutan

Agar dapat dihuni manusia, alam terlebih dahulu harus dibuka dibabad (dibuka). Setelah menemukan lembah yang cocok untuk mendirikan padepokan, KG memerintahkan untuk membuka hutan karena keadaan lembah saat itu masih berupa hutan. Proses pembukaan hutan menjadi padepokan ini memakan korban yaitu meninggalnya P. Pembukaan hutan sebagai alam yang masih asli menjadi tempat tinggal ini memunculkan oposisi berpasangan yaitu:

><

Gambar 12

Oposisi binair ceriteme Membuka Hutan

Tujuan dari membuka hutan adalah menjadikan alam asli yang tadinya angker menjadi tempat yang baik untuk lingkungan hidup manusia. Alam yang belum dibabad adalah tempat roh-roh dan binatang buas, bukan tempat bagi manusia. Baru setelah dibudidayakan, alam menjadi lingkungan yang tepat untuk kehidupan manusia (Suseno,1998:129). Di lain pihak, kematian P dan hidupnya KW menandakan suatu konsep bagaimana manusia membuka hutan yaitu dengan olah rasa. Dalam hal ini P diceritakan sebagai

orang yang belum bisa mengholah rasa sehingga menjadi korban ketika membuka alam. Sementara KW dan KG diceritakan sebgai orang yang dapat mengolah rasa sehingga mampu mengubah lingkungan dari yang angker menjadi bermanfaat bagi manusia.

6) Ceriteme KG Mewariskan Padepokan Kepada Ketut Wlingi

Padepokan yang berhasil didirikan oleh KG maju pesat. Suatu ketika, tibalah saatnya bagi KG untuk mewariskan padepokannya. Orang yang dipilih adalah KW, menantunya. Dipilihnya KW untuk mewarisi padepokan ini muncul pertanyaan mengapa KW menantu KG bukan SR sebagai anak dari KG? Pertanyaan ini memunculkan oposisi berpasangan yaitu :

><

Gambar 13

Oposisi binair ceriteme KG mewariskan padepokan kepada KW

Budaya Jawa sebenarnya tidak ada pembedaan antara laki-laki dan perempuan. Meskipun apabila melihat arti dari kata perempuan mengimplementasikan adanya konsep inferioritas dibanding laki-laki. Kata perempuan disinonimkan dengan kata wadon, yang diartikan wadu (bahasa kawi). Kata wadu ini maksudnya kawulo atau abdi (Supraptiningsih, 2002) . Selain itu, istilah konco wingking (teman belakang) juga memberikan konotasi rendah pada perempuan. Pada cerita PAL tokoh perempuan diwakili oleh SR dan DAW. Kedua tokoh ini diceritakan mengalami peristiwa berkaitan dengan perkawinan. Jika SR dijodohkan oleh KG, hal ini menunjukan bahwa SR

sebagai perempuan tidak berhak memilih ataupun tidak punya kekuatan dan kemampuan untuk memilih, sementara DAW harus menjadi korban karena dirinya juga tidak bisa memilih atau menolak atas lamaran empat bupati. Namun demikian, dalam cerita PAL diskriminasi pada perempuan tidak terlihat dalam ceritanya. Hal ini terlihat dari bantuan yang diberikan oleh WK kepada DAW, maupun diberikannya kebebasan pada DAW untuk memilih sampai pada disetujuinya permintaan DAW untuk melakukan tapa pendem.

Pilihan KG pada KW dalam hal mewariskan padepokan lebih mengacu pada kepemimpinan paternalistik. Seorang laki-laki dipandang lebih pantas diserahi tanggung jawab daripada perempuan. Pandangan ini dicontohkan oleh Suseno (1998:171) bahwa dalam keluarga Jawa, mempunyai anak laki-laki lebih diharapkan. Karena laki-laki diharapkan mampu bertanggung jawab dan melindungi adik-adiknya dalam keluarga (Suseno,1998:171).

7) Ceriteme Kyai Gandawesi Mengembara ke Selatan

Pada awal cerita dikisahkan bahwa KG mengembara mencari tempat untuk mendirikan padepokan. Setelah berhasil mendirikannya, akhirnya padepokan diwariskan kepada menantunya. Ia memilih untuk melanjutkan pengembaraannya ke selatan. Ceriteme ini memunculkan sistem oposisi berpasangan yaitu :

><

Gambar 14

Oposisi binair ceriteme Kyai Gandawesi Mengembara ke Selatan

Sistem oposisi mengembara dan menetap, menerangkan bagaimana tujuan manusia Jawa di dunia. Bahwa hakikat hidup tidak ditemukan di dunia ini melainkan di alam sana. Hidup hanya sebentar mampir ngombe, sebagaimana KG menetap mendirikan padepokan, kemudian kembali mengembara. Konsep ini mengajarkan bagi manusia Jawa, bahwa menjalani hidup tidak perlu ngoyo (bernafsu atau berambisi yang berlebihan), toh dunia yang ditinggali sekarang juga akan ditinggalkan.

8) Ceriteme Empat Bupati Berebut Satu Putri (DAW)

Ceriteme empat bupati berebut satu putri ini menceritakan konflik yang terjadi dalam cerita PAL. DAW suatu ketika dibuat bingung karena kedatangan empat bupati yang bertujuan sama, yaitu mempersunting dirinya. Keempat bupati tersebut tidak ada satu pun yang mau mengalah. Dari sini kemudian muncul oposisi berpasangan yaitu :

><

Gambar 15

Oposisi binair ceriteme empat bupati berebut satu putri

Tujuan orang Jawa adalah menjaga keselarasan, keseimbangan, dan menghindari diri dari hal-hal yang dapat mendatangkan konflik. Oleh sebab itu, tindakan manusia Jawa diarahkan pada pemeliharaan kerukunan. Untuk menjaga kerukunan, setiap individu dituntut mengontrol setiap tindakan yang dilakukannya. Menghadapi orang-orang yang melamarnya, DAW berusaha mengontrol dirinya. Sebab, apabila ia gegabah dalam mengambil keputusan,

bukan tidak mungkin terjadi konflik yang membahayakan baik bagi dirinya maupun bagi seluruh penghuni padepokan.

Tindakan para bupati mencerminkan manusia-manusia yang dikuasai oleh hawa nafsu. Mereka bersikeras ingin mempersunting DAW. Tindakan ini akhirnya mendatangkan konflik, yaitu meninggalnya DAW dan WK.

9) Ceriteme Wlingi Kusuma menolong Dyah Ayu Wasiati

Ceriteme WK menolong DAW ini menunjukan hubungan kakak beradik yang memunculkan oposisi berpasangan yaitu:

><

Gambar 16

Oposisi binair ceriteme WK menolong DAW

Konsep Jawa, keluarga merupakan sarang keamanan dan sumber perlindungan. Peran orang tua tidak tergantikan, mereka memberikan cinta kasih dan segala yang dibutuhkan anaknya tanpa syarat dan imbalan apapun. Hubungan kakak beradik umumnya terdapat suasana keakraban, khususnya kakak laki-laki bagi adik perempuan merupakan pahlawan, tanpa tanding, dikagumi, dihormati, dan diakui tanpa batas (Suseno,1988:167-171).

Kerelaan perang tanding yang dilakoni oleh WK, merupakan representasi konsep kepahlawanan kakak laki-laki bagi adik perempuan. WK muncul disaat yang tepat, ketika DAW mengalami kebingungan. Sikap rela

berkorban untuk melindungi adiknya diperjuangkan WK sampai titik penghabisan.

10) Ceriteme Bupati Mengeroyok Wlingi Kusuma

Ketika tidak ada satu pun yang mampu mengalahkan WK, timbul niat jahat para bupati untuk mengeroyoknya. Hal ini dapat dilihat pada skema berikut.

WK menang - bertarung – kalah - mati Satu sendiri bertarung - lawan

satu

PB kalah – bertarung – menang – hidup Bersama

Gambar 17

Skema ceriteme bupati mengeroyok WK

Awal pertarungan dimenangkan oleh WK, namun ketika para bupati melakukan pengeroyokan akhirnya WK kalah dan meninggal. Peristiwa ini memunculkan oposisi berpasangan :

><

Gambar 18

Oposisi binair ceriteme bupati mengeroyok WK

Sistem oposisi ini bagi orang Jawa termanifestasi pada ajaran gotong royong. Keberhasilan para bupati mengalahkan WK menunjukan bahwa kekuatan sedikit pun mampu mengalahkan kekuatan yang perkasa, apabila dikerjakan bersama-sama.

11) Ceriteme Dyah Ayu Wasiati Meninggal

Setelah WK meninggal, DAW tetap tidak mampu membuat keputusan. Akhirnya DAW bermaksud memohon pertolongan Tuhan dengan jalan tapa pendem. Untuk lebih jelasnya ceriteme DAW meninggal ini, dapat diterangkan dalam rangkaian berikut;

DAW : perempuan sangat cantik

meninggal WK sangat sakti Laki-laki PB biasa/sedang hidup Gambar 19

Skema ceriteme DAW meninggal

Dalam rangkaian ceriteme di atas WK disejajarkan dengan DAW yaitu, sama-sama memiliki sifat yang berlebihan, para bupati ditempatkan pada posisi sedang. Penempatan posisi ini berdasarkan analogi bahwa seorang penguasa tidak mungkin tidak mempunyai kesaktian. Kekurangan dari para bupati juga terlihat pada ketidak mampuan mereka menandingi WK. Sistem oposisi berpasangan yang muncul dari ceriteme ini yaitu;

><

Gambar 20

Oposisi binair ceriteme DAW meninggal

DAW dan WK ditempatkan pada posisi berlebihan. Pada posisi berlebihan ini akhirnya DAW dan WK meninggal, sedangkan para bupati yang berada pada posisi sedang dapat terus hidup. Oposisi antara berlebihan dan sedang ini bagi manusia Jawa memunculkan konsep “sak madya”. Nilai sak madya bagi orang Jawa adalah menjalani kehidupan tidak perlu berlebihan, sak cukupe (secukupnya). Apabila cantik jangan berlebihan dan sakti pun tidak berlebihan. Sebab berlebihan mengakibatkan ketidakseimbangan atau menimbulkan ketidakharmonisan. Hal ini tercermin pada kisah DAW dan WK, yang mengundang malapetaka.

8.2.2. Struktur Sejarah kehidupan dalam PAL

Berdasarkan pada episode-episode yang terbentuk pada cerita PAL , dapat dibentuk sebuah deret diakronik yang menunjukan adanya sejarah kehidupan bagi manusia. Deret diakronik yang didapat dari episode-episode di dalam PAL adalah sebagai berikut: menghadapi alam- membentuk kekuasaan- kehidupan bermasyarakat – penentuan kehidupan (takdir). Deret diakronik ini merupakan struktur pertama yang diperlihatkan dalam cerita PAL, yang dapat digambarkan berikut ini:

Gambar 21

Struktur Sejarah Kehidupan

Menghadapi Alam Membentuk Kekuasaan

kehidupan bermasyarakat Penentuan kehidupan

Urutan struktur sejarah kehidupan manusia yang dapat diambil dari cerita PAL, memperlihatkan bagaimana tokoh-tokoh dalam PAL menggambarkan manusia Jawa dalam menjalani kehidupan mereka. Episode pertama bercerita tentang KG bertarung menaklukan alam, episode kedua, ketiga, dan keempat mengisahkan usaha-usaha KG, KW, dan P mendirikan padepokan sebagai aktualisasi dari kekuasaan. Episode kelima, ketika DAW dilamar merupakan gambaran dari perwujudan kehidupan bermasyarakat. Di episode akhir cerita DAW meninggal adalah representasi dari bekerjanya sistem takdir atau penentuan kehidupan.

Struktur sejarah kehidupan, menggambarkan empat pandangan manusia Jawa tentang alam kodrati dan adikodrati, yaitu pandangan tentang sikap manusia terhadap dunia luar (alam asli), kekuasaan, kehidupan bermasyarakat, dan konsep takdir. Uraian masing-masing pandangan tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

1) Pandangan Manusia Jawa tentang Konsep Dunia Luar (alam asli)

Konsep pertama pandangan dunia Jawa, adalah penghayatan terhadap alam. Orang Jawa menganggap alam asli adalah angker, mengerikan, membahayakan, penuh dengan roh-roh yang tidak dikenal. Berhadapan dengan alam, manusia sedapat-dapatnya berusaha untuk menaklukannya (Suseno,1988:129). Kata menaklukan dalam hal ini tidak berorientasi pada pengeksploitasian tetapi lebih tepatnya penyesuaian. Suatu proses adaptasi, yaitu mewujudkan suatu kondisi yang selaras, serasi antara manusia dan makhluk bukan

manusia agar dapat hidup berdampingan, saling menghormati, dan terutama tidak mengganggu.

Keangkeran alam asli tercermin pada kewingitan sungai yang ditemui rombongan KG. Ia harus bersusah payah menaklukan alam asli dengan jalan mengusir setan-setan yang mendiami sungai. Keberhasilan KG menyingkirkan makhluk halus tersebut digunakan sebagai simbol keberhasilan KG menaklukan alam asli.

2) Pandangan Manusia Jawa tentang Konsep Kekuasaan

Setelah berhasil menaklukan alam, tujuan manusia adalah membentuk kekuasaan. Suseno (1988:98-107) mengatakan bahwa konsep kekuasaan bagi manusia Jawa berbeda dengan pandangan dunia barat. Kata kekuasaan bukan terjemahan dari kata power. Apabila dunia barat menganggap bahwa kekuasaan sebagai kemampuan untuk memaksakan kehendak pada orang lain, membuat mereka berkehendak sesuai dengan keinginan penguasa. Kekuasaan dalam pandangan Jawa adalah pengungkapan kekuatan kosmis, artinya seorang penguasa tidak hanya memiliki kekuatan yang bersifat empiris seperti kekayaan, relasi, kekuatan fisik, tetapi juga bekemampuan menghimpun kekuatan metempiris. Raja yang berkuasa adalah orang yang mampu mempersatukan seluruh kekuatan kosmis. Perwujudan dari kekuasaan adalah keadaan sejahtera, adil, dan tentram, serta keselarasan dalam masyarakat dan alam tanpa gangguan, mendapat pengabdian dari masyarakat tanpa paksaan.

KG dalam cerita PAL merupakan contoh manusia Jawa yang mempunyai kekuasaan. Ia memiliki kesaktian yang lebih dibanding dengan

manusia biasa. Perjalanannya mencari lembah adalah usahanya untuk mendirikan kekuasaan. Pada proses ini, KG banyak menemui hambatan. Sungai yang dihuni banyak makhluk halus, pertemuan dengan seorang nenek yang merupakan jelmaan dari makhluk halus, adalah penggambaran alam asli yang angker dan penuh teka-teki. Untuk mewujudkan cita-cita mendirikan padepokan, KG harus berdamai dengan penghuni alam metempiris tersebut.

3) Pandangan Manusia Jawa tentang Hubungan Bermasyarakat

Pengembaraan KG dilakukan bersama keluarganya yaitu anak, menantu, cucu, dan pembantunya. Rombongan tersebut adalah implikasi dari pandangan Jawa tentang sistem kemasyarakatan, bahwa bagi orang Jawa masyarakat pertama yang terwujud adalah keluarganya sendiri, baru kemudian tetangga hingga akhirnya seluruh desa, Suseno (1988:85). Ketika padepokan Nimbasari berhasil didirikan menandakan bahwa suatu proses tatanan masyarakat berhasil dibentuk.

Interaksi antar sesama manusia terjadi dalam kehidupan bermasyarakat. Manusia menempatkan diri sebagai makhluk pribadi dan sosial. Manusia sebagai makhluk sosial harus mengakui eksistensi manusia lainnya. Dalam epistemologi Jawa hubungan sosial yang mengatur keheterogenan individu tertuang dalam filsafat memayu hayuning bawana. Semangat memayu hayuning bawana adalah hakikat utama manusia Jawa, bahwa seorang manusia berkewajiban menjaga ketentraman dunia, menegakan kebenaran dan keadilan, serta mencegah segala

Dokumen terkait