• Tidak ada hasil yang ditemukan

PROSIDING EKSPOSE HASIL PENELITIAN. Tema: IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan untuk Mendukung Kesejahteraan Masyarakat

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PROSIDING EKSPOSE HASIL PENELITIAN. Tema: IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan untuk Mendukung Kesejahteraan Masyarakat"

Copied!
346
0
0

Teks penuh

(1)

ISBN 978-979-3132-54-9

PROSIDING

EKSPOSE HASIL PENELITIAN

Tema:

“IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan untuk Mendukung Kesejahteraan Masyarakat”

Mataram, 19 November 2013

PUSAT PENELITIAN DAN PENGEMBANGANKETEKNIKAN KEHUTANAN DAN PENGOLAHAN HASIL HUTAN BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN KEHUTANAN

KEMENTERIAN KEHUTANAN MATARAM, NOVEMBER2014

(2)

PROSIDING EKSPOSE HASIL PENELITIAN “IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan untuk Mendukung Kesejahteraan Masyarakat”

ISBN : 978-979-3132-54-9 PENYUNTING Adi Santoso Totok K Waluyo Maman Turjaman Neo Endra L Yetti Heryati Tigor Butar Butar

DIPUBLIKASIKAN

Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan Pengolahan Hasil Hutan

Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan

Jl. Gunung Batu No. 5 PO BOX 182 Bogor 16610 Telp (0251) 633378, 631507 Fax (0251) 633413

Cetak Prosiding ini didanai oleh: Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) 2014 Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Jl. Dharma Bhakti No 7 € PO Box 1054, Ds. Langko, Kec. Lingsar

Lombok Barat € NTB 83371

Telp. (0370) 6573874, Fax. (0370) 6573841, E-mail :

(3)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT kami panjatkan atas segala rahmat Nya, sehingga Prosiding Ekspose Hasil Penelitian dengan tema: €IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan untuk Mendukung Kesejahteraan Masyarakat• dapat kami sajikan kehadapan pembaca. Prosiding ini merupakan dokumen dari hasil pelaksanaan ekspose yang diselenggarakan pada tanggal 19 November 2013 di Hotel Santika-Mataram, Nusa Tenggra Barat.

Prosiding ini dimaksudkan sebagai salah satu wujud pertanggungjawaban kepada publik terhadap hasil penyelenggaraan ekspose, dan sebagai wadah publikasi dari makalah-makalah yang secara substansial telah dibahas bersama, serta rumusan dan rekomendasi yang dihasilkan.

Prosiding ini berisi rumusan hasil ekspose, sambutan dan pengarahan, makalah sebanyak 16 (enam belas) yang terdiri dari aspek teknologi pengolahan, aspek budidaya dan aspek kebijakan dan sosial ekonomi, hasil diskusi dan lain-lain yang terkait dengan penyelenggaraan ekspose.

Keberhasilan penyelenggaraan ekspose hingga selesainya prosiding ini tidak terlepas dari peran semua pihak. Untuk itu kami ucapkan terimakasih atas dedikasi dan kerjasamanya. Semoga prosiding ini bermanfaat.

Bogor, November 2014 Kepala Pusat,

Dr. Ir. Rufi‚ie, M.Sc.

(4)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR... iii DAFTAR ISI ... iv - v DAFTAR LAMPIRAN... vi RUMUSAN HASIL EKSPOSE ... vii - ix LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA... x - xiii SAMBUTAN... xiv - xxiv

I. PENDAHULUAN ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ.. 1-2

II. MAKALAH DAN DISKUSI ƒƒƒƒƒƒ 3

A. Aspek Teknologi Pengolahan

1. Analisis Senyawa Kimia Penanda Kualitas Gaharu...

7-18

2. Karakteristik Pembentukan Gaharu Yang Dihasilkan Dari Tiga Teknologi Inokulasi Di Propinsi NTB...

19 - 38

3. Karbonisasi Tempurung Kemiri Menggunakan KOH Dan Katalis Besi Untuk Mendapatkan Karbon Konduktif ƒƒƒ..

39 - 57

4. Teknik Pengolahan Biokerosin Berbahan Baku Nyamplung Dan Kepuh...

58 - 80

5. Inokulasi Gaharu Menggunakan Isolat Asal Alas Dan Lombok Tengah Di Lombok Barat

80 -97

B. Aspek Silvikultur

6. Ujicoba Insektisida Mimba Terhadap Hama

H.vitessoides Moore Pada Tanaman

G. verstegii Dalam Skala Laboratorium ....

(5)

7. Pembungaan Dan Pembuahan Lontar (Borassus flabellifer) (Studi Kasus Di Kabupaten Karangasem, Bali) ƒƒƒƒ..

113 - 126

8. Strategi Budidaya Pengembangan Hutan Rakyat Cendana (Santalum album L.) Di Nusa Penida ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ

127 „ 156

9. Potensi Nyamplung (Calophyllum

inophyllum) Sebagai Bahan Baku Energi Di

NTB dan Bali ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ

157 „ 175

10. Jenis-Jenis Fungi Pembentuk Gaharu Pada Jenis Gyrinops spp. Di NTB...

176 „ 191

C. Aspek Kebijakan Dan Sosial Ekonomi 11. Kondisi Eksisting HHBK Kemiri (Aleurites

Moluccana) Sebagai Alternatif Energi

Terbarukan Di Pulau Lombok ƒƒƒƒ.

195 - 208

12. Keterlibatan Multi Pihak Dalam kegiatan REDD+ Di Pulau Lombok ƒƒƒƒƒ..

209 - 225

13. Pengembangan HHBK: Sebuah alternatif

Penyelesaian Konflik Land Forest Tenure 226 „ 241 14. Tipologi Pengusahaan Gula Aren Di

Sulawesi Selatan (Studi Kasus di Kabupaten Pangkep dan Soppeng) ƒƒƒƒƒƒƒ..

242 „ 258

15. Kemitraan Dan Insentif Dalam Pengembangan Madu Hutan Di Kabupaten Sumbawa ƒ ƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ..

259 „272

16. Kajian Kelembagaan REDD+ di Lombok Studi Kasus di Hutan Adat Selelos ...

273- 289

D. Diskusiƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒƒ. 291- 307

(6)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

Lampiran 1 : Jadwal Acara... 315-316 Lampiran 2 : Susunan Panitia ƒƒƒƒƒ.. 317 Lampiran 3 : Daftar Peserta... 318 - 321

(7)

RUMUSAN EKSPOSE HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HHBK

MATARAM, 19 NOVEMBER 2013

Memperhatikan sambutan Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat, arahan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, presentasi seluruh makalah, serta diskusi yang berkembang pada Ekspose Hasil Penelitian €IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan untuk Mendukung Kesejahteraan Masyarakat• yang diselenggarakan di Mataram pada tanggal 19 Nopember 2013, dihasilkan beberapa rumusan sebagai berikut:

1. Hasil ekspose merupakan salah satu kontribusi BPT HHBK beserta seluruh peserta ekspose untuk mendukung pengembangan HHBK dan jasa lingkungan dalam rangka pelaksanaan pembangunan kehutanan khususnya di Propinsi Nusa Tenggara Barat. Formula kontribusi dalam rangka pengembangan HHBK dan jasa lingkungan diantaranya adalah informasi potensi jenis penghasil HHBK, aspek budidaya jenis penghasil HHBK, teknologi pengolahan HHBK, serta aspek social kelembagaan yang meliputi pemapanan kelembagaan, penguatan kemitraan, serta pengentasan konflik dalam pengelolaan hutan.

2. Jenis penghasil HHBK potensial yang dapat dikembangkan diantaranya adalah Gaharu (Gerinops verstegii), jenis-jenis sumber Bahan Bakar Nabati (BBN) diantaranya Nyamplung (Callophylum inophyllum) dan Kepuh (Pongamia pinnata), Lontar (Borassus flabellifer), Kemiri (Aleurites mollucana), serta Cendana (Santalum album). Salah satu jasa lingkungan

(8)

dari hutan yang saat ini menjadi topik hangat adalah karbon hutan yang dibungkus dalam kerangka program REDD+. 3. Aspek budidaya merupakan hal yang penting dalam rangka

pengembangan jenis HHBK. Keberhasilan budidaya jenis-jenis penghasil HHBK masih perlu ditunjang oleh informasi ketersediaan bahan baku, pengendalian serangan hama, dan informasi benih bermutu baik. Hasil penelitian yang berkaitan dengan hal tersebut diantaranya potensi produksi jenis Nyamplung beserta rendemennya, potensi produk HHBK kemiri khususnya di pulau Lombok, pemanfaatan bioinsektisida berupa ekstrak biji Mimba untuk pengendalian hama ulat Gaharu, serta informasi fenologi untuk jenis Lontar. Jenis-jenis penghasil HHBK juga telah banyak diminati dan berpotensi dikembangkan di lahan masyarakat, diantaranya pengembangan di lahan masyarakat seperti pengembangan cendana melalui agroforestri di Pulau Nusa Penida, Propinsi Bali.

4. Dukungan teknologi sangat diperlukan dalam pengolahan produk HHBK untuk keperluan industri dan aplikasi di tingkat masyarakat. Diantara teknologi tersebut adalah penggunaan teknik karbonisasi bertingkat menggunakan KOH dan katalis besi (ferrocene) pada limbah tempurung kemiri yang mampu meningkatkan konduktivitas karbon fiber berukuran nano, pembuatan biokerosin berbahan baku crude oil Nyamplung dan Kepuh dengan teknik degumming dan netralisasi. Teknologi juga diperlukan untuk peningkatan produksi gaharu melalui penggunaan isolat yang berasal dari NTB dan teknologi inokulasi yang memadai. Kualitas gaharu yang dihasilkan dapat ditentukan berdasarkan senyawa kimia penanda yang ditemukan pada setiap kualitas gaharu.

5. Implementasi program pembangunan kehutanan khususnya pengembangan HHBK dan jasa lingkungan yang melibatkan

(9)

masyarakat perlu memperhatikan kelembagaan masyarakat yang mampu melestarian hutan; memperhatikan kemitraan yang baik antara masyarakat dengan pemerintah dan industri; memperhatikan pengentasan konflik-konflik pengelolaan hutan di tengah masyarakat; dan memperhatikan peran stakeholders dalam implementari program tersebut.

Mataram, 19 Nopember 2013

Tim Perumus

1. Dr. Sitti Latifah, S.Hut., M.Sc.F 2. Ogi Setiawan, S.Hut., M.Sc

(10)

LAPORAN PANITIA PENYELENGGARA PADA ACARA PEMBUKAAN EKSPOSE HASIL PENELITIAN

BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HHBK Hotel Santika-Mataram, 19 Nopember 2013 Yang terhormat:

1. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat 2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur 3. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali

4. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau

5. Kepala Puslitbang Lingkup Badan Litbang Kehutanan 6. Kepala Sekretariat Bakorluh Provinsi Nusa Tenggara Barat 7. Kepala Dinas Kehutanan Kab/Kota Lingkup Provinsi Nusa

Tenggara Barat

8. Kepala Balai Besar dan Balai Lingkup Badan Litbang Kehutanan

9. Kepala UPT Lingkup Kementerian Kehutanan di Provinsi Nusa Tenggara Barat

10. Para Peneliti, Penyuluh dan Pengendali Ekosistem Hutan 11. Para Pihak dari instansi terkait lainnya, Perguruan Tinggi,

dan LSM

12. Para nara sumber serta peserta Ekspose Hasil Penelitian yang berbahagia.

Assalamu'alaikum Wr. Wb Selamat pagi dan salam sejahtera,

Marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas nikmat yang telah diberikan-Nya sehingga kita dapat berkumpul bersama untuk melaksanakan €Ekspose Hasil penelitian HHBK• Kami atas nama panitia penyelenggara mengucapkan selamat datang di Kota Mataram

(11)

dan menyampaikan penghargaan serta terima kasih yang sebesar-besarnya atas kehadiran Bapak/Ibu/Saudara sekalian pada acara ekspose ini.

Bapak Kepala Badan dan hadirin yang kami hormati,

Pada Kesempatan ini ijinkan kami menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan ekspose sebagai berikut:

1. Dasar Pelaksanaan

a. Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran TA. 2013 Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu Nomor: DIPA-029.07.2.440972/2013 tanggal 05 Desember 2012. b. Keputusan Kepala Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan

Bukan Kayu Nomor: SK. 40/VIII/BPTHHBK-3/2013 tanggal 12 September 2013 tentang Pembentukan panitia penyelenggara Ekspose Hasil Penelian.

2. Maksud dan Tujuan

Kegiatan ekspose ini dimakasudkan untuk mengkomunikasikan dan mensosialisasikan hasil-hasil penelitian kepada berbagai stakeholder terkait, dengan tujuannya untuk memfasilitasi para peneliti dalam menyampaikan hasil-hasil penelitian, pemikiran dan telaahannya, untuk meningkatkan profesionalismenya; memberikan wawasan mengenai informasi dan teknologi bidang HHBK kepada sesama peneliti, pembuat kebijakan, praktisi kehutanan, dan pengusaha/swasta bidang kehutanan dan memberikan gambaran terkini ilmu dan masalah mengenai kondisi dan perkembangan penelitian beberapa HHBK khususnya di beberapa wilayah Provinsi NTB dan Bali.

(12)

3. Waktu dan Tempat

Seminar dilaksanakan pada hari Selasa tanggal 19 Nopember 2013, bertempat di Hotel Santika: Jl. Pejanggik No 32, Mataram, NTB

4. Penyelenggara

Balai Penelitian Teknologi Hasil HUtan Bukan Kayu Mataram.

5. Peserta

Peserta yang diundang sebanyak 80 orang, terdiri dari berbagai lembaga pemerintah maupun swasta antara lain pejabat struktural dan peneliti lingkup Badan Litbang Kehutanan, perwakilan dinas instansi yang menangani bidang kehutanan, perguruan tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat dan organisasi kehutanan lainnya.

6. Tema dan Topik

Tema ekspose Hasil Penelitian ini adalah: IPTEK Hasil Hutan Bukan Kayu dan Jasa Lingkungan untuk Mendukung Kesejahteraan Masyarakat.

Pada ekspose ini akan disampaikan 12 makalah yang terdiri 4 (empat) makalah aspek teknologi pengolahan, 4 (empat) makalah aspek budidaya, dan 4 (empat) makalah aspek kebijakan dan sosial ekonomi. Untuk melengkapi informasi ditambah dengan makalah penunjang sebanyak serta 4 (empat) makalah.

Bapak Kepala Badan dan hadirin yang kami hormati,

Pada kesempatan ini sekali lagi kami mengucapkan terima kasih atas kehadiran Bapak Sekretaris Badan Litbang Kehutanan yang telah berkenan hadiri mewakili Kepala Badan, dan selanjutnya mohon perkenan Bapak untuk menyampaikan

(13)

arahan serta membuka Ekspose Hasil Penelitian HHBK secara resmi.

Terakhir kami sampaikan rasa terima kasih kepada rekan-rekan peneliti penyaji makalah dan panitia yang telah bekerja sama mempersiapkan semua acara ini dan semua pihak yang telah turut membantu terselenggaranya ekspose ini. Kemudian tidak lupa kami mohon maaf apabila dala penyelenggaraan ekspose ini terdapat kekurangan baik materi maupun penyelenggaraannya.

Terima kasih

Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Mataram, 19 November 2013 Kepala Balai,

(14)

SAMBUTAN KEPALA BADAN LITBANG KEHUTANAN PADA EKSPOSE HASIL PENELITIAN BPT HHBK

Mataram, 19 Nopember 2013

Yang saya hormati,

1. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Barat 2. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur 3. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Bali

4. Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Riau

5. Kepala Puslitbang Lingkup Badan Litbang Kehutanan 6. Kepala Sekretariat Bakorluh Provinsi NTB

7. Kepala Dinas Kehutanan Kab/Kota Lingkup Provinsi Nusa Tenggara Barat

8. Kepala Balai Besar dan Balai Lingkup Badan Litbang Kehutanan

9. Kepala UPT Lingkup Kemenhut di Provinsi NTB 10. Para Peneliti, Penyuluh dan Pengendali Ekosistem Hutan 11. Para Pihak dari instansi terkait lainnya, Perguruan Tinggi,

dan LSM

12. Para nara sumber serta peserta Ekspose Hasil Penelitian yang berbahagia.

Assalamu'alaikum Wr. Wb Selamat pagi dan salam sejahtera,

Mengawali sambutan saya, marilah kita panjatkan puji syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas nikmat yang telah diberikan-Nya sehingga kita dapat berkumpul bersama pada forum ekspose hasil penelitian HHBK yang

(15)

bertemakan "Iptek Hasil Hutan Bukan Kayu untuk Mendukung Kesejahteraan Masyarakat€.

Hadirin yang saya hormati,

Indonesia memiliki luas hutan 136 juta Ha, di dalamnya menyimpan keanekaragaman hayati yang cukup tinggi. Sebagai suatu ekosistem, hutan tidak hanya menyimpan sumberdaya alam berupa kayu, tetapi masih banyak potensi non kayu yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan ekonomi, sosial-budaya, dan perlindungan ekologis.

Dalam kontek ekonomi pemanfaatan hutan, beberapa waktu lalu hutan dipandang sebagai sumberdaya alam penghasil kayu. Kondisi ini mendorong eksploitasi kayu secara eksesif untuk memenuhi pasar dunia maupun industri domestik tanpa memperhatikan nilai manfaat lain yang dapat diperoleh dari hutan dan kelestarian ekosistem hutan. Sebagai akibat dari tindakan tersebut telah terjadi penurunan luas, manfaat dan kualitas ekosistem hutan.

Paradigma pembangunan kehutanan telah bergeser dari paradigma yang memandang €hutan hanya sebagai pabrik

penghasil kayu•, menjadi paradigma yang memandang €hutan sebagai sumberdaya yang bersifat multi fungsi, multi guna dan multi kepentingan• . Dalam paradigma baru ini pemanfaatan

hutan harus diarahkan untuk mewujudkan sebesar-besarnya kemkmuran rakyat. Sejalan dengan pergeseran paradigma ini, kayu tidak lagi dianggap sebagai satu-satunya produk hutan yang memberikan manfaat ekonomi, tetapi juga produk lainnya seperti hasil hutan bukan kayu (HHBK) dan jasa lingkungan hutan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa hasil hutan berupa kayu hanya berkontribusi sekitar 5-20% dari total ekonomi hutan. Kontribusi terbesar justru berasal dari HHBK dan jasa lingkungan. Beberapa

(16)

jenis HHBK memiliki nilai cukup tinggi baik di pasar domestik maupun di pasar global seperti rotan, madu, bambu, gaharu, tanaman obat.

Dalam pemaanfaatannya, HHBK memiliki keunggulan jika dibandingkan dengan kayu sehingga memiliki prospek yang baik dalam pengembangannya. Keunggulan HHBK antara lain: pemanfaatannya tidak menimbulkan kerusakan terhadap hutan karena tidak dengan cara menebang pohon tetapi dengan penyadapan, pemetikan, pemangkasan dan pemungutan; beberapa jenis memiliki nilai ekonomiper satuan volume; pemanfaatan dilakukan oleh masyarakat luas dan usaha pemanfaatannya dapat dilakukan oleh banyak kalangan, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Meskipun memiliki keunggulan dan nilai ekonomi tinggi, pengembangan usaha dan pemanfaatan HHBK selama ini belum dilakukan secara intensif sehingga belum dapat memberikan kontribusi yang signifikan dalam meningkatkan perekonomian masyarakat. Beberapa permasalahan terkait dengan HHBK antara lain: pemanfaatan HHBK selama ini umumnya masih bertumpu pada pemungutan dari hutan alam dan bukan dari hasil budidaya sehingga ketika hutan alam rusak pasokan HHBK dan kualitasnya juga akan menurun; jenis komoditas sangat beragam; dan belum berkembangnya teknologi budidaya, pemanfaatan maupun teknologi pengolahan HHBK. Hambatan tersebut memberi peluang dalam pengembangan HHBK kedepan mulai dari hulu sampai hilir. Inilah yang menjadi tantangan kita bersama, bagaimana potensi ekonomi HHBK yang masih tenggelam tersebut bisa kita angkat dan daya-gunakan menjadi kegiatan investasi yang prospektif, ekonomis, dan membuka peluang kerja bagi masyarakat sekitar.

Komoditas HHBK sangat beragam di setiap daerah dan dalam memproses hasilnya melibatkan berbagai pihak. Untuk itu

(17)

strategi pengembangannya perlu dilakukan dengan memilih jenis prioritas yang diunggulkan berdasarkan pada kriteria, indikator dan standar yang ditetapkan. Dengan ditetapkannya jenis komoditas HHBK unggulan maka usaha budidaya dan pemanfaatannya dapat dilakukan lebih terencana dan terfokus sehingga pengembangan HHBK dapat berjalan dengan baik, terarah dan berkelanjutan. Saat ini telah ditetapkan 6 jenis HHBK yang diprioritaskan untuk dikembangkan, yaitu: rotan, bambu, gaharu, madu, sutera alam dan nyamplung.

Terkait dengan jasa lingkungan yang dihasilkan hutan, sedikitnya ada 4 jenis jasa hutan yang sedang hangat dibicarakan, yaitu jasa lingkungan tata air, jasa lingkungan keanekaragaman hayati, jasa lingkungan penyerap dan penyimpan karbon, dan jasa lingkungan keindahan lanskap.

Jasa lingkungan hutan telah memberikan sumbangan yang besar terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Meskipun demikian, masih banyak pihak yang belum menyadari dan mengapresiasi akan pentingnya nilai manfaat jasa lingkungan hutan tersebut.

Dengan memperhatikan permasalahan menyangkut HHBK dan jasa lingkungan hutan, saya percaya bahwa terbuka peluang yang besar bagi bidang penelitian dan pengembangan kehutanan untuk mengembangkan kegiatannya dan mengadakan eksplorasi-eksplorasi yang dapat membuka wawasan baru dan menghasilkan temuan-temuan yang menjadi pioneer dan bermanfaat untuk mewujudkan pengelolaan hutan yang lestari dan sekaligus mensejahterakan masyarakat. Kegiatan penelitian dan pengembangan di bidang teknologi HHBK dan Jasa lingkungan harus dapat mendukung kebijakan yang akan ditetapkan oleh pengambil keputusan, sehingga kebijakan yang dibuat akan lebih tepat sasaran karena mempunyai dasar pijakan

(18)

atau landasan ilmiah yang kuat, berdasarkan pada diagnosa, identifikasi dan analisis yang tepat.

Hadirin yang saya hormati,

Sampai saat ini Badan Litbang Kehutanan telah banyak menghasilkan produk litbang yang inovatif, antara lain: tersedianya data dan informasi ilmiah, paket teknologi, hasil rekayasa genetika, rekomendasi kebijakan dan lain sebagainya. Terkait dengan penelitian HHBK dan jasa lingkungan, telah dihasilkan teknik pengolahan beberapa komoditas HHBK seperti sutera alam dan madu lebah, teknik inokulasi gaharu, serta input kebijakan mitigasi perubahan iklim dan REDD+. Namun demikian, kami menyadari bahwa masih banyak pihak yang mempertanyakan apa hasil Litbang Kehutanan.

Banyak faktor yang menyebabkan hasil penelitian belum atau tidak dimanfaatkan, antara lain: kurangnya diseminasi, tidak sesuai dengan kebutuhan pengguna, tidak tepat guna atau tidak tepat waktu. Oleh karena itu kami menyambut baik upaya Balai Penelitian Teknologi HHBK Mataram untuk mengadakan Ekspose Hasil Penelitian dalam rangka mengkomunikasikan dan menyebarluaskan hasil-hasil penelitiannya.

Penyelenggaraan ekspose menjadi sangat penting, karena : 1. Hasil-hasil litbang dapat disebarluaskan kepada pengguna

dan semua kalangan yang berkepentingan, baik pemerintah, dunia usaha maupun masyarakat luas.

2. Hasil-hasil Litbang dapat dijadikan bahan acuan dalam pembangunan Kehutanan;

3. Mendapatkan masukan sebagai bahan penyempurnaan kegiatan litbang dimasa mendatang yang lebih responsif dan aplikatif;

(19)

komersial;

5. Pengembangan jejaring kerja litbang dan mengidentifikasi kebutuhan penelitian dan permasalahan kehutanan di wilayah kerja.

Hadirin yang saya hormati,

Pada kesempatan yang baik ini, saya sampaikan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada penyelenggara, pembicara dan kepada seluruh peserta Ekspose Hasil Penelitian, semoga melalui pertemuan semacam ini akan terbangun program penelitian dan pengembangan yang lebih solid, terarah dan berhasil guna.

Akhirnya, dengan mengucap Bismillahirahman nirahim acara Ekspose Hasil Penelitian ini saya nyatakan secara resmi dibuka.

Semoga pertemuan ini berjalan lancar dan sukses dan Tuhan Yang Maha Esa selalu memberikan perlindungan dan petunjuk-Nya sehingga kita dapat berbuat yang terbaik bagi keberhasilan pembangunan kehutanan di Indonesia dan khususnya di Nusa Tenggara Barat.

Wabilahitaufiq Wal Hidayah Wassalamu'alaikum Wr. Wb

Mataram, 19 November 2013

Kepala Badan Litbang Kehutanan,

(20)

SAMBUTAN KEPALA DINAS KEHUTANAN PADA EKSPOSE HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HHBK

Mataram, 19 Nopember 2013

Bismillahirrahmanirrahim Assalamu‚alaikum Wr. Wb.

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Illahi Robbi atas anugerah kesehatan, keselamatan dan kesempatan pada pagi yang berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam acara Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK di Hotel Santika, Mataram ini.

Yang saya hormati:

- Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan, yang dalam kesempatan ini diwakili oleh Bapak Sekretris Badan

- Bapak-bapak dan Ibu Kepala Pusat dan Balai Besar Lingkup Badan Litbang Kementerian Kehutanan

- Bapak Kepala BAPPEDA Provinsi NTB

- Bapak Kepala Badan LH dan Penelitian Provinsi NTB - Bapak Kepala Badan Koordinasi Penyuluh Provinsi NTB - Bapak Kepala Dishut Provinsi NTT, Riau dan Bali

- Kepala Dinas Perkebunan, Pertanian, dan Perindustrian Perdagangan Provinsi NTB

SAMBUTAN KEPALA DINAS KEHUTANAN PADA EKSPOSE HASIL PENELITIAN BALAI PENELITIAN TEKNOLOGI HHBK

Mataram, 19 Nopember 2013

Bismillahirrahmanirrahim Assalamu‚alaikum Wr. Wb.

Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Illahi Robbi atas anugerah kesehatan, keselamatan dan kesempatan pada pagi yang berbahagia ini kita dapat berkumpul dalam acara Ekspose Hasil Penelitian Balai Penelitian Hasil Hutan Bukan Kayu Seminar Nasional Hasil Penelitian HHBK di Hotel Santika, Mataram ini.

Yang saya hormati:

- Bapak Kepala Badan Litbang Kehutanan Kementerian Kehutanan, yang dalam kesempatan ini diwakili oleh Bapak Sekretris Badan

- Bapak-bapak dan Ibu Kepala Pusat dan Balai Besar Lingkup Badan Litbang Kementerian Kehutanan

- Bapak Kepala BAPPEDA Provinsi NTB

- Bapak Kepala Badan LH dan Penelitian Provinsi NTB - Bapak Kepala Badan Koordinasi Penyuluh Provinsi NTB - Bapak Kepala Dishut Provinsi NTT, Riau dan Bali

- Kepala Dinas Perkebunan, Pertanian, dan Perindustrian Perdagangan Provinsi NTB

(21)

- Para Kepala Dinas Kehutanan atau yang menangani urusan kehutanan Kabupaten/kota se Provinsi NTB, dan beberapa Kabupaten Provinsi Bali dan NTT

- Para Kepala UPT Kementerian Kehutanan

- Bapak dan Ibu dari Perguruan Tinggi dan NGO/LSM - Para Penyuluh, Pengelola Ekosistem Hutan (PEH) dan

Widyaiswara lingkup kehutanan dan terkait kehutanan - Singkatnya hadirin dan peserta ekspose yang berbahagia

Hadirin dan Peserta Ekspose yang berbahagia,

Pertama-tama saya ucapkan selamat datang di Pulau Seribu Masjid dan Kilau Mutiara Lombok mudah-mudahan ekspose hasil penelitian ini akan memberikan masukan bagi peningkatan kualitas penelitian dan pengembangan HHBK dalam mempercepat dukungannya terhadap pencapaian kesejahteraan masyarakat.

Hasil hutan bukan kayu (HHBK), hasil hutan hayati baik nabati maupun hewani beserta produk turunannya kecuali kayu, sungguh merupakan hasil hutan yang strategis untuk dikembangkan pemanfaatannya. Para pakar memperkirakan potensi nilai hasil pemanfaatan HHBK dan jasa lingkungan dari suatu sumber daya hutan di Indonesia bisa mencapai 80 % dari total nilai pemanfaatan sumber daya hutan tersebut. Hal ini salah satunya karena banyaknya jenis baik spesies tanaman penghasil maupun keragaman hasil yang dapat diekstrak dari tanaman tersebut (bersarakan Permenhut P.35/Menhut-II/2007 ada 557 jenis tumbuhan dan satwa penghasil HHBK). Sebagian besar pemanfaatan hasil HHBK dapat dilakukan dengan tanpa mengambil kayunya atau menebang pohonnya, sehingga bersifat lebih konservatif terhadap sumber daya hutan, dan lebih berkelanjutan. Pemanfaatan HHBK umumnya bersifat padat

(22)

karya, memberikan peluang bagi masyarakat khususnya sekitar kawasan hutan penghasilnya untuk terlibat dan memperoleh manfaat sosial ekonomi secara langsung. Selain itu, pengembangan HHBK juga meningkatkan produktivitas lahan/kawasan hutan.

Dengan semakin kuatnya kesadaran akan manfaat dan kualitas bahan-bahan alami (€back to nature•), diantaranya obat-obatan herbal, bahan pangan, serat, kosmetik/farfume organik, serta bahan-bahan cenderamata, maka pengembangan pemanfaatan HHBK dalam pola industri berbasis agroforestri yang terintegrasi, sangat memungkinkan. Mendesaknya pencarian sumber-sumber bahan bakar (energi) nabati pengganti minyak bumi, juga menempatkan beberapa HHBK seperti buah dan biji tanaman kehutanan sebagai obyek kajian sumber bahan bakar nabati, diantaranya Nyamplung.

Dalam pola tanam sistem agroforestri, jenis-jenis penghasil HHBK yang diintegrasikan sebagai penghasil antara sebelum panen kayu (pada hutan produksi) ataupun penghasil utama (pada hutan lindung), juga berkontribusi dalam penyerapan karbon (gas rumah kaca). Selain itu, pemberian ijin pemungutan HHBK dari dalam kawasan hutan sebagai insentif terhadap konservasi hutan juga diperhitungkan dalam implementasi program REDD+ (upaya pengurangan emisi karbon melalui pencegahan dan pengurangan penebangan dan kerusakan hutan, dan upaya-upaya konservatif lainnya).

Daerah Provinsi NTB cukup potensial sebagai penghasil HHBK, dan memberikan perhatian lebih terhadap pengembangan dan pemanfaatannya. Luas kawasan hutan NTB tercatat 1.069.997,78 Ha ( 53,09% dari luas wilayah NTB), yang dibagi dalam 12 unit KPHP, 11 KPHL dan 6 KPHK dengan KPH lintas 7 unit, dan di dalamnya ada KPH Model Rinjani

(23)

Barat. Berdasarkan fungsi kawasan hutan terdapat hutan lindung 447.712,26 Ha, hutan konservasi 168.884,98 Ha dan hutan produksi 453.400,54 Ha. Jenis-jenis HHBK yang telah lama dimanfaatkan dan diusahakan di NTB yaitu rotan, madu lebah, bambu dan gaharu (dari spesies Gyrynops atau ketimunan) adalah jenis-jenis HHBK unggulan nasional yang telah ditetapkan Kementerian Kehutanan. Produksi HHBK di NTB 4 tahun terakhir (2007-2010) adalah rotan 71.558,63 ton, kemiri 127.520 ton, madu 32.002 liter, bambu 562.888 batang, asam 1.392,06 ton, dan gubal gaharu 8 ton/tahun. Selain itu, beberapa jenis yang sudah cukup mapan pemanfaatannya antara lain: aren, rumput ketak, kemiri, dan asam.

Bapak dan Ibu sekalian,

Meskipun sudah cukup lama dikenal dan dimanfaatkan, masih ditemukan beberapa permasalahan umum dalam pemanfaatan HHBK di NTB, antara lain adalah: jaringan pemasaran yang masih lemah, belum diterapkan budidaya, teknologi pemanenan, dan standarisasi kualitas produk, dan terbatasnya data dan informasi potensi HHBK, pengendalian pada tingkat pemanenan lestari, dan SDM dalam proses pemanfaatannya.

Hadirin dan peserta ekspose yang saya hormati,

Peranan Litbang sudah tentu sangat dibutuhkan dalam mengatasi permasalahan pengelolaan dan pemanfaatan HHBK. Harapan kami Litbang dapat membantu mencari solusi semua permasalahan dari HHBK utamanya jenis-jenis unggulan dan atau ikon daerah, ataupun yang potensinya cukup besar, mulai dari hulu (inventarisasi dan pemetaan potensi, inovasi budidaya, peningkatan produktivitas) sampai hilir (mutu, pengembangan/

(24)

diversifikasi produk, sosial-ekonomi, pengolahan, kelembagaan dan pemberdayaan masyarakat).

Bapak-Ibu yang saya hormati,

Bagaimanapun pada akhirnya masyarakatlah sebagai sasaran penerapan/penggunaan teknologi dan hasil-hasil penelitian. Dalam kaitan ini, pendampingan dan peran litbang dalam proses alih pengetahuan hasil penelitian dan teknologi sangat dibutuhkan. Demikian juga kerjasama dalam pelaksanaan kegiatan penelitian dengan kelompok masyarakat secara langsung akan mempercepat proses alih pengetahuan, dan teknik-keterampilan kepada masyarakat, seperti yang sudah dilakukan dalam penurunan kadar air madu alam sumbawa di Desa Batu Dulang, Kabupaten Sumbawa, dan teknik-teknik inokulasi gaharu milik masyarakat.

Demikianlah yang dapat saya sampaikan pada kesempatan ini semoga ekspose hasil penelitian ini dapat berjalan lancar dan sukses, sekian terima kasih.

Wassalamualaikum Wr. Wb.

Kepala Dinas Kehutanan

Dr. Ir. Abdul Hakim, MM NIP. 19600502 198603 1 026

(25)
(26)
(27)

I. PENDAHULUAN

Hasil hutan bukan kayu (HHBK) atau Non Timber Forest Products (NTFP) merupakan salah satu sumber daya hutan yang memiliki keunggulan komparatif terhadap pelestarian lingkungan dan memiliki nilai strategis bagi peningkatan kondisi sosial-ekonomi masyarakat khususnya yang tinggal di sekitar kawasan hutan, serta berpotensi dikembangkan dalam skala industri yang lebih besar. (agro based industry).

Walaupun HHBK memiliki keunggulan dibandingkan dengan hasil kayu, pemanfaatannya belum dilakukan secara optimal. Beberapa permasalahan teknis yang terkait dengan pemanfaatan HHBK antara lain adalah, belum tersedianya data tentang potensi, sebaran dan ragam pemanfaatan secara lengkap, Hal tersebut menyebabkan perencanaan pemanfaatan HHBK khususnya bagi pembuat kebijakan di daerah belum dapat dilakukan dengan baik. Selain itu, masalah kestabilan dan peningkatan produksi antara lain melalui teknologi budidaya, dan masalah efesiensi pemanfaatan dan peningkatan kualitas produk melalui peningkatan teknologi pengolahan masih banyak yang belum diatasi. Hal ini antara lain karena besarnya keragaman jenis dan karakteristik dari HHBK itu sendiri. Sesuai Permenhut No. 35 tahun 2007, sementara ini ditetapkan sebanyak 566 jenis HHBK yang ada di Indonesia.

Permasalahan non-teknis pun masih cukup komplek. Tata niaga HHBK masih banyak yang tersembunyi, kurangnya informasi pasar dan harga, sehingga belum memberikan margin pemasaran yang layak dan menguntungkan bagi petani penghasil atau pemungut/pengumpul HHBK dari hutan. Kelembagaan pemanfaatan, pengusahaan dan pemasaran HHBK pada tingkat lokal juga umumnya masih lemah. Kajian/analisis tataniaga, kelembagaan dan kebijakan bagi pemanfaatan dan pengusahaan jenis-jenis HHBK secara spesifik pada kondisi lokal pada daerah penghasil

(28)

sangat diperlukan untuk mendukung kebijakan pengembangan pengusahaan dalam sistem klaster, sebagaimana telah ditetapkan Kemenhut.

Atas dasar itu, sejalan dengan tugas pokok dan fungsi, Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu telah melalukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan HHBK, walaupun dengan bidang kajian yang masih terbatas disesuaikan dengan Rencana Penelitian Integratif (RPI) yang telah ditetapkan pada tingkat Badan Litbang Kehutanan, dengan wilayah penelitian umumnya di Nusa Tenggara Barat dan Bali.

Dalam 2010 € 2014 lingkup jenis HHBK yang diteliti adalah madu lebah, lontar, dan sukun (jenis HHBK Food); nyamplung sebagai bahan bakar nabati (jenis HHBK Energy), songga (bidara laut) dan mimba (jenis HHBK Medicine); gaharu dan cendana (jenis HHBK Others) yang dikenal dengan istilah FEMO (food, energy, medicine, and others). Selain itu dalam mendukung peran HHBK dalam aspek pembangunan kehutanan lainnya, seperti rehabilitasi lahan dan pengurangan emisi karbon REDD, serta pemantapan data potensi HHBK, penelitian-penelitian khususnya aspek budidaya dan social-ekonomi, diorientasikan untuk mendukung aspek tersebut.

Dalam rangka mengkomunikasikan, dan upaya lebih memperluas dan mempercepat penyebaran informasi hasil-hasil penelitian serta sebagai salah satu bentuk pertanggujawaban publik atas kegiatan penelitian yang telah dilakukan, maka telah ditetapkan untuk menyelenggarakan ekspose hasil-hasil penelitian tahun 2013 ini.

(29)
(30)
(31)

ANALISIS SENYAWA KIMIA PENANDA KUALITAS GAHARU

Oleh:

Gunawan Pasaribu, Totok K.Waluyo, dan Gustan Pari Pusat Penelitian dan Pengembangan Keteknikan Kehutanan dan

Pengolahan Hasil Hutan

Jl. Gunung Batu No. 5 Bogor 16610, Indonesia Email: gun_pa1000@yahoo.com

ABSTRAK

Gaharu merupakan produk kayu yang menghasilkan resin beraroma wangi yang biasanya berasal dari kayu genus Aquilaria dan Gyrinops (Famili: Thymelaeceae). Pembentukan gaharu merupakan mekanisme pertahanan pohon terhadap suatu gangguan lingkungan atau penyakit dan menghasilkan metabolit sekunder. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI, 2011), gaharu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa tingkatan antara lain gubal gaharu, kemedangan, dan serbuk gaharu. Sistem pengkelasan yang ada didasarkan pada warna, berat dan aroma. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pengkelasan kualitas saat ini masih subjektif dalam hal pengkelasan gaharu. Oleh karena itu, untuk meminimasi kesubjektifan, dibutuhkan pengkelasan yang lebih objektif, seperti halnya yang berhubungan dengan komposisi kimia dan kadar resin. Sehubungan dengan itu, pada penelitian ini fokus pada analisis kualitas gaharu yang berasal dari Propinsi Riau. Kualitas gaharu yang diteliti terdiri dari kemedangan C, teri C, kacangan C, dan super AB. Kegiatan penelitian dimulai dengan pembuatan serbuk gaharu, kemudian diekstraksi dengan teknik soxhlet menggunakan beberapa pelarut organik (n-heksana, aseton, dan methanol). Ekstrak aseton gaharu dianalisis menggunakan GC-MS untuk menentukan komposisi kimia. Dari hasil penentuan komposisi kimia ini dapat ditetapkan kelas kualitas. Disamping itu, dari semua pelarut yang digunakan dapat ditentukan kadar resin (rendemen).

(32)

peningkatan kadar resin dengan peningkatan kualitas gaharu saat ini. Hasil pengujian GC-MS menunjukkan adanya kelompok sesquiterpena pada gaharu kemedangan C yaitu senyawa aromadendrene, aromadendrene oxide dan • guaine . Sementara itu, kelas teri C mengandung aromadendrene, alloaromadendrene oxide, dan furandione. Selanjutnya, kacangan C mengandung aromadendrene, ‚ -agarofuran, alloaromadendrene, eudesma diene dan furandione. Gaharu kualitas super AB mengandung aromadendrene, • guaine, • -gurjunene, isoaromadendrene epoxide, furandione, 10- • -eudesma 4,6 diene, dan 8 methoxy-2-(2-phenylethyl chromen). Hal ini cukup menarik bahwa keberadaan senyawa aromadendrene dapat dijumpai pada semua kualitas gaharu. Sehingga, hal ini diduga kuat bahwa senyawa aromadendrene dapat berperan sebagai senyawa kimia penanda gaharu.

Kata kunci: gaharu, ekstraksi, kadar resin, komponen kimia I. PENDAHULUAN

Gaharu diperoleh dari beberapa famili tumbuhan antara lain Thymeleaceae, Leguminoceae, dan Euphorbiaceae. Famili Thymeleaceae mempunyai dua genus yang dikategorikan dapat memproduksi gaharu kalitas tinggi yaitu genus Aquilaria dan Gyrynops (Sumarna, 2002; Sidiyasa dan Suharti, 1986). Jenis potensial dari Aquilaria seperti

malacensis, microcarpa, filarial, dan beccariana. Sementara

itu dari genus Gyrinops adalah Gyrinops varstegii. Gaharu merupakan salah satu komoditas hasil hutan bukan kayu (HHBK) di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis tinggi.

Kualitas gaharu alam ini ditentukan oleh kadar resin yang terkandung didalamnya, semakin tinggi kadar resinnya semakin bagus kualitasnya (Mashur, 2009). Seperti telah diketahui bahwa secara umum gaharu alam dikelompokan dalam 3 grup, yaitu gubal, kemedangan dan abu (Mashur,

(33)

2009; Salampessy, 2009; Santosa, 2009). Gubal gaharu terdiri dari kualitas dobel super, super A, super B, kacang teri A, kacang teri B dan sabah tenggelam. Kelompok kemedangan terdiri dari kemedangan kualitas A sampai dengan C, kualitas BC, kemedang putih dan teri terapung. Kelompok abu merupakan campuran dari hasil pembersihan gaharu kualitas gubal dan kemedangan, dan ini dibagi ke dalam empat kualitas yang meliputi abu gaharu super, abu gaharu kemedangan A, abu gaharu kemedangan dan TGC (Mashur, 2009; Salampessy, 2009; Santosa, 2009).

Penentuan kualitas gaharu sangat berhubungan dengan harganya. Berdasarkan Standard Nasional Indonesian (SNI 7631 : 2011 yang direvisi dari SNI 01-5009.1-1999), gaharu dapat digolongkan menjadi beberapa tingkatan yaitu gubal gaharu, kemedangan, dan serbuk gaharu. Sistim pengkelasan dibuat berdasarkan warna, berat dan aroma. Hal ini menyebabkan sistem pengkelasan terlalu subjektif. Oleh karena itu, untuk mengurangi kesubjektifan tersebut, perlu dicari hal objektif yang dapat digunakan dalam pengkelasan kualitas gaharu seperti hal yang berhubungan dengan komposisi kimia dan kadar resin.

II. METODOLOGI A. Bahan Penelitian

Bahan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah gaharu alam yang diperoleh dari Riau. Kualitas gaharu yang diuji terdiri dari kemedangan C, teri C, kacangan C, dan super AB. Bahan kimia yang digunakan antara lain methanol, ethanol, aseton, n-heksan, kloroform, aquadest.

(34)

B. Ekstraksi

Tahapan pertama yang dilakukan adalah melakukan penggilingan terhadap sampel gaharu untuk mendapatkan ukuran serbuk 40 sampai 60 mesh. Selanjutnya dilakukan ekstraksi dengan teknik soxhlet menggunakan berbagai pelarut organik yaitu n-heksana, aseton, dan methanol. Ekstraksi dilakukan selama 3 jam atau hingga ekstrak di tabung soxhlet sudah tidak berwarna, radas dipanaskan dengan bantuan penangas air pada suhu ± 100 °C. Hasil ekstraksi selanjutnya dipekatkan dengan bantuan penguap putar hingga semua pelarutnya menguap. Ekstrak pekat yang diperoleh merupakan resin gaharu yang berwarna cokelat kehitaman. Ekstrak pekat ditimbang untuk mengetahui rendemen resin gaharu.

Rendemen resin dapat ditentukan dengan rumus : A

Rendemen (%) = --- ; dimana : B

A = berat resin hasil ekstrak

B = berat serbuk gaharu sebelum diekstraksi

C. Analisis senyawa kimia

Ekstrak aseton dari gaharu kualitas kemedangan C, teri C, kacangan C dan super AB digunakan sebagai bahan untuk analisis. Analisis menggunakan Gas Chromatography Mass Spectra (GCMS) di Puslabfor Mabes POLRI. Spesifikasi GCMS adalah electron ionization detector attacks (EI) on GC-17A gas chromatograph (Shimadzu) yang dikombinasi dengan MS QP 5050A mass spectrometer,dan data base Wiley 7n.1. Py-GC/MS instrument (Shimadzu QP 2010) dijalankan pada

(35)

suhu pirolisis 6000C, Suhu GC oven pada 500C, suhu injector 2800C, suhu ion 2000C dan menggunakan detector DB5 MS.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Kondisi umum

Lokasi spesifik asal sampel gaharu adalah Desa Suka Maju, Kecamatan Rambai, Kabupaten Rokan Hulu Propinsi Riau. Di lokasi ini ada beberapa pencari/pemburu gaharu, salah satunya adalah Bapak Nasrul. Diperoleh informasi bahwa di Kecamatan ini setidaknya ada 100 orang yang berprofesi sebagai pencari gaharu. Sebagaian besar pemburu gaharu mengambil gaharu dari kawasan hutan Bukit Barisan tepatnya di Hulu Sungai Batang Samo, Tor Sorosah. Beliau sudah menekuni pekerjaan ini dalam 13 tahun terakhir dan menjadi mata pencaharian utamanya. Pengumpul gaharu yang lain adalah Ali Akbar yang dulunya sebagai pencari gaharu. Rantai pemasaran gaharu biasanya dari pemburu gaharu, kemudian pengumpul di desa dan selanjutnya dijual ke pengumpul di Pekan Baru.

(36)

Di desa yang lain adalah Desa Sialang Jaya di Kecamatan yang sama. Pengumpul gaharu (Zamhur) juga menjadikan usaha gaharu sebagai mata pencaharian keluarganya. Biasanya beliau mandah di hutan sampai satu minggu untuk mendapatkan gaharu. Dari diskusi dengan masyarakat dan peneliti di Balai Kuok, diketahui bahwa jenis gaharu dominan di Riau adalah gaharu beringin (Aquilaria

microcarpa) dan gaharu tapa (Aquilaria malaccensis). Beberapa daerah lain yang menjadi penghasil gaharu alam di Kabupaten Rokan Hulu antara lain Desa Koto Tinggi, Desa Pawan, Desa Minaming di Kecamatan Rambah; Desa Tangun di Kecamatan Bangun Purba; Desa Tebih dan Desa Kota Tengah di Kecamatan Kepenuhan; desa Sontang di Kecamatan Bonai; Desa Suro Gading di Kecamatan Rambah Samo; Desa Muara Dilam di Kecamatan Kunto Darsah.

(37)

Dalam hal pengkelasan kualitas, dirasakan oleh pengumpul masih sangat tergantung oleh pembeli. Harga sangat ditentukan oleh pembeli dan penetapan kualitas juga banyak ditentukan pembeli. Beberapa kelas kualitas dan harga disajikan pada Tabel 1. Di lokasi ini, selain menjual gubal gaharu, juga menjual hasil serutan dalam proses produksi gaharu seharga Rp.25.000/kg.

Tabel 1. Harga berbagai kualitas gaharu di Riau

No Kelas kualitas Harga (Rp) / kg

1 Super 43.000.000 2 Super Kedondong 35.000.000 3 Super Ciri-ciri 20.000.000 4 Super C 10.000.000 5 Super AB 30.000.000 6 Kacangan 4.000.000 7 Teri 1.000.000-2.000.000 8 Kemedangan 100.000-500.000 9 Kemedangan tunggul 30.000 B. Rendemen ekstraksi

Hasil ekstraksi soxhlet dengan berbagai pelarut disajikan dalam Tabel 2. Ekstraksi soxhlet sangat baik digunakan untuk senyawa yang tidak terpengaruh oleh panas, dan dinilai lebih ekonomis karena adanya sirkulasi pelarut yang selalu membasahi sampel.

(38)

Table 2. Rendemen resin gaharu

Rendemen resin dengan pelarut metanol menunjukkan hasil yang lebih tinggi dibanding dengan menggunakan pelarut aseton dan n-heksana. Pelarut metanol memiliki sifat yang dapat melarutkan hampir semua komponen baik yang bersifat polar, semi polar maupun non polar

Kadar resin gaharu secara garis besar menunjukkan bahwa kualitas super AB memiliki kadar resin tertinggi, diikuti oleh kualitas kacangan C, Teri C dan kemedangan C. Konsistensi nilai besaran kadar resin ini, dapat dijadikan sebagai ukuran yang valid dalam menggolongkan kelas kualitas gaharu.

C. Analisi Komponen Kimia

Hasil analisis komponen kimia resin gaharu terhadap empat kualitas gaharu dari lokasi yang berbeda disajikan pada Tabel 3. Ekstrak yang dianalisis adalah dari ekstrak aseton, dengan pertimbangan bahwa senyawa target adalah kelompok sesquiterpen dan kromon yang merupakan senyawa semi polar. Teori like dissolve like menjelaskan bahwa pelarut akan melarutkan senyawa yang sesuai dengan sifat kelarutannya. Pelarut polar akan lebih mudah melarutkan senyawa polar dan sebaliknya pelarut non polar akan lebih mudah melarutkan senyawa non polar (Harborne, 1987). Kromatogram gaharu super AB disajikan pada Gambar 2.

No Kualitas air (%)Kadar Rendemen (%)

Methanol Aseton n-heksana 1 Kemedangan C 6,45 23,78 5,97 1,99

2 Teri C 8,94 26,98 23,42 1,21

3 Kacangan C 7,44 34,22 34,07 0,99

(39)

Gambar 2.Kromatogram ekstrak gaharu Super AB

Hasil pengujian komposisi kimia mengacu pada komposisi kimia gaharu dalam penelitian Chen et al. 2012. Tabel 3. Komponen Kimia Gaharu

No Kualitas Komponen Kimia %

1 Kemedangan C Aromadendrene Aromadendrene oxide • guaine 1,24 1,34 1,96 2 Teri C Aromadendrene Alloaromadendrene oxide Furandione 1,17 0,31 1,17 3 Kacangan C Aromadendrene ‚ -agarofuran Alloaromadendrene Eudesma diene Furandione 0,04 0,61 0,09 1,36 0,59 4 Super AB Aromadendrene • guaine • -gurjunene Isoaromadendrene epoxide Furandione 10- • -eudesma 4,6 diene 8 methoxy-2-(2-phenylethyl chromen) 1,80 0,53 0,94 0,77 0,36 0,96 0,55

(40)

Dari Tabel 3 dapat dijelaskan, bahwa senyawa kelompok aromadendrene (Gambar 3) terdapat pada setiap kualitas yang diuji. Aromadendrene merupakan salah satu turunan sesquiterpena. Diduga, bahwa senyawa ini merupakan salah satu senyawa penanda/senyawa penciri (chemical

marker) gaharu.

Gambar 3. Struktur aromadendrene

Nakanishi, et al (1984) mengatakan bahwa senyawa wangi utama gaharu adalah sesquiterpena dan turunan phenylethyl chromone, dan semakin banyak jenis sesquiterpena terkandung, akan semakin tinggi kualitas gaharunya.

IV. KESIMPULAN

a. Rendemen resin gaharu sangat dipengaruhi oleh kelas kualitas gaharu. Terdapat hubungan yang linear positif antara peningkatan rendemen resin dengan peningkatan kelas kualitas gaharu.

b. Senyawa aromadendrene dapat diidentifikasi atau ditemukan pada semua kelas kualitas gaharu. Sehingga, diduga kuat bahwa senyawa aromadendrene dapat berperan sebagai senyawa penanda yang efektif (chemical

(41)

Daftar Pustaka

Anonimus, 2011.Gaharu. SNI.7631:2011. Badan Standardisasi Nasional. Gaharu. SNI.01-5009.1-1999

Burfield T. 2005. Agarwood Chemistry. http://www.cropwat. org/ Agarchem.html. [3 Agustus 2009]

Chen, H.Q., J-H. Wei, J-L. Yang, Z.Ziang, Y.Yang, J-H. Gao, C.Sui and B. Gong. 2012. Review : Chemical Constituens of Agarwood Originating from the Endemic Genus Aquilaria Plants. Chemistry and Biodiversity Vol 9; 236-250.

Harborne, J.B., 1987. Metode Fitokimia: Penuntun Cara Modern Menganalisa Tumbuhan. Edisi ke-2. Penerjemah

Padmawinata K. Bandung: ITB.

Hindra, B. 2009. Kebijakan pengembangan HHBK Khususnya

gaharu.Disampaikan dalam Seminar Nasional 1 Gaharu.

Bogor 12 November 2009.

Konishi, T., Takao, K., Yasuo, S. and Shiu, K. 2002. Six New 2-(2-Phenylethyl)chromone from Agarwood. Chem. Pharm. Bull. 50(3): 419-422.

Mashur. 2009. Peluang pasar gaharu budidaya. Disampaikan dalam Seminar Nasional 1 Gaharu. Bogor 12 November 2009.

Nakanishi T, E. Yamagata, K.Yoneda, T. Nagashima, I. Kawasaki, T. Yoshida, H. Mori and I. Miura. 1984.

Three fragrant Sesquiterpenes of

Agarwood.Phytochemistry 23 : 2066-2067

Salampessy, F. 2009. Strategi dan teknik pemasaran gaharu

di Indonesia. Disampaikan dalam Workshop Pengembangan Teknologi produksi gaharu berbasis pada pemberdayaan masyarakat di sekitar hutan.

(42)

Santosa, H. 2009. Konservasi dan pemanfaatan gaharu. Disampaikan dalam Seminar Nasional 1 Gaharu. Bogor 12 November 2009.

Sidiyasa, K. dan M. Suharti. 1986. Jenis-jenis tumbuhan

penghasil gaharu. Makalah Utama Diskusi pemanfaatan

kayu kurang dikenal. Puslitbang Hutan dan KA, Bogor. Siran, S.A, Ngatiman, Yusliansyah. 2005. Gaharu, Komoditi

HHBK Andalan Kalimantan Timur. Di dalam: Teknologi

untuk Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Masyarakat.Prosiding Gelar dan Dialog Teknologi;

Mataram, 29-30 Juni 2005. Mataram: Pusat Penelitian dan Pengembangan Hasil Hutan. Hlm 29-42

Sumarna, Y. 2002. Budidaya dan rekayasa produksi gaharu

pada jenis pohon penghasil gaharu. Bahan sosialisasi

gaharu di Gorontalo.

Whitemore, T.C. and I.G.M. Tantra. 1989. Tree Flora of

Indonesia. Check list for Sumatra. Forest Research and

Development Center.

Yoneda K, E. Yamagata, T. Nakanishi, T. Nagashima, I. Kawasaki, T. Yoshida, H. Mori and I. Miura.1984. Sesquiterpenoids in Two Different Kinds of Agarwood.

(43)

KARAKTERISTIK PEMBENTUKAN GAHARU YANG DIHASILKAN DARI TIGA TEKNOLOGI INOKULASI

DI PROPINSI NTB Oleh:

Sentot Adi Sasmuko

Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu

Jalan Dharma Bhakti No.7 Langko-Lingsar-Lombok Barat 83371 Telp. (0370) 6573874 Fax. (0370) 6573841 e-mail : bpkmataram@yahoo.co.id,

sentotadisasmuko@ymail.com

ABSTRAK

Inokulasi pohon gaharu merupakan serangkaian proses kegiatan dalam rangka rekayasa produksi gaharu dengan tujuan untuk mendapatkan hasil gubal gaharu yang lebih baik dari segi kualitas dan kuantitasnya. Di Indonesia telah dikenal beberapa teknik inokulasi pohon gaharu baik teknik tradisional maupun teknik-teknik lainnya yang dikembangkan oleh beberapa pembudidaya gaharu di berbagai daerah. Metode dan peralatan serta bahan yang digunakan berbeda-beda, demikian pula hasil gaharu yang bisa diperoleh. Penelitian tentang teknik inokulasi pohon gaharu terus dilakukan untuk mendapatkan hasil gaharu yang lebih optimal. Salah satu inovasi yang sedang dikembangkan Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu sejak tahun 2011 adalah teknologi inokulasi Sistem Paku Berpori (Simpori). Penelitian ini akan membandingkan teknologi inokulasi Simpori dengan teknologi bor (Suntik) dan teknologi DIM untuk mengetahui rendemen produksi gaharu yang terbentuk selama 6 bulan setelah inokulasi. Penelitian dilakukan pada pohon Gyrinops verstegii berdiameter ± 20 cm menggunakan inokulan jenis 00500 produksi Badan Litbang Kehutanan. Dosis inokulan yang digunakan adalah 5 ml. Hasil penelitian menunjukkan

(44)

inokulasi Simpori yaitu rata-rata sebesar 72,960 %, sedangkan terendah dicapai oleh teknologi inokulasi DIM sebesar 56,755 %. Rendemen produksi gaharu pada teknologi inokulasi Suntik rata-rata mencapai 65,842 %. Teknologi inokulasi berpengaruh nyata (significant) terhadap dimensi panjang dan lebar pembentukan gaharu, dan rendemen produksi gaharu yang dihasilkan, sedangkan ketinggian dalam batang dan interaksinya memberikan pengaruh yang tidak nyata (not significant).

Kata kunci : Gaharu, inokulasi, simpori, produksi, Gyrinops verstegii

A. PENDAHULUAN

Populasi tanaman gaharu alam saat ini semakin menipis di hutan, sehingga produk gaharu alam tersebut semakin langka dan sulit ditemukan. Sementara itu pasar masih terbentang luas, membutuhkan pasokan gaharu semakin tinggi dari tahun ke tahun. Kondisi ini perlu segera diantisipasi mengingat peluang ekonominya yang tinggi bagi masyarakat dan demi kelestarian pohon gaharu itu sendiri. Salah satu upaya terbaik adalah dengan membudidayakan pohon gaharu baik di dalam kawasan hutan maupun di atas lahan milik masyarakat.

Pembudidayaan pohon gaharu telah gencar dilakukan sejak sepuluh tahun terakhir ini baik oleh masyarakat maupun lembaga swasta dan pemerintah. Upaya budidaya tersebut dilakukan dengan harapan dapat memproduksi gubal gaharu secara kontinyu untuk memenuhi kebutuhan konsumen sehingga masyarakat tetap akan mendapatkan keuntungan ekonomi yang tinggi. Namun, kendala yang dihadapi adalah tidak diketahuinya secara pasti pohon-pohon gaharu yang

(45)

ditanam tersebut kapan akan menghasilkan gubal gaharu. Secara alami, gubal gaharu terbentuk dalam kurun waktu yang lama dan tidak diketahui secara pasti waktu pohon tersebut dapat dipanen dan menghasilkan gubal gaharu. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk memproduksi gubal gaharu secara buatan atau dengan cara merekayasa produksi yang dikenal dengan nama teknologi inokulasi yaitu memasukkan (induksi)

pathogen dengan sengaja ke dalam pohon gaharu.

Teknologi inokulasi yang tengah berkembang saat ini adalah metode suntik yaitu memasukkan pathogen (Fusarium

sp.) ke dalam batang pohon gaharu dengan cara membuat

lubang-lubang kecil di seluruh bagian batang mengikuti pola yang diinginkan. Lubang-lubang kecil yang dibuat sedalam sepertiga diameter batang pohon gaharu tersebut dilakukan dengan cara mengebor. Setelah lubang bor terbentuk kemudian dimasukkan pathogen dengan menggunakan alat suntik. Pada tahun 2011, Balai Penelitian Teknologi Hasil Hutan Bukan Kayu (BPTHHBK) telah mendpatkan teknologi inokulasi pohon gaharu yang diberi nama Simpori. Teknologi inokulasi Simpori masih memerlukan penelitian lebih lanjut terutama untuk mengetahui hasil gaharu yang terbentuk baik kualitas maupun kuantitasnya. Oleh karena itu, dalam penelitian ini akan dilakukan percobaan inokulasi dengan teknologi inokulasi Simpori dengan teknologi inokulasi lainnya. Dari penelitian ini diharapkan dapat diperoleh data perbandingan produksi gaharu dari beberapa teknologi inokulasi yaitu Simpori, DIM dan teknologi inokulasi Suntik.

(46)

B. METODE PENELITIAN

1. Waktu dan Lokasi

Penelitian inokulasi dilaksanakan di Desa Kekait Lembah Sari, Kecamatan Batu Layar, Kabupaten Lombok Barat, NTB. Sedangkan pengolahan dan pengamatan gaharu hasil pemanenan dilaksanakan di Laboratorium Pengolahan Hasil Hutan Bukan Kayu, BPTHHBK, Mataram. Waktu penelitian dimulai sejak bulan April sampai dengan Nopember 2012.

2. Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan antara lain adalah : pohon penghasil gaharu (Gyrinops verstegii), inokulan 00500, alkohol, cat, label pohon, bahan bakar, spidol, plastik sampel, tissu, dan silikon. Alat-alat yang akan digunakan antara lain : paku Simpori dan alat pencabutnya, blender, bor, mata bor, genset, pipet plastik, parang, pahat, cutter, pisau, meteran, palu, tally sheet, alat carving, dan timbangan.

3. Metode

- Pohon sampel

Penentuan lokasi penelitian dan pohon sampel akan dilakukan secara purposive sampling. Lokasi penelitian dipilih pada daerah dengan kondisi lingkungan yang sama. Pohon sampel dipilih dengan kondisi yang seragam dari aspek ukuran diameter (dbh) ± 20 cm, dan kondisi pohon sehat.(jik

(47)

b. Inokulasi pohon sampel

Dalam penelitian ini, akan digunakan tiga teknologi inokulasi yaitu teknologi inokulasi simpori, Suntik dan teknologi DIM. Desain pola inokulasi dibuat pada pohon yang telah terpilih dan mulai dilakukan pada ketinggian batang 10 cm di atas permukaan tanah hingga tinggi 5 m. 1) Teknik Simpori (Sasmuko, 2011)

Pola inokulasi yang akan dilakukan adalah pola ring. Pada pola ini titik-titik pemakuan dibuat terlebih dahulu dengan jarak vertikal 40 cm dan jarak horizontal 10 cm. Paku Simpori yang akan digunakan berdiameter 5 mm. Penancapan paku Simpori dilakukan dengan posisi agak miring dengan kedalaman minimal setengah diameter batang. Ujung paku dibiarkan menonjol di permukaan batang lebih kurang 2 cm.

Isolat dimasukkan ke dalam lubang paku Simpori menggunakan pipet ukur dengan dosis 5 cc per lubang.

Gambar 1. Desain inokulasi teknik Simpori

40 cm 10 cm Permukaan tanah 10 cm

(48)

2) Teknik Suntik (Santoso et al., 2010; Siran, 2010)

Desain pola teknik Suntikr dibuat zig-zag dengan membuat titik-titik injeksi terlebih dahulu dengan jarak vertikal 20 cm dan jarak horizontal 5 cm dari titik tengah antara dua lubang vertikal. Pengeboran dilakukan secara mendatar dengan kedalaman sepertiga diameter batang sehingga membentuk lubang dengan diameter 3 mm. Isolat yang telah disiapkan dimasukkan ke dalam alat injeksi (suntik) dan diinjeksikan hingga lubang telah terpenuhi inokulan (1-2 cc) dan lubang dibiarkan terbuka untuk memberi kondisi aerasi bagi mikroba yang diinokulasikan.

Gambar 2. Desain inokulasi teknologi Suntik

1 5 c m 1 0 c m 5 cm Permukaan tanah

(49)

3) Teknologi DIM

Desain pola teknik DIM dibuat secara melingkar

(ring) dengan membuat titik-titik injeksi terlebih dahulu

dengan jarak vertikal 20 cm dan jarak horizontal 3 cm dari titik tengah antara dua lubang vertikal. Pengeboran dilakukan secara mendatar dengan kedalaman sepertiga diameter batang sehingga membentuk lubang dengan diameter 5 mm. Satu lubang bor akan dibuat mencapai setengah diameter batang. Isolat yang telah disiapkan dimasukkan hingga lubang bor telah terpenuhi inokulan (± 3 cc) dan lubang dibiarkan terbuka.

Gambar 3. Desain inokulasi teknologi DIM

1 0 c m Permukaan tanah 20 cm 3 cm

(50)

c. Pengamatan hasil inokulasi

1) Perkembangan pembentukan gaharu

Pengamatan infeksi (serangan) inokulan pada proses inokulasi dilakukan dengan mengukur panjang infeksi vertikal dan horisontal yang terjadi pada permukaan kayu (Santoso et al., 2011). Dimensi panjang hasil pembentukan gaharu diukur secara vertikal ke arah atas-bawah dari satu titik inokulasi. Sedangkan dimensi lebar diukur secara horisontal kea rah kiri-kanan dari satu titik inokulasi. Pada kurun waktu tiga bulan setelah inokulasi sudah mulai terlihat gejala pembentukan gaharu yang ditandai dengan adanya perubahan warna kecokelatan pada jaringan kayu. Pengukuran dilakukan berdasarkan ketinggian dalam batang yaitu tinggi 1 m, 3 m, dan 5 m dari permukaan tanah.

2) Produksi gaharu

Pengamatan produksi gaharu dilakukan pada enam bulan setelah inokulasi. Pengamatan ini dilakukan dengan cara menebang pohon gaharu dan dilakukan proses produksi (carving) hingga mendapatkan beberapa kelas kualitas gaharu. Hasil produksi akan dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Output

R = --- x 100 % Input

Dimana :

R : rendemen gaharu yang dihasilkan (%) Input : berat log gaharu sebelum carving (kg) Out put : berat gaharu setelah carving (kg)

(51)

Berat log dan gaharu yang diukur adalah dalam kondisi basah. Pengukuran rendemen produksi gaharu dilakukan berdasarkan ketinggian dalam batang yaitu tinggi 1 m, 3 m, dan 5 m dari permukaan tanah.

4. Analisis data

Untuk mengetahui perkembangan pembentukan gaharu pada 3 bulan setelah inokulasi dan rendemen produksi gaharu yang dipanen pada 6 bulan setelah inokulasi, dilakukan analisis secara deskriptif dan statistik menggunakan program Minitab. Jumlah pohon sebagai ulangan terdiri dari 3 pohon sehingga jumlah keseluruhan pohon percobaan adalah 9 pohon.

C. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Perkembangan Pembentukan Gaharu

Proses pembentukan gaharu hasil inokulasi dapat dilihat dari perubahan warna kayu di sekitar titik inokulasi. Hal ini sesuai dengan pendapat Rahayu et al. (2007) menyatakan bahwa perubahan warna kayu merupakan indikator dalam pembentukan gubal gaharu. Untuk mengetahui besarnya indikator dalam pembentukan gaharu tersebut setiap teknologi inokulasi dalam penelitian ini, dilakukan pengukuran dimensi panjang, lebar dan luas pembentukan gaharunya. Pengukuran dimensi pembentukan gaharu dilakukan pada saat tiga bulan setelah proses inokulasi (Tabel 1).

(52)

Tabel 1. Rata-rata dimensi panjang pembentukan gaharu 3 bulan inokulasi Teknologi inokulasi Ketinggian dalam batang (m) Rata-rata Dimensi Panjang (cm) Suntik 1 14,083 3 17,750 5 14,750 Rata-rata 15,528 DIM 1 11,250 3 14,833 5 12,833 Rata-rata 12,972 Simpori 1 21,500 3 22,750 5 21,917 Rata-rata 22.056

Berdasarkan Tabel 1 diketahui bahwa rata-rata dimensi panjang pembentukan gaharu tertinggi dicapai oleh teknologi inokulasi Simpori yaitu sebesar 22,056 cm, sedangkan terendah dicapai oleh teknologi inokulasi DIM yaitu sebesar 12,972 cm.

Hasil pengukuran dimensi lebar pembentukan gaharu dapat dilihat pada Tabel 2. Diketahui bahwa rata-rata dimensi lebar pembentukan gaharu tertinggi dicapai oleh teknologi inokulasi Suntik yaitu sebesar 3,269 cm, sedangkan terendah dicapai oleh teknologi inokulasi DIM yaitu sebesar 1,489 cm.

(53)

Tabel 2. Rata-rata dimensi lebar pembentukan gaharu 3 bulan inokulasi Teknologi inokulasi Ketinggian dalam batang (m) Rata-rata Dimensi Lebar (cm) Suntik 1 2,642 3 3,083 5 4,083 Rata-rata 3,269 DIM 1 1,383 3 1,583 5 1,500 Rata-rata 1,489 Simpori 1 1,875 3 1,917 5 2,500 Rata-rata 2,097

Meskipun teknologi Simpori mempunyai dimensi panjang pembentukan gaharu tertinggi, namun tidak demikian dengan dimensi lebarnya yang masih dibawah teknologi Suntik. Rata-rata dimensi lebar pembentukan gaharu pada teknologi Simpori adalah sebesar 1,489 cm.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa infeksi inokulan yang digunakan pada tiga teknologi inokulasi dan ketinggian dalam batang pohon mempunyai tingkat serangan yang berbeda-beda baik dimensi panjang, dimensi lebar maupun dimensi luasnya. Untuk melihat pengaruh teknologi inokulasi dan ketinggian dalam batang terhadap tingkat serangan inokulan, dilakukan analisis keragaman (Tabel 3).

(54)

Tabel 3. Analisis keragaman dimensi panjang pembentukan gaharu Sumber Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F P0,05 Ulangan Tek. Inokulasi Ketinggian batang Interaksi Galat 2 2 2 4 16 913,70 394,95 37,80 6,87 753,97 456,85 197,47 18,90 1,72 47,12 9,69 4,19 0,40 0,04 0,002 0,034* 0,676tn 0,997tn Total 26 2107,28

Keterangan : * = berpengaruh nyata tn = berpengaruh tidak nyata

Tabel 3 mengindikasikan bahwa teknologi inokulasi berpengaruh nyata terhadap dimensi panjang pembentukan gaharu yang dihasilkan, sedangkan ketinggian dalam batang memberikan pengaruh yang tidak nyata. Hal ini menunjukkan bahwa dimensi panjang pembentukan gaharu hasil penelitian ini besarnya berbeda nyata antara teknologi inokulasi Suntik, DIM dan Simpori. Perbedaan tersebut dapat disebabkan karena masing-masing teknologi inokulasi mempunyai teknik menginduksi inokulan yang berbeda. Teknik induksi inokulan ini dapat mempengaruhi efektifitas jamur inokulan dalam menginfeksi kayu gaharu dalam batang. Mucharromah et.al. (2008) mengatakan bahwa secara teoritis keunggulan inokulan dalam menginduksi pembentukan gaharu berkaitan dengan jenis, kemurnian mikroorganisme dan teknik induksi yang digunakan. Untuk melihat pengaruh teknologi inokulasi dan ketinggian dalam batang terhadap dimensi lebar pembentukan gaharu, dilakukan analisis keragaman seperti pada Tabel 4.

(55)

Tabel 4. Analisis keragaman dimensi panjang pembentukan gaharu Sumber Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F P0,05 Ulangan Tek. Inokulasi Ketinggian batang Interaksi Galat 2 2 2 4 16 1,059 14,744 2,495 1,572 30,641 0,529 7,372 1,247 0,393 1,915 0,28 3,85 0,65 0,21 0,762 0,043* 0,535tn 0,932tn Total 26 50,510 Keterangan : * = berpengaruh nyata

tn = berpengaruh tidak nyata

Tabel 4 mengindikasikan bahwa hasil analisis keragaman dimensi lebar pembentukan gaharu dengan perlakuan teknologi inokulasi dan ketinggian batang menunjukan bahwa sistem inokulasi memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap dimensi lebar pembentukan gaharu, sedangkan ketinggian batang menunjukan tidak adanya pengaruh nyata, serta tidak terjadi interaksi antara teknologi inokulasi dengan ketinggian batang.

Tabel 5. Analisis perbedaan dimensi panjang dan lebar pembentukan gaharu

No. Teknologi Inokulasi Panjang (cm) Lebar (cm)

1. Suntik 15,528 ab 3,2694 b

2. DIM 12,972 a 1,4889 a

3. Simpori 22,056 b 2,0972 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama menunjukkan perbedaan yang tidak nyata

(56)

Hasil analisis uji beda (BNJ) pada Tabel 5 tersebut dapat diketahui bahwa teknologi inokulasi Suntik dan Simpori menghasilkan dimensi panjang pembentukan gaharu yang relatif sama, namun keduanya berbeda dengan yang dihasilkan dari teknologi inokulasi DIM. Persamaan besarnya dimensi panjang pembentukan gaharu pada teknologi inokulasi Suntik dan Simpori tersebut kemungkinan disebabkan adanya kondisi yang aman bagi jamur dalam isolate yang dimasukkan dalam kayu. Jamur tersebut relatif tidak mengalami gangguan adanya serangan serangga atau aliran air hujan karena pada teknologi inokulasi Suntik lubang bornya sangat kecil (2 mm) dan menyebar zigzag, sedangkan pada teknologi inokulasi Simpori dapat melewatkan aliran air hujan dengan lubang pori sebesar 1 mm. Teknologi inokulasi DIM relatif banyak mengalami gangguan karena lubang bor lebih besar yaitu 5 mm dengan pola yang melingkar berjarak relatif dekat (3 cm). Kondisi tersebut mengakibatkan mudahnya aliran air hujan masuk dan serangan serangga seperti semut dan rayap, sehingga jamur inokulan mengalami kerusakan dan tidak dapat menginfeksi kayu secara maksimal. Teknologi inokulasi Suntik menghasilkan dimensi lebar pembentukan gaharu yang relatif berbeda dengan teknologi DIM dan Simpori, namun keduanya mempunyai dimensi lebar pembentukan gaharu yang sama. Dengan demikian dimensi lebar pembentukan gaharu tertinggi dicapai oleh teknologi inokulasi Suntik.

2. Produksi Gaharu

Produksi gaharu yang diukur dalam penelitian ini adalah kayu gaharu yang layak sebagai bahan baku penyulingan. Kriteria kayu gaharu yang layak adalah yang

(57)

masuk dalam kategori kelas mutu TGC dan limbah proses pengerokan (carving). Kondisi kayu gaharu yang diamati adalah bebas serangan jamur kayu dan tidak mengalami proses pelapukan. Produksi gaharu dihitung dengan mengukur rendemen produksinya setiap teknologi inokulasi pada umur inokulasi enam bulan. Hasil pengukuran rendemen produksi gaharu dalam penelitian ini tertera pada Tabel 6.

Tabel 6. Rata-rata rendemen produksi gaharu 6 bulan inokulasi Teknologi inokulasi Ketinggian dalam

batang Rata-rata Rendemen (%) Suntik 1 65,719 3 66,111 5 65,694 Rata-rata 65,842 DIM 1 57,029 3 56,700 5 56,536 Rata-rata 56,755 Simpori 1 70,198 3 78,535 5 70,148 Rata-rata 72,960

Tabel 6 menunjukkan bahwa rata-rata rendemen gaharu tertinggi dicapai oleh teknologi inokulasi Simpori yaitu sebesar 72,960 %, sedangkan terendah dicapai oleh teknologi inokulasi DIM yaitu sebesar 56,755 %. Apabila dilihat dari aspek ketinggian dalam batang menunjukkan bahwa rendemen tertinggi dicapai pada ketinggian batang 3 m pada teknologi inokulasi Suntik dan Simpori. Pada teknologi inokulasi Suntik rata-rata rendemen gaharu pada ketinggian 3 m adalah sebesar

(58)

66,111 %, sedangkan pada teknologi inokulasi Simpori sebesar 78,535 %. Pada teknologi inokulasi DIM rendemen tertinggi dicapai pada ketinggian batang 1 m yaitu sebesar 57,029 %. Teknik inokulasi dan jenis inokulan yang tepat pada jenis pohon dalam kondisi tertentu serta waktu antara inokulasi dan panen yang lebih panjang, maka mutu gubal yang tinggi akan dapat dihasilkan (Mucharromah et al., 2008). Pemanenan gaharu dalam penelitian ini dilakukan pada umur inokulasi 6 bulan sebagai bahan baku dalam memproduksi minyak gaharu. Besarnya gaharu yang dihasilkan (rendemen produksi) masing-masing teknologi inokulasi yang diteliti adalah berbeda-beda, demikian hal nya dengan ketinggian dalam batang pohon gaharu. Untuk mengetahui pengaruh teknologi inokulasi dan ketinggian dalam batang terhadap besarnya rendemen produksi gaharu, dilakukan analisis keragaman pada Tabel 7.

Tabel 7. Analisis keragaman rendemen produksi gaharu Sumber Derajat bebas Jumlah kuadrat Kuadrat tengah F P0,05 Ulangan Tek. Inokulasi Ketinggian batang Interaksi Galat 2 2 2 4 16 21,32 1187,58 50,45 90,12 221,94 10,66 593,79 25,23 22,53 13,87 0,77 42,81 1,82 1,62 0,480 0,000* 0,194tn 0,217tn Total 26 1571,42

Keterangan : * = berpengaruh nyata tn = berpengaruh tidak nyata

Tabel 7 mengindikasikan bahwa teknologi inokulasi berpengaruh nyata terhadap rendemen produksi gaharu yang dihasilkan, sedangkan ketinggian dalam batang dan

Gambar

Gambar 1. Desain inokulasi teknik Simpori
Gambar 2. Desain inokulasi teknologi Suntik
Tabel  1.  Rata-rata  dimensi  panjang  pembentukan  gaharu  3 bulan inokulasi Teknologi inokulasi Ketinggian dalambatang (m) Rata-rata DimensiPanjang  (cm) Suntik 1 14,083 3 17,750 5 14,750 Rata-rata 15,528 DIM 1 11,250 3 14,833 5 12,833 Rata-rata 12,972
Tabel 2. Rata-rata dimensi lebar pembentukan gaharu 3 bulan inokulasi Teknologi inokulasi Ketinggian dalambatang (m) Rata-rata DimensiLebar (cm) Suntik 1 2,642 3 3,083 5 4,083 Rata-rata 3,269 DIM 1 1,383 3 1,583 5 1,500 Rata-rata 1,489 Simpori 1 1,875 3 1,
+7

Referensi

Dokumen terkait

1) Setelah Guru pembimbing mendapatkan informasi dari siswa se- almamater dan ada juga dari salah seorang orang tua siswi yang terlibat kasus tersebut, maka segera membuat

Selain itu UMKM Industri Batik harus meman- faatkan peluang untuk meraih potensi pasar yang lebih luas dan menjaga eksistensi UMKM dengan baik Untuk memanfaatkan

Analisis sistem yang dilakukan peneliti pada Sistem rekrutman karyawan yang berjalan pada saat ini menemukan beberapa permasalahan diantaranya seleksi berkas

bagian petiol daun dari empat sisi pengukuran pohon, dengan rata-rata 10 sampel per bagian kemudian dirata-ratakan nilai keempat sisi tersebut.. Lampiran 2

Algoritma dinamis digunakan untuk menyelesaikan permasalahan penjadwalan pekerjaan baru yang kedatangannya pada saat proses produksi sedang berlangsung. Secara umum

Selain memiliki dampak atau efek yang positif, pengkonsumsian siomay secara berlebihan juga brdampak buruk bagi kesehatan seperti bahan utama pada siomay yang

Types of Igneous Rocks Granite Diorite Gabbro Rhyolite Andesite Basalt Dacite Granodiorite. Mafic

Perlakuan  sterilisasi  tanah  berpengaruh  nyata  terhadap  pertumbuhan  tanaman.  Tanaman  menunjukkan  pertumbuhan  yang  lebih  rendah  pada  tanah  yang