• Tidak ada hasil yang ditemukan

4. ANALISA DATA. Gambar 4.1. Alun-Alun Pusat Kabupaten Trenggalek

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "4. ANALISA DATA. Gambar 4.1. Alun-Alun Pusat Kabupaten Trenggalek"

Copied!
85
0
0

Teks penuh

(1)

35

Universitas Kristen Petra

4. ANALISA DATA

4.1. Gambaran Umum Sasaran Penelitian 4.1.1. Keadaan Umum Kabupaten Trenggalek

Gambar 4.1. Alun-Alun Pusat Kabupaten Trenggalek

Kabupaten Trenggalek merupakan salah satu Kabupaten di Propinsi Jawa Timur yang terletak di bagian selatan dari wilayah Propinsi Jawa Timur. Kabupaten ini terletak pada koordinat 111ο 24’ hingga 112ο 11’ bujur timur dan 70ο 63’ hingga 80ο 34’ lintang selatan. Luas wilayahnya adalah 1.261,40 Km².

Kabupaten Trenggalek sebagian besar terdiri dari tanah pegunungan dengan luas meliputi 2/3 bagian luas wilayah. Sedangkan sisa-nya (1/3 bagian) merupakan tanah dataran rendah. Ketinggian tanahnya diantara 0 hingga 690 meter diatas permukaan laut. Dengan luas wilayah 126.140 Ha, Kabupaten Trenggalek terbagi menjadi 14 Kecamatan dan 157 desa. Hanya sekitar 4 Kecamatan yang mayoritas desanya dataran, yaitu: Kecamatan Trenggalek, Kecamatan Pogalan, Kecamatan Tugu dan Kecamatan Durenan. Sedangkan 10 Kecamatan lainnya mayoritas desanya Pegunungan. Menurut luas wilayahnya, 4 Kecamatan yang luas wilayahnya kurang dari 50 Km². Kecamatan tersebut adalah Kecamatan Gandusari, Durenan, Suruh, dan Pogalan. Sedangkan 3 Kecamatan

(2)

36

Universitas Kristen Petra yang luasnya antara 50 Km² – 100 Km² adalah Kecamatan Trenggalek, Tugu, dan Karangan. Untuk 7 Kecamatan lainnya mempunyai luas diatas 100 Km².

4.1.2. Data Sumber Daya Kesehatan di Kabupaten Trenggalek 4.1.2.1. Data Sumber Daya Kesehatan

Kabupaten Trenggalek terus meningkatkan sumber daya kesehatan agar memadai untuk menangani kesehatan warganya. Data sumber daya kesehatan yang dimiliki oleh Kabupaten Trenggalek sejak tahun 2003-2009 adalah sebagai berikut :

Tabel 4.1. Data Sumber Daya Kesehatan Kabupaten Trenggalek 2003-2009

Jenis sarana Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Jumlah RS Pemerintah 1 1 1 1 1 1 1 Jumlah RS Swasta 2 2 2 2 2 3 3 Jumlah RS Ponek 1 1 1 1 1 1 1

Jumlah Puskesmas Total 24 22 22 22 22 22 22

Jumlah Puskesmas Perawatan

14 14 14 14 14 14 14

Jumlah Puskesmas Poned 8 8 8 8 8 8 8

Jumlah Pustu 59 64 64 64 64 64 64 Jumlah Polindes 110 111 103 103 103 103 108 Jumlah Posyandu 828 828 834 834 839 839 839 Jumlah Ambulance 6 6 6 6 6 6 6 Jumlah Pusling 24 24 22 22 22 22 22 Jumlah UTD/PMI 1 1 1 1 1 1 1

(3)

37

Universitas Kristen Petra

4.1.2.2. Data Tenaga Kesehatan

Selain jumlah sumber daya kesehatan, pemerintah Kabupaten Trenggalek juga berusaha meningkatkan jumlah tenaga kesehatanya. Berikut adalah data tenaga kesehatan di kabupaten Trenggalek mulai tahun 2003-2009.

Tabel 4.2. Data Tenaga Kesehatan Kabupaten Trenggalek 2003-2009

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek Jenis tenaga Tahun 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 Rasio dokter spesialis Obgyn 1:332.549 1:335.519 1:338651 1: 341164 1:343.802 1:346.342 1:348.945 Rasio dokter spesialis anak 1:665.098 1:671.038 1:677.303 1:682328 1:687.605 1:692.684 1: 697.969 Jumlah dokter spesialis yang lain

3 4 5 5 7 7 6

Rasio dokter umum 1:13.573 1:12.661 1:12779 1:11564 1:9645 1:9786 1:9678

Rasio Bidan total 1:3.519 1:3.550 1:2.906 1: 2436 1:2925 1:2947 1:2538

Jumlah Bidan total 189 189 233 229 235 235 259

Jumlah BDD 110 111 103 104 103 103 108

Jumlah BDD TPC 20 0 0 0 0 0 0

Jumlah Dukun bayi terlatih

(4)

38

Universitas Kristen Petra

4.1.3. Angka Kesehatan Kabupaten Trenggalek

Angka kesehatan di desa Trenggalek diproyeksikan kedalam angka kelahiran hidup, kematian bayi, dan kematian ibu. Berikut adalah perbandingannya mulai tahun 2003-2009.

Tabel 4.3. Angka Kesehatan Masyarakat Kabupaten Trenggalek

INDIKATOR TAHUN 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009s.d Juni Jumlah Kelahiran Hidup 9373 9202 8961 8926 8694 9346 4829

Jumlah Kematian Ibu 17 9 9 12 5 12 7

Jumlah kematian bayi 110 68 53 54 78 77 43

(5)

39

Universitas Kristen Petra

4.1.4. Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek

Gambar 4.2. Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek Nama Instansi : Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek

Kepala : Dr.Ubaidillah, M.Kes.

Alamat : Jalan Dr. Sutomo No. 04, Trenggalek Telp./Fax. : (0355) 791270 / (0355) 795025 Email : trenggalek@dinkesjatim.go.id

(6)

40

Universitas Kristen Petra Visi dan Misi Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek

Gambar 4.3. Bagan Nilai, Misi dan Visi Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek

Sumber : Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek

Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek memiliki visi dan misi yang didasarkan pada nilai-nilai yang mereka anut untuk mencapai Indonesia Sehat. Berikut adalah penjabaran visi dan misinya.

Visi :

1. Lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat.

2. Perilaku masyarakat yang proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan serta mencegah terjadinya penyakit.

(7)

41

Universitas Kristen Petra 3. Pelayanan kesehatan yang berhasil guna dan berdaya guna tersebar merata

di seluruh wilayah.

4. Masyarakat memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan bermutu.

5. Membangun Organisasi Kesehatan yang mampu memberikan pelayanan prima dan didukung oleh sumber daya manusia yang profesional.

Misi :

1. Membina dan mengendalikan penyelenggaraan pelayanan kesehatan serta melaksanakan pelayanan kesehatan khusus yang bermutu, aman merata dan terjangkau.

2. Menggerakan pembangunan berwawasan kesehatan dan memfasilitasi terciptanya lingkungan yang sehat.

3. Mendorong terciptanya gerakan hidup bersih dan sehat.

4. Membangun Sistem Kesehatan Wilayah dalam upaya memelihara kesinambungan Pembangunan dan Pelayanan Kesehatan.

5. Membangun Organisasi Kesehatan yang mampu memberikan pelayanan prima dan didukung oleh sumber daya manusia yang profesional.

(8)

42

Universitas Kristen Petra

4.1.5. Profil Puskesmas Rejowinangun Trenggalek

Gambar 4.4. Puskesmas Rejowinangun Trenggalek Nama Instansi : Puskesmas Rejowinangun Trenggalek

Kepala : Tatiek Juliani, SKM.

Alamat : Jalan Kanjeng Jimat, Trenggalek Telepon : (0355) 797182

Visi :

Profesional dalam pelayanan kesehatan paripurna pada tahun 2010 Misi :

 Memberikan pelayanan tingkat pertama yang bermutu  Peningkatan kerja sama lintas Program dan lintas sektoral

 Peningkatan sumberdaya untuk menunjang mutu pelayanan kesehatan Motto :

“ Kami siap melayani dengan ramah dan sabar”

Puskesmas ini dipilih sebagai tempat penelitian karena puskesmas ini membawahi tiga desa yang memiliki kriteria yang sesuai dengan kriteria tempat penelitian yang dibutuhkan oleh penulis. Di desa-desa yang dibawahi oleh

(9)

43

Universitas Kristen Petra puskesmas lain di Kabupaten Trenggalek, kebanyakan hanya mengalami penurunan atau stagnasi saja. Namun di desa yang ada dibawah Puskesmas Rejowinangun ini terdapat desa yang mengalami baik kenaikan, penurunan, maupun stagnasi. Maka dari itu peneliti mendapatkan referensi dari Dinas Kesehatan untuk melakukan penelitian di puskesmas ini beserta tiga desa dibawahnya yang mengalami kenaikan, penurunan, dan stagnasi, yaitu desa Sumberdadi, desa Dawuhan dan desa Surondakan.

Gambar 4.5. Peta Wilayah Puskesmas Rejowinangun

Desa yang dinaungi : Sukosari, Dawuhan, Sumberdadi, Parakan, Ngares, Surondakan, Rejowinangun.

(10)

44

Universitas Kristen Petra

4.2. Temuan Data 4.2.1. Profil Informan

Wawancara dilakukan dengan tiga belas nara sumber. Terdiri dari 8 orang narasumber utama yaitu Kepala Puskesmas Rejowinangun, Staff Puskesmas Rejowinangun, 3 orang Bidan dari desa Dawuhan, Sumber Dadi dan Surondakan, dan 3 orang kader dari dari desa Dawuhan, Sumber Dadi dan Surondakan. Sedangkan sisanya adalah narasumber pendukung yang digunakan untuk triangulasi data, yaitu 2 orang staff Dinas Kesehatan dan 3 orang penduduk desa dari desa Dawuhan, Sumber Dadi dan Surondakan. Berikut narasumber-narasumbernya :

1. Nama : Tatiek Juliani Usia : 45 tahun

Pekerjaan : Kepala Puskesmas Rejowinangun, Trenggalek Status : Menikah

Pendidikan : S1

Ibu Tatiek bekerja sebagai Kepala Puskesmas Rejowinangun sejak tahun 2008. Puskesmas Rejowinangun yang ditangani olehnya membawahi 7 desa yaitu Dawuhan, Sukosari, Parakan, Rejowinangun, Surondakan, Ngares dan Sumberdadi. Ibu Tatiek termasuk salah satu kepala puskesmas yang tidak mengikuti rangkaian program Desa Siaga sedari awal, karena dia baru menjadi kepala puskesmas Rejowinangun pada tahun 2008. Meskipun demikian, Ibu Tatiek mengejar ketertinggalannya tersebut dengan cara membaca modul mengenai Desa Siaga yang diberikan oleh Dinas Kesehatan, berkoordinasi dengan bidan maupun kader desa, dan bertanya pada staff Dinas Kesehatan mengenai hal-hal yang kurang jelas. Sehingga ketika implementasi program Desa Siaga dilaksanakan, Ibu Tatiek sudah merasa cukup siap untuk menjalankan program ini dengan baik.

Selama ini, Ibu Tatiek menjadi salah satu penggerak kegiatan Desa Siaga di desa-desa yang berada dibawahnya. Dia sering kali ikut terjun bersama para bidan untuk membicarakan masalah kesehatan yang ada di masyarakat. Dia juga sering memberi motivasi kepada masyarakat untuk mejalankan berbagai program

(11)

45

Universitas Kristen Petra kesehatan yang dicanangkan oleh pemerintah, termasuk di dalamnya program Desa Siaga. Ada berbagai cara pendekatan yang dilakukannya supaya masyarakat desa dibawah naungan puskesmas Rejowinagun mau ikut aktif dalam program-program kesehatan, seperti ikut berkunjung saat ada kegiatan Posyandu, mengikuti rapat desa, dan mengobrol dengan para kader desa.

Selain menjadi penggerak, Ibu Tatiek juga bertugas untuk mengamati perkembangan Desa Siaga di ketujuh desa tersebut. Jika ada desa yang sekiranya perkembangannya kurang baik, maka sudah menjadi tugasnya untuk mencari tahu permasalahan apa yang terjadi dan mencoba mengatasi masalah tersebut. Dalam melaksanakan program desa siaga ini, dia dibantu oleh satu orang staff puskesmas dan para bidan. Bu Tatiek dan para bidan yang tersebar di seluruh desa sering mengadakan pertemuan baik formal maupun informal. Pertemuan itu diadakan di desa masing-masing bidan, dimana Ibu Tatiek yang pergi kesana atau para bidan yang datang ke Puskesmas Rejowinangun.

(12)

46

Universitas Kristen Petra 2. Nama : Insih Budi Utami

Usia : 42 tahun

Pekerjaan : Staff Administrasi Puskesmas Rejowinangun, Trenggalek Status : Menikah

Pendidikan : S1

Ibu Insih adalah staff administrasi di puskesmas Rejowinangun yang membantu Ibu Tatiek dalam menjalankan program Desa Siaga. Ibu Insih sudah bekerja di puskesmas Rejowinangun sejak tahun 2006, maka dari itu dia juga banyak membantu Ibu Tatiek dalam mengenal desa-desa dibawah naungan puskesmas Rejowinangun. Dalam program Desa Siaga, Ibu Insih berperan penuh dalam pelaksanaan Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM). Ibu Insih bertugas untuk membagikan form survei kepada kader di masing-masing desa dan kemudian meminta hasil laporannya setiap bulan. Jika ada kader yang tidak mengerti mengenai pengisian form survei, maka Ibu Insih akan menjelaskan cara pengisian form tersebut. Hasil laporan ini kemudian direkap dalam buku tahunan mengenai hasil survei dan dibuat dalam bentuk grafik dan laporan yang nantinya akan diserahkan ke Dinas Kesehatan setiap tiga bulan sekali. Selain itu hasil dari suvei tersebut juga akan digunakan sebagai dasar Musyawarah Masyarakat Desa yang seharusnya dilaksanakan tiga bulan sekali.

Jika terjadi kasus luar biasa, seperti kematian, wabah penyakit atau ada yang terkena penyakit menular yang berbahaya maka Ibu Insih bersedia menerima laporan diluar tanggal pengumpulan form survei, baik melalui sms maupun telepon. Ibu Insih bakan sering turun langsung ke lapangan untuk melihat langsung kondisi yang terjadi jika memang ada laporan kasus luar biasa di suatu desa.

(13)

47

Universitas Kristen Petra 3. Nama : Deni Prastyawati

Usia : 36 tahun

Pekerjaan : Bidan Desa Dawuhan, Trenggalek Status : Menikah

Pendidikan : S1

Ibu Deni adalah seorang bidan baru di desa Dawuhan. Dia mulai bekerja di desa Dawuhan sejak bulan Juli 2009. Sebelumnya, Ibu Deni bekerja sebagai bidan desa di desa Ngares. Lalu karena turun surat pindah tugas dari dinas kesehatan, maka Ibu Deni berpindah tempat kerja di Dawuhan. Sebelum ibu Deni, bidan yang bertugas di Desa Dawuhan adalah Nuri Hikmah. Bu Nuri juga dipindah tugaskan pada bulan Juli 2009 ke desa Sukosari karena bidan di desa tersebut pindah ke luar kota, namun sehari-hari Ibu Nuri masih membuka praktek di desa Dawuhan karena rumahnya ada disana. Hal ini menyebabkan hubungan antara Ibu Deni dan Ibu Nuri kurang baik, karena sesama bidan ada persaingan dalam memperebutkan pasien. Namun Ibu Deni menanggapi hal ini dengan pikiran positif. Dia merasa persaingan itu sah-sah saja asalkan tidak ada persaingan tidak sehat.

Meskipun sempat ada masalah dengan bidan terdahulu, namun Ibu Deni merasa tidak ada masalah dengan warga. Warga menyambut kedatangannya dengan baik bahkan memberikan dukungan. Warga banyak yang bersedia membagikan pengetahuan maupun pengalaman kepada Ibu Deni. Hal ini membuat Ibu Deni lebih mudah untuk menjalankan program Desa Siaga di Dawuhan. Sebagian besar masyarakat mudah diajak berkomunikasi dan bersedia jika diajak melakukan kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan kesehatan.

(14)

48

Universitas Kristen Petra 4. Nama : Puji Wahyulin

Usia : 42 tahun

Pekerjaan : Bidan Desa Sumberdadi, Trenggalek Status : Menikah

Pendidikan : S1

Ibu Puji sudah cukup lama menjadi bidan di desa Dawuhan, yaitu sejak tahun 2005. Dia mengikuti pelatihan program Desa Siaga dari awal dan sampai sekarang terlibat aktif dalam melakukan program Desa Siaga di desa Sumberdadi. Selama ini Ibu Puji termasuk bidan yang paling aktif dalam menjalankan program Desa Siaga diantara ketujuh desa lain, sehingga desa Sumberdadi dapat menjadi desa yang perkembangan Desa Siaganya paling nampak. Ibu Puji sangat ingin aktif dalam menjalankan program-program kesehatan karena Ibu Puji merasa peduli dengan warga di desanya. Dia merasa kesehatan mereka juga merupakan bagian dari tanggung jawab hidupnya. Apalagi Ibu Puji juga sudah lama menjadi bidan di desa tersebut dan sudah banyak membantu kelahiran anak-anak dan terlibat dalam proses tumbuh kembangnya anak-anak di desa itu. Dia merasa bahwa anak-anak itu seperti anaknya sendiri.

Selain itu Ibu Puji juga sudah sangat dekat dengan warga desa Sumberdadi. Dia adalah bagian dari desa itu sendiri, karena berdomisili dan membuka praktek di desa tersebut. Kedekatan ini yang menyebabkan Ibu Puji mudah mengajak warga untuk ikut aktif dalam program-program kesehatan. Masyarakat selalu percaya pada apa yang dia sarankan dan bersedia bekerja sama jika diminta. Maka dari itu Ibu Puji juga berusaha untuk selalu aktif dalam melaksanakan program Desa Siaga.

(15)

49

Universitas Kristen Petra 5. Nama : Widayati Seto

Usia : 55 tahun

Pekerjaan : Bidan Desa Surondakan, Trenggalek Status : Menikah

Pendidikan : S1

Ibu Widayati adalah salah seorang bidan senior di Kabupaten Trenggalek. Dia sudah menjadi bidan sejak muda dan mulai bekerja di desa Surondakan sejak tahun 2000. Ibu Widayati termasuk bidan yang cukup konservatif dalam menjalankan tugasnya sebagai bidan. Dia lebih menyukai untuk membantu kelahiran dan melakukan praktek kesehatan di rumahnya. Dia kurang dapat mengikuti gerakan-gerakan maupun program-program yang dicanangkan oleh dinas kesehatan Kabupaten Trenggalek. Meskipun demikian jika ada program-program yang dibuat oleh pemerintah, Ibu Widayati tetap bersedia untuk menjalankan sesuai dengan kemampuan yang ia miliki.

Saat ini dia telah memasuki usia pensiun dan akhir tahun 2010 ini dia sudah pensiun dari jabatannya sebagai bidan. Maka dari itu sering kali Ibu Widayati merasa bahwa program-program pemerintah yang berkelanjutan dalam jangka waktu yang panjang seharusnya sudah tidak dibebankan lagi kepadanya karena dia sudah tidak akan dapat meneruskan program tersebut. Akan lebih baik jika program-program itu baru mulai digalakkan jika sudah ada pengganti dirinya nanti. Namun selama belum ada pengganti, Ibu Widayati akan tetap menjalankan tugasnya sebagai bidan desa dengan sebaik-baiknya.

(16)

50

Universitas Kristen Petra 6. Nama : Endah Ayu Wiguna

Usia : 35 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (Kader Desa Siaga desa Dawuhan) Status : Menikah

Pendidikan : SMA

Ibu Endah adalah kader Desa Siaga dari desa Dawuhan. Dia selama ini yang bertugas untuk membantu bidan dan puskesmas untuk menginformasikan hal-hal yang terkait dengan program Desa Siaga. Dia menjadi penyambung lidah baik bagi warga desa Dawuhan maupun bagi puskesmas dan bidan. Dia yang berperan aktif untuk memberitahu kepada puskesmas jika ada kasus-kasus kesehatan yang terjadi di desanya, baik melalui form SBM, maupun melalui pemberitahuan langsung ke puskesmas dan bidan. Demikian pula sebaliknya jika ada informasi dari puskesmas atau bidan menyangkut kesehatan, Ibu Endah akan menyampaikannya kepada masyarakat desa tempatnya tinggal. Meskipun kadang-kadang ada warga desa yang cukup sulit untuk diajak bersosialisasi dan tertutup.

Selama ini Ibu Endah bersedia menjadi kader Desa Siaga karena ingin berguna bagi masyarakat sekitarnya. Dia ingin agar masyarakat desanya kesehatannya membaik. Selain itu dengan menjadi kader maka dia juga memperoleh banyak pengetahuan mengenai kesehatan yang berguna bagi dirinya dan keluarganya.

(17)

51

Universitas Kristen Petra 7. Nama : Purwani

Usia : 33 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (Kader Desa Siaga desa Sumberdadi) Status : Menikah

Pendidikan : SMK

Ibu Purwani adalah kader Desa Siaga untuk desa Sumberdadi. Dia telah tinggal di desa tersebut sejak lahir sampai saat ini. Jadi di desa inilah dia bertumbuh besar dan akhirnya berkeluarga. Maka dari itu baginya penduduk desa Sumberdadi sudah seperti keluarganya sendiri. Dia mengenal sebagian besar warga dan terlibat aktif dalam berbagai kegiatan ibu-ibu di desanya, seperti arisan, pengajian, posyandu dan lain-lain. Karena hal ini juga, ketika ada tawaran dari bidan desa untuk menjadi kader Desa Siaga dia bersedia. Dia merasa senang dapat membantu desanya sendiri. Apalagi dia juga cukup dekat dengan Ibu Puji selaku bidan desa, yang juga terlibat aktif dalam program ini.

Ibu Purwani menyadari bahwa kesehatan adalah hal yang penting, maka dari itu dia berusaha untuk selalu siap sedia jika ada permasalahan kesehatan yang terjadi di desanya. Dia juga bersedia belajar mengenai kesehatan, seperti belajar mengenai gejala-gejala penyakit yang umum terjadi. Baginya dapat membantu desanya adalah sebuah kebanggaan dan kepuasan pribadi. Apalagi pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga juga tidak terlalu menyita perhatiannya. Anak-anaknya dapat dititipkan ke ibu kandungnya yang juga tinggal di desa tersebut jika memang dia harus melakukan kegiatan diluar rumah. Selain itu anak-anaknya juga tidak rewel dan merepotkan sehingga dia tidak merasa terbebani saat harus meninggalkan rumah dan terlibat aktif dalam program-program kemasyarakatan.

(18)

52

Universitas Kristen Petra 8. Nama : Sri Wahyuni

Usia : 42 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga (Kader Desa Siaga desa Surondakan) Status : Menikah

Pendidikan : SMA

Ibu Sri Wahyuni adalah kader desa siaga dari desa Surondakan. Ibu Sri pertama kali menjadi kader dari Desa Siaga karena diajak oleh Ketua kegiatan Posyandu di desa Surondakan. Saat itu dia ditawari menjadi kader karena kader sebelumnya pindah ke luar kota. Selain itu pekerjaannya sebagai ibu rumah tangga tidak terlalu menyibukkan dirinya, apalagi anaknya juga sudah cukup besar dan bisa mengurus diri sendiri.

Ibu Sri tertarik dengan tawaran ini karena dia senang bersosialisasi dengan warga sekitar. Dia menyukai kegiatan yang terjun langsung dan menolong masyarakat. Dia merasa memiliki kesadaran untuk membantu warga desanya hidup sehat. Disamping itu, dia juga sesekali mendapat uang jasa karena menjadi kader. Hal ini menambah motivasi dirinya. Namun sekalipun tidak ada uang jasa ini, dia akan tetap menjalankan tugasnya sebagai kader sesuai dengan kemampuannya.

(19)

53

Universitas Kristen Petra 9. Nama : Heri

Usia : 40 tahun

Pekerjaan : Staff Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Dinas Kesehatan

Status : Menikah Pendidikan : S1

Bapak Heri adalah staff Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek yang bertugas langsung menangani program Desa Siaga. Dia berada dibawah bagian promosi kesehatan dan pemberdayaan, dan lebih banyak memegang bagian pemberdayaan. Sejak awal dicanangkannya program Desa Siaga, Bapak heri yang berperan dalam kampanye program ini. Kampanye yang ditanganinya adalah bagian pelatihan. Jadi dia harus mengatur APBN untuk program Desa Siaga di Trenggalek. Dia juga bertugas mengkoordinasi pengadaan modul dan diklat Desa Siaga dan membagikannya kepada Kepala Puskesmas, Bidan dan Kader Desa Siaga. Selain itu dia juga yang mengurus penyelenggaraan kelas-kelas pelatihan Desa Siaga di Trenggalek, mulai dari pembicara, tempat dan undangannya.

Saat ini, dalam implementasi program Desa Siaga, dia bertugas untuk mengatur pembagian dana untuk program Desa Siaga. Dia bertugas membagikan dana ke masing puskesmas yang nantinya akan disalurkan ke masing-masing bidan. Selain itu dia juga bertugas untuk mengelola laporan mengenai hasil Musyawarah Masyarakat Desa program Desa Siaga, yang di dalamnya terdapat laporan penggunaan keuangan program di Trenggalek. Laporan ini nanti akan menjadi salah satu dasar Laporan Pertanggung Jawaban Program Desa Siaga dari Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek ke Dinas Kesehatan Jatim, yang akan disampaikan ke Departemen Kesehatan Indonesia.

(20)

54

Universitas Kristen Petra 10. Nama : Nurul

Usia : 34 tahun

Pekerjaan : Staff Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Dinas Kesehatan

Status : Menikah Pendidikan : S1

Sama seperti Bapak Heri, Ibu Nurul juga berperan aktif dalam kampanye program Desa Siaga. Ibu Nurul yang juga staff promosi kesehatan dan pemberdayaan lebih mengelola promosi dari program Desa Siaga. Dia bertugas untuk menyediakan leaflet, poster, dan spanduk untuk mempromosikan program ini kepada masyarakat luas. Leaftlet, poster dan spanduk tersebut disebarkan melalui puskesmas dan posyandu mulai tahun 2006 sampai 2009 secara bertahap oleh Ibu Nurul. Selain itu, Ibu Nurul juga membuat ad-lips radio untuk diputar di berbagai radio yang ada di Trenggalek.

Saat ini, setelah kampanye program tersebut selesai dilaksanakan, maka Ibu Nurul membantu Bapak heri dalam mengelola keuangan dan laporan program Desa Siaga. Ibu Nurul lebih berperan dalam menangani laporan hasil dari Surveilans Berbasis Masyarakat yang dikirimkan dari masing-masing puskesmas. Ibu Nurul akan merekap hasil laporan dari seluruh puskesmas di Kabupaten Trenggalek yang akan menjadi menjadi salah satu dasar Laporan Pertanggung Jawaban Program Desa Siaga dari Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek ke Dinas Kesehatan Jatim, yang akan disampaikan ke Departemen Kesehatan Indonesia juga.

(21)

55

Universitas Kristen Petra 11. Nama : Sunarti

Usia : 31 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Status : Menikah

Pendidikan : SMA

Ibu Sunarti adalah ibu rumah tangga yang tinggal di desa Dawuhan. Ibu Sunarti tinggal di desa Dawuhan sejak menikah dengan suaminya sepuluh tahun yang lalu. Saat ini Ibu Sunarti memiliki dua orang anak yang masih duduk di bangku SD kelas satu dan masih balita. Sehari-harinya kegiatan Ibu Sunarti adalah mengurusi anak-anaknya dan mertuanya yang juga tinggal serumah dengannya.

Ibu Sunarti mengaku tahu mengenai program Desa Siaga namun tidak terlalu banyak. Dia tahu adanya program ini dari kader desa Dawuhan, Ibu Endah bahwa mulai sekarang akan ada kegiatan Desa Siaga yang bertujuan untuk menyadarkan masyarakat tentang pola hidup sehat. Dia juga tahu jika ada maslah yang sekiranya penting mengenai kesehatan dan dia tidak dapat menangani sendiri maka harus memberitahukan kepada kader atau bidan desa. Selain itu juga akan ada himbauan-himbauan dari puskesmas atau bidan yang akan diberitahukan kepada masyarakat jika diperlukan.

(22)

56

Universitas Kristen Petra 12. Nama : Lamini Wasito

Usia : 38 tahun

Pekerjaan : Pegawai Negeri Sipil Status : Menikah

Pendidikan : S1

Ibu Lamini adalah warga dari desa Sumberdadi yang bekerja di Dinas Sekretariat Daerah Kabupaten Trenggalek di bagian administrasi. Saat ini Ibu Lasmini tinggal dengan suami dan ketiga anaknya yang berusia 14 tahun, 12 tahun, dan 7 tahun. Dia sudah tinggal di desa Sumberdadi selama sepuluh tahun. Dia juga cukup dekat dengan warga sekitar lainnya.

Ibu Lamini sudah mengetahui program Desa Siaga. Dia pertama kali mengetahui adanya program ini ketika membawa anaknya ke Posyandu untuk diimunisasi. Saat itu, kader Desa Siaga desa Sumberdadi, Ibu Purwanti yang memberitahu tentang adanya program ini. Dia diberi tahu bahwa ini adalah program pemerintah untuk mengajak warga hidup sehat, maka dari itu Ibu Purwanti mengajaknya turut berpartisipasi dengan cara memberitahukan pada Ibu Purwanti atau Ibu Puji, bidan desa, jika ada keluarganya yang sakit atau ada sesuatu pola hidup tidak sehat yang terjadi di lingkungan sekitarnya seperti adanya daerah dengan genangan air, rumah yang belum memiliki jamban, dan lain-lain. Selain itu juga jika ada pemberitahuan atau himbauan tentang kesehatan warga, maka dia juga diberitahu.

(23)

57

Universitas Kristen Petra 13. Nama : Ismiatun

Usia : 30 tahun

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga Status : Menikah

Pendidikan : SMA

Ibu Purwanti adalah warga desa Surondakan yang sudah tinggal di desa tersebut selama enam tahun. Hari-harinya disibukkan dengan merawat anak semata wayangnya yang masih berusia 5 tahun. Dia memilih untuk tidak bekerja karena merasa anaknya masih terlalu kecil untuk ditinggal pergi kerja, apalagi tidak ada yang bisa dititipi karena keluarga besarnya berada di Jombang, sedangkan keluarga suaminya berada di Pacitan. Selain itu urusan rumah tangganya juga dirasa sudah cukup banyak dan melelahkan, maka dari itu dia tidak mau bekerja dahulu sampai anaknya sudah cukup besar untuk ditinggal sendiri.

Ibu Purwanti mengetahui implementasi program desa Siaga dari Ketua RT nya. Sesungguhnya dia tidak tahu bahwa program tersebut bernama Desa Siaga, yang dia tahu hanya implementasinya, seperti kegiatan kerja bakti dan harus melapor jika ada yang terkena penyakit atau ada pola hidup tidak sehat. Dia mengaku dihimbau demikian oleh Ketua RT nya dan sebagai warga yang baik dia hanya mengikuti himbauan tersebut.

(24)

58

Universitas Kristen Petra

4.2.2. Hasil Wawancara

4.2.2.1. Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM)

Gambar 4.6. Desa Surondakan, Dawuhan dan Sumberdadi tempat pelaksanaan SBM

Implemetasi program Desa Siaga diawali dengan Surveilans Berbasis Masyarakat. Disini Tim Evaluasi Desa (Tedes) adalah tim yang dibentuk oleh desa tersebut untuk menjadi penanggungjawab dalam mencari tahu permasalahan-permasalahan yang terjadi di suatu desa. Tedes ini terdiri dari Kepala Desa selaku Pelindung; Kepala Urusan Kesejahteraan Masyarakat Desa selaku Penanggung jawab; bidan desa selaku Ketua; bagas/kader selaku Sekretaris; anggota Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) selaku Bendahara; anggota Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan seluruh ketua RT sebagai Seksi Penggerak Massa, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Remaja, dan warga yang bersedia membantu sebagai Seksi Surveilans. Tim ini dibentuk selain untuk memacu kemandirian masyarakat dalam mengenali masalah kesehatan di desanya, juga karena pemerintah sendiri tidak akan mampu mengetahui semua permasalahan yang terjadi di masyarakat. Hal ini dijelaskan

(25)

59

Universitas Kristen Petra oleh Ibu Tatiek Juliani selaku Kepala Puskesmas Rejowinangun. Berikut pernyataannya.

“Dari pihak pemerintah memang menginginkan agar warga masyarakat aktif, sensitif dan tanggap dalam melihat permasalahan di desanya. Jadi jika ada tetangganya yang sakit, jangan dianggap sepele atau tidak dipedulikan. Bisa jadi itu penyakit menular yang akan menulari warga lain. Contohnya TBC, kelihatannya cuma batuk-batuk, tapi sangat menular dan jika tidak ditangani dengan tepat bisa jadi wabah. Selain itu, pemerintah sendiri sadar, kalau tidak bekerjasama dengan masyarakat, maka perbaikan kesehatan tidak akan bisa berjalan. Walaupun disediakan puskesmas dan rumah sakit banyak-banyak juga percuma jika masyarakatnya sendiri tidak mau hidup sehat. Malah harus dimulai dari menyadarkan masyarakat dulu baru yang lain-lain.” (Tatiek Juliani,

wawancara terstruktur, 12 Juli 2010).

Rancangan pelaksanaan SBM yang dicanangkan oleh pemerintah dimulai dengan pembagian form SBM kepada Tedes. Form tersebut berupa kuesioner tertutup dan terbuka yang terdiri dari tiga sub bab yang perlu diisi yaitu penyakit yang ditemukan terjadi di suatu wilayah, gejala penyakit yang terjadi namun belum diketahui penyakitnya, dan faktor resiko penyakit yaitu kejadian-kejadian yang terjadi yang dapat mengganggu kesehatan. Didalam kuesioner tersebut sudah ada pilihan jawaban yang bisa dipilih, namun jika pilihannya tidak ada yang sesuai maka dapat diisikan di tempat kosong yang sudah disediakan. Setelah mendapatkan form, Tedes berkoordinasi untuk membagi wilayah pengamatan dan melakukan survei. Setiap bulannya, form ini harus diisi dan diberikan ke Puskesmas, baik ada laporan penyakit, gejala, dan resiko penyakit ataupun tidak. Jika ada laporan penyakit atau gejala, maka penyurvei harus menuliskan juga nama dan alamat dari penderita. Jika tidak ada laporan, maka form tersebut dikembalikan dengan catatan tidak ada permasalahan.

(26)

60

Universitas Kristen Petra Namun pada kenyataannya, terjadi masalah dalam pelaksanaan SBM. Tedes yang dibentuk tidak memaksimalkan fungsinya dengan baik, sehingga hanya beberapa orang penyurvei saja yang kadang-kadang aktif. Biasanya yang cukup aktif adalah kader desa dan ibu-ibu yang aktif di Posyandu. Tapi yang lainnya sudah tidak terlalu aktif dalam proses SBM. Hal ini disebabkan kesibukan pribadi dari masing-masing anggota Tedes. Anggota Tedes memang sehari-harinya memiliki berbagai pekerjaan dan tugas masing-masing. Karena itu, mereka sendiri merasa kesulitan untuk mampu bekerja secara penuh dalam melaksanakan SBM. Hal ini dimaklumi oleh pihak puskesmas karena yang menjadi anggota Tedes adalah perangkat desa yang mempunyai tanggung jawab utama juga. Berikut adalah penjelasan dari Ibu Tatiek.

“Sesungguhnya rancangan dari pemerintah agar perangkat desa terlibat itu ada benarnya. Karena ya merekalah yang mengerti kondisi warga desanya. Mereka orang-orang yang disegani dan pasti didengar omongannya. Jadi jika masyarakat diminta untuk memberi keterangan pasti bersedia karena merasa sungkan lah istilahnya. Tapi pada kenyataannya beban dari para perangkat desa juga tidak sedikit. Mereka harus memikirkan banyak hal selain masalah kesehatan. Makanya kadang-kadang pikirannya terpecah-pecah. Jadi saya juga tidak bisa nyalahkan kalau untuk SBM mereka tidak bisa aktif. Ya yang diharapkan jadi kader dan bidannya. Mereka yang kami motivasi terus untuk aktif dan mengajak masyarakat untuk ikut aktif. Karena kan mereka yang terjun langsung ke kehidupan masyarakat sehari-hari. Kalau kami dari puskesmas kan masih agak jauh ya jaraknya dengan warga masing-masing desa. Jadi kalau untuk survei ke masing-masing desa sendiri takutnya kurang akurat. Banyak yang tidak bisa dijangkau nanti. Dan masyarakat juga jadi tidak bisa terlibat aktif. Kalau kader yang aktif kan, sama saja dengan masyarakat sendiri

(27)

61

Universitas Kristen Petra

yang aktif karena kader itu juga warga masyarakat.” (Tatiek Juliani, wawancara terstruktur, 12 Juli 2010)

Karena yang bisa aktif hanya beberapa orang saja, maka laporan SBM seringkali menjadi tersendat. Biasanya yang sering dihubungi puskesmas untuk masalah SBM adalah para kader. Para kader dianggap lebih siap sedia dan tidak terlalu sibuk karena sebagian besar ibu rumah tangga. Namun pada pelaksanaan SBSM, form yang seharusnya dilaporkan setiap bulan seringkali tidak dikumpulkan. Form itu kadang-kadang dikumpulkan dulu dan baru diserahkan setelah beberapa bulan. Seringkali juga form tersebut tidak diberikan karena mereka merasa tidak ada masalah di desa mereka, sehingga tidak perlu mengembalikan form tersebut ke Puskesmas. Hal ini menyebabkan rekap laporan SBM tiga bulanan menjadi sering salah karena ada yang terluput untuk dimasukkan ke dalam rekap laporan. Penyebab terjadinya hal tersebut adalah masalah biaya dan adanya keberatan dari masing-masing pribadi untuk melaksanakan tugas ini. Para kader membutuhkan biaya tambahan untuk datang ke puskesmas dan memberikan form tersebut. Sedangkan biaya ini tidak dapat ditanggung oleh pemerintah. Selain itu dari beberapa kader juga jadi merasa keberatan karena SBM ini dirasa tidak terlalu signifikan dan kurang jelas pemanfaatannya. Ada kader yang masih tidak mengerti manfaat dari survei tersebut. Berikut adalah penjelasan dari Ibu Sri Wahyuni kader desa Surondakan.

Iya, kalau untuk survei itu agak susah. Tedes yang lain biasanya sibuk. Jadi saya yang biasanya dimintai tolong buat koordinir penyurvei yang lain. Kan harusnya ada juga yang jadi penyurvei to mbak. Penyurvei yang lain ini yang biasanya juga lapor ke saya kalau ada masalah. Tapi sering juga warganya lapor sendiri. Saya juga yang dimintai tolong laporan ke puskesmas tiap bulan. Nah ini yang agak repot juga mbak. Kalau setiap bulan ke Puskesmas padahal ndak ada laporan, kan sayang juga uangnya. Apalagi hasil SBM nya juga kurang

(28)

62

Universitas Kristen Petra

jelas digunakan untuk apa. Kalau cuma dikumpulkan ke puskesmas saja kan nidak apa-apa dirapel atau ya kalau ndak lapor ya berarti ndak ada masalah.” (Sri Wahyuni, wawancara terstruktur, 19 Juli 2010)

Untuk mengatasi hal ini, Ibu Insih selaku penanggung jawab SBM di puskesmas Rejowinangun memberikan alternatif selain form. Untuk laporan, Ibu Insih bersedia menerima dalam bentuk sms atau telepon. Jika para penyurvei tidak ada yang melapor, maka Ibu Insih akan menelepon atau mengirim sms kepada kader untuk menanyakan kondisi desanya. Namun kadang-kadang juga masih ada kader yang tidak membalas usaha ini. Hal ini dijelaskan oleh Ibu Insih Budi Utami yang bertugas mengelola SBM. Berikut penjelasannya.

Ya ada mbak. Yang sering ya ngembalikan form SBMnya telat. Kader itu biasanya merasa ndak perlu lapor kalau ndak ada masalah di desanya. Padahal harusnya tetep dilaporkan sekalipun tidak ada masalah. Seringkali juga laporannya dirapel, tiap beberapa bulan. Kami sendiri ndak bisa maksa, karena mereka kan tidak dibayai. Padahal untuk datang ke puskesmas memberikan form kan butuh ongkos. Jadi kalau tidak kebetulan ada urusan ya mereka tidak kesini. Saya juga ngerti masalah ini. Makanya saya ditelepon atau di sms saja juga ndak apa-apa. Tapi kadang juga susah, mereka kan juga ndak dikasih uang pulsa. Kadang saya yang nelpon atau sms. Tapi sering juga ndak dibalas atau kadang telepon saya ndak diangkat. Ndak tahu kenapa kok begitu. Mungkin sungkan kalau ndak ada laporan. Pokoknya mereka mau lapor saja kami sudah sangat berterima kasih. Tapi kalau mereka ndak mau ya ndak apa-apa. Kami ndak mau maksa.” (Insih Budi utami, wawancara terstruktur, 13 Juli 2010).

(29)

63

Universitas Kristen Petra Permasalahan lain yang sering terjadi adalah kesalahan pengertian penyurvei soal penyakit yang diderita oleh salah seorang warga. Kebanyakan penyurvei adalah orang awam sehingga mereka seringkali tidak bisa membedakan gejala penyakit dan salah melaporkan. Maka dari itu jika ada laporan kasus aneh, maka pihak puskesmas biasanya harus turun lapangan untuk mengecek ulang apakah benar atau tidak laporan tersebut. Jika sudah benar, maka laporan akan langsung direkap. Namun jika masih salah maka Ibu Insih sendiri yang akan mengganti form laporan tersebut baru dimasukkan ke dalam rekap bulanan. Hal ini dilakukan agar laporan SBM tidak kacau dan menyebabkan salah informasi untuk dinas kesehatan. Berikut penjelasan dari Ibu Insih.

Yang sering juga itu ngisi form SBM nya salah. Biasanya kalau gejala penyakitnya ndak lazim atau sulit dibedakan dengan penyakit-penyakit lain, orang jadi salah nagkep. Biasanya kalau begini ini saya turun lapangan untuk cross check. Tapi kalau laporannya sudah jelas seperti diare, ya saya tidak akan cek lagi ke lapangan, karena tanda-tandanya kan mudah dilihat. Asal BAB cair dan sering kan sudah dapat dipastikan diare. Dulu pernah ada laporan pneumonia di form SBM. Saya merasa curiga karena kebanyakan penyurvei kan bukan orang medis ya mbak. Takutnya ndak bisa membedakan tanda-tanda dengan jelas. Apalagi penyakit pneumonia itu kan ndak umum. Makanya saya pergi ke rumah orang yang dilaporkan sakit itu. Setelah saya lihat ternyata kena chikungunya, waktu itu memang sedang musim mbak. Memang gejalanya mirip antara dua penyakit itu. Jadi ya kalau ndak bener-bener ngerti tentang penyakit-penyakit ya pasti sulit membedakan. Tapi ya ndak apa-apa. Biar salah-salah yang penting lapor saja kami sudah berterima kasih kok.”

(30)

64

Universitas Kristen Petra Selain masalah dengan para pelaku survei, masalah lain dalam SBM juga muncul ketika penyurvei mencari tahu dari masyarakat. Ada beberapa orang yang cukup tertutup dan tidak banyak berinteraksi dengan orang desa. Hal ini menyebabkan jika ada yang sakit di rumah tersebut, tidak ada warga yang tahu, sehingga kabarnya juga tidak sampai ke para penyurvei. Biasanya orang-orang yang bersikap seperti itu justru datang dari warga kelas menengah keatas. Selain jarang berinteraksi, mereka umumnya sudah mengerti mengenai masalah kesehatan, jadi jika sakit sudah langsung pergi ke rumah sakit atau puskesmas. Hal ini dijelaskan oleh Ibu Deni, bidan desa Dawuhan.

“Kalau untuk SBM itu yang sulit karena ada beberapa orang yang tertutup. Sesungguhnya bukan mereka tidak mau berbaur dengan masyarakat, tapi karena dari golongan orang yang sudah menengah keatas ya, maka mereka juga jarang berinteraksi dengan masyarakat. Mungkin sibuk dengan pekerjaan masing-masing ya. Nah kalau sakit juga biasanya diurusi sendiri. Mereka biasanya langsung ke dokter, rumah sakit, atau puskesmas sendiri. Tidak omong-omong ke orang-orang. Jadi kalau sakit ya tidak ketahuan. Kalau warga yang lain sih biasanya tidak ada masalah. Kalau sakit ya mau lapor dan minta tolong.” (Deni Prastyawati, wawancara terstruktur, 14 Juli 2010)

(31)

65

Universitas Kristen Petra Gambar 4.7. Grafik hasil rekap SBM di Puskesmas Rejowinangun

Salah satu hal yang juga masih kurang adalah pengelolaan hasil SBM. Selama ini hasil SBM memang masih menjadi arsip dari puskesmas dan Dinas Kesehatan saja. Masyarakat luas belum dapat mengetahui hasil dari SBM tiap bulannya maupun rekap SBM. Padahal di ruangan Ibu Insih terdapat hasil rekap SBM yang sudah dibentuk grafik. Grafik tersebut merupakan hasil rekap gabungan dari tujuh desa yang dibawah puskesmas Rejowinangun, dimana dalam grafik tersebut terdapat data-data peningkatan atau penurunan kesehatan ditandai dengan banyaknya jumlah orang yang terkena penyakit, jumlah orang yang sembuh dan jumlah orang meninggal.

Ibu Insih mengaku hasil SBM ini sulit disebarluaskan karena bentuknya masih manual. Dia membentuk rekap tersebut menjadi grafik dan menambahkan garis dan titik di setiap bulannya sampai satu tahun. Jadi grafik hasil SBM ini baru akan jadi secara untuh pada akhir tahun. Jika ingin diperbanyak, satu-satunya cara adalah dengan difotokopi. Tapi hasilnya akan kurang jelas dan setiap

(32)

66

Universitas Kristen Petra bulan harus difotokopi lagi atau harus ada yang mau menggambar titik dan garis. Hal ini tentunya akan menambah kesulitan dalam penangan SBM dan dikhawatirkan anggota Tedes akan semakin malas melaksanakan SBM. Maka dari itu hasil rekap SBM ini baru dapat ditaruh di ruangan Ibu Insih saja. Berikut penjelasan dari Ibu Insih.

“Ini hasil SBM nya saya bentuk grafik seperti ini, supaya mudah dibaca. Jadi langsung kelihatan perkembangannya tiap-tiap bulan. Saya biasa masukkan secara manual soalnya ribet kalau dimasukkan dalam komputer. Jadi nanti tiap-tiap bulan saya tambahkan isinya.

Hasil ini tidak sampai disebarkan ke desa-desa. Maklum hasilnya masih manual. Kalau mau disebarkan kan harus bisa diperbanyak. Nah kalau diperbanyak masa mau difotokopi. Nanti kan hasilnya tidak bagus. Ini juga belum jadi lho mbak, rencana saya ini baru jadi utuh akhir tahun, jadi nanti bisa dilihat perkembangannya selama setahun. Nah kalau tiap bulan atau beberapa bulan ditaruh di desa-desa kan harus ada yang nambahin isinya. Siapa yang mau? Nanti kalau minta tolong Tedes atau kadernya lagi malah mereka merasa ribet dan keberatan. Nanti takutnya malah malas mengerjakan SBM.”

(33)

67

Universitas Kristen Petra Gambar 4.8. Papan Pengumuman Ponkesdes Sumberdadi

Ibu Puji, bidan desa Sumberdadi sesungguhnya juga ingin jika hasil SBM bisa dilihat oleh masyarakat sehingga masyarakat bisa tahu kondisi kesehatan di desanya. Diharapkan dengan ditunjukkannya hasil SBM tersebut masyarakat akan lebih terpacu untuk meningkatkan kondisi desanya, atau minimal mereka bisa lebih peduli untuk menjaga kesehatannya sendiri. Namun sayangnya desa-desa di Trenggalek masih belum mempunyai sarana display yang memadai untuk memajang hasil SBM ini. Sehingga seandainya pun ada hasil yang dapat ditampilkan juga masih belum ada tempat untuk memajangnya. Berikut penjelasan dari Ibu Puji.

“Wah kalau hasil SBM dipajang di desa-desa sih bagus ya. Karena masyarakat juga bisa lebih sadar kalau lihat di desanya ada penyakit. Kalaupun hasilnya bagus kan warganya juga senang. Tapi kalaupun ada hasilnya saya juga bingung mau dipajang dimana. Di desa-desa sini belum ada tempat yang layak untuk memajang. Papan yang ada di ponkesdes masih ditaruh di dalam rumah, kalau ditaruh di depan nanti

(34)

68

Universitas Kristen Petra

kehujanan dan rusak. Belum lagi kalau ada angin, pengumuman di dalamnya nanti lepas dan tertiup terus hilang. Mungkin harus dipikirkan dulu tempat memajangnya ya.”

(Puji Wahyulin, wawancara terstruktur, 15 Juli 2010).

Ketika di-cross check ke warga mengenai pelaksanaan SBM, warga hanya tahu bahwa mereka harus melapor jika ada yang sakit. Selebihnya mereka tidak tahu menahu mengenai bagaimana hal tersebut akan ditangani lebih lanjut. Selama ini warga sesungguhnya juga jarang yang sampai melapor sendiri. Namun jika ada yang sakit seringkali beritanya sudah tersebar dari mulut ke mulut sehingga terdengar sampai ke telinga kader desa Siaga. Ada beberapa yang didatangi oleh kader, namun juga ada yang hanya berdasarkan pada pemberitahuan orang lain. Berikut adalah penjelasan dari Ibu Ismiatun, Lamini, dan Sunarti.

“Iya rumah saya kebetulan dekat dengan Ibu Endah, jadi saya sering kok ngobrol-ngobrol dengan beliau. Biasanya sore-sore begitu juga sudah kumpul, ndulang anak sambil cerita-cerita. Kalau ada yang sakit ya saya cerita juga, lha wong saya juga tahu kalau dia itu kader desa. Kan enak juga kalau kadernya dekat begini jadi istilahnya saya nglapor sambil cerita-cerita. Kalau warga yang lain saya juga tahu ada yang datang nglapor, tapi yang dilaporkan belum tentu keluarganya kok. Bisa tetangganya atau warga kampungnya yang dengar-dengar sedang sakit. Jarang kalau keluarga sendiri yang lapor. Mungkin karena sudah repot mengurusi yang sakit tadi ya. Jadinya tidak bisa lapor.

Setahu saya hasil laporan itu akan dipakai untuk data masyarakat. Selebihnya saya kurang tahu. ” (Sunarti, wawancara terstruktur, 12 Agustus 2010).

(35)

69

Universitas Kristen Petra

“Saya tahu kalau ada survei penyakit itu. Saya sudah dijelaskan oleh Ibu Purwani, kalau ada yang sakit tolong lapor. Atau kalau lihat ada yang aneh-aneh, yang kurang sehat tapi saya tidak mampu mengatasi sendiri juga saya disuruh lapor. Misalnya ada bak mandi yang tak terurus dan banyak jentik nyamuknya, itu juga saya harus lapor supaya warga tidak kena penyakit dari nyamuk. Selama ini saya ya lapor kalau ada anggota keluarga yang sakit. Tapi seringnya saya tidak lapor saja Ibu Purwani sudah dengar sendiri kok. Biasanya tetangga-tetangga kan tahu kalau ada yang sakit, nanti pasti ada yang kasih tahu Ibu Purwani juga.

Laporannya setahu saya digunakan sama puskesmas untuk mendata masyarakat. Jadi biar ketahuan kalau ada yang sakit dan bisa ditangani. Kalau dijadikan survei saya malah tidak tahu menahu. Yang saya tahu hanya sebaiknya lapor jika ada masalah kesehatan.” (Lamini Wasito, wawancara terstruktur, 10 Agustus 2010).

“Iya saya pernah dibertahu sama Pak RT soal program pemerintah ini. Kalau ada apa-apa bisa laporan sama Pak RT atau sama bidan atau kader desa. Nah saya ini tidak terlalu kenal kalau sama kadernya. Rumahnya agak jauh, jadi kalau ada yang sakit ya saya kadang lapor kadang nggak. Lha kalau sakitnya cuma flu apa panas begitu kan lapor ya tidak enak. Kecuali kalau demam tinggi samapi beberapa hari begitu saya baru lapor. Kadang-kadang juga saya tidak laporan, Ibu kadernya sudah datang nengok.

Saya rasa disuruh lapor ya supaya ketahuan kalau ada yang sakit. Jadi kalau ada penyakit menular atau apa bisa ketahuan. Nanti bisa diambil tindakan. Begitu saja.” (Ismiatun, wawancara terstruktur, 6 Agustus 2010.)

(36)

70

Universitas Kristen Petra Salah satu masalah yang juga ditemui peneliti dalam proses SBM adalah adanya persepsi dari para kader bahwa SBM telah berjalan dengan lancar dan tidak ada masalah. Mereka merasa demikian karena tidak mengerti mengenai metode survei yang benar. Mereka merasa asalkan sudah ada warga yang bersedia melaporkan jika sakit saja sudah cukup. Padahal hasil SBM yang seperti ini kurang akurat karena tidak dapat menjangkau masyarakat secara keseluruhan. Hanya masyarakat yang dekat dengan bidan atau kader yang dapat melaporkan. Jika masyarakat tidak terlalu mengenal bidan atau kadernya, maka masyarakat akan cenderung tidak bersedia melapor sehingga hasil SBM menjadi kurang akurat. Berikut adalah pernyataan mengenai hal ini.

“Selama ini masih lancar sih mbak. Biasanya orang-orang juga mau laporan ke saya. Saya kan juga masih sering kumpul-kumpul sama ibu-ibu di sekitar desa sini. Ya pengajian sama arisan juga mbak. Jadi disitu kan cerita-cerita. Biasanya dari sini banyak ketahuannya mbak. Kalau ada yang tetangganya sakit atau denger ada yang sakit itu biasanya ngomong. Jadi saya ya tahu mbak.“ (Endah Ayu Wiguna, wawancara terstruktur, 19 Juli 2010).

“Kalau SBM itu disini lancar-lancar saja mbak. Masyarakatnya terbuka kok. Jadi kalau ada apa-apa ya mau saja datang ke saya. Laporan ke saya atau ke kadernya. Saya sama kadernya juga baik kok. Dulu saya juga yang ngajak Bu Purwani itu jadi kader.” (Puji Wahyulin, wawancara terstruktur, 15 Juli 2010).

“Dulu itu pernah ada mbak. Anak meninggal. Keadaannya mengenaskan itu mbak. Bapaknya itu lho tatonya sak awak penuh kok mbak. Biasanya mabuk-mabukan. Anaknya itu kuruuus gitu mbak. Kayak kurang gizi gitu lho. Lha ini anaknya itu diare, tapi ibunya ndak bisa mbawa ke rumah sakit, diobati

(37)

71

Universitas Kristen Petra

sendiri. Sudah beberapa hari ndak sembuh-sembuh baru ngomong, jadi saya baru telepon Bu Insih lapor. Nah waktu orang dari puskesmas datang meninjau kok ternyata kondisinya sudah parah to mbak. Anaknya sudah lemes. Mau ditolong yo sudah telat mbak. Akhirnya meninggal di rumah sakit.

Nyoba itu lapor dari pertama sakit mungkin ya ketolong mbak. Nah kalau sudah begitu bisa ngomong apa mbak. Saya juga ngenes, Cuma ya sudah ndak bisa berbuat apa-apa. Makanya saya ini bilang terus sama orang-orang, ayo lapor. Jangan diem-dieman terus kejadian.” (Endah Ayu Wiguna, wawancara terstruktur, 19 Juli 2010).

(38)

72

Universitas Kristen Petra

4.2.2.2. Musyawarah Masyarakat Desa

Gambar 4.9. Musyawarah Masyarakat Desa Surondakan

Setelah dilakukan proses SBM, maka tahap selanjutnya dari implementasi program Desa Siaga yang dirancang pemerintah adalah Musyawarah Masyarakat Desa (MMD). Disini hasil dari SBM akan dibahas dan dipikirkan bersama pemecahannya. Misalnya di satu desa terdapat banyak orang yang terkena penyakit demam berdarah dan ditemukan banyak bak-bak kosong yang tidak terurus, maka masyarakat akan memutuskan melalui MMD langkah apa yang mau diambil. Apakah mau menghancurkan bak-bak tersebut atau hanya menutupnya saja sehingga tidak ditumbuhi oleh jentik-jentik nyamuk. Hal ini dijelaskan oleh Bapak Heri, Staff Dinas Kesehatan Kabupaten Trenggalek.

“Setelah SBM dilanjutkan dengan MMD. MMD itu proses Musyawarah masyarakat desa, dimana perwakilan dari warga desa berkumpul dan membicarakan permasalahan yang terjadi di desanya. Setelah itu dilakukan pengambilan keputusan untuk melaksanakan suatu tindakan demi menyelesaikan masalah tersebut.” (Heri, wawancara terstruktur, 12 April 2010)

(39)

73

Universitas Kristen Petra Keterangan :

Meja pembicara Sound system

Meja Peserta Papan Tulis

Podium Kursi

Gambar 4.10. Susunan Ruangan Tempat MMD

MMD ini dilaksanakan di balai desa masing-masing desa dengan mengundang Kepala Puskesmas dan Kepala Desa sebagai pembicara. Bidan dan kader desa menjadi panitia pelaksana MMD yang mengundang tokoh masyarakat, tokoh agama, dukun desa, dan perwakilan dari masing-masing RT. Proses MMD yang dirancang oleh pemerintah diawalai dengan penjabaran masalah hasil SBM oleh kepala puskesmas dan bidan. Kemudian hasil tersebut diklasifikasikan menurut urgensinya, mana yang sangat gawat, gawat, dan biasa-biasa saja. Urutan

A B C

D E

(40)

74

Universitas Kristen Petra urgensi tersebut dilihat dari banyaknya jumlah korban atau penderita, kecepatan penyebarannya, dan kemampuan masyarakat dalam menanganinya. Setelah diklasifikasikan, maka masyarakat diminta memikirkan tindakan yang akan diambil untuk mengatasi masalah-masalah tersebut. Apakah ada masalah yang akan ditangani dulu baru setelah itu yang satunya, atau ingin menyelesaikan langsung dua masalah dalam waktu yang bersamaan. Tindakan tersebut yang nantinya akan direalisasikan oleh masyarakat, maka dari itu hasil keputusannya harus realistis dan dapat dilaksanakan secara swadaya oleh masyarakat. Misalnya jika banyak kasus demam berdarah dan chikungunya yang disebabkan oleh nyamuk, maka masyarakat dapat memutuskan untuk melakukan kerja bakti yang tanggal dan jamnya sudah ditentukan juga dalam MMD sehingga hasil ini dapat disampaikan langsung ke masyarakat. MMD ini idealnya dilaksanakan minimal tiga bulan satu kali, dengan waktu pelaksanaan 2-3 jam setiap kalinya.

Namun pada kenyataannya, rancangan pemerintah tersebut mengalami masalah dalam pelaksanaannya. Masalah yang pertama terjadi adalah peserta merasa kesulitan untuk menjalankan MMD sesuai dengan rancangan pemerintah. Ketika diminta untuk melaksanakan klasifikasi masalah, peserta banyak yang bingung sehingga tidak dapat ditemukan kesepakatan mengenai klasisfikasi masalah. Hal ini menyebabkan proses MMD berjalan di tempat dalam jangka waktu yang cukup lama. Lalu karena tidak ditemukan kesepakatan dalam hal klasifikasi, maka brainstorming untuk menentukan tindakan yang akan diambil akhirnya menjadi terburu-buru. Karena peserta MMD juga memiliki kegiatan lain maka mereka akan mulai resah jika MMD berlangsung terlalu lama. Oleh karena itu biasanya mereka akan mengambil keputusan sekenanya saja karena sudah kehabisan waktu. Hal ini dijelaskan oleh Ibu Tatiek, kepala Puskesmas Rejowinangun sebagai berikut.

“Proses MMD seperti yang dirancangkan pemerintah itu terlalu sulit untuk masyarakat. Mereka masih belum mampu membedakan mana yang penting, mana yang urgen atau pun tidak urgen. Hal ini menyebabkan proses MMD nyendat disitu

(41)

75

Universitas Kristen Petra

terus. Tidak jalan-jalan. Bahkan sudah saya arahkan juga tetap mbulet saja disitu. Akhirnya biasanya kalau jamnya sudah agak dekat saya ingatkan untuk langsung ambil tindakan saja. Saya arahkan lagi untuk langsung saja mengambil tindakan sesuai yang masyarakat mampu saja. Akhirnya biasanya langsung diputuskan mau ngapain saja. Sudah tidak pakai klasifikasi, yang penting ada keputusannya.”

(Tatiek Juliani, wawancara terstruktur, 12 Juli 2010).

Masalah lain yang terjadi adalah hasil dari SBM tidak dibahas dalam MMD. Ini memang tidak terjadi di semua desa, namun ada cukup banyak bidan desa yang tidak menghubungi Ibu Insih untuk meminta hasil SBM saat MMD. Padahal bidan desa selaku ketua panitia adalah orang yang harus menyiapkan agenda awal yang akan dibahas dalam MMD. Baru kemudian akan ada tambahan dari para peserta. Hal ini terjadi karena bidan desa biasanya sudah merasa mengerti permasalahan yang ada di desanya sehingga merasa tidak perlu lagi melihat hasil SBM padahal kadang-kadang ada hasil SBM yang akhirnya tidak diagendakan untuk dibahas. Untuk mengatasi hal ini, Ibu Insih meminta kepada kader desa untuk tetap membawa hasil SBM ke dalam MMD, karena yang aktif memberikan laporan SBM adalah kader. Jadi walaupun tidak diagendakan oleh bidan, kader tetap dapat membahasnya dalam MMD. Berikut penjelasan dari Ibu Insih.

“Bidan-bidan sering ndak nggubris hasil SBM pas mau MMD. Saya saja kadang ndak diberitahu kalau ada MMD, jadi saya juga ndak ngasih hasil laporan SBM untuk MMD. Padahal kan dasarnya MMD itu harusnya SBM, tapi biasanya bidan sudah merasa tahu apa yang harus dibahas jadi tidak merasa perlu meminta hasil MMD. Memang tidak semua bidan begitu, ada yang tetap ke saya untuk minta hasil SBM desanya. Tapi sekalipun bidannya tidak minta, saya selalu mengingatkan

(42)

76

Universitas Kristen Petra

kadernya setiap kali menyerahkan laporan SBM untuk meminta hasilnya kalau mau MMD. Sehingga kalau MMD itu, ada dasar yang jelas dan diskusinya terarah. Jadi seringnya malah kadernya yang kasih tau saya kalau mau ada MMD. Kalaupun mereka tidak bisa ambil hasil rekapnya saya smskan hasilnya ke mereka supaya dibahas.” (Insih Budi Utami, wawancara terstruktur, 13 Juli 2010)

Selain itu yang menjadi masalah besar lainnya adalah MMD yang seharusnya dilaksanakan setiap tiga bulan sekali tidak dilaksanakan sebagaimana mestinya. MMD di Kabupaten Trenggalek rata-rata baru dilaksanakan satu kali dalam tahun 2010 ini dan belum ada rencana untuk melaksanakan MMD lagi sampai akhir tahun. Hal ini disebabkan oleh kendala biaya yang dialami oleh masing-masing desa. Setiap tahunnya dinas kesehatan memberikan sejumlah dana untuk pelaksanaan program Desa Siaga yang akan dikelola oleh bidan. Biaya ini habis hanya untuk melaksanakan satu kali MMD. Hal ini terjadi karena ketika melakukan MMD, panitia harus memberikan honorarium pembicara, ongkos panitia, konsumsi peserta, dan tunjangan transportasi untuk peserta. Hal ini menyebabkan biaya untuk MMD yang seharusnya bisa dibagi sampai tiga kali jadi membengkak hanya dalam satu kali MMD. Bidan desa merasa jika warga tidak diberi tunjangan transportasi maka masyarakat akan berpikiran buruk dan tak bersedia datang atau menjalankan program-program pemerintah lagi. Demikian pula dengan penyediaan konsumsi. Berikut penjelasan dari Ibu Widayati, bidan desa Surondakan.

“Selama ini MMD nya juga baru dilaksanakan satu kali. Setahu saya di desa-desa lain juga begitu. Karena kalau melaksanakan tiga bulan sekali dananya ndak ada. Dana yang dikasih dinas, cuma cukup untuk satu kali saja. Saya kan harus memberikan honor untuk pak kades dan ibu kepala puskesmas. Selain itu ada ongkos untuk panitia, untuk mengganti biaya transport dan menyediakan perlengkapan yang dibutuhkan

(43)

77

Universitas Kristen Petra

seperti alat tulis, form absensi, dan lain-lain. Selain itu untuk konsumsi juga butuh biaya. Saya juga memberikan tunjangan transport buat yang diundang. Kan mereka sudah capek-capek datang kesini, masa saya tidak kasih apa-apa. Nanti takutnya kalau diundang lagi jadi malas datang. Kalau ada acara-acara lagi juga tidak mau ikut. Kan malah tambah repot.” (Widayati, wawancara terstruktur, 16 Juli 2010).

Selain permasalahan yang dikemukakan oleh para informan, dalam pelaksanaan MMD pun terjadi banyak permasalahan berdasarkan hasil observasi penulis. Permasalahan tersebut adalah sebagai berikut. Permasalahan pertama adalah bentuk ruangan yang didesain seperti ruang kelas dimana pembicara ada di depan dan para pendengar duduk berhadapan dengan pembicara. Hal ini menyebabkan pembicaraan didominasi oleh pembicara di depan dan para peserta kurang aktif. Kebanyakan peserta hanya mendegarkan kabar, informasi, maupun permasalahan yang diungkapkan oleh pembicara yang duduk di depan. Rasa tidak enak hati sangat terasa dalam kondisi ini, karena peserta merasa bahwa yang duduk di depan adalah orang yang memiliki pangkat, sehingga mereka tidak banyak melontarkan pendapat dan cenderung mengikuti arus yang ada. Contohnya MMD di desa Surondakan, pembicara menyampaikan agenda permasalahan yang akan dibahas. Ketika agenda tersebut dikembalikan ke peserta, apakah ada yang ingin menambahkan atau tidak, atau ada yang tidak sepakat atau tidak, peserta terdiam. Setelah ditanya kembali baru mereka menjawab bahwa mereka setuju dengan hal tersebut. Hal ini juga nampak ketika proses penyampaian pendapat dimulai. Warga desa umumnya tidak menyampaikan pendapat mereka, dan lebih membiarkan para tokoh masyarakat yang memberi usul, kemudian mereka tinggal meng-iya-kan usulan tersebut. Misalnya di desa Dawuhan, ketika ditanya apakah ada ide untuk menyelesaikan masalah demam berdarah di desa tersebut, yang mengeluarkan ide adalah dari tokoh masyarakat. Dan ketika dikembalikan ke warga, warga juga hanya meng-iya-kan ide ini lagi.

(44)

78

Universitas Kristen Petra Karena pembicaraan didominasi oleh beberapa orang, terutama pembicara dan tokoh desa, maka peserta yang lain akhirnya tidak banyak berkonsentrasi pada proses MMD sendiri. Banyak yang mengantuk saat musyawarah berlangsung dan menguap berkali-kali. Ada yang melamun dan pandangannya kosong saat pembicara menyampaikan informasi. Ada juga yang sibuk menggunakan handphone yang dibawanya. Bahkan ada beberapa peserta yang duduk di belakang malah mengobrol sendiri dengan teman di sebelahnya. Hal ini menyebabkan mereka tidak mengetahui jalannya proses musyawarah dan banyak kehilangan informasi, sehingga ketika dimintai pendapat mereka cendeurng menjawab iya supaya proses MMD segera berakhir. Selain itu kondisi ruang musyawarah yang berbentuk seperti kelas juga membuat peserta yang duduk di belakang tidak dapat mendengarkan dengan baik jalannya MMD. Jarak antara pembicara dengan mereka cukup jauh sedangkan sound system yang tersedia tidak cukup memadai. Selain itu karena berbentuk seperti kelas, interaksi antara pembicra dengan peserta juga kurang. Peserta banyak yang tidak dapat melihat pembicara maupun jika ada yang menyampaikan pendapat tapi tidak bersedia maju ke depan, maka mereka hanya dapat melihat punggung dari orang tersebut.

Masalah kedua yang juga terjadi dalam proses MMD adalah masalah fasilitas yang tersedia. Fasilitas yang disediakan masih kurang menunjang dan fasilitas yang ada masih belum dimaksimalkan. Fasilitas yang pertama adalah gedung balai desa. Gedung balai desa seringkali dilalui oleh kendaraan bermotor. Setiap kali kendaraan bermotor itu lewat, maka bunyinya akan menggema dalam ruangan dan menyebabkan polusi suara yang sangat mengganggu. Bahkan jika bunyi kendaraan tersebut cukup kencang, seperti jika knalpotnya dimodifikasi atau sudah jelek kondisinya, maka suara orang yang sedang berbicara didalam ruangan tidak terdengar sama sekali sampai kendaraan tersebut berlalu. Hal ini sangat mengganggu konsentrasi pembicara maupun pendengar. Cukup sering bunyi kendaraan tersebut lama hilangnya sehingga ketika suaranya sudah terdengar lagi, banyak bagian yang hilang dari apa yang disampaikan. Namun

(45)

79

Universitas Kristen Petra karena kendaraan bermotor terus menerus lewat, pembicara juga tidak mungkin berhenti berbicara setiap kali ada kendaraan yang lewat.

Selain bunyi kendaraan bermotor, bunyi dan bau dari rumah warga sekitar balai desa juga cukup mengganggu jalannya MMD. Karena balai desa letaknya berdekatan dengan rumah-rumah warga, maka jika ada warga yang memelihara hewan, sedang membetulkan rumah, atau sedang memasak bunyi dan baunya masuk ke dalam balai. Hal ini memang tidak semengganggu bunyi dari kendaraan bermotor, tapi juga cukup mengalihkan perhatian. Seperti yang terjadi di desa Sumberdadi, ada warga yang memasak sambal terasi dan baunya masuk sampai ke balai desa, hal ini menyebabkan konsentrasi dari peserta cukup terganggu dimana ada beberapa peserta yang menoleh untuk mencari sumber bau tersebut. Demikian pula dengan bunyi kicauan burung dan bunyi batu yang sedang dipukul yang menambah bising suasana di sekitar tempat pelaksanaan, sehingga para peserta menjadi lebih sulit untuk berkonsentrasi.

Selain masalah pada gedung, masalah juga terjadi pada sound system. Sound system yang tersedia di balai desa sudah cukup tua sehingga kualitas suaranya tidak bagus. Sering terdengar bunyi gemerisik dan letupan-letupan keluar dari speaker sound system tersebut. Selain speaker nya, mic yang ada pun juga kondisinya sudah cukup jelek. Seringkali suara pembicara tidak masuk dalam

mic sehingga terdengar putus-putus dan tidak enak untuk didengarkan. Hal ini menyebabkan para peserta, terutama yang duduk di belakang tidak bisa mendengar apa yang sedang dikatakan oleh pembicara di depan dengan jelas. Tetapi jika tidak menggunakan sound system tersebut, suara dari pembiacara juga tidak dapat terdengar dengan baik karena banyaknya bunyi-bunyian yang mengganggu di sekitar balai desa. Mic yang bermasalah ini juga menyebabkan pembicara seringkali harus menghentikan pembicaraannya di tengah-tengah, karena mic nya harus dibetulkan dulu baru dapat dipergunakan kembali. Kadang-kadang setelah mic nya betul, pembicaraan langsung melompat ke hal lain karena pembicara sudah lupa sampai dimana dia berbicara. Selain itu karena mic yang tersedia di balai desa hanya satu, diskusi menjadi tidak interaktif dimana pembicara dan peserta harus bergantian menyodorkan mic sebelum dapat bertanya

(46)

80

Universitas Kristen Petra jawab secara langsung. Hal ini menghambat jalannya MMD dan juga memakan waktu MMD.

Masalah lain yang juga kasat mata adalah penyediaan meja untuk peserta. Dalam ruang balai desa, hanya tersedia tiga buah meja untuk peserta dimana masing-masing meja hanya dapat digunakan oleh dua orang. Jadi dari sekitar 20 orang yang diundang hanya 6 orang yang mendapatkan meja untuk menulis. Padahal dalam MMD ini peserta sering kali harus mencatat hal-hal yang penting seperti informasi-informasi dari puskesmas atau dinas kesehatan yang agak sulit diingat. Akhirnya hanya beberapa orang yang mendapat meja saja yang dapat mencatat dengan baik, sedangkan sisanya kadang mencatat kadang tidak karena tidak nyaman jika harus menulis tanpa meja. Bahkan ada beberapa orang yang sama sekali tidak mencatat karena sudah malas. Padahal meja yang disediakan untuk pembicara cukup luas dan kadang masih ada meja sisa di pinggir ruangan yang tidak terpakai. Jika ruangan ditata dengan lebih baik tentunya proses MMD akan lebih efektif.

Masalah ketiga yang muncul adalah masalah cara penyampaian informasi dan penggunaan istilah serta bahasa. Terkadang komunikator dalam menyampaikan pesan seringkali tidak memperhatikan apakah pesan tersebut dapat ditangkap dengan baik oleh peserta. Pesan tersebut seperti misalnya ketika membacakan jumlah penderita penyakit dan rasio perbandingannya dengan wilayah lain, pembicara langsung menyebutkan saja angka-angka tersebut tanpa visualisai yang bisa mendukung pesertanya agar mengerti. Misalnya di desa Dawuhan, dibacakan jumlah penderita demam berdarah di seluruh Kabupaten Trenggalek sampai bulan April 2010. Jumlahnya adalah 14.368 penderita. Kemudian dibandingkan juga dengan penderita chikungunya 3.213 penderita. Angka-angka tersebut dibacakan begitu saja dengan cukup cepat tanpa ada pengulangan maupun visualisasi. Pesan ini akhirnya menjadi pesan sambil lalu saja bagi peserta MMD, yang tidak dapat dimengerti lebih lanjut. Padahal dalam ruangan tersebut ada seorang sekretaris yang bertugas menulis notulensi hasil MMD dan juga tersedia papan tulis dalam balai desa. Namun angka-angka

Gambar

Gambar 4.1. Alun-Alun Pusat Kabupaten Trenggalek
Tabel 4.1. Data Sumber Daya Kesehatan Kabupaten Trenggalek 2003-2009
Tabel 4.2. Data Tenaga Kesehatan Kabupaten Trenggalek 2003-2009
Tabel 4.3. Angka Kesehatan Masyarakat Kabupaten Trenggalek
+7

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini kerap terjadi pelanggaran privasi di media sosial berbasis ojek online, timbulnya pelanggaran privasi pada ojek online ini karena aplikasi

Dari hasil temuan penelitian tersebut di atas diketahui bahwa model kewirausahaan agribisnis yang dijalankan pada Yaponpes Dayama pada kegiatan pertania, yakni

Tabel 4.11 Rekapitulasi Tanggapan Tamu Terhadap Repurchase Intention Tamu Di Saffron Restoran ... 114 Tabel 4.13 Output Pengaruh Service Guarantee Terhadap

Setelah melihat ibunya mengambil kain untuk mengeringkan lantai dengan cara menyeret kakinya yang dialasi dengan kain untuk mengeringkan lantai, Afif pun

Politik Mercusuar adalah politik yang dijalankan oleh Presiden Soekarno pada masa demokrasi terpimpin yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai

Akankah esok kembali ,aku masih kau beri kehidupan yang berarti?. Wahai dunia dan

Dari hasil analisis bahana hukum dapat disimpulkan bentuk perlindungan hukum bagi pemegang bilyet giro dalam hal penerbitan bilyet giro kosong terdapat

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui produk tabungan apa saja yang menggunakan akad wadi’ah yad dhamanah di Bank Rakyat Indonesia Syariah Kantor Cabang Purwokerto