• Tidak ada hasil yang ditemukan

4.2.2. Hasil Wawancara

4.2.2.2. Musyawarah Masyarakat Desa

Gambar 4.9. Musyawarah Masyarakat Desa Surondakan

Setelah dilakukan proses SBM, maka tahap selanjutnya dari implementasi program Desa Siaga yang dirancang pemerintah adalah Musyawarah Masyarakat Desa (MMD). Disini hasil dari SBM akan dibahas dan dipikirkan bersama pemecahannya. Misalnya di satu desa terdapat banyak orang yang terkena penyakit demam berdarah dan ditemukan banyak bak-bak kosong yang tidak terurus, maka masyarakat akan memutuskan melalui MMD langkah apa yang mau diambil. Apakah mau menghancurkan bak-bak tersebut atau hanya menutupnya saja sehingga tidak ditumbuhi oleh jentik-jentik nyamuk. Hal ini dijelaskan oleh Bapak Heri, Staff Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek.

“Setelah SBM dilanjutkan dengan MMD. MMD itu proses Musyawarah masyarakat desa, dimana perwakilan dari warga desa berkumpul dan membicarakan permasalahan yang terjadi di desanya. Setelah itu dilakukan pengambilan keputusan untuk melaksanakan suatu tindakan demi menyelesaikan masalah tersebut.” (Heri, wawancara terstruktur, 12 April

73

Universitas Kristen Petra Keterangan :

Meja pembicara Sound system

Meja Peserta Papan Tulis

Podium Kursi

Gambar 4.10. Susunan Ruangan Tempat MMD

MMD ini dilaksanakan di balai desa masing-masing desa dengan mengundang Kepala Puskesmas dan Kepala Desa sebagai pembicara. Bidan dan kader desa menjadi panitia pelaksana MMD yang mengundang tokoh masyarakat, tokoh agama, dukun desa, dan perwakilan dari masing-masing RT. Proses MMD yang dirancang oleh pemerintah diawalai dengan penjabaran masalah hasil SBM oleh kepala puskesmas dan bidan. Kemudian hasil tersebut diklasifikasikan menurut urgensinya, mana yang sangat gawat, gawat, dan biasa-biasa saja. Urutan

A B C

D

74

Universitas Kristen Petra urgensi tersebut dilihat dari banyaknya jumlah korban atau penderita, kecepatan penyebarannya, dan kemampuan masyarakat dalam menanganinya. Setelah diklasifikasikan, maka masyarakat diminta memikirkan tindakan yang akan diambil untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Apakah ada masalah yang akan ditangani dulu baru setelah itu yang satunya, atau ingin menyelesaikan langsung dua masalah dalam waktu yang bersamaan. Tindakan tersebut yang nantinya akan direalisasikan oleh masyarakat, maka dari itu hasil keputusannya harus realistis dan dapat dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat. Misalnya jika banyak kasus demam berdarah dan chikungunya yang disebabkan oleh nyamuk, maka masyarakat dapat memutuskan untuk melakukan kerja bakti yang tanggal dan jamnya sudah ditentukan juga dalam MMD sehingga hasil ini dapat disampaikan langsung ke masyarakat. MMD ini idealnya dilaksanakan minimal tiga bulan satu kali, dengan waktu pelaksanaan 2-3 jam setiap kalinya.

Namun pada kenyataannya, rancangan pemerintah tersebut mengalami masalah dalam pelaksanaannya. Masalah yang pertama terjadi adalah peserta merasa kesulitan untuk menjalankan MMD sesuai dengan rancangan pemerintah. Ketika diminta untuk melaksanakan klasifikasi masalah, peserta banyak yang bingung sehingga tidak dapat ditemukan kesepakatan mengenai klasisfikasi masalah. Hal ini menyebabkan proses MMD berjalan di tempat dalam jangka waktu yang cukup lama. Lalu karena tidak ditemukan kesepakatan dalam hal klasifikasi, maka brainstorming untuk menentukan tindakan yang akan diambil akhirnya menjadi terburu-buru. Karena peserta MMD juga memiliki kegiatan lain maka mereka akan mulai resah jika MMD berlangsung terlalu lama. Oleh karena itu biasanya mereka akan mengambil keputusan sekenanya saja karena sudah kehabisan waktu. Hal ini dijelaskan oleh Ibu Tatiek, kepala Puskesmas Rejowinangun sebagai berikut.

“Proses MMD seperti yang dirancangkan pemerintah itu terlalu sulit untuk masyarakat. Mereka masih belum mampu membedakan mana yang penting, mana yang urgen atau pun tidak urgen. Hal ini menyebabkan proses MMD nyendat disitu

75

Universitas Kristen Petra

terus. Tidak jalan-jalan. Bahkan sudah saya arahkan juga tetap mbulet saja disitu. Akhirnya biasanya kalau jamnya sudah agak dekat saya ingatkan untuk langsung ambil tindakan saja. Saya arahkan lagi untuk langsung saja mengambil tindakan sesuai yang masyarakat mampu saja. Akhirnya biasanya langsung diputuskan mau ngapain saja. Sudah tidak pakai klasifikasi, yang penting ada keputusannya.”

(Tatiek Juliani, wawancara terstruktur, 12 Juli 2010).

Masalah lain yang terjadi adalah hasil dari SBM tidak dibahas dalam MMD. Ini memang tidak terjadi di semua desa, namun ada cukup banyak bidan desa yang tidak menghubungi Ibu Insih untuk meminta hasil SBM saat MMD. Padahal bidan desa selaku ketua panitia adalah orang yang harus menyiapkan agenda awal yang akan dibahas dalam MMD. Baru kemudian akan ada tambahan dari para peserta. Hal ini terjadi karena bidan desa biasanya sudah merasa mengerti permasalahan yang ada di desanya sehingga merasa tidak perlu lagi melihat hasil SBM padahal kadang-kadang ada hasil SBM yang akhirnya tidak diagendakan untuk dibahas. Untuk mengatasi hal ini, Ibu Insih meminta kepada kader desa untuk tetap membawa hasil SBM ke dalam MMD, karena yang aktif memberikan laporan SBM adalah kader. Jadi walaupun tidak diagendakan oleh bidan, kader tetap dapat membahasnya dalam MMD. Berikut penjelasan dari Ibu Insih.

“Bidan-bidan sering ndak nggubris hasil SBM pas mau MMD. Saya saja kadang ndak diberitahu kalau ada MMD, jadi saya juga ndak ngasih hasil laporan SBM untuk MMD. Padahal kan dasarnya MMD itu harusnya SBM, tapi biasanya bidan sudah merasa tahu apa yang harus dibahas jadi tidak merasa perlu meminta hasil MMD. Memang tidak semua bidan begitu, ada yang tetap ke saya untuk minta hasil SBM desanya. Tapi sekalipun bidannya tidak minta, saya selalu mengingatkan

76

Universitas Kristen Petra

kadernya setiap kali menyerahkan laporan SBM untuk meminta hasilnya kalau mau MMD. Sehingga kalau MMD itu, ada dasar yang jelas dan diskusinya terarah. Jadi seringnya malah kadernya yang kasih tau saya kalau mau ada MMD. Kalaupun mereka tidak bisa ambil hasil rekapnya saya smskan hasilnya ke mereka supaya dibahas.” (Insih Budi Utami,

wawancara terstruktur, 13 Juli 2010)

Selain itu yang menjadi masalah besar lainnya adalah MMD yang seharusnya dilaksanakan setiap tiga bulan sekali tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. MMD di Kabupaten Trenggalek rata-rata baru dilaksanakan satu kali dalam tahun 2010 ini dan belum ada rencana untuk melaksanakan MMD lagi sampai akhir tahun. Hal ini disebabkan oleh kendala biaya yang dialami oleh masing-masing desa. Setiap tahunnya dinas kesehatan memberikan sejumlah dana untuk pelaksanaan program Desa Siaga yang akan dikelola oleh bidan. Biaya ini habis hanya untuk melaksanakan satu kali MMD. Hal ini terjadi karena ketika melakukan MMD, panitia harus memberikan honorarium pembicara, ongkos panitia, konsumsi peserta, dan tunjangan transportasi untuk peserta. Hal ini menyebabkan biaya untuk MMD yang seharusnya bisa dibagi sampai tiga kali jadi membengkak hanya dalam satu kali MMD. Bidan desa merasa jika warga tidak diberi tunjangan transportasi maka masyarakat akan berpikiran buruk dan tak bersedia datang atau menjalankan program-program pemerintah lagi. Demikian pula dengan penyediaan konsumsi. Berikut penjelasan dari Ibu Widayati, bidan desa Surondakan.

“Selama ini MMD nya juga baru dilaksanakan satu kali. Setahu saya di desa-desa lain juga begitu. Karena kalau melaksanakan tiga bulan sekali dananya ndak ada. Dana yang dikasih dinas, cuma cukup untuk satu kali saja. Saya kan harus memberikan honor untuk pak kades dan ibu kepala puskesmas. Selain itu ada ongkos untuk panitia, untuk mengganti biaya transport dan menyediakan perlengkapan yang dibutuhkan

77

Universitas Kristen Petra

seperti alat tulis, form absensi, dan lain-lain. Selain itu untuk konsumsi juga butuh biaya. Saya juga memberikan tunjangan transport buat yang diundang. Kan mereka sudah capek-capek datang kesini, masa saya tidak kasih apa-apa. Nanti takutnya kalau diundang lagi jadi malas datang. Kalau ada acara-acara lagi juga tidak mau ikut. Kan malah tambah repot.” (Widayati,

wawancara terstruktur, 16 Juli 2010).

Selain permasalahan yang dikemukakan oleh para informan, dalam pelaksanaan MMD pun terjadi banyak permasalahan berdasarkan hasil observasi penulis. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut. Permasalahan pertama adalah bentuk ruangan yang didesain seperti ruang kelas dimana pembicara ada di depan dan para pendengar duduk berhadapan dengan pembicara. Hal ini menyebabkan pembicaraan didominasi oleh pembicara di depan dan para peserta kurang aktif. Kebanyakan peserta hanya mendegarkan kabar, informasi, maupun permasalahan yang diungkapkan oleh pembicara yang duduk di depan. Rasa tidak enak hati sangat terasa dalam kondisi ini, karena peserta merasa bahwa yang duduk di depan adalah orang yang memiliki pangkat, sehingga mereka tidak banyak melontarkan pendapat dan cenderung mengikuti arus yang ada. Contohnya MMD di desa Surondakan, pembicara menyampaikan agenda permasalahan yang akan dibahas. Ketika agenda tersebut dikembalikan ke peserta, apakah ada yang ingin menambahkan atau tidak, atau ada yang tidak sepakat atau tidak, peserta terdiam. Setelah ditanya kembali baru mereka menjawab bahwa mereka setuju dengan hal tersebut. Hal ini juga nampak ketika proses penyampaian pendapat dimulai. Warga desa umumnya tidak menyampaikan pendapat mereka, dan lebih membiarkan para tokoh masyarakat yang memberi usul, kemudian mereka tinggal meng-iya-kan usulan tersebut. Misalnya di desa Dawuhan, ketika ditanya apakah ada ide untuk menyelesaikan masalah demam berdarah di desa tersebut, yang mengeluarkan ide adalah dari tokoh masyarakat. Dan ketika dikembalikan ke warga, warga juga hanya meng-iya-kan ide ini lagi.

78

Universitas Kristen Petra Karena pembicaraan didominasi oleh beberapa orang, terutama pembicara dan tokoh desa, maka peserta yang lain akhirnya tidak banyak berkonsentrasi pada proses MMD sendiri. Banyak yang mengantuk saat musyawarah berlangsung dan menguap berkali-kali. Ada yang melamun dan pandangannya kosong saat pembicara menyampaikan informasi. Ada juga yang sibuk menggunakan handphone yang dibawanya. Bahkan ada beberapa peserta yang duduk di belakang malah mengobrol sendiri dengan teman di sebelahnya. Hal ini menyebabkan mereka tidak mengetahui jalannya proses musyawarah dan banyak kehilangan informasi, sehingga ketika dimintai pendapat mereka cendeurng menjawab iya supaya proses MMD segera berakhir. Selain itu kondisi ruang musyawarah yang berbentuk seperti kelas juga membuat peserta yang duduk di belakang tidak dapat mendengarkan dengan baik jalannya MMD. Jarak antara pembicara dengan mereka cukup jauh sedangkan sound system yang tersedia tidak cukup memadai. Selain itu karena berbentuk seperti kelas, interaksi antara pembicra dengan peserta juga kurang. Peserta banyak yang tidak dapat melihat pembicara maupun jika ada yang menyampaikan pendapat tapi tidak bersedia maju ke depan, maka mereka hanya dapat melihat punggung dari orang tersebut.

Masalah kedua yang juga terjadi dalam proses MMD adalah masalah fasilitas yang tersedia. Fasilitas yang disediakan masih kurang menunjang dan fasilitas yang ada masih belum dimaksimalkan. Fasilitas yang pertama adalah gedung balai desa. Gedung balai desa seringkali dilalui oleh kendaraan bermotor. Setiap kali kendaraan bermotor itu lewat, maka bunyinya akan menggema dalam ruangan dan menyebabkan polusi suara yang sangat mengganggu. Bahkan jika bunyi kendaraan tersebut cukup kencang, seperti jika knalpotnya dimodifikasi atau sudah jelek kondisinya, maka suara orang yang sedang berbicara didalam ruangan tidak terdengar sama sekali sampai kendaraan tersebut berlalu. Hal ini sangat mengganggu konsentrasi pembicara maupun pendengar. Cukup sering bunyi kendaraan tersebut lama hilangnya sehingga ketika suaranya sudah terdengar lagi, banyak bagian yang hilang dari apa yang disampaikan. Namun

79

Universitas Kristen Petra karena kendaraan bermotor terus menerus lewat, pembicara juga tidak mungkin berhenti berbicara setiap kali ada kendaraan yang lewat.

Selain bunyi kendaraan bermotor, bunyi dan bau dari rumah warga sekitar balai desa juga cukup mengganggu jalannya MMD. Karena balai desa letaknya berdekatan dengan rumah-rumah warga, maka jika ada warga yang memelihara hewan, sedang membetulkan rumah, atau sedang memasak bunyi dan baunya masuk ke dalam balai. Hal ini memang tidak semengganggu bunyi dari kendaraan bermotor, tapi juga cukup mengalihkan perhatian. Seperti yang terjadi di desa Sumberdadi, ada warga yang memasak sambal terasi dan baunya masuk sampai ke balai desa, hal ini menyebabkan konsentrasi dari peserta cukup terganggu dimana ada beberapa peserta yang menoleh untuk mencari sumber bau tersebut. Demikian pula dengan bunyi kicauan burung dan bunyi batu yang sedang dipukul yang menambah bising suasana di sekitar tempat pelaksanaan, sehingga para peserta menjadi lebih sulit untuk berkonsentrasi.

Selain masalah pada gedung, masalah juga terjadi pada sound system.

Sound system yang tersedia di balai desa sudah cukup tua sehingga kualitas

suaranya tidak bagus. Sering terdengar bunyi gemerisik dan letupan-letupan keluar dari speaker sound system tersebut. Selain speaker nya, mic yang ada pun juga kondisinya sudah cukup jelek. Seringkali suara pembicara tidak masuk dalam

mic sehingga terdengar putus-putus dan tidak enak untuk didengarkan. Hal ini

menyebabkan para peserta, terutama yang duduk di belakang tidak bisa mendengar apa yang sedang dikatakan oleh pembicara di depan dengan jelas. Tetapi jika tidak menggunakan sound system tersebut, suara dari pembiacara juga tidak dapat terdengar dengan baik karena banyaknya bunyi-bunyian yang mengganggu di sekitar balai desa. Mic yang bermasalah ini juga menyebabkan pembicara seringkali harus menghentikan pembicaraannya di tengah-tengah, karena mic nya harus dibetulkan dulu baru dapat dipergunakan kembali. Kadang-kadang setelah mic nya betul, pembicaraan langsung melompat ke hal lain karena pembicara sudah lupa sampai dimana dia berbicara. Selain itu karena mic yang tersedia di balai desa hanya satu, diskusi menjadi tidak interaktif dimana pembicara dan peserta harus bergantian menyodorkan mic sebelum dapat bertanya

80

Universitas Kristen Petra jawab secara langsung. Hal ini menghambat jalannya MMD dan juga memakan waktu MMD.

Masalah lain yang juga kasat mata adalah penyediaan meja untuk peserta. Dalam ruang balai desa, hanya tersedia tiga buah meja untuk peserta dimana masing-masing meja hanya dapat digunakan oleh dua orang. Jadi dari sekitar 20 orang yang diundang hanya 6 orang yang mendapatkan meja untuk menulis. Padahal dalam MMD ini peserta sering kali harus mencatat hal-hal yang penting seperti informasi-informasi dari puskesmas atau dinas kesehatan yang agak sulit diingat. Akhirnya hanya beberapa orang yang mendapat meja saja yang dapat mencatat dengan baik, sedangkan sisanya kadang mencatat kadang tidak karena tidak nyaman jika harus menulis tanpa meja. Bahkan ada beberapa orang yang sama sekali tidak mencatat karena sudah malas. Padahal meja yang disediakan untuk pembicara cukup luas dan kadang masih ada meja sisa di pinggir ruangan yang tidak terpakai. Jika ruangan ditata dengan lebih baik tentunya proses MMD akan lebih efektif.

Masalah ketiga yang muncul adalah masalah cara penyampaian informasi dan penggunaan istilah serta bahasa. Terkadang komunikator dalam menyampaikan pesan seringkali tidak memperhatikan apakah pesan tersebut dapat ditangkap dengan baik oleh peserta. Pesan tersebut seperti misalnya ketika membacakan jumlah penderita penyakit dan rasio perbandingannya dengan wilayah lain, pembicara langsung menyebutkan saja angka-angka tersebut tanpa visualisai yang bisa mendukung pesertanya agar mengerti. Misalnya di desa Dawuhan, dibacakan jumlah penderita demam berdarah di seluruh Kabupaten Trenggalek sampai bulan April 2010. Jumlahnya adalah 14.368 penderita. Kemudian dibandingkan juga dengan penderita chikungunya 3.213 penderita. Angka-angka tersebut dibacakan begitu saja dengan cukup cepat tanpa ada pengulangan maupun visualisasi. Pesan ini akhirnya menjadi pesan sambil lalu saja bagi peserta MMD, yang tidak dapat dimengerti lebih lanjut. Padahal dalam ruangan tersebut ada seorang sekretaris yang bertugas menulis notulensi hasil MMD dan juga tersedia papan tulis dalam balai desa. Namun angka-angka

81

Universitas Kristen Petra tersebut juga tidak dituliskan sehingga peserta tidak bisa mengerti dengan lebih jelas.

Sama halnya dengan pencatatan proses berlangsungnya MMD. Karena sering ada gangguan dari luar, pembicara sering lupa sudah sampai mana pembicaraan yang dilakukan. Peserta juga sering kehilangan jalannya diskusi dan akhirnya tidak mengerti dengan benar apa yang sedang dibicarakan pada saat tersebut. Padahal jalannya proses MMD ini dapat dituliskan di papan tulis sehingga dapat terlihat jelas alurnya sudah sampai dimana dan akan dilanjutkan dengan membicarakan apa, sehingga proses MMD akan lebih terarah dan tidak melompat-lompat. Namun sayang media yang tersedia juga kurang digunakan dengan baik. Padahal jika digunakan maka akan membantu MMD agar dapat lebih efektif.

Dalam hal penggunaan istilah dan bahasa, kadang pembicara menggunakan istilah-istilah kesehatan, bahasa kedokteran, maupun singkatan-singkatan yang tidak umum dipakai oleh masyarakat. Banyak istilah seperti ULV, DHF, UCI, swing fog dan lain-lain digunakan oleh pembicara tanpa memikirkan apakah para peserta mengerti atau tidak tentang apa yang dikatakannya. Akhirnya para peserta juga menganggap informasi ini sambil lalu, padahal seringkali informasi ini penting dan berguna juga.

Dokumen terkait