• Tidak ada hasil yang ditemukan

Suntingan akhir cerita PAL diperlukan untuk menganalisis cerita ini sehingga diketahui makna atau pesan-pesan yang ada dalam cerita. Suntingan ini menggunakan metode gabungan, yaitu menggabungkan teks lisan dengan teks cetak. Langkah penggabungan teks lisan dan teks cetak dilakukan dengan pertimbangan, bahwa dalam kenyataannya teks cetak pun mengalami proses penurunan secara lisan (Ratri,2008:67). Hal ini membuktikan bahwa tradisi cetak dan lisan bercampur di masyarakat Desa Limbasari. Untuk kepentingan suntingan teks lisan menjadi data primer, sedangkan teks cetak dijadikan varian pelengkapnya. Suntingan cerita PAL adalah sebagai berikut.

Pada zaman dahulu, terdapat serombongan orang yang melakukan perjalanan untuk membangun padepokan. Rombongan tersebut dipimpin oleh Kyai Gandawesi yang berasal dari kerajaan Mataram dengan diikuti Siti Rumbiah, Ketut Wlingi, Patrawisa dan beberapa prajurit. Ketut Wlingi dan Patrawisa adalah murid serta pembantu Kyai Gandawesi yang berasal dari Bali. Kemudian karena Ketut Wlingi bertabiat baik, rajin dan cakap, akhirnya dinikahkan dengan anak Kyai Gandawesi yaitu Siti Rumbiah. Perkawinan Ketut Wlingi dan Siti Rumbiah ini dikaruniai dua orang anak, yaitu Wlingi Kusuma dan Dyah Ayu Wasiati. Wlingi Kusuma tumbuh menjadi pemuda yang cakap, pemberani, dan mempunyai kesaktian yang tinggi, sementara Dyah Ayu Wasiati tumbuh menjadi gadis yansg cantik jelita serta halus budi pekertinya.

Dikisahkan, setelah sekian lama mengembara sampailah mereka di tepian sungai. Sungai tersebut sangat angker. Banyak makhluk halus berdiam di sungai tersebut. Agar dapat mencapai seberang mau tidak mau mereka harus menyeberangi sungai tersebut. Kyai Gandawesi melakukan semedi memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa agar dapat menyingkirkan makhluk halus tersebut. Dengan izin Allah, setan-setan tersebut dapat disingkirkan ke sebuah tempat. Kyai Gandawesi menamakan tempat menyingkirnya setan-setan tersebut dengan nama Penisihan, yang artinya tempat untuk menyisih atau menyingkir. Sementara tempat Kyai Gandawesi semedi diberi nama Pamujan yang berarti tempat untuk memuja. Sungai yang mereka lewati diberi nama Kedung Belis, kedung berarti sungai, dan belis berarti setan. Kedung Belis berarti sungai yang banyak setannya. Akhirnya mereka berhasil menyeberang sungai dengan selamat.

Setelah berhasil menyeberangi sungai rombongan Kyai Gandawesi sampai di sebuah bukit. Di bukit tersebut, Kyai Gandawesi kebingungan dalam memilih arah mana yang tepat untuk dituju. Berbekal kesaktian dan kekuatan yang dimiliki, ia menaikan batu berukuran raksasa untuk landasan tempat ia melihat arah. Dari atas batu inilah terlihat sebuah lembah yang terletak di arah timur laut dari tempatnya berdiri. Lembah tersebut terlihat cocok untuk membangun sebuah padepokan, karena letaknya yang strategis, yaitu diapit dua buah sungai di timur dan barat dan disebelah utara terdapat perbukitan. Kemudian tempat untuk melihat arah ini diberi nama Watu Tumpang yang berarti batu yang tumpang tindih.

Di tengah perjalanan menuju lembah tersebut, mereka bertemu dengan seorang nenek. Kyai Gandawesi kemudian bertanya kepada nenek tersebut, tentang arah mana yang harus ditempuh ke lembah untuk mendirikan sebuah padepokan. Setelah menjawab pertanyaan, nenek tersebut menghilang. Untuk mengenang kejadian tersebut Kyai Gandawesi memberi nama bukit tempat bertemu dengan nenek tersebut dengan nama Gunung Nini yang berarti gunung nenek.

Setelah berjalan berhari-hari, sampailah mereka ke lembah yang dituju. Di lembah tersebut mereka mendirikan padepokan untuk menyebarkan ilmu. Pada waktu itu, lembah masih berupa hutan belantara. Kyai Gandawesi memerintahkan kepada dua orang pembantunya untuk membuka hutan sampai dapat digunakan untuk membuat padepokan. Pada saat kedua pembantunya yang bernama Patrawisa dan Ketut Wlingi membuat irigasi dan bendungan untuk memenuhi

kebutuhan air di lembah, Patrawisa jatuh terpeleset dan meninggal dunia. Tempat meninggalnya Patrawisa ini sampai sekarang bernama Patrawisa atau Patrawingsa. Hasil saluran irigasi berupa aliran sungai dinamakan Sungai Wlingi untuk menghormati jasa Ketut Wlingi. Akhirnya di lembah tersebut dibangun padepokan yang diberi nama Nimbasari. Nama ini diambil karena di padepokan tersebut orang-orang dapat menuntut ilmu (nimba artinya menuntut, sari artinya ilmu). Nama Nimbasari lama-kelamaan kemudian berubah menjadi Limbasari.

Dari tahun ketahun padepokan Nimbasari semakin terkenal sampai jauh keluar wilayah, dengan gurunya Kyai Gandawasi, ada juga yang menyebutnya Kyai Kendilwesi. Kyai Gandawesi menyadari bahwa umurnya telah lanjut. Tibalah saatnya untuk menyesihkan diri menekuni hari tuanya. Akhirnya dia berpamitan dengan penghuni padepokan. Kepemimpinan dan pengelolaan padepokan diserahkan kepada menantunya Ketut Wlingi. Kyai Gandawesi meninggalkan Nimbasari menuju daerah pesisir selatan. Tidak ada seorang pun yang mengetahui kemana Kyai Gandawesi mengembara. Disuatu daerah pantai di Kabupaten Cilacap terdapat sebuah makam yang dikenal sebagai makam Kendilwesi. Petilasan itulah yang kemungkinan merupakan tanda bahwa Kyai Gandawasi atau Kyai Kendilwesi pernah tinggal di kawasan tersebut.

Nimbasari tidak hanya padepokan saja yang terkenal, tetapi putri penghuni padepokan pun turut terkenal terutama Dyah Ayu Wasiati juga sangat terkenal dengan kecantikan parasnya dan kehalusan budinya. Tidak sedikit para pemuda yang datang hendak mempersunting Dyah Ayu Wasiati. Namun demikian lamaran para pemuda selalu ditolak oleh Dyah Ayu Wasiati.

Pada suatu waktu, datanglah empat orang bupati bersama-sama dengan maksud mempersunting Dyah Ayu Wasiati. Empat bupati tersebut adalah; Bupati Wirayuda dari Bandingan, Bupati Wiratenaya dari penisihan, Bupati Wirataruna dari Beji, dan Bupati Wirapraja dari Sawangan. Lamaran keempat bupati ini membuat Dyah Ayu Wasiati menjadi bingung. Ia tidak mungkin memilih kempat-empatnya dan apabila salah satu dipilih maka yang lain akan kecewa dan marah. Apabila bupati yang tidak terpilih marah, maka akan membuat penghuni padepokan akan resah dan takut. Hal ini disebabkan para bupati mempunyai kedudukan dan pengaruh disekitar Nimbasari, apalagi mereka dulu adalah murid Kyai Gandawesi.

Melihat keresahan yang dialami Dyah Ayu Wasiati, Wlingi Kusuma sebagai kakak tidak tega melihatnya. Ia menawarkan jalan keluar dengan membuat sayembara. Sayembara tersebut berbunyi barang siapa yang mampu mengalahkannya, ia berhak mempersunting Dyah Ayu Wasiati. Sayembara tersebut kemudian disetujui oleh Dyah Ayu Wasiati dan keempat bupati tersebut. Pertempuran antara Wlingi Kusuma dan para bupati pun dimulai. Namun karena Wlingi Kusuma sangat sakti, maka tidak satu pun bupati yang sanggup mengalahkannya. Hal ini membuat resah para bupati. Mereka akhirnya sepakat untuk mengalahkan Wlingi Kusuma dengan jalan mengeroyoknya. Meskipun dikeroyok empat bupati Wlingi Kusuma tetap tak terkalahkan. Ia mempunyai kesaktian bahwa apabila ia mati kemudian jasadnya menyentuh tanah maka ia dapat hidup kembali. Melihat kondisi ini, para bupati kemudian memotong-motong tubuh Wlingi Kusuma yang saat itu mati agar tidak dapat bersatu lagi.

Potongan-potongan tubuh Wlingi Kusuma kemudian, dibawa oleh para bupati. Bagian lambung yang dalam bahasa Jawa dinamakan bumbung dibawa bupati Wiratenaya ke kadipatennya di Penisihan. Namun dalam perjalanan bumbung itu akhirnya dikubur, karena Wiratenaya tidak tahan membawa lambung yang terus bergerak-gerak. Tempat untuk menguburkan lambung tersebut diberi nama Palumbungan yang diambil dari nama bumbungan.

Bagian anggota tubuh Wlingi Kusuma berupa kepala dibawa Bupati Wirapraja ke daerah Tlahab dan dikuburkan di daerah tersebut. Tempat untuk menguburkan kepala Wlingi Kusuma ini diberi nama Siregol, yang berarti sirah gigal atau kepala jatuh. Kaki Wlingi kusuma dibawa Bupati Wirayuda ke arah utara yaitu daerah Karang Jambu dan dikuburkan di tempat tersebut. Daerah ini kemudian diberi nama Lemah Jangkar. Wirataruna membawa kemaluan Wlingi Kusuma dikuburkan di tepi sungai Laban. Tempat itu kemudian dinamakan Gunduk Sikonthol. Gundukan itu sampai sekarang apabila ditanami berbagai tanaman selalu mati atau tidak berbuah. Dengan cara demikian akhirnya Wlingi Kusuma benar-benar tewas.

Meninggalnya Wlingi Kusuma dengan cara licik membuat marah Ketut Wlingi. Ia berniat menuntut balas, tetapi Siti rumbiah dan Dyah Ayu Wasiati segera menyadarkannya. Apabila Ketut Wlingi menuruti hawa nafsu, dapat dipastikan akan menimbulkan kekacauan di Nimbasari. Setelah ditenangkan oleh anak dan istrinya, Ketut Wlingi akhirnya menyadari bahwa kematian Wlingi Kusuma sudah menjadi suratan takdir.

Setelah Wlingi Kusuma tewas, kalah dalam pertempuran karena kelicikan para bupati, Dyah Ayu Wasiati semakin bingung. Apalagi ketika para bupati menagih janji atas kekalahan Wlingi Kusuma. Kekalahan kakaknya bukan oleh seorang bupati melainkan oleh keempat bupati tersebut. Sebagai seorang berbudhi mulia Dyah Ayu Wasiati mengakui kekalahan kakaknya dalam sayembara, tetapi ia tidak dapat memilih dari keempat bupati tersebut untuk menjadi suaminya.

Untuk mengatasi hal ini, Dyah Ayu Wasiati kemudian mengajukan permohonan. Untuk menentukan siapa yang akan dipililih sebagai suaminya, ia akan memohon petunjuk kepada Yang Maha Kuasa dengan jalan tapa pendhem (bertapa di dalam tanah). Ia kemudian meminta dibuatkan sebuah lobang untuk tempat bertapa. Permohonan akhirnya dapat diterima oleh para bupati. Untuk mengetahui apakah Dyah Ayu Wasiati sudah dapat petunjuk atau belum, maka digunakan seutas tali yang dipegang Dyah Ayu Wasiati bagian ujung dan bagian ujung yang lain menjulur keluar lobang bertapa. Tali ini dimasukan ke dalam bambu yang sekaligus sebagai tempat bernafas. Apabila tali tersebut masih bergerak-gerak, maka manandakan Dyah Ayu Wasiati belum mendapat petunjuk. Apabila tali sudah diam tak bergerak menandakan Dyah Ayu Wasiati sudah dapat petunjuk dan lobang tempat bertapa dapat dibongkar.

Setelah ditunggu beberapa hari oleh para bupati, akhirnya tali tersebut diam tak bergerak. Melihat hal ini dengan cepat para bupati membongkar lobang tempat Dyah Ayu Wasiati melakukan tapa pendhem. Para bupati semakin berharap bahwa dirinyalah yang akan terpilih untuk menjadi suami Dyah Ayu Wasiati. Namun setelah lobang dibongkar, betapa terkejutnya keempat bupati

melihat jazad Dyah Ayu Wasiati yang telah terbujur kaku di dalamnya. Melihat kejadian ini para bupati menyadari kekeliruannya. Mereka sangat menyesal dan merasa bersalah kepada Dyah Ayu Wasiati dan keluarganya.

Setelah peristiwa tersebut, Ketut Wlingi membuat larangan atau arahan kepada masyarakat Nimbasari pada saat itu, bahwa apabila nanti padepokan ini tambah maju, jika ada perempuan Nimbasari yang cantik jangan terlalu cantik, dan tidak boleh memanjangkan rambutnya melebihi lutut. Hal ini karena Dyah Ayu Wasiati diceritakan berambut panjang sampai lutut. Apabila terdapat perempuan yang cantiknya menyamai Dyah Wasiati, maka hidupnya tidak akan tentram dan tidak akan berumur panjang.

Proses penelitian yang telah penulis paparkan di atas, mulai dari proses pemerolehan cerita PAL yang berada di masyarakat sampai dengan pemerolehan suntingan teks yang lengkap dapat penulis gambarkan pada skema berikut ini.

transkripsi

wawancara translasi

kritik teks lisan gabungan

perbandingan

Gambar 2

Skema Pemerolehan Suntingan Cerita PAL

Skema tersebut menunjukkan bahwa cerita PAL yang masih ada di tengah masyarakat diambil melalui proses wawancara. Proses ini menghasilkan teks lisan, kemudian teks lisan hasil wawancara di lakukan transkripsi dan translasi. Hasil transkripsi dan translasi ini ditemukan varian teks yang diperoleh dari beberapa informan yang telah diwawancarai. Proses selanjutnya adalah membuat kritik teks lisan yaitu suatu langkah untuk memberikan penilaian atau

Masyarakat PAL

Teks

Lisan Varian teks lisan

Suntingan Teks Lisan Teks Cetak

Suntingan Teks Lengkap

evaluasi terhadap teks, dengan cara meneliti, membandingkan teks satu dengan teks yang lainnya, serta menentukan teks yang paling baik untuk dijadikan bahan suntingan. Suntingan teks hasil kritik teks lisan ini kemudian dibandingkan dengan teks cetak yang di masyarakat. Proses terakhir adalah menggabungkan teks lisan dengan teks cetak, dengan teks lisan sebagai data primer dan teks cetak sebagai pelengkap. Melalui proses penggabungan ini maka diperoleh suntingan teks lengkap.

Proses analisis selanjutnya adalah menganalisis struktur, nilai moral, dan pelestarian cerita PAL dengan bersumber dari suntingan teks lengkap. Sebelum proses analisis ini terlebih dahulu penulis sampaikan penyebaran cerita PAL di wilayah Kabupaten Purbalingga. Hal ini diperlukan untuk mengetahui sejauhmana penyebaran cerita PAL di wilayah tersebut.

Dokumen terkait