• Tidak ada hasil yang ditemukan

Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM)

4.2.2. Hasil Wawancara

4.2.2.1. Surveilans Berbasis Masyarakat (SBM)

Gambar 4.6. Desa Surondakan, Dawuhan dan Sumberdadi tempat pelaksanaan SBM

Implemetasi program Desa Siaga diawali dengan Surveilans Berbasis Masyarakat. Disini Tim Evaluasi Desa (Tedes) adalah tim yang dibentuk oleh desa tersebut untuk menjadi penanggungjawab dalam mencari tahu permasalahan-permasalahan yang terjadi di suatu desa. Tedes ini terdiri dari Kepala Desa selaku Pelindung; Kepala Urusan Kesejahteraan Masyarakat Desa selaku Penanggung jawab; bidan desa selaku Ketua; bagas/kader selaku Sekretaris; anggota Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (TP-PKK) selaku Bendahara; anggota Lembaga Pemberdayaan Masyarakat (LPM) dan seluruh ketua RT sebagai Seksi Penggerak Massa, Tokoh Masyarakat, Tokoh Agama, Tokoh Remaja, dan warga yang bersedia membantu sebagai Seksi Surveilans. Tim ini dibentuk selain untuk memacu kemandirian masyarakat dalam mengenali masalah kesehatan di desanya, juga karena pemerintah sendiri tidak akan mampu mengetahui semua permasalahan yang terjadi di masyarakat. Hal ini dijelaskan

59

Universitas Kristen Petra oleh Ibu Tatiek Juliani selaku Kepala Puskesmas Rejowinangun. Berikut pernyataannya.

“Dari pihak pemerintah memang menginginkan agar warga masyarakat aktif, sensitif dan tanggap dalam melihat permasalahan di desanya. Jadi jika ada tetangganya yang sakit, jangan dianggap sepele atau tidak dipedulikan. Bisa jadi itu penyakit menular yang akan menulari warga lain. Contohnya TBC, kelihatannya cuma batuk-batuk, tapi sangat menular dan jika tidak ditangani dengan tepat bisa jadi wabah. Selain itu, pemerintah sendiri sadar, kalau tidak bekerjasama dengan masyarakat, maka perbaikan kesehatan tidak akan bisa berjalan. Walaupun disediakan puskesmas dan rumah sakit banyak-banyak juga percuma jika masyarakatnya sendiri tidak mau hidup sehat. Malah harus dimulai dari menyadarkan masyarakat dulu baru yang lain-lain.” (Tatiek Juliani,

wawancara terstruktur, 12 Juli 2010).

Rancangan pelaksanaan SBM yang dicanangkan oleh pemerintah dimulai dengan pembagian form SBM kepada Tedes. Form tersebut berupa kuesioner tertutup dan terbuka yang terdiri dari tiga sub bab yang perlu diisi yaitu penyakit yang ditemukan terjadi di suatu wilayah, gejala penyakit yang terjadi namun belum diketahui penyakitnya, dan faktor resiko penyakit yaitu kejadian-kejadian yang terjadi yang dapat mengganggu kesehatan. Didalam kuesioner tersebut sudah ada pilihan jawaban yang bisa dipilih, namun jika pilihannya tidak ada yang sesuai maka dapat diisikan di tempat kosong yang sudah disediakan. Setelah mendapatkan form, Tedes berkoordinasi untuk membagi wilayah pengamatan dan melakukan survei. Setiap bulannya, form ini harus diisi dan diberikan ke Puskesmas, baik ada laporan penyakit, gejala, dan resiko penyakit ataupun tidak. Jika ada laporan penyakit atau gejala, maka penyurvei harus menuliskan juga nama dan alamat dari penderita. Jika tidak ada laporan, maka form tersebut dikembalikan dengan catatan tidak ada permasalahan.

60

Universitas Kristen Petra Namun pada kenyataannya, terjadi masalah dalam pelaksanaan SBM. Tedes yang dibentuk tidak memaksimalkan fungsinya dengan baik, sehingga hanya beberapa orang penyurvei saja yang kadang-kadang aktif. Biasanya yang cukup aktif adalah kader desa dan ibu-ibu yang aktif di Posyandu. Tapi yang lainnya sudah tidak terlalu aktif dalam proses SBM. Hal ini disebabkan kesibukan pribadi dari masing-masing anggota Tedes. Anggota Tedes memang sehari-harinya memiliki berbagai pekerjaan dan tugas masing-masing. Karena itu, mereka sendiri merasa kesulitan untuk mampu bekerja secara penuh dalam melaksanakan SBM. Hal ini dimaklumi oleh pihak puskesmas karena yang menjadi anggota Tedes adalah perangkat desa yang mempunyai tanggung jawab utama juga. Berikut adalah penjelasan dari Ibu Tatiek.

“Sesungguhnya rancangan dari pemerintah agar perangkat desa terlibat itu ada benarnya. Karena ya merekalah yang mengerti kondisi warga desanya. Mereka orang-orang yang disegani dan pasti didengar omongannya. Jadi jika masyarakat diminta untuk memberi keterangan pasti bersedia karena merasa sungkan lah istilahnya. Tapi pada kenyataannya beban dari para perangkat desa juga tidak sedikit. Mereka harus memikirkan banyak hal selain masalah kesehatan. Makanya kadang-kadang pikirannya terpecah-pecah. Jadi saya juga tidak bisa nyalahkan kalau untuk SBM mereka tidak bisa aktif. Ya yang diharapkan jadi kader dan bidannya. Mereka yang kami motivasi terus untuk aktif dan mengajak masyarakat untuk ikut aktif. Karena kan mereka yang terjun langsung ke kehidupan masyarakat sehari-hari. Kalau kami dari puskesmas kan masih agak jauh ya jaraknya dengan warga masing-masing desa. Jadi kalau untuk survei ke masing-masing desa sendiri takutnya kurang akurat. Banyak yang tidak bisa dijangkau nanti. Dan masyarakat juga jadi tidak bisa terlibat aktif. Kalau kader yang aktif kan, sama saja dengan masyarakat sendiri

61

Universitas Kristen Petra

yang aktif karena kader itu juga warga masyarakat.” (Tatiek

Juliani, wawancara terstruktur, 12 Juli 2010)

Karena yang bisa aktif hanya beberapa orang saja, maka laporan SBM seringkali menjadi tersendat. Biasanya yang sering dihubungi puskesmas untuk masalah SBM adalah para kader. Para kader dianggap lebih siap sedia dan tidak terlalu sibuk karena sebagian besar ibu rumah tangga. Namun pada pelaksanaan SBSM, form yang seharusnya dilaporkan setiap bulan seringkali tidak dikumpulkan. Form itu kadang-kadang dikumpulkan dulu dan baru diserahkan setelah beberapa bulan. Seringkali juga form tersebut tidak diberikan karena mereka merasa tidak ada masalah di desa mereka, sehingga tidak perlu mengembalikan form tersebut ke Puskesmas. Hal ini menyebabkan rekap laporan SBM tiga bulanan menjadi sering salah karena ada yang terluput untuk dimasukkan ke dalam rekap laporan. Penyebab terjadinya hal tersebut adalah masalah biaya dan adanya keberatan dari masing-masing pribadi untuk melaksanakan tugas ini. Para kader membutuhkan biaya tambahan untuk datang ke puskesmas dan memberikan form tersebut. Sedangkan biaya ini tidak dapat ditanggung oleh pemerintah. Selain itu dari beberapa kader juga jadi merasa keberatan karena SBM ini dirasa tidak terlalu signifikan dan kurang jelas pemanfaatannya. Ada kader yang masih tidak mengerti manfaat dari survei tersebut. Berikut adalah penjelasan dari Ibu Sri Wahyuni kader desa Surondakan.

“Iya, kalau untuk survei itu agak susah. Tedes yang lain

biasanya sibuk. Jadi saya yang biasanya dimintai tolong buat koordinir penyurvei yang lain. Kan harusnya ada juga yang jadi penyurvei to mbak. Penyurvei yang lain ini yang biasanya juga lapor ke saya kalau ada masalah. Tapi sering juga warganya lapor sendiri. Saya juga yang dimintai tolong laporan ke puskesmas tiap bulan. Nah ini yang agak repot juga mbak. Kalau setiap bulan ke Puskesmas padahal ndak ada laporan, kan sayang juga uangnya. Apalagi hasil SBM nya juga kurang

62

Universitas Kristen Petra

jelas digunakan untuk apa. Kalau cuma dikumpulkan ke puskesmas saja kan nidak apa-apa dirapel atau ya kalau ndak lapor ya berarti ndak ada masalah.” (Sri Wahyuni, wawancara

terstruktur, 19 Juli 2010)

Untuk mengatasi hal ini, Ibu Insih selaku penanggung jawab SBM di puskesmas Rejowinangun memberikan alternatif selain form. Untuk laporan, Ibu Insih bersedia menerima dalam bentuk sms atau telepon. Jika para penyurvei tidak ada yang melapor, maka Ibu Insih akan menelepon atau mengirim sms kepada kader untuk menanyakan kondisi desanya. Namun kadang-kadang juga masih ada kader yang tidak membalas usaha ini. Hal ini dijelaskan oleh Ibu Insih Budi Utami yang bertugas mengelola SBM. Berikut penjelasannya.

“Ya ada mbak. Yang sering ya ngembalikan form SBMnya telat.

Kader itu biasanya merasa ndak perlu lapor kalau ndak ada masalah di desanya. Padahal harusnya tetep dilaporkan sekalipun tidak ada masalah. Seringkali juga laporannya dirapel, tiap beberapa bulan. Kami sendiri ndak bisa maksa, karena mereka kan tidak dibayai. Padahal untuk datang ke puskesmas memberikan form kan butuh ongkos. Jadi kalau tidak kebetulan ada urusan ya mereka tidak kesini. Saya juga ngerti masalah ini. Makanya saya ditelepon atau di sms saja juga ndak apa-apa. Tapi kadang juga susah, mereka kan juga ndak dikasih uang pulsa. Kadang saya yang nelpon atau sms. Tapi sering juga ndak dibalas atau kadang telepon saya ndak diangkat. Ndak tahu kenapa kok begitu. Mungkin sungkan kalau ndak ada laporan. Pokoknya mereka mau lapor saja kami sudah sangat berterima kasih. Tapi kalau mereka ndak mau ya ndak apa-apa. Kami ndak mau maksa.” (Insih Budi utami, wawancara

63

Universitas Kristen Petra Permasalahan lain yang sering terjadi adalah kesalahan pengertian penyurvei soal penyakit yang diderita oleh salah seorang warga. Kebanyakan penyurvei adalah orang awam sehingga mereka seringkali tidak bisa membedakan gejala penyakit dan salah melaporkan. Maka dari itu jika ada laporan kasus aneh, maka pihak puskesmas biasanya harus turun lapangan untuk mengecek ulang apakah benar atau tidak laporan tersebut. Jika sudah benar, maka laporan akan langsung direkap. Namun jika masih salah maka Ibu Insih sendiri yang akan mengganti form laporan tersebut baru dimasukkan ke dalam rekap bulanan. Hal ini dilakukan agar laporan SBM tidak kacau dan menyebabkan salah informasi untuk dinas kesehatan. Berikut penjelasan dari Ibu Insih.

“Yang sering juga itu ngisi form SBM nya salah. Biasanya kalau

gejala penyakitnya ndak lazim atau sulit dibedakan dengan penyakit-penyakit lain, orang jadi salah nagkep. Biasanya kalau begini ini saya turun lapangan untuk cross check. Tapi kalau laporannya sudah jelas seperti diare, ya saya tidak akan cek lagi ke lapangan, karena tanda-tandanya kan mudah dilihat. Asal BAB cair dan sering kan sudah dapat dipastikan diare. Dulu pernah ada laporan pneumonia di form SBM. Saya merasa curiga karena kebanyakan penyurvei kan bukan orang medis ya mbak. Takutnya ndak bisa membedakan tanda-tanda dengan jelas. Apalagi penyakit pneumonia itu kan ndak umum. Makanya saya pergi ke rumah orang yang dilaporkan sakit itu. Setelah saya lihat ternyata kena chikungunya, waktu itu memang sedang musim mbak. Memang gejalanya mirip antara dua penyakit itu. Jadi ya kalau ndak bener-bener ngerti tentang penyakit-penyakit ya pasti sulit membedakan. Tapi ya ndak apa-apa. Biar salah-salah yang penting lapor saja kami sudah berterima kasih kok.”

64

Universitas Kristen Petra Selain masalah dengan para pelaku survei, masalah lain dalam SBM juga muncul ketika penyurvei mencari tahu dari masyarakat. Ada beberapa orang yang cukup tertutup dan tidak banyak berinteraksi dengan orang desa. Hal ini menyebabkan jika ada yang sakit di rumah tersebut, tidak ada warga yang tahu, sehingga kabarnya juga tidak sampai ke para penyurvei. Biasanya orang-orang yang bersikap seperti itu justru datang dari warga kelas menengah keatas. Selain jarang berinteraksi, mereka umumnya sudah mengerti mengenai masalah kesehatan, jadi jika sakit sudah langsung pergi ke rumah sakit atau puskesmas. Hal ini dijelaskan oleh Ibu Deni, bidan desa Dawuhan.

“Kalau untuk SBM itu yang sulit karena ada beberapa orang yang tertutup. Sesungguhnya bukan mereka tidak mau berbaur dengan masyarakat, tapi karena dari golongan orang yang sudah menengah keatas ya, maka mereka juga jarang berinteraksi dengan masyarakat. Mungkin sibuk dengan pekerjaan masing-masing ya. Nah kalau sakit juga biasanya diurusi sendiri. Mereka biasanya langsung ke dokter, rumah sakit, atau puskesmas sendiri. Tidak omong-omong ke orang-orang. Jadi kalau sakit ya tidak ketahuan. Kalau warga yang lain sih biasanya tidak ada masalah. Kalau sakit ya mau lapor dan minta tolong.” (Deni Prastyawati, wawancara terstruktur,

65

Universitas Kristen Petra Gambar 4.7. Grafik hasil rekap SBM di Puskesmas Rejowinangun

Salah satu hal yang juga masih kurang adalah pengelolaan hasil SBM. Selama ini hasil SBM memang masih menjadi arsip dari puskesmas dan Dinas Kesehatan saja. Masyarakat luas belum dapat mengetahui hasil dari SBM tiap bulannya maupun rekap SBM. Padahal di ruangan Ibu Insih terdapat hasil rekap SBM yang sudah dibentuk grafik. Grafik tersebut merupakan hasil rekap gabungan dari tujuh desa yang dibawah puskesmas Rejowinangun, dimana dalam grafik tersebut terdapat data-data peningkatan atau penurunan kesehatan ditandai dengan banyaknya jumlah orang yang terkena penyakit, jumlah orang yang sembuh dan jumlah orang meninggal.

Ibu Insih mengaku hasil SBM ini sulit disebarluaskan karena bentuknya masih manual. Dia membentuk rekap tersebut menjadi grafik dan menambahkan garis dan titik di setiap bulannya sampai satu tahun. Jadi grafik hasil SBM ini baru akan jadi secara untuh pada akhir tahun. Jika ingin diperbanyak, satu-satunya cara adalah dengan difotokopi. Tapi hasilnya akan kurang jelas dan setiap

66

Universitas Kristen Petra bulan harus difotokopi lagi atau harus ada yang mau menggambar titik dan garis. Hal ini tentunya akan menambah kesulitan dalam penangan SBM dan dikhawatirkan anggota Tedes akan semakin malas melaksanakan SBM. Maka dari itu hasil rekap SBM ini baru dapat ditaruh di ruangan Ibu Insih saja. Berikut penjelasan dari Ibu Insih.

“Ini hasil SBM nya saya bentuk grafik seperti ini, supaya mudah dibaca. Jadi langsung kelihatan perkembangannya tiap-tiap bulan. Saya biasa masukkan secara manual soalnya ribet kalau dimasukkan dalam komputer. Jadi nanti tiap-tiap bulan saya tambahkan isinya.

Hasil ini tidak sampai disebarkan ke desa-desa. Maklum hasilnya masih manual. Kalau mau disebarkan kan harus bisa diperbanyak. Nah kalau diperbanyak masa mau difotokopi. Nanti kan hasilnya tidak bagus. Ini juga belum jadi lho mbak, rencana saya ini baru jadi utuh akhir tahun, jadi nanti bisa dilihat perkembangannya selama setahun. Nah kalau tiap bulan atau beberapa bulan ditaruh di desa-desa kan harus ada yang nambahin isinya. Siapa yang mau? Nanti kalau minta tolong Tedes atau kadernya lagi malah mereka merasa ribet dan keberatan. Nanti takutnya malah malas mengerjakan SBM.”

67

Universitas Kristen Petra Gambar 4.8. Papan Pengumuman Ponkesdes Sumberdadi

Ibu Puji, bidan desa Sumberdadi sesungguhnya juga ingin jika hasil SBM bisa dilihat oleh masyarakat sehingga masyarakat bisa tahu kondisi kesehatan di desanya. Diharapkan dengan ditunjukkannya hasil SBM tersebut masyarakat akan lebih terpacu untuk meningkatkan kondisi desanya, atau minimal mereka bisa lebih peduli untuk menjaga kesehatannya sendiri. Namun sayangnya desa-desa di Trenggalek masih belum mempunyai sarana display yang memadai untuk memajang hasil SBM ini. Sehingga seandainya pun ada hasil yang dapat ditampilkan juga masih belum ada tempat untuk memajangnya. Berikut penjelasan dari Ibu Puji.

“Wah kalau hasil SBM dipajang di desa-desa sih bagus ya. Karena masyarakat juga bisa lebih sadar kalau lihat di desanya ada penyakit. Kalaupun hasilnya bagus kan warganya juga senang. Tapi kalaupun ada hasilnya saya juga bingung mau dipajang dimana. Di desa-desa sini belum ada tempat yang layak untuk memajang. Papan yang ada di ponkesdes masih ditaruh di dalam rumah, kalau ditaruh di depan nanti

68

Universitas Kristen Petra

kehujanan dan rusak. Belum lagi kalau ada angin, pengumuman di dalamnya nanti lepas dan tertiup terus hilang. Mungkin harus dipikirkan dulu tempat memajangnya ya.”

(Puji Wahyulin, wawancara terstruktur, 15 Juli 2010).

Ketika di-cross check ke warga mengenai pelaksanaan SBM, warga hanya tahu bahwa mereka harus melapor jika ada yang sakit. Selebihnya mereka tidak tahu menahu mengenai bagaimana hal tersebut akan ditangani lebih lanjut. Selama ini warga sesungguhnya juga jarang yang sampai melapor sendiri. Namun jika ada yang sakit seringkali beritanya sudah tersebar dari mulut ke mulut sehingga terdengar sampai ke telinga kader desa Siaga. Ada beberapa yang didatangi oleh kader, namun juga ada yang hanya berdasarkan pada pemberitahuan orang lain. Berikut adalah penjelasan dari Ibu Ismiatun, Lamini, dan Sunarti.

“Iya rumah saya kebetulan dekat dengan Ibu Endah, jadi saya sering kok ngobrol-ngobrol dengan beliau. Biasanya sore-sore begitu juga sudah kumpul, ndulang anak sambil cerita-cerita. Kalau ada yang sakit ya saya cerita juga, lha wong saya juga tahu kalau dia itu kader desa. Kan enak juga kalau kadernya dekat begini jadi istilahnya saya nglapor sambil cerita-cerita. Kalau warga yang lain saya juga tahu ada yang datang nglapor, tapi yang dilaporkan belum tentu keluarganya kok. Bisa tetangganya atau warga kampungnya yang dengar-dengar sedang sakit. Jarang kalau keluarga sendiri yang lapor. Mungkin karena sudah repot mengurusi yang sakit tadi ya. Jadinya tidak bisa lapor.

Setahu saya hasil laporan itu akan dipakai untuk data masyarakat. Selebihnya saya kurang tahu. ” (Sunarti,

69

Universitas Kristen Petra

“Saya tahu kalau ada survei penyakit itu. Saya sudah dijelaskan oleh Ibu Purwani, kalau ada yang sakit tolong lapor. Atau kalau lihat ada yang aneh-aneh, yang kurang sehat tapi saya tidak mampu mengatasi sendiri juga saya disuruh lapor. Misalnya ada bak mandi yang tak terurus dan banyak jentik nyamuknya, itu juga saya harus lapor supaya warga tidak kena penyakit dari nyamuk. Selama ini saya ya lapor kalau ada anggota keluarga yang sakit. Tapi seringnya saya tidak lapor saja Ibu Purwani sudah dengar sendiri kok. Biasanya tetangga-tetangga kan tahu kalau ada yang sakit, nanti pasti ada yang kasih tahu Ibu Purwani juga.

Laporannya setahu saya digunakan sama puskesmas untuk mendata masyarakat. Jadi biar ketahuan kalau ada yang sakit dan bisa ditangani. Kalau dijadikan survei saya malah tidak tahu menahu. Yang saya tahu hanya sebaiknya lapor jika ada masalah kesehatan.” (Lamini Wasito, wawancara terstruktur,

10 Agustus 2010).

“Iya saya pernah dibertahu sama Pak RT soal program pemerintah ini. Kalau ada apa-apa bisa laporan sama Pak RT atau sama bidan atau kader desa. Nah saya ini tidak terlalu kenal kalau sama kadernya. Rumahnya agak jauh, jadi kalau ada yang sakit ya saya kadang lapor kadang nggak. Lha kalau sakitnya cuma flu apa panas begitu kan lapor ya tidak enak. Kecuali kalau demam tinggi samapi beberapa hari begitu saya baru lapor. Kadang-kadang juga saya tidak laporan, Ibu kadernya sudah datang nengok.

Saya rasa disuruh lapor ya supaya ketahuan kalau ada yang sakit. Jadi kalau ada penyakit menular atau apa bisa ketahuan. Nanti bisa diambil tindakan. Begitu saja.” (Ismiatun,

70

Universitas Kristen Petra Salah satu masalah yang juga ditemui peneliti dalam proses SBM adalah adanya persepsi dari para kader bahwa SBM telah berjalan dengan lancar dan tidak ada masalah. Mereka merasa demikian karena tidak mengerti mengenai metode survei yang benar. Mereka merasa asalkan sudah ada warga yang bersedia melaporkan jika sakit saja sudah cukup. Padahal hasil SBM yang seperti ini kurang akurat karena tidak dapat menjangkau masyarakat secara keseluruhan. Hanya masyarakat yang dekat dengan bidan atau kader yang dapat melaporkan. Jika masyarakat tidak terlalu mengenal bidan atau kadernya, maka masyarakat akan cenderung tidak bersedia melapor sehingga hasil SBM menjadi kurang akurat. Berikut adalah pernyataan mengenai hal ini.

“Selama ini masih lancar sih mbak. Biasanya orang-orang juga mau laporan ke saya. Saya kan juga masih sering kumpul-kumpul sama ibu-ibu di sekitar desa sini. Ya pengajian sama arisan juga mbak. Jadi disitu kan cerita-cerita. Biasanya dari sini banyak ketahuannya mbak. Kalau ada yang tetangganya sakit atau denger ada yang sakit itu biasanya ngomong. Jadi saya ya tahu mbak.“ (Endah Ayu Wiguna, wawancara

terstruktur, 19 Juli 2010).

“Kalau SBM itu disini lancar-lancar saja mbak. Masyarakatnya terbuka kok. Jadi kalau ada apa-apa ya mau saja datang ke saya. Laporan ke saya atau ke kadernya. Saya sama kadernya juga baik kok. Dulu saya juga yang ngajak Bu Purwani itu jadi kader.” (Puji Wahyulin, wawancara terstruktur, 15 Juli 2010).

“Dulu itu pernah ada mbak. Anak meninggal. Keadaannya mengenaskan itu mbak. Bapaknya itu lho tatonya sak awak penuh kok mbak. Biasanya mabuk-mabukan. Anaknya itu kuruuus gitu mbak. Kayak kurang gizi gitu lho. Lha ini anaknya itu diare, tapi ibunya ndak bisa mbawa ke rumah sakit, diobati

71

Universitas Kristen Petra

sendiri. Sudah beberapa hari ndak sembuh-sembuh baru ngomong, jadi saya baru telepon Bu Insih lapor. Nah waktu orang dari puskesmas datang meninjau kok ternyata kondisinya sudah parah to mbak. Anaknya sudah lemes. Mau ditolong yo

Dokumen terkait