• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.2 Analisis Data

4.2.2 Analisis Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual Nilai Rasa

4.2.2.2 Nilai Rasa Kasar

Nilai rasa kasar adalah nilai rasa yang menggunakan kata-kata yang dianggap kasar dan tidak hormat, serta disampaikan dengan cara yang tidak baik. Selain itu, nilai rasa kasar juga merupakan suatu tuturan yang diungkapkan secara langsung. Nilai rasa kasar pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 12 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut.

1. “Ayo, musnahkan ISIS!! (NR.KKT,25/09/014)

(Konteks : Semakin maraknya tindak kejahatan yang dilakukan oleh anggota

gerakan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS), terutama di Amerika.)

2. “PERGI! ” (NR.KKT,04/11/014)

(Konteks : Terjadi konflik seputar persepakbolaan Indonesia. PSSI

memberhentikan Indra Sjafri sebagai pelatih tim Nasional sepak bola U-19.)

Karikatur (1) dipersepsi memiliki nilai rasa bahasa kasar yang menggunakan pilihan kata yang dianggap kasar. Hal ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : musnahkan. Diksi tersebut dianggap sebagai nilai rasa bahasa kasar karena mempunyai makna membinasakan atau melenyapkan, yaitu melenyapkan kelompok ISIS karena dianggap telah meresahkan masyarakat, salah satunya dengan memenggal seorang wartawan Amerika Serikat, James Foley dengan sebilah pisau.

Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa ISIS adalah sebuah kelompok yang kejam, dan harus segera disingkirkan. Tindak perlokusi yang ditunjukkan yaitu dengan membawa alat pemusnah untuk menyingkirkan gerakan ISIS, karena penutur sudah geram dengan aksi gerakan ISIS.

Sama halnya dengan karikatur (2) juga dipersepsi memiliki nilai rasa bahasa kasar yang menggunakan pilihan kata yang dianggap kasar. Hal ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : pergi!. Kalimat tersebut dianggap sebagai nilai rasa bahasa kasar karena dimaknai sebagai kata yang diberi penegasan untuk mengusir secara paksa.

Nilai rasa kasar menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gerakan tangan penutur yang menunjuk mitra tutur, sebagai tanda mengusir. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa PSSI akan menindak tegas seputar konflik persepakbolaan di Indonesia.

Tuturan dalam karikatur (1) dan karikatur (2) dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan pemakaian diksi yang mencerminkan rasa santun (Pranowo, 2012:104), yaitu diksi : musnahkan pada NR.KKT,25/09/014, dan diksi : pergi! pada NR.KKT,04/11/014. Diksi :

musnahkan akan terasa lebih santun apabila diganti menjadi “dilenyapkan”.

3. A : “Hu..hu... Sakit juga dicabut giginya...” B : “Hu..hu... Sakit juga dicabut hak politiknya...”

C:“Masih bersyukur dari pada dicabut kesehatannya...” (NR.KKT,21/09/014) (Konteks : Pada waktu itu, Anas Urbaningrum yang menjadi terdakwa korupsi proyek Hambalang, dituntut hukuman selama 15 tahun penjara serta dicabut hak politiknya.)

4. A : “Kok bau ya?” B : “Bau banget!

(Konteks : Jokowi memilih Muhammad Prasetyo yang berasal dari Partai

Nasdem, yang juga merupakan salah satu pendukung Jokowi, sebagai Jaksa Agung.)

5. “Saya pilih yang paling gendut. Siapa tahu nanti saya jadi pejabat. Hehehe...” (NR.KKT,22/12/014)

(Konteks : Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK)

memberikan data sepuluh kepala daerah, yang terdiri dari gubernur dan bupati yang memiliki harta tidak wajar atau rekening gendut.)

Karikatur (3) memiliki nilai rasa bahasa yang kasar karena mengejek secara langsung bagi mitra tutur (Anas Urbaningrum) yang diberhentikan hak politiknya karena terlibat kasus korupsi. Hal ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa klausa : dicabut kesehatannya yang sebenarnya merupakan bahasa yang halus karena merupakan makna kiasan bagi kata “gila”.

Namun, ketika bertemu dengan unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang mengolok-olok sambil tertawa terbahak-bahak menjadi penanda bahwa tuturan tersebut terkesan kasar. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa dicabut hak politiknya sama sakitnya ketika dicabut giginya.

Karikatur (4) juga memiliki nilai rasa bahasa yang kasar karena penutur menyindir secara langsung terkait keputusan dari presiden Jokowi yang telah memilih Muhammad Prasetyo sebagai Jaksa Agung. Karena selama menjadi Jaksa Agung, Prasetyo tidak menunjukkan rekam jejak yang menonjol atau pun

gebrakan-gebrakan program yang konkret. Hal ini dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Bau partai!.

Nilai rasa kasar menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah para penutur yang menutup hidungnya untuk menahan rasa bau, dan menjulurkan lidahnya sebagai tanda orang yang ingin muntah akibat mencium bau yang tidak sedap. Selain itu, salah satu penutur juga sambil menunjuk ke foto Muhammad Prasetyo. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa Muhammad Prasetyo berasal dari partai Nasdem, sehingga ia terpilih menjadi Jaksa Agung karena berasal dari salah satu partai pendukung Jokowi.

Sama halnya dengan karikatur (5) yang juga dipersepsi memiliki nilai rasa bahasa kasar karena mengandung sindiran secara langsung bagi para gubernur dan bupati yang masuk daftar pemilik harta tak wajar atau tabungan yang membengkak, salah satunya Gubernur Sulawesi Tenggara, Nur Alam. Nilai rasa kasar tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Saya pilih

yang paling gendut. Siapa tahu nanti saya jadi pejabat.

Nilai rasa kasar menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa sikap penutur yang berbadan gemuk dengan gaya berbicara sambil tertawa, dan menunjuk celengan babi yang paling gendut. Unsur ekstralingual berupa konteks

dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa babi yang bermoncong panjang menyerupai dengan orang besar atau kaya.

Tuturan dalam karikatur (3), karikatur (4), dan karikatur (5) tersebut juga dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kebijaksanaan. Di dalam konteks ini, tuturan justru dianggap merugikan mitra tutur, karena penutur berprasangka buruk kepada mitra tutur, sehingga tuturannya dianggap memojokkan mitra tutur. Penutur sengaja memojokkan mitra tutur dengan cara menyindir dan mengejek secara langsung.

Berdasarkan kelima contoh karikatur yang memiliki nilai rasa kasar di atas, dapat disimpulkan bahwa tuturan karikatur yang bernilai rasa kasar selalu merupakan bentuk tuturan yang tidak santun. Tuturan yang tidak santun yang dimunculkan oleh nilai rasa kasar ini dapat dilihat melalui unsur intralingual dan unsur ekstralingual. Unsur intralingual dimunculkan melalui diksi yang mengandung kata-kata kasar dan kalimat langsung. Misalnya diksi:

musnahkan pada NR.KKT,25/09/014, dan diksi : pergi pada NR.KKT,04/11/014.

Penggunaan unsur intralingual berupa kalimat-kalimat langsung untuk memunculkan nilai rasa kasar pun dapat mencerminkan tuturan tidak santun, yang kemudian semakin diperkuat oleh unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah. Misalnya kalimat : Bau partai pada NR.KKT,22/11/014 diperkuat dengan ekspresi wajah penutur yang menutup hidungnya untuk menahan rasa bau, dan menjulurkan lidahnya sebagai tanda orang yang ingin muntah, dapat secara jelas menggambarkan bahwa tuturan karikatur tersebut tidak santun. Selain itu,

penggunaan tuturan langsung dan tuturan yang dikatakan sama dengan yang dimaksudkan juga menjadi penanda penting dalam nilai rasa kasar yang tidak santun, sehingga tuturan tersebut dapat merugikan mitra tutur. Indikator-indikator itulah yang dapat menjadi penanda nilai rasa kasar yang tidak santun.