• Tidak ada hasil yang ditemukan

PADA SKALA LABORATORIUM

III. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Kondisi Sifat Fisik dan Kimia Tanah

4. Model Pola Tanam Cendana a. Pola Mandiri

Hasil pengembangan cendana pola mandiri di masyarakat yang dilakukan berupa demplot penanaman yang sesuai dengan keinginan dan kemampuan masyarakat, kesesuaian tumbuh tanaman cendana, serta yang paling penting adalah kemauan pemilik lahan dalam mengembangkan cendana pola mandiri secara partisipatif. Uji coba menggunakan inang sekunder yang disesuaikan dengan ketersediaan inang alami yang sudah ada dan keinginan masyarakat. Berdasarkan hasil sosialisasi telah disepakati lokasi penanaman cendana di Desa Tanglad dan Pejukutan (di lahan masyarakat per orang 5 bibit/orang), dan di Pelaba Pura Desa Pejukutan 1 lokasi. Hasil rata€rata pertumbuhan cendana dengan penanaman pola mandiri disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Rata-rata Persen Hidup, Tinggi dan Diameter Bibit Cendana Umur 1 (satu) Tahun pada Pengembangan Pola Mandiri No. Lokasi Model penanaman Jumlah bibit ditanam (pohon) Hidup (%) Tinggi (cm) Diameter (cm) 1 Desa Tanglad Cemplongan 170 18,19 36,71 0,34 2 Desa Pejukutan Cemplongan di pelaba Pura 100 25,14 54,18 0,56 3 Desa Pejukutan Cemplongan 500 20,56 45,23 0,46

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pengembangan cendana secara mandiri dengan pembagian bibit 5 pohon/orang kurang berhasil dengan baik, dengan persen tumbuh 18,19-20,56 % di Desa Tanglad maupun Pejukutan. Hal ini disebabkan karena masyarakat belum paham tentang budidaya cendana dan masih disamakan dengan tanaman lain, di mana tanaman cendana yang dibagikan tidak langsung ditanam dan penanamannya tanpa inang sekunder (inang lapangan).

Pengembangan cendana di Pelaba Pura Desa Pejukutan dilakukan penanaman dengan cemplongan di lokasi tanah sekitar Pura Puseh. Pada tahap awal pertumbuhannya cukup baik (umur 2 bulan) akan tetapi karena ada pembersihan tanah pelaba pura oleh penduduk setempat semua semak dan pohon inang turut di potong, sehingga dalam kondisi kering pohon cendana banyak yang mati, dan tanamannya juga kurang terawat oleh warga pengempon pura. Daerah pelaba pura sebenarnya lokasi yang aman dari pencurian dan gangguan ternak/kebakaran, namun masyarakatnya kurang tertarik dan atau kurang begitu paham tentang pemeliharaannya cendana.

b. Pola Cubang

Hasil penelitian penanaman di sekitar cubang di lahan masyarakat menunjukan pada umur 8 bulan setelah tanam pertumbuhan cendana cukup baik dengan persen tumbuh 75,17 % (Tabel 4) dari sekitar 20 pohon cendana/cubang. Pada musim kering masyarakat pemilik pohon berkewajiban menyiram tanaman cendana. Hasil pantauan menunjukan masyarakat belum intensif menerapkan penyiraman. Untuk keberlangsungan program ini perlu pendampingan dan sosialisasi yang intensif pada tahun 1 dan 2 setelah penanaman.

Tabel 4. Rata-rata pertumbuhan tinggi, diameter, dan persen hidup tanaman cendana umur 8 bulan setelah tanam di sekitar cubang

No. Lokasi Lokasi/ Model Jumlah bibit (pohon) Tinggi (cm) Diameter (cm) Persen tumbuh (%) 1 Desa Pejukutan Lahan petani, 30 cubang, @ 20 pohon 600 39,14 0,52 75,17

Pola cubang tersebut dapat mengatasi kematian cendana di musim kering pada tahun pertama penanaman. Dewasa ini diketahui bahwa salah satu penyebab tingginya kematian cendana adalah kondisi biofisik wilayah di Nusa Penida yang kurang menguntungkan yaitu mempunyai tanah marginal dan musim kemarau yang panjang yaitu 9 bulan dengan curah hujan yang rendah, hari hujan pendek dan tidak teratur. Kondisi kekeringan/kekurangan air ini terjadi setiap tahun yang menyebabkan tingginya kematian tanaman dan

Cubang adalah salah satu tempat penampungan air hujan di bawah tanah dengan kapasitas 6-8 m3yang digunakan untuk mandi dan minum ternak di kebun. Ketersediaan air pada cubang bisa bertahan selama musim kering dan akan terisi kembali dimusim hujan, peranannya sangat penting yang dapat dimanfaatkan untuk mengairi secara terbatas tanaman cendana dalam sekala kecil 10-20 pohon, sehingga di musim kering tanaman dapat disiram dan akan meningkatkan daya adaptabilitas bibit di lapangan terutama untuk membantu kelancaran proses fisiologi tanaman untuk mengatasi stres kekeringan.

Stres kekeringan pada tanaman cendana disebabkan oleh kekurangan suplai air di daerah perakaran akibat kekurangan air dan penguapan yang berlebihan atau terjadi laju evapotranspirasi melebihi laju absorpsi air oleh akar tanaman. Menurut Kremer et al.,(1983) tanaman dapat menyerap air tanah bila retensi air tanah oleh partikel-partikel tanah lebih kecil daripada daya serap tanaman, ini berarti jika kadar air tanah sangat sedikit tanaman tidak dapat menyerap air dan kemudian layu. Stres air mempengaruhi pertumbuhan tanaman dengan memodifikasi secara anatomi, morfologi, fisiologi dan biokimia (Kramer et.al., 1983). Stress air mengurangi pembesaran sel, akibatnya terjadi penurunan laju pertumbuhan dan dalam keadaan stres yang berat menyebabkan kematian. c. Pola Intensifikasi

Sebagai plot percontohan cendana di lahan masyarakat maka dibangun plot intensifikasi berupa demplot cendana dengan luas 2 ha di Desa Tanglad dan Desa Pejukutan. Demplot ini dipelihara secara intensif dan penanamannya

dilakukan di lahan masyarakat. Pola tanam diterapkan pola campuran jenis inang turi (pakan ternak), kacang gude, jagung/singkong (tanaman pangan). Jarak tanam mengikuti sepanjang teras (6 m x 6 m) (Gambar 1).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat keberhasilan cendana sangat ditentukan oleh tingkat intensifikasi pemeliharaan dan penguasaan teknologi oleh petani dalam pemeliharaan tanaman seperti pembersihan gulma dan penggunaan inang sekunder serta penaung awal dengan pola campuran sistem tumpangsari yang diterapkan. Pertumbuhan cendana di 3 (tiga) lokasi uji coba yaitu di Pejukutan lebih baik dari pada di Tanglad (Tabel 5).

Tabel 5 . Rata-rata pertumbuhan tinggi, diameter dan persen hidup tanaman cendana umur 1 tahun dengan pola intensifikasi di Desa Tanglad dan Desa Pejukutan, Nusa Penida Lokasi Luas/jumlah bibit (ha) Tinggi (m) Diameter (cm) Hidup (%) Sistem tanam tumpangsari

Tanglad 0,5 ha 90,31 0,87 54,33 jagung, kacang

gude

Pejukutan 1 0,5 ha 134,62 1,52 64,28 jagung,kacang tanah

Pejukutan 2 0,5 ha 134,62 1,52 60,21 jagung, jagung singkong Pejukutan 3 0,5 ha 112,23 1,26 71,44 jagung, kacang

gude, singkong

Persen tumbuh tanaman cendana yang mencapai 60 % sudah cukup baik, karena untuk cendana sampai saat ini kriteria tingkat keberhasilan 50-60 % (Surata dan Idris, 2001), sedangkan untuk kriteria di luar cendana keberhasilan tumbuh

adalah 80 %. Tingkat kematian cendana yang tinggi di Desa Tanglad akibat serangan penggerek akar cendana berupa ulat tanah dan pengaruh curah hujan yang lebih tinggi, sehingga mengganggu pertumbuhan cendana yang merupakan jenis tanaman daerah kering.

Hasil pengamatan sementara pertumbuhan cendana dengan inang turi pada plot intensifikasi disajikan pada Tabel 6. Pertumbuhan cendana terdiri dari 2 model yaitu : individu pohon cendana yang ada tanaman inang turi dan yang tidak ada tanaman inang turinya karena tanaman turinya mati. Tanaman cendana yang ada inang turinya sebanyak 62 %, dan sisanya tanpa inang turi sebanyak 38 %. Kematian turi yang tinggi karena kekeringan dan juga dipangkas pakai sayur dan pakan ternak.

Tabel 6. Pertumbuhan cendana pada penggunaan inang sekunder umur 1 tahun

Lokasi/ parameter Tinggi (cm) Diameter (cm) Jumlah daun (buah) Root Shoot ratio Jumlah haustoria (buah) Haustoria efektif (buah) 1.Tanglad Tanpa inang 32,3 4,29 28,2 0,18 2,25 0 Inang turi 56,6 5,34 35,7 0,67 7,05 43,97 2.Pejukutan Tanpa inang 48,9 5,18 21,2 0,38 4,08 0 Inang turi 69,2 5,89 40,1 0,92 10,86 38,67

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa pertumbuhan tinggi, diameter, jumlah daun, root/shoot ratio, jumlah haustoria, haustoria efektif tanaman cendana dengan inang turi lebih baik dari pada tanpa inang, hal ini terjadi pada demplot cendana di Desa Tanglad maupun di Pejukutan. Fungsi inang

turi menghasilkan haustoria efektif 38,67-47,97 % dari jumlah rata-rata 7,05-10,86 buah/pohon, haustoria efektif ini sangat penting sebagai suplai unsur hara pada tanaman hemiparasit cendana. Cendana sebagai tanaman hemiparasit memerlukan inang untuk membantu menyerap sebagian unsur hara melalui haustoria (kontak akar yang menempel antara akar inang dan cendana) (Visser, 1981). Jenis tanaman yang bersifat hemiparasit berbeda dari jenis-jenis tumbuhan parasit lain yang bersifat obligat (holoparasit), hemiparasit mempunyai kemampuan memfiksasi CO2 dari udara melalui proses fotosintesa untuk memproduksi karbohidrat sendiri, akan tetapi kebutuhan sebagian unsur hara diambil dari tanaman inangnya.

Dalam statusnya sebagai tanaman parasit maka pada fase pertumbuhan cendana memerlukan suatu interaksi dengan tumbuhan lain, dimana bentuk interaksinya sudah pasti tidak bersifat mutualisme, melainkan bersifat parasitisme. Ini berarti bahwa untuk mencapai pertumbuhan yang lebih baik maka cendana memerlukan jenis tumbuhan lain yang akan berfungsi sebagai inang. Dalam kontak ini akan terjadi suplai unsur hara dan air dari akar inang ke tanaman cendana melalui sistem parasitisme. Menurut Sarma (1977) dalam Barett (1985) hanya unsur N, P dan asam amino yang diambil dari inang, sedangkan unsur Ca dan K diambil dari akar cendana. Cendana yang bersifat parasit mengalami modifikasi bagian perakarannya ketika terjadi persinggungan dengan objek sentuh. Modifikasi tersebut berlangsung sepanjang proses pertumbuhan dengan terbentuknya suatu alat kontak yang disebut haustoria. Adapun fungsi alat kontak (haustoria) tidak

parsial dan langsung antara cendana dengan tanaman inangnya Haustoria yang berbentuk bintil akar menempel pada akar cendana. Ditingkat persemaian haustoria terbentuk 70 persen setelah 30 hari perkecambahan dan 97 persen setelah umur 1 tahun (Nagaveni dan Srimarti dalam Barett, 1985).

Secara ekofisiologi modifikasi sistem perakaran cendana yang terjadi dapat dilihat sebagai bentuk adaptasi terhadap kondisi lingkungan yang kurang kondusif. Keadaan kekeringan yang terjadi pada bulan-bulan kering di daerah iklim semiarid menyebabkan jenis-jenis tumbuhan yang hidup di daerah tersebut akan mengalami cekaman air. Dalam kondisi seperti ini berbagai jenis tumbuhan akan melakukan strateginya dengan jalan memodifikasi perakarannya dengan membentuk haustoria ketika terjadi kontak dengan perakaran tumbuhan inangnya. Kontak yang terjadi membentuk suatu hubungan antara cendana dengan tumbuhan inangnya, baik secara anatomis, morfologis maupun fisiologis, sehingga dengan adanya kontak tersebut dimungkinkan terjadi aliran air dan nutrisi dari tumbuhan inang ke parasit (Weber, 1990).

Dalam kondisi kering dan umumnya tanah berbatu dan keras dimungkinkan akar tunggangnya dangkal dan akar lateral (akar kesamping) cendana membentuk akar yang menjangkau sejauh mungkin luasan areal untuk memperoleh air untuk kehidupan tanaman. Akar-akar samping akan memanjang, bercabang-cabang dan menjalar secara horisontal dekat permukaan tanah, sementara jangkauan bisa mencapai 30 m dari tegakan tanaman (Hamzah, 1976). Semakin jauh jangkauan perakaran maka semakin intensif perolehan air bagi cendana. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa tanaman

cendana yang tumbuh di daerah semiarid memiliki sistem perakaran dengan dominansi pertumbuhan horizontal.

D. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kesimpulan

1. Kondisi biofisik lokasi penanaman :seperti sifat fisik tanah pada demplot memiliki tekstur liat berdebu, sifat kimia pH termasuk alkalis ( pH H2O 7,7- 7,9), unsur hara P N, K, dan C-organik rendah, yang hampir mirip dengan kondisi di Nusa TenggaraTimur.

2. Kondisi sosial masyarakat berupa keinginan masyarakat untuk membudidayakan cendana cukup tinggi. Masyarakat menginginkan pemerintah memfasilitasi bibit, bimbingan teknologi dan pendampingan untuk tahap awal budidaya cendana, sedangkan penanaman dan pemeliharaan diserahkan ke masyarakat.

3. Pola tanam cendana di lahan masyarakat yang diinginkan adalah pola campuran cendana dengan pakan ternak dan pangan seperti jenis turi (Sesbania grandiflora), kelor dan Betenu (nama lokal), kacang gude (Cajanus cajan), kacang tanah (Arachis hypogea), pisang (Musa paradisiaca), jagung (Zea mays) dan singkong (Manihot utilisima), cabe (Capsicum frustescen). Jarak tanam cendana yang diinginkan berupa tanaman sisipan dengan jarak yang tidak terlalu rapat, minimal 6 x 6 m atau dilakukan sebagai tanaman penguat teras, sehingga aktivitas tanaman pangan

dalam jangka panjang masih bisa berjalan dan juga bisa mendukung penyediaan pangan pakan ternak,

4. Teknologi pengembangan penanaman cendana yang telah dilakukan pemerintah sebelumnya di lahan tanah negara atau tanah desa di Nusa Penida menunjukkan hasil yang masih rendah. Pada umur 7 tahun, rata-rata pertumbuhan tinggi cendana tanpa inang 1,98 m, diameter 2,66 cm dan persen tumbuh 30 %, Pertumbuhan cendana banyak mengalami gangguan karena daunnya dipangkas sebagai pakan ternak dan pohonnya digunakan sebagai tempat mengikat ternak untuk merumput sehingga batang cendana cacat, tingginya gangguan ternak dan kebakaran. Hanya satu yang kondisinya cukup baik dan aman dari gangguan, yaitu di daerah pelaba pura di Puncak Mundi.

5. Uji coba penanaman cendana yang dilakukan di lahan masyarakat dalam bentuk mandiri dan pelaba pura tingkat keberhasilannya masih rendah yaitu kurang dari 20 %.

6. Model pengujian berupa demplot seluas 2 ha di lahan masyarakat di Pejukutan cukup baik dan pertumbuhan cendana di sekitar cubang masih cukup baik dengan rata-rata tinggi 34,55 cm, diameter 0,34 cm dan persen hidup 75,17 %.

2. Saran

Untuk menunjang keberhasilan pengembangan hutan rakyat cendana di Nusa Penida sebaiknya pengembangan cendana di lahan masyarakat dilakukan dengan pola

agroforestri campuran tanaman pangan dan pakan ternak yang dilakukan di lahan masyarakat yang petaninya betul-betul berminat dan rajin dalam mengelola lahannya sehingga keberhasilannya akan tinggi. Untuk menunjang keberhasilnya perlu pendampingan yang intensif terutama pada tahun pertama-kedua.

Daftar Pustaka

Barret, D.R. 1987. Santalum album (Indian Sandalwood) Literature Review, Mulga Research Centre. Western Australian Institute of Technology, Perth.

Darmokusumo,S. 2001. Upaya memperluas kawasan ekonomi cendana di Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi Edisi Khusus Vol . No.5. Pusat Penelitian Biologi LIPI.

Dinas Kehutanan Propinsi Bali. 1987.Gambaran keadaan dan pemanfaatan dan prospek pengembangan cendana di Propinsi Bali. Makalah pada diskusi cendana 18 Juli 1987 di Kampus UGM.Yogyakarta. Tidak dipublikasikan.

Gardener, F.P., Peace, R.B. dan. Mitchell, R.L. 1985. Physiology of Crop Plants. The Iowa State University Press.

Hamzah, Z. 1976. Sifat silvika dan silvikultur cendana (Santalum

album L.) di Pulau Timor. Laporan No.227. Lembaga

Penelitian Hutan, Bogor.

Hamilton,L.and Conrad,C.E.(1990) (editors) Proceedings Symposium Sandalwood in the Pacific.USDA For.Serv.Gen.Tech.Rep.PSW-122.

Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Medyatama Sarana Prakarsa. Jakarta Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Medyatama Sarana Prakarsa. Jakarta.

IUCN 2007. IUCN Red List of Threatened Species. <http://www.iucnredlist.org/> diakses tanggal 23 Maret 2009

Kremer, F., C. Koschnitzke, L. Santo, P. Quick and A. Poglitsch. 1983. "The Non-Thermal Effect of Millimeter Wave Radiation on the Puffing of Giant Chromosomes" In: Coherent Excitations in Biological Systems., Springer Verlag,Berlin, Heidelberg, New York, Tokyo.

Nagaveni, H.C. dan Srimarthi, R.A. 1985. A Note on Haustoria-Less Sandal Plants. Indian Forester 111(3): 161-163. Sabarnurdin, S., Budiadi dan P.Suryanto. 2005. Agroforestry

(Bahan Ajar). Fakultas Kehutanan. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta

Surata, I.K. dan M. Idris. 2001. Status Penelitian Cendana di Propinsi Nusa Tenggara Timur. Berita Biologi Edisi Khusus Vol 5 .No.5. Pusat Penelitian Biologi LIPI

Visser J. 1981. South African Parasitic Flowering Plants. Creda, Juta, Cape Town, Johannesburg.

WWF Indonesia, 2008. Tanaman langka di Indonesia <http://www.wwf. org.id/> diakses tanggal 11 Januari 2009.

Weber, H.C. 1990. A New Terminology for Parasitic Plants. Houstorium 23,2.

POTENSI NYAMPLUNG SEBAGAI BAHAN BAKU ENERGI DI NUSA TENGGARA BARAT DAN BALI

Oleh:

I Wayan Widhana Susila dan Retno Agustarini Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

Jl. Dharma Bhakti No. 7-Po Box 1054, Ds. Langko, Kec. Lingsar, Lombok Barat € NTB

Telp. (0370) 6573874, Fax. (0370) 6573841, e-mail : bpkmataram@yahoo.co.id

ABSTRAK

Nyamplung (Calophyllum inophyllum L.) merupakan salah satu jenis penghasil bahan baku biofuel, yang keberadaannya cukup potensial di Nusa Tenggara Barat dan Bali. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui potensi dan sebaran tanaman nyamplung serta potensi buah dan biji nyamplung. Survey potensi secara sensus dilakukan di lokasi sebaran nyamplung, kemudian seleksi pohon sebagai kandidat pengamatan buahnya selama enam bulan (satu periode pembungaan dan pembuahan) berdasarkan pH dan ketinggian tempat tumbuh. Di Nusa Penida (Bali) tanaman nyamplung ditemukan sebanyak 136 pohon dengan rerata diameter 37,3 cm. Di Lombok Timur terdapat di Kecamatan Wanasaba, Labuhan Haji dan Sambelia sebanyak 147 pohon dengan rerata diameter 18,2 cm. Di Lombok Tengah, di Kecamatan Pringgarata sebanyak 114 pohon dengan rerata diameter pohon 19,8 cm. Di Lombok Barat, di Kecamatan Batulayar sebanyak 38 pohon dengan diameter 23,5 cm. Di Dompu terdapat di Kecamatan Kilo dan Kecamatan Kempo sebanyak 151 pohon dengan rerata diameter 38,0 cm. Di Sumbawa Barat ditemukan di Kecamatan Sekongkang sebanyak 194 pohon dengan rerata diameter 34,2 cm. Rerata produksi buah nyamplung per pohon adalah 539

buah dengan berat ± 3,65 kg dan rendemen buah antara 78 - 92% . Kelompok lokasi Kilo € Kempo (Dompu) mempunyai jumlah buah yang tinggi yaitu 1.087 buah atau berat 6,24 kg per pohon dan rendemen 89,42%. Rendemen jumlah biji antara 45 - 80%, kelompok lokasi Wanasaba € Batulayar diperoleh rendemen tertinggi. Untuk rendemen berat biji berkisar 29 € 48 %, kelompok dari Nusa Penida mempunyai rendemen tertinggi.

Kata kunci : Potensi nyamplung, Nusa Penida, Lombok Timur, Dompu

I. PENDAHULUAN

Ketergantungan Indonesia terhadap minyak bumi selama ini cukup tinggi. Adanya subsidi terhadap bahan bakar minyak (BBM) semakin meningkatkan ketergantungan kita terhadap BBM yang berasal dari fosil. Krisis energi dunia yang terjadi memberikan dampak signifikan dengan meningkatnya harga bahan bakar minyak, sehingga telah mendorong pengembangan energi alternatif dengan pemanfaatan sumber energi terbarukan (renewable energy). Salah satu bentuk energi yang mulai dikembangkan saat ini adalah biofuel. Kebijakan pemerintah dalam hal ini Kementrian Kehutanan diharapkan berperan dalam penyediaan bahan baku biofuel termasuk pemberian ijin pemanfaatan lahan hutan.

Salah satu tanaman yang cukup potensial di Nusa Tenggara Barat sebagai bahan baku biofuel adalah jenis nyamplung (Calophyllum inophyllum L.). Nyamplung pada tiga tahun terakhir ini mulai menjadi perhatian para praktisi kehutanan. Hal ini dikarenakan sejak terjadinya krisis energi

pada tahun 2008, jenis tanaman tersebut berpotensi menjadi salah satu bahan baku alternatif energi (Bustomi, et. al., 2008). Jenis tersebut dapat digunakan sebagai bahan substitusi minyak tanah (biokerosene) dan substitusi minyak solar (biodiesel) dengan memanfaatkan bijinya (Sopamena, 2007). Pemanfaatan biji nyamplung sebagai bahan baku biofuel lebih ramah lingkungan, dapat diperbaharui dan dalam pemanfaatannya tidak berkompetisi dengan kepentingan pangan. Kelebihan nyamplung dibandingkan dengan jenis bahan baku biofuel lainnya seperti jenis jarak, dan kelapa sawit adalah kandungan kadar oktannya relatif cukup tinggi, yaitu biji nyamplung mempunyai rendemen minyak 40-73%, sedangkan jarak pagar 40-60% dan kelapa sawit 46-54 % (Wirawan, 2007).

Manfaat lain tanaman nyamplung adalah kayunya termasuk kayu komersial yang dapat digunakan untuk bahan pembuatan perahu, balok, tiang, papan lantai dan papan pada bangunan perumahan dan bahan konstruksi ringan. Getahnya berkhasiat untuk menekan pertumbuhan virus HIV, dan daunnya mengandung senyawa costatolide-a, saponin, dan acid-acid hydrocyanic yang berkhasiat sebagai obat oles untuk sakit encok, bahan kosmetik, penyembuhan luka (Set DPRD Mojokerto, 2008).

Populasi sebaran alami nyamplung diyakini tersebar cukup luas di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Bali yang tumbuh pada lahan-lahan kering maupun kritis terutama pada daerah-daerah dekat pantai. Namun di NTB informasi mengenai nyamplung belum terdata, hanya 8 komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) saja yang tercatat volume

gaharu, kemiri, bambu, aren, arang, asam, dan rotan (Bappenas, 2006). Sehubungan dengan hal tersebut, belum terdapatnya data potensi dan sebaran populasi nyamplung menyebabkan pengembangan sebagai sumber bahan baku minyak (biofuel) baik skala regional maupun nasional masih mempunyai kendala. Ketersediaan dan kesinambungan bahan baku biji nyamplung merupakan kunci penting bagi keberhasilan pengusahaan nyamplung sebagai bahan penghasil minyak. Oleh karena itu, kegiatan penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi dan sebaran tanaman nyamplung serta potensi buah dan biji nyamplung di NTB dan Bali.

II. METODE PENELITIAN 1. Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan selama 2 (dua) tahun, yaitu tahun 2011 dan 2012. Lokasi penelitian berada di 3 (tiga) pulau, yaitu Pulau Lombok dan Sumbawa di Propinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dan Pulau Nusa Penida di Propinsi Bali. Lokasi penelitian tersebut tersebar pada sembilan kecamatan, meliputi: (1). Kec. Sekongkang, Kab. Sumbawa Bagian Barat (P. Sumbawa); (2). Kec. Kempo, Kab. Dompu (P. Sumbawa); (3). Kec. Kilo, Kab. Dompu (P. Sumbawa); (4). Kec. Pringgarata, Kab. Lombok Tengah (P. Lombok); (5). Kec. Batulayar, Kab. Lombok Barat (P. Lombok); (6). Kec. Wanasaba, Kab. Lombok Timur (P. Lombok); (7) Kec. Sambelia, Kab. Lombok Timur (P. Lombok); (8) Kec. Labuhan Haji, Kab. Lombok Timur (P. Lombok); dan (9) Kec. Nusa Penida, Kab. Klungkung (P. Nusa Penida).

2. Bahan dan Alat

Bahan penelitian yang digunakan adalah pohon-pohon nyamplung, buah dan biji nyamplung, serta sampel-sampel tanah. Peralatan penelitian yang digunakan adalah GPS, hagameter, timbangan, phiband, meteran roll, kompas dan kamera.

3. Tahapan Pelaksanaan Penelitian

Dokumen terkait