• Tidak ada hasil yang ditemukan

KORUPSI LUTHFI HASAN ISHAAQ

B. Bingkai Motivasi: Kewajiban dan Insentif

Pada bingkai motivasi, penulis menemukan dua alasan mengapa kader PKS masih ikut terlibat dalam aksi-aksi kolektif gerakan PKS, yaitu faktor kewajiban ideologis dan adanya insentif. Pertama, kewajiban ideologis mengacu bahwa aksi-aksi mereka adalah sebuah kewajiban dan kemuliaan. Bahwa keterlibatan seorang kader dalam gerakan merupakan sebuah kewajiban dan kemuliaan karena kerja yang mereka lakukan dalam rangka berjuang menegakkan agama Tuhan (dakwah).

Pada kasus korupsi yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq, struktur atau elit PKS melakukan motivasi ulang kepada kadernya agar tidak terpengaruh dan tetap bekerja atau loyal kepada partai. Misalnya, dengan memotivasi bahwa kader harus tetap melanjutkan kerja-kerja dakwah yang bertujuan untuk memperbaiki masyarakat dengan nilai-nilai Islam. Sebagaimana dijelaskan Suhada:

“Tujuan dakwah adalah memperbaiki umat agar sesuai dengan pemikiran kita....

Bagaimana memperbaiki negeri ini dengan Islam yang rahmatan lil alamin... Kenapa masih terlibat di PKS, sebelum dibentuk partai, jamaah kita adalah jamaah dakwah, yang menjadi tugas kita adalah memberikan kesadaran kepada masyarakat tentang pentingnya menerapkan nilai-nilai Islam dalam kehidupan, baik dalam diri sendiri, keluarga, masyarakat, dan negara.... Karena kami sangat yakin, bahwa aturan Islam yang berasal dari al-Quran sangat tepat diterapkan untuk seluruh kompnen dunia. Jadinya, berdakwah pada diri, masyarakat dan keluarga sudah kita lakukan, maka kita juga perlu berdakwah di pemerintahan atau negara, untuk memperbaiki negeri ini, maka kami membuat partai karena efektifitasnya cukup besar. Sehingga kita bisa membuat aturan atau nilai-nilai

yang sesuai dengan tujuan dakwah”125

Suhada melanjutkan bahwa gerakan PKS tidak mengenal figuritas. Artinya kerja-kerja kader-kader PKS merupakan kerja dakwah. Ada ataupun tidaknya kasus Luthfi Hasan Ishaaq, dia akan tetap terlibat dalam gerakan PKS. Sugianto

125

juga menjelaskan bahwa “pemasangan atribut partai dilakukan dengan sukarela,

ikhlas karena Allah, karena kerja-kerja kita adalah kerja dakwah”.126

Framing motivasi dengan merujuk pada kewajiban dan kemuliaan ideologis merupakan faktor yang signifikan dalam menjaga kader PKS untuk terlibat dalam gerakan. Dari penjelasan di atas, faktor kewajiban untuk berdakwah dan menerapkan nilai-nilai Islam dalam masyarakat dianggap oleh anggota gerakan sebagai sebuah kemuliaan. Kerja-kerja dakwah dianggap mereka sebagai aktifitas yang mulia, karena untuk menerapkan nilai-nilai Tuhan dan mengharapkan balasan pahala dari Tuhan. Sehingga timbul kebanggaan dan pengorbanan pada diri mereka untuk tetap terlibat dalam gerakan. Sebagaimana penuturan Sugianto:

“PKS adalah partai dakwah, jadi kader-kader PKS adalah kader dakwah, adalah kader yang sudah menginfaqkan dirinya untuk dakwah atau untuk umat, jadi tujuan utama kader dakwah adalah mardhatillah, atau untuk mendapatkan pahala.... Apa yang kita berikan untuk dakwah, bukan apa yang kita terima oleh

dakwah.”127

Faktor kedua yang memotivasi kader PKS untuk tetap terlibat dalam kerja-kerja gerakan adalah adanya insentif-insentif yang mereka dapatkan. Insentif dibagi menjadi dua yaitu insentif selektif dan insentif solider. Insentif selektif berupa keuntungan-keuntungan material yang di dapatkan ketika bergabung atau menjadi anggota gerakan. Sedangakan insentif solider, partisipasi dalam gerakan memberikan imbalan psikologis dan emosional.128

126

Wawancara dengan Sugianto. 127

Wawancara dengan Suhada. 128

Carrie Rosefsky Wickham dalam Quintan Wiktorowicz (edt), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, hal.518-519.

Alasan mengapa kader PKS tetap terlibat dalam kerja-kerja gerakan karena alasan adanya insentif selektif yang mereka dapatkan. Misalnya, anggota gerakan PKS yang belum menikah menginginkan mendapatkan pasangan hidup/ jodoh dengan sesama anggota gerakan. Karena menurut mereka, kader PKS merupakan orang-orang yang baik dalam pemahaman ke-Islaman dan pengaplikasiannya. Jadi, kalau mereka keluar dari gerakan, akan menutup kemungkinan mereka mendapatkan jodoh kader PKS yang menurut mereka mempunyai kelebihan dalam pemahaman dan pengaplikasian nilai-nilai ke-Islaman.

Menurut penemuan penulis, Insentif selektif kedua adalah adanya jaringan pertemanan. Jaringan pertemanan ini dalam beberapa hal membantu mereka untuk mendapatkan pekerjaan dan keterampilan.129 Jaringan dalam gerakan ini juga mempermudah mereka ketika berada di tempat yang jauh (luar kota atau luar negeri), artinya kader di tempat lain memungkinkan membantu mereka dalam berbagai hal. Hal ini menurut mereka karena adanya kesamaan fikrah/pemikiran sesama anggota gerakan.130

Sedangkan insentif solider yang mereka dapatkan berupa kepuasan secara psikologis karena diberdayakan dan menjalin hubungan emosional yang intim sesama anggota gerakan. Misalnya ketika bertemu, mereka berjabat tangan dan berpelukan, kemudian memanggil dengan sebutan khusus seperti akhi, atau ukhti. Artinya, partisipasi juga mendorong suatu kepuasan perasaan menjadi bagian dan

129

Wawancara dengan Obi Alim. Kader Jenjang Muayyid/muda dan mengurusi dakwah sekolah di kecamatan Cengkareng. Wawancara dilakukan di Jakarta, tanggal 21 Agustus 2014.

130

Diolah melalui wawancara dengan Sutrisna. Kader Jenjang Muayyid/muda dan anggota DPRa PKS Duri Kosambi, Jakarta. Wawancara dilakukan di Bekasi, tanggal 21 Agustus 2014.

keintiman dengan teman-teman yang didasarkan pada komitmen dan rutinitas bersama.131

Faktor insentif solider lainnya yaitu, mereka secara psikologis merasa diberdayakan sebagai seorang kader. Biasanya, setiap kader PKS diberikan tugas untuk melakukan dakwah di sekto-sektor tertentu, misalnya: menjadi pengurus partai, mengurus dakwah sekolah, dan mengurus yayasan-yayasan milik kader PKS. Pemberdayaan untuk mengurus sektor-sektor dakwah tertentu membuat seorang anggota gerakan PKS merasa dibutuhkan dan diberdayakan. Sehingga ada perasaan penghargaan dan pengakuan mereka sebagai manusia.

Konsekuensi dari insentif solider yang dialami kader PKS berupa perasaaan diberdayakan dan keintiman menjalin hubungan yang intens sesama anggota gerakan, pada akhirnya menimbulkan kenyamanan dan kekhwatiran bagi kader PKS. Bahwa mereka menjadi semakin nyaman berada dalam gerakan dan mereka akan merasa khawatir tidak memdapatkan keintiman hubungan dan rasa diberdayakan ketika keluar dari gerakan. Sebagaimana penuturan Obi Alim seorang kader muayyid/muda yang ditugaskan di dakwah sekolah:

“Alasan saya mengapa masih di PKS karena alasan aktifitas di dakwah sekolah

dan banyak teman (dalam gerakan).... Dengan teman-teman, saya banyak diskusi tentang pekerjaan dan keterampilan.... Saya sedih (kalau keluar dari jamaah PKS) karena –nanti- tidak berkontribusi lagi dalam aktifitas dakwah di sekolah dan jauh dari teman-teman”132

131

Carrie Rosefsky Wickham dalam Quintan Wiktorowicz (edt), Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, hal.518-519.

132