• Tidak ada hasil yang ditemukan

Membuat kader bekerja: dinamika internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam merespons kasus korupsi Luthfi Hasan Ishaaq menjelang pemilu 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Membuat kader bekerja: dinamika internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam merespons kasus korupsi Luthfi Hasan Ishaaq menjelang pemilu 2014"

Copied!
112
0
0

Teks penuh

(1)

MEMBUAT KADER BEKERJA:

DINAMIKA INTERNAL PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

(PKS) DALAM MERESPONS KASUS KORUPSI LUTHFI

HASAN ISHAAQ MENJELANG PEMILU 2014

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Rangga Eka Saputra 109033200017

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

(2)
(3)
(4)
(5)
(6)

ABSTRAKSI

Skripsi ini membahas dinamika internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam merespons kasus korupsi yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq menjelang pemilu 2014. Penelitian ini menjelaskan pertanyaan: mengapa kader PKS tetap melakukan aksi-aksi kolektif (collective action), seperti: mengikuti rapat-rapat kordinasi, menyelenggarakan aksi pelayanan sosial, pengajian bulanan, pemasangan spanduk/pamflet, direct selling, dan kampanye-kampanye menjelang pemilu 2014, disaat terjadi kasus korupsi kuota impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq? Dan bagaimana gerakan PKS melakukan pembingkaian (framing) kepada kadernya untuk tetap melakukan aksi-aksi kolektif menjelang pemilu 2014, disaat terjadi kasus tersebut?. Penelitian ini penting karena PKS merupakan partai kader dan merupakan gerakan Islamisme yang menekankan pelaksanaan prinsip-prinsip ajaran Islam yang ketat bagi para kader maupun elit partainya. Faktanya, perolehan suara PKS pada pemilu 2014 mengalami peningkatan suara elektoral sebanyak 8.480.204 suara, dibandingkan suara tahun 2009 sebanyak 8.204.946 suara. Pembahasan ini juga penting untuk mengetahui faktor framing dalam organisasi gerakan Tarbiyah/ PKS yang membuat kadernya tetap loyal atau bekerja ketika terjadi kasus tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan pembingkaian (framing) dalam kajian gerakan sosial (sosial movement). Kemudian, penelitian ini juga menggunakan metode studi kasus. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang representatif dan reliable, dalam mendapatkan data penulis menggunkan metode wawancara mendalam kepada kader PKS di setiap jenjang pengkaderan dan struktur organisasi PKS serta melakukan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat mekanisme framing yang dilakukan struktur/elit PKS dalam menjaga kadernya agar tetap loyal dan bekerja di tengah kasus tersebut. Usaha yang mereka lakukan seperti: pertama, melakukan interpretasi ulang kasus tersebut yang menyatakan bahwa Luthfi Hasan Ishaaq tidak bersalah serta terjadi konspirasi terhadap PKS, kedua, PKS melakukan proses spiral encapsulation terhadap kadernya terkait kasus tersebut. Terdapat juga faktor-faktor pendukung dalam budaya atau ideologi PKS yang menyebabkan proses

framing berjalan dengan baik, seperti: adanya faktor kewajiban dan insentif,

(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Swt, yang dengan rahmat dan karunianya telah

memberikan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Shalawat

serta salam dilimpahkan kepada Rasulullah Saw yang telah membawa risalah

Islam sebagai salah satu peradaban dunia yang menjunjung tinggi ilmu

pengetahuan bagi umatnya.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis merasa banyak pihak yang

membantu. Dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada

pihak-pihak yang membantu penyusunan skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Bachtiar Effendi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu

Politik UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Dr. Ali Munhanif selaku Ketua

Jurusan Program Studi Ilmu Politik, Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si selaku

Sekretaris Jurusan, beserta seluruh staf jajarannya.

2. Bapak Dr. Saiful Mujani, MA selaku dosen pembimbing skripsi. Di tengah

kesibukannya yang padat, beliau bersedia membaca, mengoreksi, dan

memberi saran dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak dan Ibu dosen jurusan Ilmu Politik yang senantiasa memberikan

ilmu dan bimbingannya selama masa penulis berkuliah, antara lain: Bapak

Idris Thaha sebagai dosen pembimbing akademik penulis, Bapak Bakir

Ihsan, Bapak Agus Nugraha, Bapak Sirajudin Aly, Bapak Nawirudin, Ibu

Mutiara Pratiwi, Ibu Gefarina Djohan, dan semua dosen Ilmu Politik yang

(8)

4. Secara khusus kepada Kak Ihsan Ali-Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina)

dan Ibu Ida Rosyida yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis

dalam penyusunan skripsi ini, terutama ketika membantu penulis untuk

mewawancarai Ibu Aan Rohana selaku Majelis Syuro PKS. Kak Ihsan

adalah sosok yang penting dalam perkembangan akademik saya.

5. Teman-teman Forum Muda Paramadina: Kak Husni Mubarak, Kak Irsyad

Rafsyadi, Kak Syafiq Hasyim, Kak Ali Nursyahid, Siswo Mulyartono,

Ayu Mellisa, Joko Arizal Theofani, Kathi, Adit, dan Joevarian. Kalian

semua menjadi inspirasi bagi saya.

6. Teman-teman FORMACI (Forum Mahasiswa Ciputat): Erwin M.

Simbolon, Muhammad Rafsan, Doddy Iskandar, Indra T Purnama, Didi

Manakara, Amrizal Ulya, Iir Irham Mudzakir, dan lain-lain. Semoga

tradisi membaca, berdiskusi, dan menulis terus berlanjut pada komunitas

ini.

7. Teman-teman Jurusan Ilmu Politik angkatan 2009: Muhdlari, Asep Asyari,

Sam‟an, Eko Indrayadi, Abdi, Ali Wafa, Amizar Isma, Riza Abiwinata, Iir

Irham Muudzakir, Isma Hamdani, Kholil, Imron Ghozali, Elva, Annisa,

Lina, Mutia, Almarhum Selamet, dan lain-lain. Semoga kekompakan dan

persahabatan kita akan berlanjut seiring keterbatan ruang dan waktu

selepas kita lulus.

8. Kepada narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk penulis

(9)

9. Ucapan terima kasih kepada istri saya: Pury Cahyani, S.KM yang dengan

sabar dan setia membantu dan menemani saya dalam penyusunan skripsi

ini. Kepada putri-putri saya: Kayyisah Hasna Jannati dan Nizza Ismah

Zayani. Mereka adalah sumber semangat bagi saya dalam menyusun

skripsi ini.

10.Terakhir, ucapan terima kasih kepada keluarga saya: Ayahanda Rahimi

Chandra dan Ibunda Megawati, yang senatiasa memberi doa untuk hidup

saya. Juga kepada adik-adik saya: Putri Bilqish, Maria Qibtia, Haikal

Ibrahim dan Naurah Nazifah.

Jakarta, 22 Oktober 2014

(10)

DAFTAR ISI A. Gerakan Sosial : Pembingkaian (Framing)...18

A.1. Bingkai Aksi Kolektif (Collective Action Frame)...22

A.2. Resonansi Pembingkaian (Framing Resonance)...23

A.3. Psikologi Sosial (Social Psychology)...25

B. Islamisme dan Aktivisme Islam...29

B.1. Definisi Islamisme dan Aktivisme Islam...29

B.2. Asal-Usul Gerakan Islamisme...31

B.3. Variasi dalam Gerakan Islamisme...34

BAB III. PKS SEBAGAI ORGANISASI GERAKAN SOSIAL DAN KASUS LUTHFI HASAN ISHAAQ A. Sejarah PKS: Dari Gerakan Kampus ke Panggung Politik...36

B. Framing PKS Sebagai Organisasi Gerakan Sosial Islam...40

B.1. Bingkai Diagnostik...40

B.2. Bingkai Prognostik...43

B.3. Bingkai Motivasi...45

C. Landasan Ideologis Gerakan...47

(11)

E. Urgensi Rukun Bai‟at Dalam Gerakan...52

F. Tingkatan/Jenjang Keanggotaan Dalam Gerakan...55

G. Kasus Kuota Impor Daging Sapi yang Menjerat Luthfi Hasan Ishaaq...61

BAB IV. FRAMING PKS DAN FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNGNYA A. Reinterpretasi Masalah: Konspirasi dan Luthfi Hasan Ishaaq Tidak Bersalah...65

B. Bingkai Motivasi: Kewajiban dan Insentif...69

C. Resonansi Pembingkaian (Peran Aktor)...73

D. Pemutusan Informasi yang Berasal dari Luar Gerakan...77

E. Pengaruh Rukun Bai‟at dalam ProsesFraming...81

BAB V. KESIMPULAN A. Kesimpulan...85

(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Perbandingan perolehan suara PKS dan Partai Demokrat tahun 2009 dan

2014...7

Tabel 2: Framing diagnostik gerakan Tarbiyah/PKS...43

Tabel 3: Rukun Bai‟at...54

(13)

DAFTAR SINGKATAN

DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia)

DPC (Dewan Pengurus Cabang)

DPD (Dewan Pengurus Daerah)

DPP (Dewan Pengurus Pusat)

DPR (Dewan Perwakilan Rakyat)

DPRa (Dewan Pengurus Ranting)

DPW (Dewan Pengurus Wilayah)

FSLDK (Forum Silaturahmi lembaga Dakwah Kampus),

FIS (Forum of Islamic Study)

HTI (Hizbut Tahrir Indonesia)

ITB (Institut Teknologi Bandung)

KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).

LDK (Lembaga Dakwah Kampus)

NU (Nahdlatul Ulama)

PAN (Partai Amanat Nasional)

PBB (Partai Bulan Bintang)

PD (Partai Demokrat)

PK (Partai Keadilan)

PKS (Partai Keadilan Sejahtera)

PPP (Partai Persatuan Pembanguna)

(14)

BAB I

PENDAHULUAN

G. Pernyataan Masalah

Skripsi ini membahas dinamika internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS)

dalam merespons kasus korupsi yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq menjelang

pemilu 2014. Penelitian ini menjelaskan pertanyaan: mengapa kader PKS tetap

loyal dan melakukan aksi-aksi kolektif (collective action) ketika terjadi kasus tersebut dan bagaimana usaha yang dilakukan struktur/elit PKS untuk menjaga

kadernya tetap loyal dan bekerja untuk gerakan. Penelitian ini penting karena PKS

merupakan partai kader dan merupakan gerakan Islamisme yang menekankan

pelaksanaan prinsip-prinsip ajaran Islam yang ketat bagi para kader maupun elit

partainya. Loyalitas dan aksi-aksi kolektif yang dilakukan kader PKS seperti:

memasang atribut (spanduk dan poster) partai, direct selling, kampanye pemilu, melakukan aksi pelayanan sosial, dan mengikuti rapat-rapat rutin partai.

Sebelumnya ada sebuah peristiwa penting bagi PKS menjelang pemilu

2014, yaitu tertangkap tangannya presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK

(Komisi Pemberantasan Korupsi) terkait kasus kuota impor sapi akhir Januari

2013. Bahkan dalam pengadilan yang digelar hari Senin, 9 Desember 2013

terbukti bahwa Luthfi Hasan Ishaaq menerima suap dalam pengurusan kuota

(15)

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.1

Yang penting dalam kasus tersebut adalah dinamika internal PKS terkait

kasus hukum Luthfi terutama bagaimana pengaruhnya terhadap mesin partai

(kader). Diketahui bahwa PKS adalah partai yang menjadikan Islam sebagai

ideologi dan menuntut kadernya untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara

kaffah. Ada persoalan penting yaitu seberapa besar kasus Luthfi Hasan Ishaaq mempengaruhi loyalitas dan soliditas kadernya yang notabene adalah mesin partai

dalam menghadapi pemilu 2014.

Mardani Ali Serra menyatakan bahwa mesin partai (kader) dan struktur

partainya tidak terpengaruh dengan kasus yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq.2

Lebih lanjut, PKS melalui Anis Matta menyatakan memberi bantuan hukum

kepada Luthfi Hasan Ishaaq terkait kasus kuota impor daging sapi tersebut.3 Hal

ini menjadi paradoks dengan kasus Syamsul Balda (anggota DPR RI dari PK

periode 1999-2004) yang dipecat terkait pelanggaran moral.

Loyalitas kader PKS dapat dilihat dari bagaimana aksi-aksi kolektif

(collective actions) atau kerja-kerja untuk gerakan/partai yang dilakukan kadernya menjelang pemilu legislatif 2014. Sebagaimana laporan berita di harian Tempo

yang menggambarkan kampanye PKS menjelang pemilu 2014:

1

Tempo.co, Luthfi Hasan Disebut Terbukti Menerima Suap. Lihat http://www.tempo.co/read/news/2013/12/09/063535925/Luthfi-Hasan-Disebut-Terbukti-Terima-Suap. Di Unduh pada Kamis, 1 Mei 2014.

2

Tempo.co, PKS Tak Terima Luthfi Disebut Rusak Citra Partai. Lihat http://www.tempo.co/read/news/2013/12/10/078536112/PKS-Tak-Terima-Luthfi-Disebut-Rusak-Citra-Partai. diunduh pada Kamis, 1 Mei 2014.

3

(16)

“Ribuan kader Partai Keadilan Sejahtera memenuhi tribun Stadion Gelora Bung

Karno, Senayan, Jakarta, Ahad, 16 Maret 2014. Mereka tampak berdesak-desakan di antara kursi tribun sembari menyaksikan juru kampanye partai berlambang bulan sabit kembar menyampaikan pidatonya.Hampir tidak ada kursi tribun yang kosong. Bahkan para kader yang kompak mengenakan baju putih seolah mengubah warna tribun stadion yang bermacam corak dan warna itu...Dalam pidatonya, Hilmi Aminududdin mengatakan penuhnya massa di stadion mununjukkan PKS tahan dengan beragam masalah yang menimpa setahun belakangan (Kasus LHI). "Hari ini mengingatkan langkah perjuangan kami 30 tahun lalu. Saya tidak pernah yakin bisa menyaksikan massa sebegini besar,"...Anis Matta mengatakan goncangan hebat terhadap PKS sudah selesai, ibarat Nabi Yusuf yang keluar dari pembuangan sumur. “Kita sudah keluar dari goncangan itu dengan iman yang lebih kuat. Dengan tekad itulah, kita putihkan

Jakarta”.4

Fenomena loyalitas dan aksi kolektif kader PKS di atas diperkuat dengan

fakta perolehan suara nasional PKS secara elektoral yang naik dari 8.204.946

suara pada tahun 2009 menjadi 8.480.204 suara pada tahun 2014.5 Kenaikan suara

ini menurut penulis merupakan hasil dari kerja-kerja kolektif kader PKS

menjelang pemilu legislatif 2014. Karena, sebagai salah satu gerakan Islamisme

yang bertansformasi menjadi partai politik, PKS masih mempertahankan karakter

dasarnya dengan memperkuat kapasitas organisasi dan sumber daya kader yang

dimilikinya dalam melakukan mobilisasi aktifitas partai atau gerakannya.6

Artinya, dengan kasus yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq tidak mempengaruhi

loyalitas kader PKS dalam berkerja untuk gerakan/partai.

Fenomena kenaikan suara PKS secara nasional pada tahun 2014 berbeda

dengan yang dialami oleh Partai Demokrat (PD). Partai Demokrat mengalami

4

Tempo.co, Kampanye Perdana, PKS Bersumpah Putihkan Jakarta. Lihat

http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/03/16/269562686/Kampanye-Perdana-PKS-Bersumpah-Putihkan-Jakarta--- 10/6/14. Di Unduh pada Kamis, 1 Mei 2014.

5

Wikipedia, Partai Keadilan Sejahtera. Lihat

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera. Diunduh pada Jumat, 23 Agustus 2014.

6

(17)

penurunan suara nasional secara drastis pada tahun 2014. Pada pemilu tahun

2009, PD secara elektoral mendapat suara nasional sebanyak 21.703.137,

sedangkan pada pemilu 2014 turun menjadi 12.728.913 suara.7

Sebenarnya pada saat yang sama, PKS dan Partai Demokrat mengalami

masalah yang sama menjelang pemilu 2014, yaitu pimpinan/elit partai keduanya

(Luthfi Hasan Ishaaq sebagai presiden PKS dan Anas Urbaningrum sebagai ketua

umum PD) terjerat kasus korupsi. Dari data perolehan suara PKS dan Partai

Demokrat di atas, kedua partai ini mengalami perbedaan. PKS mengalami

kenaikan, sedangkan Partai Demokrat mengalami penurunan suara elektoral pada

pemilu 2014 jika dibandingkan perolehan suara pada pemilu sebelumnya (lihat

tabel 1).

Tabel 1. Perbandingan perolehan suara PKS dan Partai Demokrat tahun 2009 dan 2014.

Partai Keadilan Sejahtera Partai Demokrat

2009 8.204.946 21.703.137

2014 8.480.204 12.728.913

Selisih (+) 275.258 (-) 8.974.224

Sebelumnya, kelahiran PKS sebagai partai Islam yang menekankan

sumber daya kader dalam aktivitasnya, tidak lepas dari sejarah gerakan Tarbiyah.

Fenomena politik pada periode Orde Baru yaitu tidak tersalurkannya aktivitas dan

aspirasi gerakan-gerakan yang bersebrangan secara ideologi dan politis dengan

penguasa. Hal ini dapat dipahami karena pada rezim Orde Baru negara melakukan

kontrol yang ketat dan represif kepada organisasi yang berlawanan dengan azas

dan kepentingan penguasa dengan alasan stabilitas dan pembangunan. Banyak

7

(18)

cara yang dilakukan rezim untuk menjinakkan organisasi-organisasi tersebut,

seperti: penculikan, penahanan, pembredelan media, dan sebagainya.

Azas tunggal Pancasila dijadikan legitimasi rezim untuk melakukan

tindakan represif tersebut. Bahkan, rezim secara paksa mengharuskan semua

organisasi memakai azas Pancasila dalam landasan organisasinya. Akibatnya

kelompok-kelompok yang tidak mau memakai azas Pancasila dalam gerakannya

atau bersebrangan secara politis dengan rezim, memilih untuk menjadi organisasi

underground, seperti: komunisme dan beberapa gerakan aktivisme Islam.

Gerakan Tarbiyah merupakan salah satu gerakan yang menjadi

underground pada masa Orde Baru. Gerakan ini memulai aktivisnya pada awal tahun 1980 dan mengadopsi ideologi gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun dari Mesir yang didirikan oleh Hasan Al-Banna.8 Pada awal masa Orde Baru gerakan ini

memulai aktifitasnya di kampus-kampus dengan merekrut mahasiswa sebagai

kader-kader gerakan.9 Beberapa kader awal gerakan ini yang direkrut dari

kampus antara lain seperti: Mustafa Kamal, Zulkieflimansyah, Mahfud Siddiq,

dan Rama Pratama, mereka adalah kader gerakan yang direkrut di Universitas

Indonesia. Beberapa organisasi ekstra-kampus yang menjadi basis kader Jamaah

Tarbiyah seperti: FSLDK (Forum Silaturahmi lembaga Dakwah Kampus), FIS

(Forum of Islamic Study), dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim

Indonesia).

8

Yon Machmudi, Islamising Indonesia : The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS), (Canberra: ANU E Press, 2006), hal.4.

9

(19)

Proses pengkaderan yang dilakukan Jamaah Tarbiyah pada rezim Orde

Baru, mereka sebut Mihwar Tanzimi10 atau penguatan organisasi. Pada periode ini fokus utama gerakan Jamaah Tarbiyah dan yang menjadi kebutuhan mereka

adalah menyiapkan kader-kader yang militan dan loyal terhadap organisasi.

Dalam penguatan organisasi, fokus pembinaan kader pada periode ini meliputi

tashhihul aqidah (meluruskan aqidah), tashhihul fikroh (meluruskan pemikiran), tashhihul akhlaq (meluruskan akhlak), dan tashhihul „ubudiah (meluruskan ibadah).11 Pada periode ini aspek pembinaan lebih menekankan pada internalisasi

dan pemurnian ideologi kepada para kadernya. Aspek politik dilihat belum terlalu

penting karena struktur kesempatan politik yang belum memungkinkan.

Munculnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan kelanjutan

dari Jamaah Tarbiyah, membawa ciri tersendiri terhadap gerakan aktivisme Islam

di Indonesia paska Orde Baru. Bebeda dengan NU (Nahdlatul Ulama) atau

Muhammadiyah yang corak ke-Islamannya merupakan hasil adaptasi dengan

konteks budaya ke-Indonesiaan. Jamaah Tarbiyah/PKS corak ke-Islamannya

mengikuti ideologi Al-Ikhwan Al-Muslimun yang berasal dari Timur Tengah. Kemudian yang membedakan Jamaah Tarbiyah/PKS dari Partai Islam yang

lainnya, seperti: Partai Persatuan Pembanguna (PPP) dan Partai Bulan Bintang

(PBB) adalah bahwa PKS lahir dari sebuah gerakan Islam.

Dengan kata lain, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) selain sebagai sebuah

partai politik juga merupakan gerakan Islamisme. Ciri khusus yang membedakan

PKS dengan gerakan Ismamisme lainnya di Indonesia adalah mereka menempuh

10

KH. Hilmi Aminuddin, Menghilangkan Trauma Persepsi, (Jakarta: ARAH Press,2008) hal.168.

11

(20)

jalur politik formal dengan mengikuti pemilu dan masuk dalam sistem negara,

serta tetap mempertahankan kader sebagai basis gerakannya. Hal tersebut

tercermin dari struktur organisasi PKS yang rigid mulai dari level DPP (Dewan Pengurus Pusat) sampai pada level DPRa (Dewan Pengurus Ranting) atau tingkat

kelurahan. Selain itu, ciri dari dari sebuah gerakan sosial juga dilihat dari tuntutan

kedisiplinan dan loyalitas para anggotanya terhadap pemimpin dan ideologi partai.

Hadirnya PKS juga mendapat respon positif secara elektoral. Sebelum

menjadi PKS, terlebih dahulu partai ini bernama Partai Keadilan (PK) pada

pemilu tahun 1999. PK pada saat itu hanya mendapat perolehan suara 1,7 %

sehingga tidak lolos elektoral threshold. Pada tahun 2002 PK berubah menjadi PKS, dan pada pemilu 2004 mendapat perolehan suara 4 %, kemudian pada

pemilu tahun 2009 mendapat perolehan suara elektoral 7,88 %. Ini melebihi

perolehan suara PAN, PPP, dan PKB.

Terakhir, fokus skripsi ini untuk mengetahui faktor-faktor pembingkaian

(framing) dalam organisasi gerakan Tarbiyah/ PKS yang membuat kadernya tetap loyal atau bekerja ketika terjadi kasus Luthfi tersebut. Terutama framing yang berasal dari ajaran/ideologi dalam gerakan mereka ataupun framing yang sengaja dikonstruk oleh gerakan terhadap kasus tersebut. Sehingga, penelitian ini dapat

melihat dengan pendekatan teori-teori framing dalam studi gerakan sosial,

bagaimana PKS sebagai sebuah gerakan sosial Islam keluar dari krisis dan

berusaha untuk membuat kadernya tetap loyal dan bekerja disaat terjadi

(21)

H. Pertanyaan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mengajukan dua pertanyaan yang terkait

dengan latar belakang masalah yang telah dijabarkan di atas:

1. Mengapa kader PKS tetap melakukan aksi-aksi kolektif (collective action), seperti: mengikuti rapat-rapat kordinasi, menyelenggarakan aksi pelayanan

sosial, pengajian bulanan, pemasangan spanduk/pamflet, direct selling,

dan kampanye-kampanye menjelang pemilu 2014, disaat terjadi kasus

korupsi kuota impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq?

2. Bagaimana gerakan PKS melakukan pembingkaian (framing) kepada kadernya untuk tetap melakukan aksi-aksi kolektif menjelang pemilu

2014, disaat terjadi kasus korupsi kuota impor daging sapi yang

melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq?

I. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak

dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan alasan atau faktor-faktor yang menyebabkan kader-kader

PKS tetap melakukan aksi-aksi kolektif dalam gerakan disaat terjadi kasus

Luthdi Hasan Ishaaq.

2. Mendeskripsikan dan menganalisa proses pembingkaian (framing) yang dilakukan struktur organisasi PKS dalam menjaga kadernya (mesin partai)

(22)

3. Menjelaskan faktor-faktor pendukung yang menyebabkan framing yang dilakukan struktur atau elit PKS berhasil membuat kadernya tetap

melakukan kerja-kerja untuk partai.

Penelitian ini juga memiliki signifikansi manfaat penelitian secara

akademis dan praktis sebagai berikut:

Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi nilai tambah bagi pengembangan

ilmu pengetahuan dalam kajian tentang partai politik Islam dan gerakan sosial

ke-Islaman, khususnya mengenai dinamika partai politik Islam yang sedang

mengalami persoalan internal. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat

memberikan sumbangan pemikiran dan tambahan wawasan bagi peneliti lain yang

ingin melakukan penelitian yang sejenis, khususnya di UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta.

Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran terhadap dinamika

perkembangan partai Islam di Indonesia. Penelitian ini memberikan gambaran

langkah-langkah pembingkaian (framing) sebuah gerakan Islam dalam menghadapi persoalan internal, khususnya PKS yang sedang mengalami

persoalan internal yang terkait masalah yang menyangkut pelanggaran ideologi

(23)

J. Tinjauan Pustaka

Literatur pertama yang penulis bahas adalah disertasi Yon Machmudi yang

berjudul “Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous

Justice Party (PKS). Dalam disertasinya, Yon Machmudi membahas mengenai asal usul PKS, ideologi, dan pengaruh mereka terhadap Islamisme di Indonesia.

Penelitian Yon Machmudi bertujuan memberikan kontribusi guna menganalisis

fenomena gerakan Islam dan partai politik Islam di Indonesia, khususnya

kemunculan gerakan Jamaah Tarbiyah dan transformasi mereka menjadi partai

politik (PKS).12

Pada penelitiannya tersebut Yon Machmudi memberikan klasifikasi baru

bagi model aktivisme Islam Jamaah Tarbiyah atau PKS, yaitu “Santri Global”.

Maksudnya adalah kemunculan PKS merupakan sintesa antara orientasi

akomodasi dan purifikasi Islam di Indonesia, sehingga kemunculannya

menyebabkan kaburnya dikotomi antara Islam “tradisionalis” dan “Modernis”.13

Corak khas dari gerakan ini adalah mereka mengadopsi ideologi dari Ihkwanul Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir. Artinya corak atau prinsip-prinsip gerakan Islam PKS khas timur tengah (Ikhwanul Muslimin) dan memberikan warna tersendiri bagi gerakan Islam di Indonesia.

Literatur kedua yang penulis ulas dalam penulisan skripsi ini adalah buku

yang berjudul “Dilema PKS: Suara dan Syariah” karya Burhanudin Muhtadi.

Buku ini secara mendalam membahas dinamika PKS baik sebagai partai politik

12

Yon Machmudi, Islamising Indonesia : The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS), hal.15.

13

(24)

maupun salah satu gerakan sosial Keagamaan, disebut “aktivisme Islam” dalam

kerangka gerakan sosial.

Ada beberapa hal yang menarik perhatian Burhanudin mengapa Dia

memilih PKS sebagai objek penelitiannya. Pertama, PKS merupakan satu-satunya partai poltik Islam yang terlahir dari gerakan sosial keagamaan (Tarbiyah) paska Orde Baru. Burhanudin melihat ini sebagai hal yang unik karena PKS sebagai

gerakan sosial melakukan transformasi menjadi partai politik, berbeda dengan

gerakan-gerakan Islamis lainnya yang tidak masuk dalam politik praktis

(electoral), seperti: HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Laskar Jihad, MMI (Majelis Mujahidin Indonesia), dan sebagainya.

Kedua, PKS adalah partai yang rajin melakukan aksi-aksi turun ke jalan dan melakukan aktivitas non-elektoral. Isu-isu yang biasa dipakai PKS dalam

melakukan aksi-aksi tersebut adalah isu solidaritas kepada Palestina dan

mengutuk tindakan Israel dan Amerika. Dalam melakukan aksi-aski tersebut,

PKS melakukan mobilisasi kadernya untuk turun ke jalan dan secara kolektif

menyumbang dana untuk rakyat Palestina.

Selain persoalan aktivisme Islam yang dibahas, salah satu hal pokok yang

menjadi pembahasan Burhanudin adalah dilema elektoral PKS. Dari persoalan ini

Burhanudin melihat ada “kegalauan” PKS dalam melakukan strategi elektoral,

yakni di satu sisi mereka ingin menaikkan suara elektoral dengan

mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka, dengan melakukan strategi-strategi

yang bergerser dengan pakem ideologi mereka (seperti melakukan Mukernas di

(25)

harus tetap menjaga idealisme mereka terhadap kemurnian ideologi yang

dianutnya sebagai basis soliditas organisasi.

Dari fenomena di atas Burhanudin merumuskan beberapa pertanyaan

terkait PKS dalam bukunya. Pertama, mengapa PKS lahir dan bagaimana proses

kelahirannya? Kedua, bagaimana PKS menyampaikan pesan ideologi dan

diterima oleh kelompok sasaran? Bagaimana strategi elektoral PKS dalam

mengembangkan suara elektoral dengan mendeklarasikan sebagai partai

terbuka?.14

Dalam buku tersebut Burhanudin menggunakan pendekatan gerakan sosial

yang integral untuk menjelaskan fenomena dan pertanyaan di atas. Beberapa teori

gerakan sosial utama yang digunakan Burhanudin yaitu: Teori Mobilisasi Sumber

Daya (Resources Mobilization Theory), Struktur Kesempatan Politik (Political Opportunity Structure), dan Pembingkaian (Framing).

Hal yang menurut penulis luput dari pembahasan Yon Machmudi dan

Burhanudin Muhtadi dalam risetnya adalah pembahasan mengenai dinamika

internal PKS terkait kasus-kasus particular yang menyangkut pelanggaran atau penyelewengan ideologi oleh elit/pimpinan PKS (kasus hukum dan pelanggaran

moral) terhadap loyalitas kadernya. Misalnya, Burhanudin dalam bukunya melihat

dilema PKS disebabkan karena faktor strategi elektoral yang menggeser idealisme

ideologi partai. Artinya yang dilihat adalah faktor kebijakan partai dan dinamika

yang terjadi dalam tataran elit.

14

(26)

Sementara itu penelitian mengenai dinamika Internal PKS terkait

kasus-kasus khusus (hukum dan moralitas) yang mempengaruhi loyalitas kader PKS

dalam setiap level (tingkatan anggota) belum banyak perhatian secara akademis.

Kasus utama seperti pengaruh kasus hukum Luthfi Hasan Ishaaq terhadap

soliditas kader PKS dan bagaimana PKS sebagai sebuah gerakan menanggulangi

persoalan tersebut, belum di bahas oleh penelitian-penelitian sebelumnya.

K. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang tersusun secara

sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan

maksud mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah

tersebut.15 Metode penelitian mencakup: pendekatan penelitian, jenis penelitian,

teknik pengumpulan data, dan analisis data.

E.1. Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif untuk

menjawab pertanyaan penelitian. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang

dimaksudkan untuk mengungkapkan gejala secara holistik-kontekstual melalui

pengumpulan data dan latar alami dengan memanfaatkan penelitian sebagai

instrumen kunci. Proses dan pemaknaan (perspekstif subjek) lebih ditonjolkan

dalam penelitian kualitatif, Ciri penelitian kualitatif dapat dilihat dari bentuk

laporannya, yaitu dalam bentuk narasi yang bersifat kreatif dan mendalam.16

15

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hal. 12.

16

(27)

E.2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah Studi

Kasus. Studi kasus merupakan penelitian dimana di dalamnya peneliti menggali

entitas tunggal atau fenomena (kasus) yang dibatasi oleh waktu dan kegiatan

(program, kejadian, proses, institusi, atau kelompok sosial) dalam pengumpulan

informasi terperinci melalui penggunaan berbagai prosedur pengumpulan data

selama periode waktu yang lama.17 Dengan jenis penelitian ini, penulis mencoba

menfokuskan penelitiannya mengenai proses framing dan faktor pendukungnya

yang menyebabkan kadernya agar tetap loyal melakukan aksi-aksi kolektif

(Collective actions) dalam melaksanakan kegiatan partai di tengah kasus hukum yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq.

E.3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah wawancara

mendalam dan studi pustaka. Di sini penulis mewawancarai secara mendalam

beberapa orang kader PKS yang penulis klasifikasi berdasarkan: pertama,

Jenjang keanggotaan, meliputi: kader Tamhidi (pemula), Muayyid (muda), Muntasib (Madya), Muntazhim (Dewasa) dan Mas‟ulin (Purna). kedua, struktur organisasi PKS, meliputi: Pengurus DPP (Dewan Pengurus Pusat) PKS, Pengurus

DPD (Dewan Pengurus Daerah) PKS Jakarta, Pengurus DPC (Dewan Pimpinan

Cabang) PKS Kecamatan, DPRa (Dewan Pengurus Ranting) Kelurahan, dan

kader non-struktural. Sedangkan untuk studi pustaka, penulis mendapatkan

sumber dari: buku, jurnal, skripsi, disertasi, berita koran, dan berita internet.

17

(28)

E.4. Analisis Data

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini bertujuan deskriptif-analisis

terhadap masalah yang diangkat penulis. Penelitian deskriptif menyajikan satu

gambaran yang terperinci tentang situasi khusus, setting sosial, atau hubungan.18 Setelah data dideskripsikan maka selanjutnya penulis akan melakukan analisis

kristis terhadap temuan-temuan dalam penelitian dan memberikan penilaian

subjektif terhadap hasil temuan dalam penelitian.

Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif, sehingga analisis data

yang digunakan juga merupakan analisis kualitatif. Dalam analisis data kualitatif,

data yang dikumpulkan (observasi, wawancara, dan studi dokumen) dan diproses

sebelum siap digunakan (melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau alih

tulis), dimana analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata dalam bentuk teks,

dan tidak menggunakan angka-angka matematis atau statistika sebagai alat

analisis.19

Ada beberapa alur kegiatan dalam analisis data kualitatif: reduksi data,

penyajian data, dan penarikan kesimpulan.20 Reduksi data diartikan sebagai proses

pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstaksian, dan

transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan.21

Sedangakan dalam penyajian data, bentuk yang paling sering digunakan untuk

data kualitatif adalah teks narative.22

18

Ulbe Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal.27.

19

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial,hal.339.

20

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal.339.

21

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal.339.

22

(29)

L. Sistematika Penulisan

Agar didapatkan penelitian yang fokus dan sistematis, serta mempermudah

dalam penulisan laporan penelitian ini, penulis membagi pembahasan ke dalam

lima bab. Masing-masing bab terdiri dari sub-sub sebagaimana berikut:

BAB. I, membahas Pendahuluan yang berisi antara lain: Latar Belakang

Masalah, Pertanyaan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka,

Kerangka Teori, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB. II, pada bab ini akan membahas tentang Landasan Teori Framing

dalan kajian Gerakan Sosial dan Aktivisme Islam atau Islamisme. Teori-teori

Framing yang penulis gunakan meliputi: bingkai aksi kolektif (collective actions frame), resonansi pembingkaian (framing resonance), dan faktor psikologi sosial (social psychology). Sedangkan pembahasan mengenai Islamisme dan aktivisme Islam meliputi: definisi Islamisme dan aktivisme Islam, asal usul gerakan

Islamisme, dan variasi dalam gerakan Islamisme.

BAB. III, bab ini membahas PKS sebagai organisasi gerakan sosial.

Pembahasan pada bab ini meliputi: sejarah dan latar belakang berdirinya PKS,

framing PKS sebagai organisasi gerakan sosial Islam, landasan ideologis gerakan, proses kaderisasi melalui tarbiyah: tujuan dan prosesnya, rukun bai‟at, tingkatan

keanggotaan/jenjang dalam gerakan, dan sekilas persoalan hukum yang menjerat

Luthfi Hasan Ishaaq.

BAB. IV, bab ini berisi deskripsi dan analisis komprehensif mengenai

(30)

menilai Luthfi Hasan Ishaaq tidak bersalah, bingkai motivasi: kewajiban dan

insentif, peran aktor dalam resonansi pembingkaian, pemutusan informasi bagi

kader terhadap informasi yang berasal dari luar, dan pengaruh rukun bai‟at

terhadap proses framing.

BAB. V, pada bab ini akan diambil kesimpulan dari uraian yang telah

ditulis pada bab-bab sebelumnya, kemudian akan diberikan saran-saran berkaitan

(31)

BAB II

KERANGKA TEORI

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan gerakan sosial

(social movement) untuk menjawab persoalan dan pertanyaan penelitian. Teori gerakan sosial yang penulis gunakan adalah adalah teori-teori gerakan sosial dari

perspektif pembingkaian (framing). Alasan penulis menggunakan teori framing,

karena penulis melihat PKS sebagai sebuah organisasi gerakan sosial Islam kaya

akan bentuk-bentuk pembingkaian yang ditujukan kepada para kadernya supaya

melakukan aksi-aksi kolektif (collective actions) untuk tujuan gerakan.

A. Gerakan Sosial : Pembingkaian (Framing)

Ihsan Ali Fauzi memberikan rangkuman mengenai definisi gerakan sosial

dari beberapa sarjana gerakan sosial:

“Definisi gerakan sosial menurut Michael Usleem adalah tindakan kolektif

terorganisasi yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial. Lebih jauh McCarthy dan Mayer Zald merinci definisi gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam distribusi hal-hal yang

bernilai secara sosial”. 23

Dalam menjelaskan definisi gerakan sosial di atas, Ihsan Ali Fauzi

menyatakan bahwa terdapat dua fitur dalam definisi gerakan sosial, yaitu

“tantangan kolektif” dan “corak politis”. Tantangan kolektif, yakni upaya-upaya

terorganisasi untuk mengadakan perubahan struktur dan kelembagaan sosial

(institusi maupun kebijakan publik). Kedua adalah corak politis yang terdapat

23

(32)

dalam aksi-aksi gerakan sosial. Corak politis ini sangat erat dengan tujuan-tujuan

politis dari sebuah gerakan sosial. 24

Dalam gerakan sosial terdapat tiga teori utama yang menjadi kesepakatan

dalam studi gerakan sosial. Teori tersebut yaitu: teori mobilisasi sumber daya

(Resource Mobilization Theory), struktur kesempatan politik (political opportunity structure), dan pembingkaian (framing)25. Ketiga teori ini merupakan sintesis dari teori gerakan sosial sebelumnya, seperti pendekatan psikologis.

Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan framing dalam lingkup gerakan sosial untuk menjelaskan aksi-aksi kolektif kader PKS. Bingkai

(frame) merupakan skema-skema yang memberikan sebuah bahasa dan sarana kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa “di

dunia luar”, yang skema-skema ini digunakan untuk menghasilkan dan

menyebarkan penafsiran-penafsiran subjektif gerakan yang digunakan untuk

memobilisasi para peserta dan dukungan untuk melakukan aksi-aksi kolektif.26

Pembingkaian juga dapat diartikan sebagai kemampuan sebuah gerakan untuk

mengubah potensi mobilisasi menjadi mobilisasi yang aktual (aksi kolektif), hal

tersebut tergantung pada kemampuan sebuah bingkai untuk mempengaruhi calon

24

Ihsan Ali Fauzi dalam Pengantar terjemahan buku, Quintan Wiktorowicz (edt.), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, hal.4-5.

25

Burhanudin Muhtadi, Demokrasi Zonder Toleransi, Disampaikan dalam Diskusi “Agama dan Sekularisme di Ruang Publik: Pengalaman Indonesia” di Komunitas Salihara, Rabu 26 Januari 2011.

26

(33)

anggotanya.27 Sebuah bingkai biasanya berbentuk simbol-simbol, identitas

budaya, maupun ideologi yang berfungsi memperkuat mobilisasi.28

Mengutip Erving Goffman, sarjana gerakan sosial Karl-Dieter Opp

memberikan definisi bingkai (frame) sebagai “skema penafsiran” yang

memungkinkan individu-individu “menempatkan, merasa, dan mengidentifikasi” kejadian dalam ruang hidup mereka dan dunia pada umumnya. Dengan

memberikan arti dan makna pada setiap kejadian atau peristiwa, bingkai berfungsi

untuk mengorganisasi pengalaman dan pemandu tindakan, apakah pada level

individu atau kolektif. Hal ini bertujuan agar para anggota dan simpatisan gerakan

terlibat langsung dalam aksi-aksi untuk tujuan dan cita-cita gerakan. 29

Teori penting dalam proses pembingkaian (framing process) adalah bingkai aksi kolektif (collective action frame), resonansi pembingkaian (framing resonance), dan psikologi sosial (social psychology). Bingkai aksi kolektif (collective action frame) dan resonansi pembingkaian (framing resonance) penulis pakai pada penelitian ini karena, mengutip David Snow30 karena topik ini

menggambarkan secara mencolok teori dan analisis empirik tentang gerakan

sosial, dan sebagian lagi karena proses pembingkaian fokus perhatiannya pada

kerja interpretasi oleh aktor gerakan dan pihak lain yang terkait. Sedangkan teori

psikologi sosial penulis pakai untuk menganalisis faktor-faktor keberhasilan

27

Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, hal. 71.

28

Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, hal. 71-72.

29

Karl-Dieter Opp, Theoris of Political Protest and Social Movements: A multidisciplinary introduction, critique, and synthesis, (New York: Routledge, 2009), hal.235.

30

(34)

framing, yang dalam konteks sosial dapat mempengaruhi aksi-aksi kolektif dan

perilaku peserta gerakan sosial.

Perspektif framing berakar pada interaksi simbolik dan pembangunan prinsip, bahwa makna tidak secara otomatis atau secara alami menempel pada

objek, peristiwa, atau pengalaman yang kita hadapi, tetapi yang sering

mengemuka justru sebaliknya, yaitu melalui secara interaksi berdarkan proses

interpretasi.31 Artinya orang yang terlibat dalam gerakan sosial, tidak secara alami

memiliki “pemaknaan” atau alasan bahwa terlibat dalam gerakan karena timbul

dengan sendirinya dalam dirinya. Pendekatan framing menekankan bahwa keterlibatan seseorang dalam gerakan sosial lahir karena adanya proses interaksi

dengan orang lain yang mempengaruhinya.

Kata “framing” juga digunakan untuk mengkonseptualisasi kata yang

berarti sebuah “pekerjaan”, yang mana suatu pekerjaan yang dilakukan pengikut

gerakan sosial atau pemimpin mereka. Itu berarti “pembingkaian” atau memberikan pemaknaan dan menafsirkan adalah sebuah usaha atau cara yang

berniat untuk mengumpulkan dan memobilisasi pengikut dan konstituen yang

potensial untuk terlibat dalam aksi-aksi gerakan dan untuk mendemobilisasikan

musuh.32

31

David A. Snow, Framing Processes, Ideology, and Discursive Fields, dalam dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.380.

32

(35)

A.1. Bingkai Aksi Kolektif (Collective Action Frame)

Terdapat tiga bagian proses utama teori bingkai aksi kolektif (collective action frame). Pertama, yaitu gerakan membangun bingkai-bingkai yang mendiagnosis kondisi sebuah persoalan yang perlu ditangani (Diagnostic Framing), kedua, gerakan memberikan pemecahan terhadap persoalan tersebut, termasuk strategi pemecahannya (Prognostic Framing), ketiga, gerakan memberikan alasan dasar untuk memotivasi tumbuhnya dukungan kolektif

(Motivational Framing).33

Pada bingkai diagnostik sebuah gerakan berusaha mengidentifikasi sebuah

masalah yang harus diselesaikan. Masalah-masalah tersebut bisa berupa ancaman

bagi organisasi, budaya, maupun ideologi. Ciri khas bagi gerakan sosial Islam

yang biasanya pada level diagnostik ini adalah berupa ancaman dan masalah yang

ditujukan pada budaya barat, seperti: liberalisme, sekularisme, dan pluralisme.

Ditambah kata-kata seperti konspirasi Yahudi dan Amerika biasa digunakan

aktor-aktor gerakan Islam dalam mendiagnosis masalah umat Islam saat ini.

Pada level bingkai prognostik, gerakan Islam berusaha memberikan solusi

dan cara atas permasalahan yang mereka gambarkan dalam bingkai diagnostik.

Pada level ini terjadi perbedaan antara gerakan Islam yang satu dengan gerakan

Islam yang lain. Dalam konteks Indonesia cohntohnya, gerakan Islam memiliki

perbedaan dalam rangka pemecahan masalah sosial dan mencapai tujuan-tujuan

gerakan. Jamaah Islamiyah memilih jalan radikal dan menggunakan kekerasan,

Jamaah Tabligh memilih jalan tidak masuk dalam sistem politik dan lebih

33

(36)

menekankan pemurnian kesalehan para anggotanya, Hizbut Tahrir juga memilih

jalan tidak masuk dalam sistem politik tapi berusaha untuk mempengaruhi

kebijakan publik, sedangkan PKS memilih masuk dalam sistem politik dan ikut

sebagai peserta pemilu. Artinya pada level diagnostik mereka mempunyai

kesamaan, tetapi pada level prognostik mereka berbeda dalam cara

perjuangannya.

Sedangkan menyangkut bingkai motivasi, penulis mengutip David Snow

dan Robert Benford yang menyatakan bahwa motivasi dalam proses framing

menyediakan alasan untuk orang terlibat aksi-aksi kolektif dalam suatu gerakan,

ini meliputi konstruksi kata-kata yang tepat mengenai motif tertentu. Beberapa

kata-kata mengenai motif yang diidentifikasikan dalam motivasi adalah: Severity, mengacu pada perasaan adanya bahaya dan ancaman; Urgency, mengacu pada bahwa masalah harus segera ditangani secepatnya; Efficacy, mengacu pada pengertian bahwa gerakan tersbut mempunyai solusi (obat mujarab) dan

kemampuan yang dapat menyelesaikan masalah; Propriety, mengacu bahwa aksi-aksi mereka adalah sebuah kewajiban dan kemuliaan. 34

A.2. Resonansi Pembingkaian (framing Resonance)

Menurut Jonathan Christiansen ide resonansi pembingkaian (frame resonance) serupa dengan cakupan penafsiran ide (idea of interpretative). Asumsinya adalah Jika suatu bingkai beresonansi (bergaung) dengan khalayak,

maka mereka biasanya akan lebih sukses.35 Christiansen dengan mengutip

34

Jonathan Christiansen, Framing Theory, dalam “Sociology Reference Guide: Theories of Social Movements”, hal.150.

35

(37)

Benford & Snow memberikan dua cara menambah resonansi, yaitu: kredibilitas

(credibility) dan arti-penting (salience).36

Kredibiltas (credibility) mencakup tiga faktor. Pertama adalah konsistensi bingkai. Konsistensi mengacu pada kesenjangan antara apa yang dilakukan oleh

aktor gerakan sosial atau SMO (social movement organization) dan apa yang

mereka katakan. Jika orang merasa bahwa aksi pelaku gerakan sosial konsisten

dengan apa yang dinyatakan sebagai tujuan gerakan, maka anggota atau

simpatisan meraka akan merasa bahwa gerakan tersebut mempunyai kredibilitas

yang tinggi.

Kedua adalah faktor kredibiltas empiris (empirical credibility). Mengutip

Benford & Snow, menjelaskan bahwa “ini merujuk pada kecocokan antara pembingkaian dan kejadian nyata di dunia”. Jika merekrut calon anggota gerakan

tidak memperhatikan bingkai dan keadaan sebenarnya yang terjadi, maka sebuah

gerakan sosial kemungkinan terlihat tidak kredibel. Frame harus menjelaskan

berbagai hal di sekitar dunia mereka dan menyediakan solusi jitu. Ketiga, cara bingkai menjadi bergaung adalah jika orang mengekspresikan bingkai itu terlihat

kredibel.37 Pada yang ketiga ini, diperlukan aktor atau elit gerakan yang

kharismatik dan kredibel untuk menggaungkan persoalan yang dihadapi dan

solusi jitu yang ditawarkan gerakan, agar orang tertarik terlibat dalam aksi-aksi

kolektif gerakan.

36

Jonathan Christiansen, Framing Theory, dalam “Sociology Reference Guide: Theories of Social Movements”, hal 151.

37

(38)

Arti Penting (salience) juga berpengaruh pada resonansi pembingkaian. Salience dipengaruhi tiga faktor utama: sentralitas (centrality), kesepadanan pengalaman (experiential commensurability), and kesetiaan narasi (narrative fidelity). Sentralitas merujuk pada pentingnya sebuah kepercayaan (beliefs) tertentu dalam hidup manusia. Jadi jika persoalan frame dipandang penting dalam

kepercayaan dan keyakinan hidup sesorang, frame ini dikatakan memiliki

sentralitas. Kesepadanan pengalaman (experiential commensurability) mengacu pada cara dimana sebuah frame sesuai dengan pengalaman hidup seseorang. Jika

cara persoalan dibingkai sesuai dengan pengalaman hidup seseorang, maka frame

dikatakan sangat kredibel. Terakhir, kesetiaan naratif mengacu pada apakah ya

atau tidaknya frame sesuai dengan narasi budaya atau ideologi yang dianut dalam

diri seseorang atau komunitas. 38

A.3. Psikologi Sosial (Social Psychology)

Teori yang juga berkaitan dengan pembingkaian (framing) adalah teori psikologi sosial (social psychology). Inti dari teori psikologi sosial adalah membahas bagaimana konteks sosial dapat mempengaruhi perilaku.39 Dua unsur

penting dalam proses aksi-aksi kolektif suatu gerakan dalam skala sikap dan

tindakan adalah bagaimana suatu gerakan melakukan “mobilisasi konsensus” dan “mobilisasi aksi”. Mobilisasi konsensus adalah “proses di mana organisasi

gerakan sosial berusaha memperoleh dukungan bagi pandangan-pandangannya.”

38

Jonathan Christiansen, Framing Theory, dalam “Sociology Reference Guide: Theories of Social Movements”, hal 151-152.

39

(39)

Sementara itu, mobilisasi aksi berhubungan dengan persoalan psikologi sosial

klasik mengenai hubungan antara sikap dan perilaku.40

Teori psikologi sosial diambil dari kajian studi psikologi. Psikologi sosial

memberikan tipe proses psikologi seperti: identitas, kognisi, motivasi, dan emosi

kepada kajian-kajian gerakan sosial. Asumsi dari keempat tipe proses psikologi

gerakan adalah bahwa orang hidup dalam dunia perasaan. Mereka merespon dunia

atas apa yang mereka rasa dan interpretasi. Maka apabila kita ingin mengetahui

kognisi, motivasi, dan emosi mereka, kita harus mengetahui persepsi dan

interpretasi mereka.41

Hal yang juga penting dalam teori ini adalah identifikasi grup dalam

gerakan sosial. Identifikasi grup merupakan hal fundamental dalam psikologi

sosial untuk menjawab pertanyaan apa yang menggerakkan orang untuk terlibat

dalam aksi-aksi kolektif. Identifikasi dengan grup merupakan alasan yang kuat

untuk berpartisipasi dalam gerakan.42 Orang tidak akan terlibat dalam sebuah

gerakan apabila mereka tidak merasa bagian (identifikasi) dari gerakan tersebut.

Contoh seorang buruh akan cenderung bergabung dengan gerakan buruh,

begitupun gerakan feminisme, Islamisme, dan lainnya.

Selain itu, partisipasi dalam gerakan merupakan partisipasi dalam

aksi-aksi bersama (collective action). Setiap collective action biasanya mengambil akar

40

Burhanudin Muhtadi, Demokrasi Zonder Toleransi, Disampaikan dalam Diskusi “Agama dan Sekularisme di Ruang Publik: Pengalaman Indonesia” di Komunitas Salihara, Rabu 26 Januari 2011.

41

Jacquelien Van Stekelenburg dan Bert Klandermans, Individuals in Movements: A Social Psychology of Contention, dalam Bert Klandermans dan Conny Roggeband, edt, Handbook of Social Movements Across Disciplines. Hal 157.

42

(40)

atau dasar dari identitas kolektif (collective identity). Terdapat empat mekanisme dasar (sama dengan proses psikologi) dalam psikologi sosial, yaitu: identitas

sosial, kognisi, emosi, dan motivasi, yang menghubungkan antara identitas

kolektif dan aksi kolektif.43

Dinamika partisipasi dalam gerakan berdasarkan atas asumsi bahwa kita

dapat membedakan tiga alasan fundamental mengapa seorang terlibat dalam

sebuah gerakan sosial. Keikutsertaan dalam gerakan menarik seseorang: ingin

merubah keadaan mereka, mereka ingin “berbuat” sebagai anggota kelompok

mereka, atau mereka ingin memberikan arti untuk dunia mereka dan

mengekspresikan pandangan dan perasaan mereka.44 Tiga alasan inilah yang

membuat orang berpatisipasi dalam sebuah gerakan sosial.

Bert Klandermans memberikan tiga tipe transaksi mengenai unsur-unsur

keterlibatan seseorang dalam sebuah gerakan, yaitu: perantara (instrumentality), identitas (identity), dan ideologi (ideology). Instrumentality merujuk bahwa partisipasi dalam gerakan sebagai usaha untuk mempengaruhi lingkungan sosial

dan politik; identitas merujuk bahwa partisipasi dalam gerakan sebagai

manifestasi dari identifikasi dengan kelompok mereka; dan ideologi merujuk

43

Jacquelien Van Stekelenburg dan Bert Klandermans, Individuals in Movements: A Social Psychology of Contention, dalam Bert Klandermans dan Conny Roggeband, edt, Handbook of Social Movements Across Disciplines. Hal 160-161.

44

(41)

bahwa partisipasi gerakan sebagai pengejaran untuk memaknai dan

mengekspresikan perasaan dan keyakinan mereka. 45

Pertama Instrumentality. Tuntutan untuk perubahan dimulai dengan ketidakpuasan, perasaan deprivasi relatif, perasaan ketidakadilan, kemarahan

moral tentang beberapa urusan negara, atau menentukan segala keluhan. Teori

keluhan dalam psikologi sosial seperti teori deprivasi relatif atau teori keadilan

sosial berusaha untuk menetapkan bagaimana dan mengapa keluhan dibangun.46

Dalam instrumentality, aspek pertama yang harus dibangun adalah perasaan

“keluhan” terhadap fenomena sosial.

Anggota gerakan adalah orang yang percaya bahwa mereka dapat

mengubah lingkungan politik untuk keuntungan mereka dan paradigma

instrumentality yang menyatakan bahwa perilaku mereka dikontrol oleh perasaan untung dan rugi dalam berpartisipasi. Hal Itu diambil untuk memberi lebel bahwa

mereka yang dirugikan atau dizolimi, bukan banyaknya keluhan yang bersifat

sendiri-sendiri, Tetapi percaya bahwa situasi dapat berubah dengan biaya yang

terjangkau jika mereka berpartisipasi. Mereka mempunyai sumber daya dan

kesempatan untuk membuat pengaruh yang kuat.47 Dengan keterlibatan mereka

dalam gerakan, maka akan menambah sumber daya gerakan dan mempermudah

tujuan gerakan.

45

Bert Klandermans, The Demand and Supply of Participation: Social-Psychological Correlates of Participation in Social Movement, dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.361.

46

Bert Klandermans, The Demand and Supply of Participation: Social-Psychological Correlates of Participation in Social Movement, dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.362.

47

(42)

Kedua identity. Bahwa instrumentality bukanlah satu-satunya alasan orang untuk berpartisipasi. Setelah semuanya, banyak tujuan gerakan hanya bisa dicapai

dalam jangka panjang. Dengan cara yang sama, ketika datang keuntungan

material, pengorbanan sering lebih besar dari pada keuntungan. Yang nampak

adalah lebih baik menjadi bagian dari gerakan daripada merasakan biaya dan

manfaat.48 Artinya anggota gerakan mungkin menyadari bahwa keuntungan

mereka tidak lebih besar dari pada pengorbanan mereka. Tapi rasa solidaritas

mereka tehadap identitas memberikan alasan mereka terlibat dalam suatu gerakan.

Ketiga Ideology. Ideologi memainkan peran yang penting dalam konteks psikologi sosial. Orang bergabung dalam gerakan sosial tidak hanya mendesak

perubahan politik, tetapi untuk mendapatkan kemuliaan dalam hidup mereka

melalui perjuangan dan ekspresi moral.49 Faktor ideologi memberikan alasan

bahwa ikut terlibat dalam suatu gerakan sosial merupakan suatu kewajiban dan

hal yang mulia. Sehingga mereka menganggap bahwa keterlibatannya

mengangkat derajat mereka yang bersifat sacred (suci).

B. Islamisme dan Aktivisme Islam

B.1. Definisi Islamisme dan Aktivisme Islam

Quintan Wiktorowicz memberikan definisi yang luas terhadap aktivisme

Islam. Menurut Wiktorowicz, aktivisme Islam sebagai :

48

Bert Klandermans, The Demand and Supply of Participation: Social-Psychological Correlates of Participation in Social Movement, dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.364.

49

(43)

“beragam perseteruan yang muncul berdasar atas nama “Islam”, termasuk

gerakan-gerakan dakwah, kelompok-kelompok teroris, tindakan kolektif yang bersumber dari simbol dan identitas Islam, gerakan-gerakan politik yang bertujuan mendirikan negara Islam, dan kelompok-kelompok yang mengusung spriritualitas Islam melalui usaha-usaha kolektif.”50

Dari definisi tersebut, dapat diambil dua syarat mengapa suatu gerakan dapat

dikatakan sebagai gerakan aktivisme Islam. Pertama adanya tujuan-tujuan yang

berorientasi pada nilai-nilai Islam, dan kedua tujuan tersebut dilakukan secara

kolektif.

Salah satu unsur dalam gerakan aktivisme Islam yaitu orientasi mereka

pada nilai Islam, biasa disebut Islamisme. Burhanudin Muhtadi mengatakan

bahwa Islamisme merupakan keyakinan bahwa Islam memiliki seperangkat norma

atau ajaran yang komprehensif dan unggul, yang dapat dijadikan pedoman untuk

ketertiban dan aturan sosial.51 Sehingga tampak dalam definsi Islamisme dan

aktivisme Islam, Burhanudin membedakan keduanya. Merujuk pada definisi di

atas, aktivisme Islam dipandang sebagai sebuah gerakan/aktivitas kolektif yang

berorientasi pada nilai-nilai Islam, sedangkan Islamisme sebagai ideologi yang

meyakini bahwa Islam merupakan seperangkat ajaran yang menyeluruh dan

menjadi solusi bagi seluruh persoalan hidup manusia.

Lebih jauh Valentine M. Moghadam memberikan definisi yang lebih

bercorak orientasi politis. Islamisme menurut Moghadam melingkupi tujuan dan

cita-cita bersama untuk pembentukan dan penguatan hukum dan norma-norma

50

Quintan Wictorowicz, (edt). “Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial” hal.38-39.

51

(44)

Islam sebagai solusi untuk krsis ekonomi, politik, dan budaya.52 Definisi

Islmamisme menurut Moghadam menekankan adanya tujuan dan cita-cita

bersama dalam menerapkan ideologi Islam dalam mengatasi krisis di dunia

maupun Islam sebagai intrumen untuk ketertibah sosial. Corak kolektif inilah

yang khas dari sebuah gerakan sosial.

Cara lain dalam mendefinisikan Islamis adalah dengan cara melihat

orang-orang yang berada di luar mereka. Istilah “muslim abangan” dan “muslim sekuler” bukanlah termasuk bagian dari kelompok Islamis. Pemikiran mereka

(bukan Islmis) tentang Islam terangkum bahwa Islam tidak boleh menjadi sebuah

ideologi yang didesakkan ke dalam ruang publik.53 Kelompok atau gerakan

Islamis menganggap bahwa jalan untuk mengislamisasi masyarakat dilakukan

hanya melalui aksi sosial dan politik.54

A.2. Asal Usul Gerakan Islamisme

Menurut Oliver Roy, asal mula pemikiran dan organisasi Islamisme dapat

diruntut pada gerakan al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan oleh Hasan Al-Banna tahun 1928 dan Jamaat Islami oleh Abul „Ala Maududi tahun 1941.55 Walaupun berbeda dalam organisasi, tetapi mereka mempunyai kesamaan tema

dalam revivalisme Islam. Pada generasi setelahnya, Islamisme diatributkan

dengan Sayyid Quthb, terutama pemikirannya dalam buku Milestone. Mengenai

spirit Islamisme dalam orientasi kepemimpinan Islam, Sayyid Quthb menulis:

52

Valentine M. Moghadam, Globalization and Social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 2009). Hal. 37.

53

Ihsan Ali-Fauzi, Warna- Warni “Islamisme”. Diakses pada 1 Oktober 2014, lihat: http://www.paramadina-pusad.or.id/publikasi/warna-warni-islamisme.html.

54

Oliver Roy, The Failure of Political Islam, (Massachusetts: 1994, Harvard University Press). Hal. 36.

55

(45)

“Umat Islam dewasa ini memerlukan identitas kepribadian tersendiri, tidak tercampur dengan kepribadian-kepribadian jahiliyah yang berkembang, identitas tujuan dan kepentingan yang sesuai dengan kepribadian dan konsepsi; identitas panji yang membawa nama Allah semata... Mereka harus memiliki kekhasan komunitas tersendiri: akidah sebagai jalinannya dan kepemimpinan Islam (Qiyadah Islamiyah) sebagai lambangnya.56

Anggota dan kader dalam gerakan Islamisme biasanya direkrut dari

kalangan intelektual (universitas) dan masyarakat perkotaan. Mereka adalah

kelompok yang secara sosiologis adalah modern dan isu-isu mereka berangkat

dari persoalan kalangan modernis pada sektor masyarakat, terlebih reaksi mereka

melawan modernisasi di dalam mayarakat muslim.57 Lebih lanjut, alasan

masyarakat perkotaan dan kalangan intelektual muda muslim yang bergabung

dengan gerakan Islamisme karena kurangnya kesempatan mereka untuk masa

depan yang lebih baik dalam negara. Hal ini membuat mereka hanya mempunyai

sedikit harapan untuk menemukan ambisi masa depan mereka dan menyalahkan

sistem nasional yang kapitalis.58

Untuk merangkum argumen tentang gerakan Islamisme, Valentine M.

Moghadam memperlihatkan beberapa hal mengenai penyebab kemunculan dan

karakteristik gerakan Islamisme59:

1. Gerakan Islamisme muncul dalam konteks pergeseran dari sistem ekonomi Keynesianisme ke arah sistem Neoliberalisme di seluruh dunia. Konsekuensi dari pergeseran ini adalah meningkatnya hutang negara, pengangguran, dan masalah yang timbul dari penghematan dan rekonstruksi ekonomi pada tahun 1980-an di negara-negara muslim atau mayoritas muslim. Ini berhubungan dengan

56Sayyid Quthb, dalam Sa‟id Hawwa dan Sayyid Quth

b, Al-Wala‟:Loyalitas Tunggal Seorang Muslim. (Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2001), hal. 73-74.

57

Oliver Roy, The Failure of Political Islam. Hal.50. 58

Oliver Roy, The Failure of Political Islam. Hal.51. 59

Valentine M. Moghadam, Globalization and social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, hal. 44-46.

(46)

restrukturisasi dan resesi global. Runtuhnya harga minyak dunia yang mempunyai efek merugikan bagi pembangunan dan standar hidup khususnya bagi negara-negara mayoritas penduduk muslim.

2. Secara politis, banyak negara-negara mayoritas muslim adalah rezim autoritarian dan patriarki, yang dipimpin oleh kekuatan gerakan kiri dan sekuler, kemudian mereka mengembangkan institusi agama dalam mencari legitimasi politik untuk mereka. Ini menciptakan kesenjangan antara ideologi dan politik yang dapat diisi oleh kelompok Islamis dengan sumber daya dan bingkai resonansi budaya yang mereka miliki.

3. Gerakan Islmisme juga muncul dalam konteks transisi demografi. Gerakan Islamisme juga pengaruh dari cepatnya pertumbuhan populasi dan menimbulkan beban sosial yang besar. Keluarga dalam negara mayoritas muslim cenderung memiliki banyak anak, sehingga mereka banyak ketergantungan pada negara dan menimbulkan permasalahan sosial lainnya, seperti: pengangguran dan kemiskinan. Banyak anak-anak menemukan diri mereka tanpa kepastian masa depan, dan ini yang menjadikan mereka mudah direkruit dalam gerakan Islamisme.

4. Tidak tejadinya resolusi dalam masalah Palestina-Israel dan meresapnya rasa ketidakadilan dikarenakan oleh aksi Israel dan Amerika, merupakan faktor penting yang membantu timbulnya gerakan Islmamisme. Kegagalan proyek demokrasi sekuler oleh PLO, mendorong Islamisme sebagai alternatif di Palestina dan melalui agama. Invasi dan pendudukan AS di Iraq juga membangitkan lebih banyak gerakan Islamisme.

5. Dengan absenya secara penuh pembangunan dan artikulasi gerakan, institusi, dan wacana dari liberalisme dan sosialisme, Islam menjadi wacana yang universal,

dan gerakan Islamisme mengirimkan pesan yang luas bahwa “Islam adalah

solusi”. Untuk sebagian muslim, ideologi Islam baru mengurangi kegelisahan mereka karena mampu menawarkan bentuk jaminan baru dan gerakan Islmisme menyediakan bentuk solidaritas kolektif baru.

6. Dalam konteks krisis ekonomi, politik, dan ideologi-termasuk rezim negara- kekosongan harus diisi oleh pemimpin dan wacana Islamis, apakah itu fundamentalis atau ekstrimis.

7. Dalam pembentukan ideologi yang baru, tradisi adalah suatu yang mulia/agung dan sering ditemukan. Contoh adalah cara berpaian. Meskipun ada bentuk-bentuk pakaian tradisional di seluruh dunia Islam yang sering merefleksikan budaya dan sejarah lokal, Islamisme pada tahun 1980-an mulai mempromosikan jilbab sebagai seragam , sebagian besar pakaian berwarna gelap. Sebuah tema yang sering muncul adalah bahwa identitas ke-Islaman berada dalam bahaya; muslim harus kembali ke tradisi yang telah ditetapkan; identitas adalah kewajiban wanita dalam perilaku, pakaian, penampilan; dan hukum Islam secara personal menjadi penting pada level negara (dalam kasus masyarakat mayoritas muslim) atau dalam komunitas (dalam kasus masyarakat minoritas muslim).

(47)

A.3. Variasi dalam Gerakan Islamisme

Gerakan Islamisme merupakan bukanlah suatu entitas yang tunggal.

Moghadam mengatakan bahwa Gerakan Islamisme merupakan gerakan heterogen

dan beraneka ragam, pembedaannya adalah antara Gerakan Islamisme “moderat”

dan Gerakan Islamisme “ekstrimis”.60

Secara umum, gerakan Islamis moderat

menggunakan cara-cara yang nir-kekerasan dalam berorganisasi dan mendukung

civil society. Mereka bisa berbentuk atau bergabung dengan partai politik dan masuk dalam parlemen melalui mekanisme pemilu, dengan begitu mereka bisa

mengkritik dan merubah keadaan politik dengan pandangan-pandangan mereka.61

Sedangkan gerakan Islamisme ekstrimis merupakan sebutan untuk gerakan

Islamisme yang cara-cara untuk mencapai tujuan mereka dengan cara kekerasan.

Lebih jauh Moghadam mengatakan bahwa cara mereka mencapai tujuan atau

cita-cita gerakan secara politik dengan cara menggulingkan sistem politik yang

anti-Islam, berasal dari Barat, dan diktator, dengan menggunakan jaringan mereka

antar negara dengan bentuk kekerasan dalam mencapai tujuan politis mereka.62

Mereka tidak berpartisipasi dalam pemilu, karena menganggap pemilu itu tidak

Islami.

Oliver Roy juga memberikan variasi dalam gerakan Islmaisme berupa tiga

model gerakan Islamis. Tiga model tersebut berdasarkan pada strategi mereka

dalam melakukan penetrasi politik dalam rangka mencapai agenda Islamis

60

Valentine M. Moghadam, Globalization and Social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, hal. 27.

61

Valentine M. Moghadam, Globalization and Social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, hal. 27.

62

Gambar

Tabel 1: Perbandingan perolehan suara PKS dan Partai Demokrat tahun 2009 dan
tabel 1). Tabel 1. Perbandingan perolehan suara PKS dan Partai Demokrat tahun
Tabel 2. Framing diagnostik gerakan Tarbiyah/PKS
Tabel 3: Rukun Bai‟at105
+2

Referensi

Dokumen terkait