• Tidak ada hasil yang ditemukan

Narasi Fiktif

Dalam dokumen Teknik Penulisan Karya Ilmiah (Halaman 148-156)

Kegiatan Belajar 2 Paragraf Narasi

B. Narasi Fakta dan Narasi Fiktif 1. Narasi Fakta

2. Narasi Fiktif

Paragraf

masyarakat yang peduli untuk membantu para siswa yang seiman dan seakidah.

(Dikutip dan Ikhwan Fauzi. 2003. “Profil Hj. Siti Dawiyah: Merintis Perumahan Islami”. Sabili Nomor 22 Tahun X, 22 Mel 2003:48).

2. Narasi Fiktif

Contoh narasi fiktif adalah cerpen dan novel. Berikut adalah contoh narasi yang berbentuk cerpen.

Contoh 8

KEPERGIAN (Lukman Ali)

Ketika kami sedang asyiknya membuat gambar sesuka hati, pada suatu hari dalam bulan Februari 1941, tiba-tiba saja muncul di pintu masuk kelas kami kemenakanku si Ilas, anak perempuan dari kakakku yang tertua, dengan mata merah tanda baru menangis. Ia memakai tengkuluk kecil. Umurnya dua tahun lebih muda dariku. Dan dia baru duduk di ketas satu Sekolah Negeni di kampungku.

Dengan tidak meminta permisi terlebih dulu kepada bapak yang waktu itu sedang duduk di mejanya menulis, si Ilas terus saja masuk ke dalam kelas dan menuju ke meja tempatku duduk yang tertetak di depan sekali. Seluruh kelas dengan heran memandang kepadanya.

“Mak Cik, kakak menyuruh Mak Cik pulang sekarang juga! Hamba disuruhnya menjemput Mak Cik,” kata si Ilas kepadaku agak gugup. Suaranya agak lain dan biasa kudengar. Menyedih.

Paragraf

Aku berhenti menggambar.

“Sakitnya bertambah keras juga,” jawab si Ilas. Dan ujung tengkuluknya dihapuskannya ke matanya yang sudah mutai pula keluar airnya.

Sekaligus ingatanku terpusat kepada ibu yang sedang sakit di rumah. Air mata si Ilas sangat merangsang kesedihanku. Dan dengan tidak kusadari memanas pula kelopak bawah mataku seperti biasa pada hari-hari selama ibu sakit. Aku memandang kepada bapakku yang sementara itu sudah berdini dekat si Ilas.

“Putanglah Lekas!” katanya kepada kami berdua. “Dan hati-hatilah kalian di jalan!”

Kami pulang cepat-cepat.

“Orang banyak sekarang di numah, Mak Cik!” kata si Ilas padaku.

“Segala dusanak kita ada. Banyak yang menangis.”

“Dan, Kakak bagaimana?”

“Seperti itu saja. Sebentar balik ke kiri, sebentar balik ke kanan, sambil. mengeluh-ngeluh juga. Mak Cik acap benar disebutnya. Dan disuruhnya hamba menjemput Mak Cik. Mak Dang dan Mak Ngah sudah

di rumah.”

Ah, ibu! Beliau sudah hampir sebuan lamanya bergulat dengan penyakitnya di tempat tidur. Asalnya biasa saja. Kehujanan sekembali dari menyiangi sawah kami. Dan ini menyebabkan beliau demam. Badannya yang sudah kurus itu, karena

Paragraf

banyak bekerja, tidak kuasa menahan serangan demam ini. Sampai berlarut-tarut.

Ibu memang banyak bekerja untuk kami anak-anaknya. Ke sawah, berjualan di pasar, dan lainnya. Bapakku sendiri sudah lama tidak di rumah kami tagi. Beliau sudah beristri Lagi di tempat lama.

Mula-mula ini hanya diobati dengan obat kampung saja, sebagaimana yang dikehendakinya. Menurut dukun tertegur “hantu jahat” dekat tebing pendakian tidak jauh baruh rumah kami sewaktu pulang dari sawah. Tapi obat dukun itu tidak dapat menolong. Ibuku makin keras sakitnya. Tak makan-makan. Dan badannya panas terus. Kurusnya makin menyata. Kami semua sangat bersedih hati dengan sakitnya ibu ini, pemelihara kami, aku dan kakak-kakakku. Lebih-tebih bagiku, yang sejak Lahir memang tak begitu banyak merasa atau menerima mesra sayang dari bapakku seperti kakak-kakakku, karena beliau tidak pulang-pulang lagi ke rumah ibuku, sangatlah terasa kesedihan ini

Dalam diri ibu berkumpul dua kasih sayang yang menjadi satu, kasih Ibu

dan kasih bapak yang diganti oleh ibu. Dan kini, ia yang menjadi sumber dan tumpuan kasihku ini, sakit. Setiap hari aku tak dapat menahan air mataku bila melihat ibu sebentar-sebentar membalik-balik badan sambil mengeluh jua tidak hentinya.

Dan sampailah dua minggu sakit ibu.

Bapakku sekali-sekali datang juga ke rumah kami menengok, yang sejak semula menginginkan ibuku berobat ke dokter saja, di kota Padang. Setelah

Paragraf

melihat ibu tidak juga sembuh, baru bapak mendatangkan dokter. Ibuku diperiksa darahnya. Kemudian diberi obat berupa pil dan obat minum. Tapi entah bagaimana obat-obat itu juga tidak dapat menolong.

Kasihan betul ibu. Makan tak mau. Paling-paling hanya sesendok atau dua sendok bubur yang dipaksa-paksakan. Tidur gelisah. Mengigau dan mengeluh menyatukan hati. Ibu makin tersiksa betul oleh penyakitnya itu. Tulang-tutangnya makin lama makin bertonjolan keluar. Dan kulitnya makin mengerut. Bila kuperhatikan semuanya ini lalu datanglah mendesak dalam kepalaku suatu ketakutan yang betum pernah kurasai sebelumnya. “Ibuku yang sangat sayang kepada kami, meninggal ” Dan dalam beberapa hari terakhir ini bayangan itu makin mengerikan.

“Naah, ini si Kuman sudah datang! Mengapa kau selambat itu pulang?” kata seorang ibu tetangga kepadaku setibanya aku di halaman rumah. ibu itu sudah lama rupanya berada di rumah kami.

“Hamba sudah cepat-cepat berjalan,” kujawab sambil naik jenjang.

“Sudah jelas ibu awak sakit payah, kau pergi juga ke sekolah,” kata seorang perempuan yang lain.

“Sudah jetas ibu awak sakit payah, kau pergi juga ke sekolah,” kata seorang perempuan yang lain.

Aku tak menjawab lagi, tapi terus masuk ke dalam rumah menuju ke

Paragraf

perempuan sama menangis. Mamak-mamakku dan saudara-saudara ibu yang taki-laki hadir semua waktu itu. Mereka duduk dengan kecemasan di sekitar ibuku. Aku Lalu duduk dekat uncuku tentang kepala ibu. Melihat aku datang, Mak Haji, mamakku yang tertua, memegang tangan ibu sambil mengatakan:

“Yah, Yah, ini si Kuman yang kautuntut dari tadi sudah tiba”.

Kulihat Ibu mencoba membalik badannya ingin melihat kepadaku. Dan aku berpindah duduk ke hadapannya.

“ini hamba, Kak!” kupegang pula tangan itu dan kupandang muka beliau yang bermata cekung itu. Sayu. Dan tak berdarah.

“Man!” kata ibu pelan hampir berbisik. “Ya, Kak?” Air mataku mulai menitik.

“Mengapa, lambat betul, kau pulang? (terputus-putus dan terengah-engah). Untung kau, masih dapat, melihat kakak!”

Tak tentu yang akan kujawab. Dadaku mulai menyesak.

“Duduklah di sini Nak, dekat kakak!” sambung Ibu sambit meletakkan telapak tangan kirinya dengan pelan ketiadaan daya ke atas kasur, tepat di muka perutnya. Kuturuti lambat-lambat. Dan aku tetap memandang ke wajah beliau. Tiba-tiba tulang-tulang berbalut kulit kisut itu mencoba memelukku dengan kekuatan terakhir. Aku segera mendekapkan badanku ke pangkuannya. Aku menangis tertahan-tahan.

Paragraf

“nak” “Apa Kak?”

“Kalau kakak mati nanti, Nak, elok-elok saja, lakumu ya?” (terputus-putus tagi).

“Ya, Kak!”

“Jangan suka... berkelahi dengan... kemenakanmu!”

“Tidak, Kak!”

“Nak, (bernapas beberapa kali dulu) mengaji, ya?” “Ya, Kak!”

Kemudian pelukannya mengendur. Tangan kiri ibu meluncur pelan dari

punggungku dan tangannya terkulai di pinggir kasur. Segera kupegang keduanya dan air mataku menetes ke atasnya. Ibu kelelahan sehabis berkata tadi. Ia mencoba menelentangkan dirinya. Tangan kecilku ikut membantu. Beliau terengah-engah Lagi.

“Sudah..., sudah puas aku, Tuan Haji,” kata Ibu kepada Mak Haji. “Lepaslah aku! Lepaslah! Sudah Lain benar, rasanya, badanku ini! Lain benar!”

“Ingat sajalah terus kepada Tuhan, Yah. Sebutlah namanya terus! Takbirlah! (jawab Mak Hail) Allahu Akbar!”

Ibu diam. Hanya dadanya turun naik. “Sebutlah, Yah, Allahu Akbar!”

“Allahu.... (tak sampai suara ibu).!

“Allahu Akbar! (Mak Haji mengulangi).” “AlLah.... ‘bar”

“Laa ilaha ilLaLLah!” “La ilah.... ilallah!”

Paragraf

Sukar betul ibu mengucapkan kalimat-kalimat tersebut. Lidahnya memang sudah dikeluarkan oleh penyakitnya.

Kemudian ibu jadi sedikit tenang. Dan matanya dikalipkannya. Napasnya mulai sedikit kurang engahnya. Hatiku merasa Lega sedikit. Begitu juga kutihat mamak-mamakku dan famili Lainnya.

Tapi..., tapi kenapa semua mata sekarang jadi tertuju kembali dengan kecemasan kepada ibu? Napas ibu hanya sekali-sekali saja lagi dan tertegun-tegun. Lalu kecemasan jadi memuncak dan merata keseisi rumah.

“Kesanalah kau dulu duduk, Man!” suruh Mak Haji kepadaku. Aku beranjak dan sisi ibu dengan dada sesak. Tempatku segera digantikan Mak Haji. Dan Mak Haji mengulangkan kembali kalimat-kalimat takbir dan syahadat tadi. Tapi ibu, sudah tak kuasa Lagi menyebutnya. Hanya bibirnya saja bergerak-gerak sedikit. Mak Hail makin senang mengulang kalimat-kalimat tadi. Aku juga. Kakak-kakakku juga. Uncuku juga. Sementara itu, Mak Haji pelan-peLan meletakkan kedua tangan ibu ke atas dada ibu yang tak terengah-engah lagi itu. Dan Mak Hail menatap beberapa saat ke wajah dan ke dada ibu. Untuk memastikan. Sementara itu, tangis-tangis mulai mengeras. Tiba-tiba Mak Haji mengucapkan:

“Inna lillahi waina ilaihi raji’un!”

Seisi rumah seakan dilanggar angin ribut disertai petir memecah. Berjeritan. Kakakku yang perempuan dan uncuku melulung-LuLung panjang diikuti oleh orang-orang perempuan Lainnya. Aku menangis

Paragraf

sejadi-jadinya sambil menghentak-hentakkan kakiku ke lantai dan memanggil-manggil ibu:

“Kakak! Kakak. ...oooi!”

Lalu aku meniarap ke atas badan ibu yang kaku terbujur itu. Tapi aku ditangkap oleh Mak Hall. Dan diberikannya aku kepada Mak Anca mamakku yang termuda, supaya aku dibawa ke bawah. Tapi aku tetap saja menangis dan meronta. Dan kepada seisi rumah Mak Haji berseru:

“Mengapa kalian semua ini! Jangan meratap! Tidak baik!”

Tapi, kata Mak Haji ini tak didengarkan orang. Semua terus meratap berbuah-buah.

Semua familiku yang Laki-laki, yang waktu itu ada segera turun. Aku masih menangis dengan keras. Ingusku berleteran. Dan ketika itu datanglah bapakku. Ia segera maklum akan hal yang terjadi.

“Terlambat engkau, Ia sudah pergi!” kata Mak Haji kepada bapak. Bapak tak menjawab. Hanya kesedihan pada mukanya. Dan kemudian Ia terburu-buru turun.

“Biarlah aku yang mencari kafannya, Tuan,” katanya kepada Mak Haji dan terus pergi.

Dan sementara itu, mamak-mamakku dan tetangga-tetangga mengurus segala sesuatu untuk penguburan ibu: penggalian dan pemotongan papan-papan penutup liang lahad.

Beberapa jam kemudian bapak kembali membawa kain kafan. Selesai dimandikan mayat ibu dikafani talu kemudian disembahyangkan dengan diimami

Paragraf

dengan badan lemas. Juga waktu mengantarkan mayat ke kubur aku ikut mengiringi. Dan alangkah memberat kesedihanku waktu itu, apalagi ketika meninggalkan kubur. Aku menangis sepuasku sekali lagi sambil memanggil-manggil. ibu, sehingga akhirnya aku terpaksa dipapah pulang karena otot-ototku jadi tambah lemas dan tidak kuat berjaan sendiri.

Beberapa hari kemudian, kutulislah dengan kapur pada dinding papan dalam kamar tempat tidur itu dari aku sejak kecil, dengan huruf yang sederhana: “Ibu saya berpulang ke rahmatullah, pada tanggal

2 Februari 1941, pukul 12 siang.”

(Lukman Ali. 1998:29-33. Pekan Selasa. Jakarta: Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Terbit pertama kali dalam majalah Mimbar Indonesia, Nomor 23. Tahun ke-9. 1955:20-21).

Dalam dokumen Teknik Penulisan Karya Ilmiah (Halaman 148-156)