MEMBUAT KADER BEKERJA:
DINAMIKA INTERNAL PARTAI KEADILAN SEJAHTERA
(PKS) DALAM MERESPONS KASUS KORUPSI LUTHFI
HASAN ISHAAQ MENJELANG PEMILU 2014
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Rangga Eka Saputra 109033200017
PROGRAM STUDI ILMU POLITIK
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
ABSTRAKSI
Skripsi ini membahas dinamika internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam merespons kasus korupsi yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq menjelang pemilu 2014. Penelitian ini menjelaskan pertanyaan: mengapa kader PKS tetap melakukan aksi-aksi kolektif (collective action), seperti: mengikuti rapat-rapat kordinasi, menyelenggarakan aksi pelayanan sosial, pengajian bulanan, pemasangan spanduk/pamflet, direct selling, dan kampanye-kampanye menjelang pemilu 2014, disaat terjadi kasus korupsi kuota impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq? Dan bagaimana gerakan PKS melakukan pembingkaian (framing) kepada kadernya untuk tetap melakukan aksi-aksi kolektif menjelang pemilu 2014, disaat terjadi kasus tersebut?. Penelitian ini penting karena PKS merupakan partai kader dan merupakan gerakan Islamisme yang menekankan pelaksanaan prinsip-prinsip ajaran Islam yang ketat bagi para kader maupun elit partainya. Faktanya, perolehan suara PKS pada pemilu 2014 mengalami peningkatan suara elektoral sebanyak 8.480.204 suara, dibandingkan suara tahun 2009 sebanyak 8.204.946 suara. Pembahasan ini juga penting untuk mengetahui faktor framing dalam organisasi gerakan Tarbiyah/ PKS yang membuat kadernya tetap loyal atau bekerja ketika terjadi kasus tersebut.
Penelitian ini menggunakan pendekatan pembingkaian (framing) dalam kajian gerakan sosial (sosial movement). Kemudian, penelitian ini juga menggunakan metode studi kasus. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang representatif dan reliable, dalam mendapatkan data penulis menggunkan metode wawancara mendalam kepada kader PKS di setiap jenjang pengkaderan dan struktur organisasi PKS serta melakukan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat mekanisme framing yang dilakukan struktur/elit PKS dalam menjaga kadernya agar tetap loyal dan bekerja di tengah kasus tersebut. Usaha yang mereka lakukan seperti: pertama, melakukan interpretasi ulang kasus tersebut yang menyatakan bahwa Luthfi Hasan Ishaaq tidak bersalah serta terjadi konspirasi terhadap PKS, kedua, PKS melakukan proses spiral encapsulation terhadap kadernya terkait kasus tersebut. Terdapat juga faktor-faktor pendukung dalam budaya atau ideologi PKS yang menyebabkan proses
framing berjalan dengan baik, seperti: adanya faktor kewajiban dan insentif,
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Allah Swt, yang dengan rahmat dan karunianya telah
memberikan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Shalawat
serta salam dilimpahkan kepada Rasulullah Saw yang telah membawa risalah
Islam sebagai salah satu peradaban dunia yang menjunjung tinggi ilmu
pengetahuan bagi umatnya.
Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis merasa banyak pihak yang
membantu. Dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada
pihak-pihak yang membantu penyusunan skripsi ini, diantaranya:
1. Bapak Prof. Bachtiar Effendi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Dr. Ali Munhanif selaku Ketua
Jurusan Program Studi Ilmu Politik, Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si selaku
Sekretaris Jurusan, beserta seluruh staf jajarannya.
2. Bapak Dr. Saiful Mujani, MA selaku dosen pembimbing skripsi. Di tengah
kesibukannya yang padat, beliau bersedia membaca, mengoreksi, dan
memberi saran dalam penyusunan skripsi ini.
3. Bapak dan Ibu dosen jurusan Ilmu Politik yang senantiasa memberikan
ilmu dan bimbingannya selama masa penulis berkuliah, antara lain: Bapak
Idris Thaha sebagai dosen pembimbing akademik penulis, Bapak Bakir
Ihsan, Bapak Agus Nugraha, Bapak Sirajudin Aly, Bapak Nawirudin, Ibu
Mutiara Pratiwi, Ibu Gefarina Djohan, dan semua dosen Ilmu Politik yang
4. Secara khusus kepada Kak Ihsan Ali-Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina)
dan Ibu Ida Rosyida yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis
dalam penyusunan skripsi ini, terutama ketika membantu penulis untuk
mewawancarai Ibu Aan Rohana selaku Majelis Syuro PKS. Kak Ihsan
adalah sosok yang penting dalam perkembangan akademik saya.
5. Teman-teman Forum Muda Paramadina: Kak Husni Mubarak, Kak Irsyad
Rafsyadi, Kak Syafiq Hasyim, Kak Ali Nursyahid, Siswo Mulyartono,
Ayu Mellisa, Joko Arizal Theofani, Kathi, Adit, dan Joevarian. Kalian
semua menjadi inspirasi bagi saya.
6. Teman-teman FORMACI (Forum Mahasiswa Ciputat): Erwin M.
Simbolon, Muhammad Rafsan, Doddy Iskandar, Indra T Purnama, Didi
Manakara, Amrizal Ulya, Iir Irham Mudzakir, dan lain-lain. Semoga
tradisi membaca, berdiskusi, dan menulis terus berlanjut pada komunitas
ini.
7. Teman-teman Jurusan Ilmu Politik angkatan 2009: Muhdlari, Asep Asyari,
Sam‟an, Eko Indrayadi, Abdi, Ali Wafa, Amizar Isma, Riza Abiwinata, Iir
Irham Muudzakir, Isma Hamdani, Kholil, Imron Ghozali, Elva, Annisa,
Lina, Mutia, Almarhum Selamet, dan lain-lain. Semoga kekompakan dan
persahabatan kita akan berlanjut seiring keterbatan ruang dan waktu
selepas kita lulus.
8. Kepada narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk penulis
9. Ucapan terima kasih kepada istri saya: Pury Cahyani, S.KM yang dengan
sabar dan setia membantu dan menemani saya dalam penyusunan skripsi
ini. Kepada putri-putri saya: Kayyisah Hasna Jannati dan Nizza Ismah
Zayani. Mereka adalah sumber semangat bagi saya dalam menyusun
skripsi ini.
10.Terakhir, ucapan terima kasih kepada keluarga saya: Ayahanda Rahimi
Chandra dan Ibunda Megawati, yang senatiasa memberi doa untuk hidup
saya. Juga kepada adik-adik saya: Putri Bilqish, Maria Qibtia, Haikal
Ibrahim dan Naurah Nazifah.
Jakarta, 22 Oktober 2014
DAFTAR ISI A. Gerakan Sosial : Pembingkaian (Framing)...18
A.1. Bingkai Aksi Kolektif (Collective Action Frame)...22
A.2. Resonansi Pembingkaian (Framing Resonance)...23
A.3. Psikologi Sosial (Social Psychology)...25
B. Islamisme dan Aktivisme Islam...29
B.1. Definisi Islamisme dan Aktivisme Islam...29
B.2. Asal-Usul Gerakan Islamisme...31
B.3. Variasi dalam Gerakan Islamisme...34
BAB III. PKS SEBAGAI ORGANISASI GERAKAN SOSIAL DAN KASUS LUTHFI HASAN ISHAAQ A. Sejarah PKS: Dari Gerakan Kampus ke Panggung Politik...36
B. Framing PKS Sebagai Organisasi Gerakan Sosial Islam...40
B.1. Bingkai Diagnostik...40
B.2. Bingkai Prognostik...43
B.3. Bingkai Motivasi...45
C. Landasan Ideologis Gerakan...47
E. Urgensi Rukun Bai‟at Dalam Gerakan...52
F. Tingkatan/Jenjang Keanggotaan Dalam Gerakan...55
G. Kasus Kuota Impor Daging Sapi yang Menjerat Luthfi Hasan Ishaaq...61
BAB IV. FRAMING PKS DAN FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNGNYA A. Reinterpretasi Masalah: Konspirasi dan Luthfi Hasan Ishaaq Tidak Bersalah...65
B. Bingkai Motivasi: Kewajiban dan Insentif...69
C. Resonansi Pembingkaian (Peran Aktor)...73
D. Pemutusan Informasi yang Berasal dari Luar Gerakan...77
E. Pengaruh Rukun Bai‟at dalam ProsesFraming...81
BAB V. KESIMPULAN A. Kesimpulan...85
DAFTAR TABEL
Tabel 1: Perbandingan perolehan suara PKS dan Partai Demokrat tahun 2009 dan
2014...7
Tabel 2: Framing diagnostik gerakan Tarbiyah/PKS...43
Tabel 3: Rukun Bai‟at...54
DAFTAR SINGKATAN
DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia)
DPC (Dewan Pengurus Cabang)
DPD (Dewan Pengurus Daerah)
DPP (Dewan Pengurus Pusat)
DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)
DPRa (Dewan Pengurus Ranting)
DPW (Dewan Pengurus Wilayah)
FSLDK (Forum Silaturahmi lembaga Dakwah Kampus),
FIS (Forum of Islamic Study)
HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)
ITB (Institut Teknologi Bandung)
KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)
KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).
LDK (Lembaga Dakwah Kampus)
NU (Nahdlatul Ulama)
PAN (Partai Amanat Nasional)
PBB (Partai Bulan Bintang)
PD (Partai Demokrat)
PK (Partai Keadilan)
PKS (Partai Keadilan Sejahtera)
PPP (Partai Persatuan Pembanguna)
BAB I
PENDAHULUAN
G. Pernyataan Masalah
Skripsi ini membahas dinamika internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
dalam merespons kasus korupsi yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq menjelang
pemilu 2014. Penelitian ini menjelaskan pertanyaan: mengapa kader PKS tetap
loyal dan melakukan aksi-aksi kolektif (collective action) ketika terjadi kasus tersebut dan bagaimana usaha yang dilakukan struktur/elit PKS untuk menjaga
kadernya tetap loyal dan bekerja untuk gerakan. Penelitian ini penting karena PKS
merupakan partai kader dan merupakan gerakan Islamisme yang menekankan
pelaksanaan prinsip-prinsip ajaran Islam yang ketat bagi para kader maupun elit
partainya. Loyalitas dan aksi-aksi kolektif yang dilakukan kader PKS seperti:
memasang atribut (spanduk dan poster) partai, direct selling, kampanye pemilu, melakukan aksi pelayanan sosial, dan mengikuti rapat-rapat rutin partai.
Sebelumnya ada sebuah peristiwa penting bagi PKS menjelang pemilu
2014, yaitu tertangkap tangannya presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK
(Komisi Pemberantasan Korupsi) terkait kasus kuota impor sapi akhir Januari
2013. Bahkan dalam pengadilan yang digelar hari Senin, 9 Desember 2013
terbukti bahwa Luthfi Hasan Ishaaq menerima suap dalam pengurusan kuota
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.1
Yang penting dalam kasus tersebut adalah dinamika internal PKS terkait
kasus hukum Luthfi terutama bagaimana pengaruhnya terhadap mesin partai
(kader). Diketahui bahwa PKS adalah partai yang menjadikan Islam sebagai
ideologi dan menuntut kadernya untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara
kaffah. Ada persoalan penting yaitu seberapa besar kasus Luthfi Hasan Ishaaq mempengaruhi loyalitas dan soliditas kadernya yang notabene adalah mesin partai
dalam menghadapi pemilu 2014.
Mardani Ali Serra menyatakan bahwa mesin partai (kader) dan struktur
partainya tidak terpengaruh dengan kasus yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq.2
Lebih lanjut, PKS melalui Anis Matta menyatakan memberi bantuan hukum
kepada Luthfi Hasan Ishaaq terkait kasus kuota impor daging sapi tersebut.3 Hal
ini menjadi paradoks dengan kasus Syamsul Balda (anggota DPR RI dari PK
periode 1999-2004) yang dipecat terkait pelanggaran moral.
Loyalitas kader PKS dapat dilihat dari bagaimana aksi-aksi kolektif
(collective actions) atau kerja-kerja untuk gerakan/partai yang dilakukan kadernya menjelang pemilu legislatif 2014. Sebagaimana laporan berita di harian Tempo
yang menggambarkan kampanye PKS menjelang pemilu 2014:
1
Tempo.co, Luthfi Hasan Disebut Terbukti Menerima Suap. Lihat http://www.tempo.co/read/news/2013/12/09/063535925/Luthfi-Hasan-Disebut-Terbukti-Terima-Suap. Di Unduh pada Kamis, 1 Mei 2014.
2
Tempo.co, PKS Tak Terima Luthfi Disebut Rusak Citra Partai. Lihat http://www.tempo.co/read/news/2013/12/10/078536112/PKS-Tak-Terima-Luthfi-Disebut-Rusak-Citra-Partai. diunduh pada Kamis, 1 Mei 2014.
3
“Ribuan kader Partai Keadilan Sejahtera memenuhi tribun Stadion Gelora Bung
Karno, Senayan, Jakarta, Ahad, 16 Maret 2014. Mereka tampak berdesak-desakan di antara kursi tribun sembari menyaksikan juru kampanye partai berlambang bulan sabit kembar menyampaikan pidatonya.Hampir tidak ada kursi tribun yang kosong. Bahkan para kader yang kompak mengenakan baju putih seolah mengubah warna tribun stadion yang bermacam corak dan warna itu...Dalam pidatonya, Hilmi Aminududdin mengatakan penuhnya massa di stadion mununjukkan PKS tahan dengan beragam masalah yang menimpa setahun belakangan (Kasus LHI). "Hari ini mengingatkan langkah perjuangan kami 30 tahun lalu. Saya tidak pernah yakin bisa menyaksikan massa sebegini besar,"...Anis Matta mengatakan goncangan hebat terhadap PKS sudah selesai, ibarat Nabi Yusuf yang keluar dari pembuangan sumur. “Kita sudah keluar dari goncangan itu dengan iman yang lebih kuat. Dengan tekad itulah, kita putihkan
Jakarta”.4
Fenomena loyalitas dan aksi kolektif kader PKS di atas diperkuat dengan
fakta perolehan suara nasional PKS secara elektoral yang naik dari 8.204.946
suara pada tahun 2009 menjadi 8.480.204 suara pada tahun 2014.5 Kenaikan suara
ini menurut penulis merupakan hasil dari kerja-kerja kolektif kader PKS
menjelang pemilu legislatif 2014. Karena, sebagai salah satu gerakan Islamisme
yang bertansformasi menjadi partai politik, PKS masih mempertahankan karakter
dasarnya dengan memperkuat kapasitas organisasi dan sumber daya kader yang
dimilikinya dalam melakukan mobilisasi aktifitas partai atau gerakannya.6
Artinya, dengan kasus yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq tidak mempengaruhi
loyalitas kader PKS dalam berkerja untuk gerakan/partai.
Fenomena kenaikan suara PKS secara nasional pada tahun 2014 berbeda
dengan yang dialami oleh Partai Demokrat (PD). Partai Demokrat mengalami
4
Tempo.co, Kampanye Perdana, PKS Bersumpah Putihkan Jakarta. Lihat
http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/03/16/269562686/Kampanye-Perdana-PKS-Bersumpah-Putihkan-Jakarta--- 10/6/14. Di Unduh pada Kamis, 1 Mei 2014.
5
Wikipedia, Partai Keadilan Sejahtera. Lihat
http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera. Diunduh pada Jumat, 23 Agustus 2014.
6
penurunan suara nasional secara drastis pada tahun 2014. Pada pemilu tahun
2009, PD secara elektoral mendapat suara nasional sebanyak 21.703.137,
sedangkan pada pemilu 2014 turun menjadi 12.728.913 suara.7
Sebenarnya pada saat yang sama, PKS dan Partai Demokrat mengalami
masalah yang sama menjelang pemilu 2014, yaitu pimpinan/elit partai keduanya
(Luthfi Hasan Ishaaq sebagai presiden PKS dan Anas Urbaningrum sebagai ketua
umum PD) terjerat kasus korupsi. Dari data perolehan suara PKS dan Partai
Demokrat di atas, kedua partai ini mengalami perbedaan. PKS mengalami
kenaikan, sedangkan Partai Demokrat mengalami penurunan suara elektoral pada
pemilu 2014 jika dibandingkan perolehan suara pada pemilu sebelumnya (lihat
tabel 1).
Tabel 1. Perbandingan perolehan suara PKS dan Partai Demokrat tahun 2009 dan 2014.
Partai Keadilan Sejahtera Partai Demokrat
2009 8.204.946 21.703.137
2014 8.480.204 12.728.913
Selisih (+) 275.258 (-) 8.974.224
Sebelumnya, kelahiran PKS sebagai partai Islam yang menekankan
sumber daya kader dalam aktivitasnya, tidak lepas dari sejarah gerakan Tarbiyah.
Fenomena politik pada periode Orde Baru yaitu tidak tersalurkannya aktivitas dan
aspirasi gerakan-gerakan yang bersebrangan secara ideologi dan politis dengan
penguasa. Hal ini dapat dipahami karena pada rezim Orde Baru negara melakukan
kontrol yang ketat dan represif kepada organisasi yang berlawanan dengan azas
dan kepentingan penguasa dengan alasan stabilitas dan pembangunan. Banyak
7
cara yang dilakukan rezim untuk menjinakkan organisasi-organisasi tersebut,
seperti: penculikan, penahanan, pembredelan media, dan sebagainya.
Azas tunggal Pancasila dijadikan legitimasi rezim untuk melakukan
tindakan represif tersebut. Bahkan, rezim secara paksa mengharuskan semua
organisasi memakai azas Pancasila dalam landasan organisasinya. Akibatnya
kelompok-kelompok yang tidak mau memakai azas Pancasila dalam gerakannya
atau bersebrangan secara politis dengan rezim, memilih untuk menjadi organisasi
underground, seperti: komunisme dan beberapa gerakan aktivisme Islam.
Gerakan Tarbiyah merupakan salah satu gerakan yang menjadi
underground pada masa Orde Baru. Gerakan ini memulai aktivisnya pada awal tahun 1980 dan mengadopsi ideologi gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun dari Mesir yang didirikan oleh Hasan Al-Banna.8 Pada awal masa Orde Baru gerakan ini
memulai aktifitasnya di kampus-kampus dengan merekrut mahasiswa sebagai
kader-kader gerakan.9 Beberapa kader awal gerakan ini yang direkrut dari
kampus antara lain seperti: Mustafa Kamal, Zulkieflimansyah, Mahfud Siddiq,
dan Rama Pratama, mereka adalah kader gerakan yang direkrut di Universitas
Indonesia. Beberapa organisasi ekstra-kampus yang menjadi basis kader Jamaah
Tarbiyah seperti: FSLDK (Forum Silaturahmi lembaga Dakwah Kampus), FIS
(Forum of Islamic Study), dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim
Indonesia).
8
Yon Machmudi, Islamising Indonesia : The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS), (Canberra: ANU E Press, 2006), hal.4.
9
Proses pengkaderan yang dilakukan Jamaah Tarbiyah pada rezim Orde
Baru, mereka sebut Mihwar Tanzimi10 atau penguatan organisasi. Pada periode ini fokus utama gerakan Jamaah Tarbiyah dan yang menjadi kebutuhan mereka
adalah menyiapkan kader-kader yang militan dan loyal terhadap organisasi.
Dalam penguatan organisasi, fokus pembinaan kader pada periode ini meliputi
tashhihul aqidah (meluruskan aqidah), tashhihul fikroh (meluruskan pemikiran), tashhihul akhlaq (meluruskan akhlak), dan tashhihul „ubudiah (meluruskan ibadah).11 Pada periode ini aspek pembinaan lebih menekankan pada internalisasi
dan pemurnian ideologi kepada para kadernya. Aspek politik dilihat belum terlalu
penting karena struktur kesempatan politik yang belum memungkinkan.
Munculnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan kelanjutan
dari Jamaah Tarbiyah, membawa ciri tersendiri terhadap gerakan aktivisme Islam
di Indonesia paska Orde Baru. Bebeda dengan NU (Nahdlatul Ulama) atau
Muhammadiyah yang corak ke-Islamannya merupakan hasil adaptasi dengan
konteks budaya ke-Indonesiaan. Jamaah Tarbiyah/PKS corak ke-Islamannya
mengikuti ideologi Al-Ikhwan Al-Muslimun yang berasal dari Timur Tengah. Kemudian yang membedakan Jamaah Tarbiyah/PKS dari Partai Islam yang
lainnya, seperti: Partai Persatuan Pembanguna (PPP) dan Partai Bulan Bintang
(PBB) adalah bahwa PKS lahir dari sebuah gerakan Islam.
Dengan kata lain, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) selain sebagai sebuah
partai politik juga merupakan gerakan Islamisme. Ciri khusus yang membedakan
PKS dengan gerakan Ismamisme lainnya di Indonesia adalah mereka menempuh
10
KH. Hilmi Aminuddin, Menghilangkan Trauma Persepsi, (Jakarta: ARAH Press,2008) hal.168.
11
jalur politik formal dengan mengikuti pemilu dan masuk dalam sistem negara,
serta tetap mempertahankan kader sebagai basis gerakannya. Hal tersebut
tercermin dari struktur organisasi PKS yang rigid mulai dari level DPP (Dewan Pengurus Pusat) sampai pada level DPRa (Dewan Pengurus Ranting) atau tingkat
kelurahan. Selain itu, ciri dari dari sebuah gerakan sosial juga dilihat dari tuntutan
kedisiplinan dan loyalitas para anggotanya terhadap pemimpin dan ideologi partai.
Hadirnya PKS juga mendapat respon positif secara elektoral. Sebelum
menjadi PKS, terlebih dahulu partai ini bernama Partai Keadilan (PK) pada
pemilu tahun 1999. PK pada saat itu hanya mendapat perolehan suara 1,7 %
sehingga tidak lolos elektoral threshold. Pada tahun 2002 PK berubah menjadi PKS, dan pada pemilu 2004 mendapat perolehan suara 4 %, kemudian pada
pemilu tahun 2009 mendapat perolehan suara elektoral 7,88 %. Ini melebihi
perolehan suara PAN, PPP, dan PKB.
Terakhir, fokus skripsi ini untuk mengetahui faktor-faktor pembingkaian
(framing) dalam organisasi gerakan Tarbiyah/ PKS yang membuat kadernya tetap loyal atau bekerja ketika terjadi kasus Luthfi tersebut. Terutama framing yang berasal dari ajaran/ideologi dalam gerakan mereka ataupun framing yang sengaja dikonstruk oleh gerakan terhadap kasus tersebut. Sehingga, penelitian ini dapat
melihat dengan pendekatan teori-teori framing dalam studi gerakan sosial,
bagaimana PKS sebagai sebuah gerakan sosial Islam keluar dari krisis dan
berusaha untuk membuat kadernya tetap loyal dan bekerja disaat terjadi
H. Pertanyaan Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis mengajukan dua pertanyaan yang terkait
dengan latar belakang masalah yang telah dijabarkan di atas:
1. Mengapa kader PKS tetap melakukan aksi-aksi kolektif (collective action), seperti: mengikuti rapat-rapat kordinasi, menyelenggarakan aksi pelayanan
sosial, pengajian bulanan, pemasangan spanduk/pamflet, direct selling,
dan kampanye-kampanye menjelang pemilu 2014, disaat terjadi kasus
korupsi kuota impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq?
2. Bagaimana gerakan PKS melakukan pembingkaian (framing) kepada kadernya untuk tetap melakukan aksi-aksi kolektif menjelang pemilu
2014, disaat terjadi kasus korupsi kuota impor daging sapi yang
melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq?
I. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak
dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Menjelaskan alasan atau faktor-faktor yang menyebabkan kader-kader
PKS tetap melakukan aksi-aksi kolektif dalam gerakan disaat terjadi kasus
Luthdi Hasan Ishaaq.
2. Mendeskripsikan dan menganalisa proses pembingkaian (framing) yang dilakukan struktur organisasi PKS dalam menjaga kadernya (mesin partai)
3. Menjelaskan faktor-faktor pendukung yang menyebabkan framing yang dilakukan struktur atau elit PKS berhasil membuat kadernya tetap
melakukan kerja-kerja untuk partai.
Penelitian ini juga memiliki signifikansi manfaat penelitian secara
akademis dan praktis sebagai berikut:
Manfaat Akademis
Penelitian ini diharapkan dapat menjadi nilai tambah bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dalam kajian tentang partai politik Islam dan gerakan sosial
ke-Islaman, khususnya mengenai dinamika partai politik Islam yang sedang
mengalami persoalan internal. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat
memberikan sumbangan pemikiran dan tambahan wawasan bagi peneliti lain yang
ingin melakukan penelitian yang sejenis, khususnya di UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Manfaat Praktis
Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran terhadap dinamika
perkembangan partai Islam di Indonesia. Penelitian ini memberikan gambaran
langkah-langkah pembingkaian (framing) sebuah gerakan Islam dalam menghadapi persoalan internal, khususnya PKS yang sedang mengalami
persoalan internal yang terkait masalah yang menyangkut pelanggaran ideologi
J. Tinjauan Pustaka
Literatur pertama yang penulis bahas adalah disertasi Yon Machmudi yang
berjudul “Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous
Justice Party (PKS). Dalam disertasinya, Yon Machmudi membahas mengenai asal usul PKS, ideologi, dan pengaruh mereka terhadap Islamisme di Indonesia.
Penelitian Yon Machmudi bertujuan memberikan kontribusi guna menganalisis
fenomena gerakan Islam dan partai politik Islam di Indonesia, khususnya
kemunculan gerakan Jamaah Tarbiyah dan transformasi mereka menjadi partai
politik (PKS).12
Pada penelitiannya tersebut Yon Machmudi memberikan klasifikasi baru
bagi model aktivisme Islam Jamaah Tarbiyah atau PKS, yaitu “Santri Global”.
Maksudnya adalah kemunculan PKS merupakan sintesa antara orientasi
akomodasi dan purifikasi Islam di Indonesia, sehingga kemunculannya
menyebabkan kaburnya dikotomi antara Islam “tradisionalis” dan “Modernis”.13
Corak khas dari gerakan ini adalah mereka mengadopsi ideologi dari Ihkwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir. Artinya corak atau prinsip-prinsip gerakan Islam PKS khas timur tengah (Ikhwanul Muslimin) dan memberikan warna tersendiri bagi gerakan Islam di Indonesia.
Literatur kedua yang penulis ulas dalam penulisan skripsi ini adalah buku
yang berjudul “Dilema PKS: Suara dan Syariah” karya Burhanudin Muhtadi.
Buku ini secara mendalam membahas dinamika PKS baik sebagai partai politik
12
Yon Machmudi, Islamising Indonesia : The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS), hal.15.
13
maupun salah satu gerakan sosial Keagamaan, disebut “aktivisme Islam” dalam
kerangka gerakan sosial.
Ada beberapa hal yang menarik perhatian Burhanudin mengapa Dia
memilih PKS sebagai objek penelitiannya. Pertama, PKS merupakan satu-satunya partai poltik Islam yang terlahir dari gerakan sosial keagamaan (Tarbiyah) paska Orde Baru. Burhanudin melihat ini sebagai hal yang unik karena PKS sebagai
gerakan sosial melakukan transformasi menjadi partai politik, berbeda dengan
gerakan-gerakan Islamis lainnya yang tidak masuk dalam politik praktis
(electoral), seperti: HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Laskar Jihad, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), dan sebagainya.
Kedua, PKS adalah partai yang rajin melakukan aksi-aksi turun ke jalan dan melakukan aktivitas non-elektoral. Isu-isu yang biasa dipakai PKS dalam
melakukan aksi-aksi tersebut adalah isu solidaritas kepada Palestina dan
mengutuk tindakan Israel dan Amerika. Dalam melakukan aksi-aski tersebut,
PKS melakukan mobilisasi kadernya untuk turun ke jalan dan secara kolektif
menyumbang dana untuk rakyat Palestina.
Selain persoalan aktivisme Islam yang dibahas, salah satu hal pokok yang
menjadi pembahasan Burhanudin adalah dilema elektoral PKS. Dari persoalan ini
Burhanudin melihat ada “kegalauan” PKS dalam melakukan strategi elektoral,
yakni di satu sisi mereka ingin menaikkan suara elektoral dengan
mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka, dengan melakukan strategi-strategi
yang bergerser dengan pakem ideologi mereka (seperti melakukan Mukernas di
harus tetap menjaga idealisme mereka terhadap kemurnian ideologi yang
dianutnya sebagai basis soliditas organisasi.
Dari fenomena di atas Burhanudin merumuskan beberapa pertanyaan
terkait PKS dalam bukunya. Pertama, mengapa PKS lahir dan bagaimana proses
kelahirannya? Kedua, bagaimana PKS menyampaikan pesan ideologi dan
diterima oleh kelompok sasaran? Bagaimana strategi elektoral PKS dalam
mengembangkan suara elektoral dengan mendeklarasikan sebagai partai
terbuka?.14
Dalam buku tersebut Burhanudin menggunakan pendekatan gerakan sosial
yang integral untuk menjelaskan fenomena dan pertanyaan di atas. Beberapa teori
gerakan sosial utama yang digunakan Burhanudin yaitu: Teori Mobilisasi Sumber
Daya (Resources Mobilization Theory), Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structure), dan Pembingkaian (Framing).
Hal yang menurut penulis luput dari pembahasan Yon Machmudi dan
Burhanudin Muhtadi dalam risetnya adalah pembahasan mengenai dinamika
internal PKS terkait kasus-kasus particular yang menyangkut pelanggaran atau penyelewengan ideologi oleh elit/pimpinan PKS (kasus hukum dan pelanggaran
moral) terhadap loyalitas kadernya. Misalnya, Burhanudin dalam bukunya melihat
dilema PKS disebabkan karena faktor strategi elektoral yang menggeser idealisme
ideologi partai. Artinya yang dilihat adalah faktor kebijakan partai dan dinamika
yang terjadi dalam tataran elit.
14
Sementara itu penelitian mengenai dinamika Internal PKS terkait
kasus-kasus khusus (hukum dan moralitas) yang mempengaruhi loyalitas kader PKS
dalam setiap level (tingkatan anggota) belum banyak perhatian secara akademis.
Kasus utama seperti pengaruh kasus hukum Luthfi Hasan Ishaaq terhadap
soliditas kader PKS dan bagaimana PKS sebagai sebuah gerakan menanggulangi
persoalan tersebut, belum di bahas oleh penelitian-penelitian sebelumnya.
K. Metode Penelitian
Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang tersusun secara
sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan
maksud mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah
tersebut.15 Metode penelitian mencakup: pendekatan penelitian, jenis penelitian,
teknik pengumpulan data, dan analisis data.
E.1. Pendekatan Penelitian
Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif untuk
menjawab pertanyaan penelitian. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang
dimaksudkan untuk mengungkapkan gejala secara holistik-kontekstual melalui
pengumpulan data dan latar alami dengan memanfaatkan penelitian sebagai
instrumen kunci. Proses dan pemaknaan (perspekstif subjek) lebih ditonjolkan
dalam penelitian kualitatif, Ciri penelitian kualitatif dapat dilihat dari bentuk
laporannya, yaitu dalam bentuk narasi yang bersifat kreatif dan mendalam.16
15
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hal. 12.
16
E.2. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah Studi
Kasus. Studi kasus merupakan penelitian dimana di dalamnya peneliti menggali
entitas tunggal atau fenomena (kasus) yang dibatasi oleh waktu dan kegiatan
(program, kejadian, proses, institusi, atau kelompok sosial) dalam pengumpulan
informasi terperinci melalui penggunaan berbagai prosedur pengumpulan data
selama periode waktu yang lama.17 Dengan jenis penelitian ini, penulis mencoba
menfokuskan penelitiannya mengenai proses framing dan faktor pendukungnya
yang menyebabkan kadernya agar tetap loyal melakukan aksi-aksi kolektif
(Collective actions) dalam melaksanakan kegiatan partai di tengah kasus hukum yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq.
E.3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah wawancara
mendalam dan studi pustaka. Di sini penulis mewawancarai secara mendalam
beberapa orang kader PKS yang penulis klasifikasi berdasarkan: pertama,
Jenjang keanggotaan, meliputi: kader Tamhidi (pemula), Muayyid (muda), Muntasib (Madya), Muntazhim (Dewasa) dan Mas‟ulin (Purna). kedua, struktur organisasi PKS, meliputi: Pengurus DPP (Dewan Pengurus Pusat) PKS, Pengurus
DPD (Dewan Pengurus Daerah) PKS Jakarta, Pengurus DPC (Dewan Pimpinan
Cabang) PKS Kecamatan, DPRa (Dewan Pengurus Ranting) Kelurahan, dan
kader non-struktural. Sedangkan untuk studi pustaka, penulis mendapatkan
sumber dari: buku, jurnal, skripsi, disertasi, berita koran, dan berita internet.
17
E.4. Analisis Data
Berdasarkan tujuannya, penelitian ini bertujuan deskriptif-analisis
terhadap masalah yang diangkat penulis. Penelitian deskriptif menyajikan satu
gambaran yang terperinci tentang situasi khusus, setting sosial, atau hubungan.18 Setelah data dideskripsikan maka selanjutnya penulis akan melakukan analisis
kristis terhadap temuan-temuan dalam penelitian dan memberikan penilaian
subjektif terhadap hasil temuan dalam penelitian.
Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif, sehingga analisis data
yang digunakan juga merupakan analisis kualitatif. Dalam analisis data kualitatif,
data yang dikumpulkan (observasi, wawancara, dan studi dokumen) dan diproses
sebelum siap digunakan (melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau alih
tulis), dimana analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata dalam bentuk teks,
dan tidak menggunakan angka-angka matematis atau statistika sebagai alat
analisis.19
Ada beberapa alur kegiatan dalam analisis data kualitatif: reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan.20 Reduksi data diartikan sebagai proses
pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstaksian, dan
transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan.21
Sedangakan dalam penyajian data, bentuk yang paling sering digunakan untuk
data kualitatif adalah teks narative.22
18
Ulbe Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal.27.
19
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial,hal.339.
20
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal.339.
21
Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal.339.
22
L. Sistematika Penulisan
Agar didapatkan penelitian yang fokus dan sistematis, serta mempermudah
dalam penulisan laporan penelitian ini, penulis membagi pembahasan ke dalam
lima bab. Masing-masing bab terdiri dari sub-sub sebagaimana berikut:
BAB. I, membahas Pendahuluan yang berisi antara lain: Latar Belakang
Masalah, Pertanyaan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka,
Kerangka Teori, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB. II, pada bab ini akan membahas tentang Landasan Teori Framing
dalan kajian Gerakan Sosial dan Aktivisme Islam atau Islamisme. Teori-teori
Framing yang penulis gunakan meliputi: bingkai aksi kolektif (collective actions frame), resonansi pembingkaian (framing resonance), dan faktor psikologi sosial (social psychology). Sedangkan pembahasan mengenai Islamisme dan aktivisme Islam meliputi: definisi Islamisme dan aktivisme Islam, asal usul gerakan
Islamisme, dan variasi dalam gerakan Islamisme.
BAB. III, bab ini membahas PKS sebagai organisasi gerakan sosial.
Pembahasan pada bab ini meliputi: sejarah dan latar belakang berdirinya PKS,
framing PKS sebagai organisasi gerakan sosial Islam, landasan ideologis gerakan, proses kaderisasi melalui tarbiyah: tujuan dan prosesnya, rukun bai‟at, tingkatan
keanggotaan/jenjang dalam gerakan, dan sekilas persoalan hukum yang menjerat
Luthfi Hasan Ishaaq.
BAB. IV, bab ini berisi deskripsi dan analisis komprehensif mengenai
menilai Luthfi Hasan Ishaaq tidak bersalah, bingkai motivasi: kewajiban dan
insentif, peran aktor dalam resonansi pembingkaian, pemutusan informasi bagi
kader terhadap informasi yang berasal dari luar, dan pengaruh rukun bai‟at
terhadap proses framing.
BAB. V, pada bab ini akan diambil kesimpulan dari uraian yang telah
ditulis pada bab-bab sebelumnya, kemudian akan diberikan saran-saran berkaitan
BAB II
KERANGKA TEORI
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan gerakan sosial
(social movement) untuk menjawab persoalan dan pertanyaan penelitian. Teori gerakan sosial yang penulis gunakan adalah adalah teori-teori gerakan sosial dari
perspektif pembingkaian (framing). Alasan penulis menggunakan teori framing,
karena penulis melihat PKS sebagai sebuah organisasi gerakan sosial Islam kaya
akan bentuk-bentuk pembingkaian yang ditujukan kepada para kadernya supaya
melakukan aksi-aksi kolektif (collective actions) untuk tujuan gerakan.
A. Gerakan Sosial : Pembingkaian (Framing)
Ihsan Ali Fauzi memberikan rangkuman mengenai definisi gerakan sosial
dari beberapa sarjana gerakan sosial:
“Definisi gerakan sosial menurut Michael Usleem adalah tindakan kolektif
terorganisasi yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial. Lebih jauh McCarthy dan Mayer Zald merinci definisi gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam distribusi hal-hal yang
bernilai secara sosial”. 23
Dalam menjelaskan definisi gerakan sosial di atas, Ihsan Ali Fauzi
menyatakan bahwa terdapat dua fitur dalam definisi gerakan sosial, yaitu
“tantangan kolektif” dan “corak politis”. Tantangan kolektif, yakni upaya-upaya
terorganisasi untuk mengadakan perubahan struktur dan kelembagaan sosial
(institusi maupun kebijakan publik). Kedua adalah corak politis yang terdapat
23
dalam aksi-aksi gerakan sosial. Corak politis ini sangat erat dengan tujuan-tujuan
politis dari sebuah gerakan sosial. 24
Dalam gerakan sosial terdapat tiga teori utama yang menjadi kesepakatan
dalam studi gerakan sosial. Teori tersebut yaitu: teori mobilisasi sumber daya
(Resource Mobilization Theory), struktur kesempatan politik (political opportunity structure), dan pembingkaian (framing)25. Ketiga teori ini merupakan sintesis dari teori gerakan sosial sebelumnya, seperti pendekatan psikologis.
Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan framing dalam lingkup gerakan sosial untuk menjelaskan aksi-aksi kolektif kader PKS. Bingkai
(frame) merupakan skema-skema yang memberikan sebuah bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa “di
dunia luar”, yang skema-skema ini digunakan untuk menghasilkan dan
menyebarkan penafsiran-penafsiran subjektif gerakan yang digunakan untuk
memobilisasi para peserta dan dukungan untuk melakukan aksi-aksi kolektif.26
Pembingkaian juga dapat diartikan sebagai kemampuan sebuah gerakan untuk
mengubah potensi mobilisasi menjadi mobilisasi yang aktual (aksi kolektif), hal
tersebut tergantung pada kemampuan sebuah bingkai untuk mempengaruhi calon
24
Ihsan Ali Fauzi dalam Pengantar terjemahan buku, Quintan Wiktorowicz (edt.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, hal.4-5.
25
Burhanudin Muhtadi, Demokrasi Zonder Toleransi, Disampaikan dalam Diskusi “Agama dan Sekularisme di Ruang Publik: Pengalaman Indonesia” di Komunitas Salihara, Rabu 26 Januari 2011.
26
anggotanya.27 Sebuah bingkai biasanya berbentuk simbol-simbol, identitas
budaya, maupun ideologi yang berfungsi memperkuat mobilisasi.28
Mengutip Erving Goffman, sarjana gerakan sosial Karl-Dieter Opp
memberikan definisi bingkai (frame) sebagai “skema penafsiran” yang
memungkinkan individu-individu “menempatkan, merasa, dan mengidentifikasi” kejadian dalam ruang hidup mereka dan dunia pada umumnya. Dengan
memberikan arti dan makna pada setiap kejadian atau peristiwa, bingkai berfungsi
untuk mengorganisasi pengalaman dan pemandu tindakan, apakah pada level
individu atau kolektif. Hal ini bertujuan agar para anggota dan simpatisan gerakan
terlibat langsung dalam aksi-aksi untuk tujuan dan cita-cita gerakan. 29
Teori penting dalam proses pembingkaian (framing process) adalah bingkai aksi kolektif (collective action frame), resonansi pembingkaian (framing resonance), dan psikologi sosial (social psychology). Bingkai aksi kolektif (collective action frame) dan resonansi pembingkaian (framing resonance) penulis pakai pada penelitian ini karena, mengutip David Snow30 karena topik ini
menggambarkan secara mencolok teori dan analisis empirik tentang gerakan
sosial, dan sebagian lagi karena proses pembingkaian fokus perhatiannya pada
kerja interpretasi oleh aktor gerakan dan pihak lain yang terkait. Sedangkan teori
psikologi sosial penulis pakai untuk menganalisis faktor-faktor keberhasilan
27
Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, hal. 71.
28
Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, hal. 71-72.
29
Karl-Dieter Opp, Theoris of Political Protest and Social Movements: A multidisciplinary introduction, critique, and synthesis, (New York: Routledge, 2009), hal.235.
30
framing, yang dalam konteks sosial dapat mempengaruhi aksi-aksi kolektif dan
perilaku peserta gerakan sosial.
Perspektif framing berakar pada interaksi simbolik dan pembangunan prinsip, bahwa makna tidak secara otomatis atau secara alami menempel pada
objek, peristiwa, atau pengalaman yang kita hadapi, tetapi yang sering
mengemuka justru sebaliknya, yaitu melalui secara interaksi berdarkan proses
interpretasi.31 Artinya orang yang terlibat dalam gerakan sosial, tidak secara alami
memiliki “pemaknaan” atau alasan bahwa terlibat dalam gerakan karena timbul
dengan sendirinya dalam dirinya. Pendekatan framing menekankan bahwa keterlibatan seseorang dalam gerakan sosial lahir karena adanya proses interaksi
dengan orang lain yang mempengaruhinya.
Kata “framing” juga digunakan untuk mengkonseptualisasi kata yang
berarti sebuah “pekerjaan”, yang mana suatu pekerjaan yang dilakukan pengikut
gerakan sosial atau pemimpin mereka. Itu berarti “pembingkaian” atau memberikan pemaknaan dan menafsirkan adalah sebuah usaha atau cara yang
berniat untuk mengumpulkan dan memobilisasi pengikut dan konstituen yang
potensial untuk terlibat dalam aksi-aksi gerakan dan untuk mendemobilisasikan
musuh.32
31
David A. Snow, Framing Processes, Ideology, and Discursive Fields, dalam dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.380.
32
A.1. Bingkai Aksi Kolektif (Collective Action Frame)
Terdapat tiga bagian proses utama teori bingkai aksi kolektif (collective action frame). Pertama, yaitu gerakan membangun bingkai-bingkai yang mendiagnosis kondisi sebuah persoalan yang perlu ditangani (Diagnostic Framing), kedua, gerakan memberikan pemecahan terhadap persoalan tersebut, termasuk strategi pemecahannya (Prognostic Framing), ketiga, gerakan memberikan alasan dasar untuk memotivasi tumbuhnya dukungan kolektif
(Motivational Framing).33
Pada bingkai diagnostik sebuah gerakan berusaha mengidentifikasi sebuah
masalah yang harus diselesaikan. Masalah-masalah tersebut bisa berupa ancaman
bagi organisasi, budaya, maupun ideologi. Ciri khas bagi gerakan sosial Islam
yang biasanya pada level diagnostik ini adalah berupa ancaman dan masalah yang
ditujukan pada budaya barat, seperti: liberalisme, sekularisme, dan pluralisme.
Ditambah kata-kata seperti konspirasi Yahudi dan Amerika biasa digunakan
aktor-aktor gerakan Islam dalam mendiagnosis masalah umat Islam saat ini.
Pada level bingkai prognostik, gerakan Islam berusaha memberikan solusi
dan cara atas permasalahan yang mereka gambarkan dalam bingkai diagnostik.
Pada level ini terjadi perbedaan antara gerakan Islam yang satu dengan gerakan
Islam yang lain. Dalam konteks Indonesia cohntohnya, gerakan Islam memiliki
perbedaan dalam rangka pemecahan masalah sosial dan mencapai tujuan-tujuan
gerakan. Jamaah Islamiyah memilih jalan radikal dan menggunakan kekerasan,
Jamaah Tabligh memilih jalan tidak masuk dalam sistem politik dan lebih
33
menekankan pemurnian kesalehan para anggotanya, Hizbut Tahrir juga memilih
jalan tidak masuk dalam sistem politik tapi berusaha untuk mempengaruhi
kebijakan publik, sedangkan PKS memilih masuk dalam sistem politik dan ikut
sebagai peserta pemilu. Artinya pada level diagnostik mereka mempunyai
kesamaan, tetapi pada level prognostik mereka berbeda dalam cara
perjuangannya.
Sedangkan menyangkut bingkai motivasi, penulis mengutip David Snow
dan Robert Benford yang menyatakan bahwa motivasi dalam proses framing
menyediakan alasan untuk orang terlibat aksi-aksi kolektif dalam suatu gerakan,
ini meliputi konstruksi kata-kata yang tepat mengenai motif tertentu. Beberapa
kata-kata mengenai motif yang diidentifikasikan dalam motivasi adalah: Severity, mengacu pada perasaan adanya bahaya dan ancaman; Urgency, mengacu pada bahwa masalah harus segera ditangani secepatnya; Efficacy, mengacu pada pengertian bahwa gerakan tersbut mempunyai solusi (obat mujarab) dan
kemampuan yang dapat menyelesaikan masalah; Propriety, mengacu bahwa aksi-aksi mereka adalah sebuah kewajiban dan kemuliaan. 34
A.2. Resonansi Pembingkaian (framing Resonance)
Menurut Jonathan Christiansen ide resonansi pembingkaian (frame resonance) serupa dengan cakupan penafsiran ide (idea of interpretative). Asumsinya adalah Jika suatu bingkai beresonansi (bergaung) dengan khalayak,
maka mereka biasanya akan lebih sukses.35 Christiansen dengan mengutip
34
Jonathan Christiansen, Framing Theory, dalam “Sociology Reference Guide: Theories of Social Movements”, hal.150.
35
Benford & Snow memberikan dua cara menambah resonansi, yaitu: kredibilitas
(credibility) dan arti-penting (salience).36
Kredibiltas (credibility) mencakup tiga faktor. Pertama adalah konsistensi bingkai. Konsistensi mengacu pada kesenjangan antara apa yang dilakukan oleh
aktor gerakan sosial atau SMO (social movement organization) dan apa yang
mereka katakan. Jika orang merasa bahwa aksi pelaku gerakan sosial konsisten
dengan apa yang dinyatakan sebagai tujuan gerakan, maka anggota atau
simpatisan meraka akan merasa bahwa gerakan tersebut mempunyai kredibilitas
yang tinggi.
Kedua adalah faktor kredibiltas empiris (empirical credibility). Mengutip
Benford & Snow, menjelaskan bahwa “ini merujuk pada kecocokan antara pembingkaian dan kejadian nyata di dunia”. Jika merekrut calon anggota gerakan
tidak memperhatikan bingkai dan keadaan sebenarnya yang terjadi, maka sebuah
gerakan sosial kemungkinan terlihat tidak kredibel. Frame harus menjelaskan
berbagai hal di sekitar dunia mereka dan menyediakan solusi jitu. Ketiga, cara bingkai menjadi bergaung adalah jika orang mengekspresikan bingkai itu terlihat
kredibel.37 Pada yang ketiga ini, diperlukan aktor atau elit gerakan yang
kharismatik dan kredibel untuk menggaungkan persoalan yang dihadapi dan
solusi jitu yang ditawarkan gerakan, agar orang tertarik terlibat dalam aksi-aksi
kolektif gerakan.
36
Jonathan Christiansen, Framing Theory, dalam “Sociology Reference Guide: Theories of Social Movements”, hal 151.
37
Arti Penting (salience) juga berpengaruh pada resonansi pembingkaian. Salience dipengaruhi tiga faktor utama: sentralitas (centrality), kesepadanan pengalaman (experiential commensurability), and kesetiaan narasi (narrative fidelity). Sentralitas merujuk pada pentingnya sebuah kepercayaan (beliefs) tertentu dalam hidup manusia. Jadi jika persoalan frame dipandang penting dalam
kepercayaan dan keyakinan hidup sesorang, frame ini dikatakan memiliki
sentralitas. Kesepadanan pengalaman (experiential commensurability) mengacu pada cara dimana sebuah frame sesuai dengan pengalaman hidup seseorang. Jika
cara persoalan dibingkai sesuai dengan pengalaman hidup seseorang, maka frame
dikatakan sangat kredibel. Terakhir, kesetiaan naratif mengacu pada apakah ya
atau tidaknya frame sesuai dengan narasi budaya atau ideologi yang dianut dalam
diri seseorang atau komunitas. 38
A.3. Psikologi Sosial (Social Psychology)
Teori yang juga berkaitan dengan pembingkaian (framing) adalah teori psikologi sosial (social psychology). Inti dari teori psikologi sosial adalah membahas bagaimana konteks sosial dapat mempengaruhi perilaku.39 Dua unsur
penting dalam proses aksi-aksi kolektif suatu gerakan dalam skala sikap dan
tindakan adalah bagaimana suatu gerakan melakukan “mobilisasi konsensus” dan “mobilisasi aksi”. Mobilisasi konsensus adalah “proses di mana organisasi
gerakan sosial berusaha memperoleh dukungan bagi pandangan-pandangannya.”
38
Jonathan Christiansen, Framing Theory, dalam “Sociology Reference Guide: Theories of Social Movements”, hal 151-152.
39
Sementara itu, mobilisasi aksi berhubungan dengan persoalan psikologi sosial
klasik mengenai hubungan antara sikap dan perilaku.40
Teori psikologi sosial diambil dari kajian studi psikologi. Psikologi sosial
memberikan tipe proses psikologi seperti: identitas, kognisi, motivasi, dan emosi
kepada kajian-kajian gerakan sosial. Asumsi dari keempat tipe proses psikologi
gerakan adalah bahwa orang hidup dalam dunia perasaan. Mereka merespon dunia
atas apa yang mereka rasa dan interpretasi. Maka apabila kita ingin mengetahui
kognisi, motivasi, dan emosi mereka, kita harus mengetahui persepsi dan
interpretasi mereka.41
Hal yang juga penting dalam teori ini adalah identifikasi grup dalam
gerakan sosial. Identifikasi grup merupakan hal fundamental dalam psikologi
sosial untuk menjawab pertanyaan apa yang menggerakkan orang untuk terlibat
dalam aksi-aksi kolektif. Identifikasi dengan grup merupakan alasan yang kuat
untuk berpartisipasi dalam gerakan.42 Orang tidak akan terlibat dalam sebuah
gerakan apabila mereka tidak merasa bagian (identifikasi) dari gerakan tersebut.
Contoh seorang buruh akan cenderung bergabung dengan gerakan buruh,
begitupun gerakan feminisme, Islamisme, dan lainnya.
Selain itu, partisipasi dalam gerakan merupakan partisipasi dalam
aksi-aksi bersama (collective action). Setiap collective action biasanya mengambil akar
40
Burhanudin Muhtadi, Demokrasi Zonder Toleransi, Disampaikan dalam Diskusi “Agama dan Sekularisme di Ruang Publik: Pengalaman Indonesia” di Komunitas Salihara, Rabu 26 Januari 2011.
41
Jacquelien Van Stekelenburg dan Bert Klandermans, Individuals in Movements: A Social Psychology of Contention, dalam Bert Klandermans dan Conny Roggeband, edt, Handbook of Social Movements Across Disciplines. Hal 157.
42
atau dasar dari identitas kolektif (collective identity). Terdapat empat mekanisme dasar (sama dengan proses psikologi) dalam psikologi sosial, yaitu: identitas
sosial, kognisi, emosi, dan motivasi, yang menghubungkan antara identitas
kolektif dan aksi kolektif.43
Dinamika partisipasi dalam gerakan berdasarkan atas asumsi bahwa kita
dapat membedakan tiga alasan fundamental mengapa seorang terlibat dalam
sebuah gerakan sosial. Keikutsertaan dalam gerakan menarik seseorang: ingin
merubah keadaan mereka, mereka ingin “berbuat” sebagai anggota kelompok
mereka, atau mereka ingin memberikan arti untuk dunia mereka dan
mengekspresikan pandangan dan perasaan mereka.44 Tiga alasan inilah yang
membuat orang berpatisipasi dalam sebuah gerakan sosial.
Bert Klandermans memberikan tiga tipe transaksi mengenai unsur-unsur
keterlibatan seseorang dalam sebuah gerakan, yaitu: perantara (instrumentality), identitas (identity), dan ideologi (ideology). Instrumentality merujuk bahwa partisipasi dalam gerakan sebagai usaha untuk mempengaruhi lingkungan sosial
dan politik; identitas merujuk bahwa partisipasi dalam gerakan sebagai
manifestasi dari identifikasi dengan kelompok mereka; dan ideologi merujuk
43
Jacquelien Van Stekelenburg dan Bert Klandermans, Individuals in Movements: A Social Psychology of Contention, dalam Bert Klandermans dan Conny Roggeband, edt, Handbook of Social Movements Across Disciplines. Hal 160-161.
44
bahwa partisipasi gerakan sebagai pengejaran untuk memaknai dan
mengekspresikan perasaan dan keyakinan mereka. 45
Pertama Instrumentality. Tuntutan untuk perubahan dimulai dengan ketidakpuasan, perasaan deprivasi relatif, perasaan ketidakadilan, kemarahan
moral tentang beberapa urusan negara, atau menentukan segala keluhan. Teori
keluhan dalam psikologi sosial seperti teori deprivasi relatif atau teori keadilan
sosial berusaha untuk menetapkan bagaimana dan mengapa keluhan dibangun.46
Dalam instrumentality, aspek pertama yang harus dibangun adalah perasaan
“keluhan” terhadap fenomena sosial.
Anggota gerakan adalah orang yang percaya bahwa mereka dapat
mengubah lingkungan politik untuk keuntungan mereka dan paradigma
instrumentality yang menyatakan bahwa perilaku mereka dikontrol oleh perasaan untung dan rugi dalam berpartisipasi. Hal Itu diambil untuk memberi lebel bahwa
mereka yang dirugikan atau dizolimi, bukan banyaknya keluhan yang bersifat
sendiri-sendiri, Tetapi percaya bahwa situasi dapat berubah dengan biaya yang
terjangkau jika mereka berpartisipasi. Mereka mempunyai sumber daya dan
kesempatan untuk membuat pengaruh yang kuat.47 Dengan keterlibatan mereka
dalam gerakan, maka akan menambah sumber daya gerakan dan mempermudah
tujuan gerakan.
45
Bert Klandermans, The Demand and Supply of Participation: Social-Psychological Correlates of Participation in Social Movement, dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.361.
46
Bert Klandermans, The Demand and Supply of Participation: Social-Psychological Correlates of Participation in Social Movement, dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.362.
47
Kedua identity. Bahwa instrumentality bukanlah satu-satunya alasan orang untuk berpartisipasi. Setelah semuanya, banyak tujuan gerakan hanya bisa dicapai
dalam jangka panjang. Dengan cara yang sama, ketika datang keuntungan
material, pengorbanan sering lebih besar dari pada keuntungan. Yang nampak
adalah lebih baik menjadi bagian dari gerakan daripada merasakan biaya dan
manfaat.48 Artinya anggota gerakan mungkin menyadari bahwa keuntungan
mereka tidak lebih besar dari pada pengorbanan mereka. Tapi rasa solidaritas
mereka tehadap identitas memberikan alasan mereka terlibat dalam suatu gerakan.
Ketiga Ideology. Ideologi memainkan peran yang penting dalam konteks psikologi sosial. Orang bergabung dalam gerakan sosial tidak hanya mendesak
perubahan politik, tetapi untuk mendapatkan kemuliaan dalam hidup mereka
melalui perjuangan dan ekspresi moral.49 Faktor ideologi memberikan alasan
bahwa ikut terlibat dalam suatu gerakan sosial merupakan suatu kewajiban dan
hal yang mulia. Sehingga mereka menganggap bahwa keterlibatannya
mengangkat derajat mereka yang bersifat sacred (suci).
B. Islamisme dan Aktivisme Islam
B.1. Definisi Islamisme dan Aktivisme Islam
Quintan Wiktorowicz memberikan definisi yang luas terhadap aktivisme
Islam. Menurut Wiktorowicz, aktivisme Islam sebagai :
48
Bert Klandermans, The Demand and Supply of Participation: Social-Psychological Correlates of Participation in Social Movement, dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.364.
49
“beragam perseteruan yang muncul berdasar atas nama “Islam”, termasuk
gerakan-gerakan dakwah, kelompok-kelompok teroris, tindakan kolektif yang bersumber dari simbol dan identitas Islam, gerakan-gerakan politik yang bertujuan mendirikan negara Islam, dan kelompok-kelompok yang mengusung spriritualitas Islam melalui usaha-usaha kolektif.”50
Dari definisi tersebut, dapat diambil dua syarat mengapa suatu gerakan dapat
dikatakan sebagai gerakan aktivisme Islam. Pertama adanya tujuan-tujuan yang
berorientasi pada nilai-nilai Islam, dan kedua tujuan tersebut dilakukan secara
kolektif.
Salah satu unsur dalam gerakan aktivisme Islam yaitu orientasi mereka
pada nilai Islam, biasa disebut Islamisme. Burhanudin Muhtadi mengatakan
bahwa Islamisme merupakan keyakinan bahwa Islam memiliki seperangkat norma
atau ajaran yang komprehensif dan unggul, yang dapat dijadikan pedoman untuk
ketertiban dan aturan sosial.51 Sehingga tampak dalam definsi Islamisme dan
aktivisme Islam, Burhanudin membedakan keduanya. Merujuk pada definisi di
atas, aktivisme Islam dipandang sebagai sebuah gerakan/aktivitas kolektif yang
berorientasi pada nilai-nilai Islam, sedangkan Islamisme sebagai ideologi yang
meyakini bahwa Islam merupakan seperangkat ajaran yang menyeluruh dan
menjadi solusi bagi seluruh persoalan hidup manusia.
Lebih jauh Valentine M. Moghadam memberikan definisi yang lebih
bercorak orientasi politis. Islamisme menurut Moghadam melingkupi tujuan dan
cita-cita bersama untuk pembentukan dan penguatan hukum dan norma-norma
50
Quintan Wictorowicz, (edt). “Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial” hal.38-39.
51
Islam sebagai solusi untuk krsis ekonomi, politik, dan budaya.52 Definisi
Islmamisme menurut Moghadam menekankan adanya tujuan dan cita-cita
bersama dalam menerapkan ideologi Islam dalam mengatasi krisis di dunia
maupun Islam sebagai intrumen untuk ketertibah sosial. Corak kolektif inilah
yang khas dari sebuah gerakan sosial.
Cara lain dalam mendefinisikan Islamis adalah dengan cara melihat
orang-orang yang berada di luar mereka. Istilah “muslim abangan” dan “muslim sekuler” bukanlah termasuk bagian dari kelompok Islamis. Pemikiran mereka
(bukan Islmis) tentang Islam terangkum bahwa Islam tidak boleh menjadi sebuah
ideologi yang didesakkan ke dalam ruang publik.53 Kelompok atau gerakan
Islamis menganggap bahwa jalan untuk mengislamisasi masyarakat dilakukan
hanya melalui aksi sosial dan politik.54
A.2. Asal Usul Gerakan Islamisme
Menurut Oliver Roy, asal mula pemikiran dan organisasi Islamisme dapat
diruntut pada gerakan al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan oleh Hasan Al-Banna tahun 1928 dan Jamaat Islami oleh Abul „Ala Maududi tahun 1941.55 Walaupun berbeda dalam organisasi, tetapi mereka mempunyai kesamaan tema
dalam revivalisme Islam. Pada generasi setelahnya, Islamisme diatributkan
dengan Sayyid Quthb, terutama pemikirannya dalam buku Milestone. Mengenai
spirit Islamisme dalam orientasi kepemimpinan Islam, Sayyid Quthb menulis:
52
Valentine M. Moghadam, Globalization and Social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 2009). Hal. 37.
53
Ihsan Ali-Fauzi, Warna- Warni “Islamisme”. Diakses pada 1 Oktober 2014, lihat: http://www.paramadina-pusad.or.id/publikasi/warna-warni-islamisme.html.
54
Oliver Roy, The Failure of Political Islam, (Massachusetts: 1994, Harvard University Press). Hal. 36.
55
“Umat Islam dewasa ini memerlukan identitas kepribadian tersendiri, tidak tercampur dengan kepribadian-kepribadian jahiliyah yang berkembang, identitas tujuan dan kepentingan yang sesuai dengan kepribadian dan konsepsi; identitas panji yang membawa nama Allah semata... Mereka harus memiliki kekhasan komunitas tersendiri: akidah sebagai jalinannya dan kepemimpinan Islam (Qiyadah Islamiyah) sebagai lambangnya.56
Anggota dan kader dalam gerakan Islamisme biasanya direkrut dari
kalangan intelektual (universitas) dan masyarakat perkotaan. Mereka adalah
kelompok yang secara sosiologis adalah modern dan isu-isu mereka berangkat
dari persoalan kalangan modernis pada sektor masyarakat, terlebih reaksi mereka
melawan modernisasi di dalam mayarakat muslim.57 Lebih lanjut, alasan
masyarakat perkotaan dan kalangan intelektual muda muslim yang bergabung
dengan gerakan Islamisme karena kurangnya kesempatan mereka untuk masa
depan yang lebih baik dalam negara. Hal ini membuat mereka hanya mempunyai
sedikit harapan untuk menemukan ambisi masa depan mereka dan menyalahkan
sistem nasional yang kapitalis.58
Untuk merangkum argumen tentang gerakan Islamisme, Valentine M.
Moghadam memperlihatkan beberapa hal mengenai penyebab kemunculan dan
karakteristik gerakan Islamisme59:
1. Gerakan Islamisme muncul dalam konteks pergeseran dari sistem ekonomi Keynesianisme ke arah sistem Neoliberalisme di seluruh dunia. Konsekuensi dari pergeseran ini adalah meningkatnya hutang negara, pengangguran, dan masalah yang timbul dari penghematan dan rekonstruksi ekonomi pada tahun 1980-an di negara-negara muslim atau mayoritas muslim. Ini berhubungan dengan
56Sayyid Quthb, dalam Sa‟id Hawwa dan Sayyid Quth
b, Al-Wala‟:Loyalitas Tunggal Seorang Muslim. (Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2001), hal. 73-74.
57
Oliver Roy, The Failure of Political Islam. Hal.50. 58
Oliver Roy, The Failure of Political Islam. Hal.51. 59
Valentine M. Moghadam, Globalization and social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, hal. 44-46.
restrukturisasi dan resesi global. Runtuhnya harga minyak dunia yang mempunyai efek merugikan bagi pembangunan dan standar hidup khususnya bagi negara-negara mayoritas penduduk muslim.
2. Secara politis, banyak negara-negara mayoritas muslim adalah rezim autoritarian dan patriarki, yang dipimpin oleh kekuatan gerakan kiri dan sekuler, kemudian mereka mengembangkan institusi agama dalam mencari legitimasi politik untuk mereka. Ini menciptakan kesenjangan antara ideologi dan politik yang dapat diisi oleh kelompok Islamis dengan sumber daya dan bingkai resonansi budaya yang mereka miliki.
3. Gerakan Islmisme juga muncul dalam konteks transisi demografi. Gerakan Islamisme juga pengaruh dari cepatnya pertumbuhan populasi dan menimbulkan beban sosial yang besar. Keluarga dalam negara mayoritas muslim cenderung memiliki banyak anak, sehingga mereka banyak ketergantungan pada negara dan menimbulkan permasalahan sosial lainnya, seperti: pengangguran dan kemiskinan. Banyak anak-anak menemukan diri mereka tanpa kepastian masa depan, dan ini yang menjadikan mereka mudah direkruit dalam gerakan Islamisme.
4. Tidak tejadinya resolusi dalam masalah Palestina-Israel dan meresapnya rasa ketidakadilan dikarenakan oleh aksi Israel dan Amerika, merupakan faktor penting yang membantu timbulnya gerakan Islmamisme. Kegagalan proyek demokrasi sekuler oleh PLO, mendorong Islamisme sebagai alternatif di Palestina dan melalui agama. Invasi dan pendudukan AS di Iraq juga membangitkan lebih banyak gerakan Islamisme.
5. Dengan absenya secara penuh pembangunan dan artikulasi gerakan, institusi, dan wacana dari liberalisme dan sosialisme, Islam menjadi wacana yang universal,
dan gerakan Islamisme mengirimkan pesan yang luas bahwa “Islam adalah
solusi”. Untuk sebagian muslim, ideologi Islam baru mengurangi kegelisahan mereka karena mampu menawarkan bentuk jaminan baru dan gerakan Islmisme menyediakan bentuk solidaritas kolektif baru.
6. Dalam konteks krisis ekonomi, politik, dan ideologi-termasuk rezim negara- kekosongan harus diisi oleh pemimpin dan wacana Islamis, apakah itu fundamentalis atau ekstrimis.
7. Dalam pembentukan ideologi yang baru, tradisi adalah suatu yang mulia/agung dan sering ditemukan. Contoh adalah cara berpaian. Meskipun ada bentuk-bentuk pakaian tradisional di seluruh dunia Islam yang sering merefleksikan budaya dan sejarah lokal, Islamisme pada tahun 1980-an mulai mempromosikan jilbab sebagai seragam , sebagian besar pakaian berwarna gelap. Sebuah tema yang sering muncul adalah bahwa identitas ke-Islaman berada dalam bahaya; muslim harus kembali ke tradisi yang telah ditetapkan; identitas adalah kewajiban wanita dalam perilaku, pakaian, penampilan; dan hukum Islam secara personal menjadi penting pada level negara (dalam kasus masyarakat mayoritas muslim) atau dalam komunitas (dalam kasus masyarakat minoritas muslim).
A.3. Variasi dalam Gerakan Islamisme
Gerakan Islamisme merupakan bukanlah suatu entitas yang tunggal.
Moghadam mengatakan bahwa Gerakan Islamisme merupakan gerakan heterogen
dan beraneka ragam, pembedaannya adalah antara Gerakan Islamisme “moderat”
dan Gerakan Islamisme “ekstrimis”.60
Secara umum, gerakan Islamis moderat
menggunakan cara-cara yang nir-kekerasan dalam berorganisasi dan mendukung
civil society. Mereka bisa berbentuk atau bergabung dengan partai politik dan masuk dalam parlemen melalui mekanisme pemilu, dengan begitu mereka bisa
mengkritik dan merubah keadaan politik dengan pandangan-pandangan mereka.61
Sedangkan gerakan Islamisme ekstrimis merupakan sebutan untuk gerakan
Islamisme yang cara-cara untuk mencapai tujuan mereka dengan cara kekerasan.
Lebih jauh Moghadam mengatakan bahwa cara mereka mencapai tujuan atau
cita-cita gerakan secara politik dengan cara menggulingkan sistem politik yang
anti-Islam, berasal dari Barat, dan diktator, dengan menggunakan jaringan mereka
antar negara dengan bentuk kekerasan dalam mencapai tujuan politis mereka.62
Mereka tidak berpartisipasi dalam pemilu, karena menganggap pemilu itu tidak
Islami.
Oliver Roy juga memberikan variasi dalam gerakan Islmaisme berupa tiga
model gerakan Islamis. Tiga model tersebut berdasarkan pada strategi mereka
dalam melakukan penetrasi politik dalam rangka mencapai agenda Islamis
60
Valentine M. Moghadam, Globalization and Social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, hal. 27.
61
Valentine M. Moghadam, Globalization and Social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, hal. 27.
62