• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur koran tempo edisi September - Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur koran tempo edisi September - Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi."

Copied!
298
0
0

Teks penuh

(1)

ABSTRAK

Utami, Agnes Devi. 2015. Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Karikatur Koran Tempo Edisi September-Desember 2014 sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi, (2) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah karikatur pada Koran Tempo edisi September – Desember 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data penelitian ini adalah teknik observasi (teknik baca-catat). Selain itu, pencatatan observasi dilakukan untuk mengetahui konteks tuturan, makna tanda, dan tanda-tanda ketubuhan.

(2)

ABSTRACT

Utami, Agnes Devi. 2015. The use of Intralingual and Extralingual Elements within Language Power and Language Sense Value in Caricatures of Tempo Newspaper on September December 2014 Edition as a Sign of Mannared Communicate. Thesis. Yogyakarta: language Study Program, Indonesian Literature, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University in Yogyakarta.

This study examines the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. The purpose of this study was (1) to describe the use of intralingual and extralingual to bring out the language power in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. (2) describe the use of intralingual and extralingual to bring out the sense of language in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate.

The research is descriptive qualitative. The source of data research is the caricatures of Tempo Newspaper for September – December 2014 edition. Data collecting techniques used to obtain the data of this study is observational technique (read-note). This research instrument is the researcher herself armed with the knowledge of the theory of semantic and pragmatic. Besides, the researcher write the observation to know the discourse contexts, meaning of sign, and body signs. Validation is done with consulting to the pragmatic experts and having subject conversation with colleagues.

(3)

1

PENGGUNAAN UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM DAYA BAHASA DAN NILAI RASA BAHASA

PADA KARIKATUR KORAN TEMPO EDISI SEPTEMBER - DESEMBER 2014

SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh: Agnes Devi Utami

111224065

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

(4)

PENGGUNAAN UNSUR INTRALINGUAL DAN EKSTRALINGUAL DALAM DAYA BAHASA DAN NILAI RASA BAHASA

PADA KARIKATUR KORAN TEMPO EDISI SEPTEMBER - DESEMBER 2014

SEBAGAI PENANDA KESANTUNAN BERKOMUNIKASI

SKRIPSI

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia

Oleh : Agnes Devi Utami

111224065

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA SASTRA INDONESIA JURUSAN PENDIDIKAN BAHASA DAN SENI

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA 2015

(5)
(6)
(7)

HALAMAN PERSEMBAHAN

Skripsi ini saya persembahkan kepada Tuhan Yesus, Orang tuaku, Kakakku tercinta, serta

keluarga besarku.

(8)

MOTO

Bersyukur itu tidak berhenti pada suatu keadaan menerima saja, tetapi berusahalah bekerja

keras untuk menciptakan yang terbaik.

(9)
(10)
(11)

ABSTRAK

Utami, Agnes Devi. 2015. Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa dan Nilai Rasa Bahasa pada Karikatur Koran Tempo Edisi September-Desember 2014 sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi. Skripsi. Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penelitian ini mengkaji tentang penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Tujuan penelitian ini adalah (1) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi, (2) mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

Jenis penelitian ini adalah deskriptif kualitatif. Sumber data penelitian ini adalah karikatur pada Koran Tempo edisi September – Desember 2014. Teknik pengumpulan data yang digunakan untuk memperoleh data penelitian ini adalah teknik observasi (teknik baca-catat). Selain itu, pencatatan observasi dilakukan untuk mengetahui konteks tuturan, makna tanda, dan tanda-tanda ketubuhan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) unsur intralingual dalam daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo yang dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi dapat dimunculkan melalui diksi, frasa, klausa, dan kalimat, sedangkan unsur ekstralingual daya bahasa dapat dimunculkan melalui konteks, tanda-tanda ketubuhan, ekspresi wajah, dan tanda-tanda visual. (2) Unsur intralingual dalam nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo yang dijadikan sebagai penanda kesantunan berkomunikasi dapat dimunculkan melalui diksi, frasa, klausa, dan kalimat, sedangkan unsur ekstralingual nilai rasa bahasa dapat dimunculkan melalui konteks, tanda ketubuhan, ekspresi wajah, dan tanda-tanda visual. Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat memunculkan tuturan yang santun dan tidak santun.

(12)

ABSTRACT

Utami, Agnes Devi. 2015. The use of Intralingual and Extralingual Elements within Language Power and Language Sense Value in Caricatures of Tempo Newspaper on September December 2014 Edition as a Sign of Mannared Communicate. Thesis. Yogyakarta: language Study Program, Indonesian Literature, Faculty of Teacher Training and Education, Sanata Dharma University in Yogyakarta.

This study examines the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. The purpose of this study was (1) to describe the use of intralingual and extralingual to bring out the language power in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. (2) describe the use of intralingual and extralingual to bring out the sense of language in caricatures of Tempo Newspaper as a sign of mannared communicate. The research is descriptive qualitative. The source of data research is the caricatures of Tempo Newspaper for September – December 2014 edition. Data collecting techniques used to obtain the data of this study is observational technique (read-note). This research instrument is the researcher herself armed with the knowledge of the theory of semantic and pragmatic. Besides, the researcher write the observation to know the discourse contexts, meaning of sign, and body signs. Validation is done with consulting to the pragmatic experts and having subject conversation with colleagues.

The results of research are (1) the intralingual elemens of language power in caricatures of tempo newspaper as a sign of mannared communicate which appear are diction, phrase, clause, and sentence, meanwhile extralingual elemens can appear are contexts, body signs, facial expression, and visual signs. (2) The intralingual elemens of language sense value in caricatures of tempo newspaper as a sign of mannared communicate which appear are diction, phrase, clause, and sentence, meanwhile extralingual elemens can appear are contexts, body signs, facial expression, and visual signs. The conclusion of this research is that the intralingual and extralingual elements of language power and the value of language sense could bring out the mannered and not mannered discourse. The conclusion of this research is that the use of intralingual and extralingual elements within language power and language sense value in caricatures of tempo newspaper could bring out the mannered and not mannered discourse.

(13)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang

berjudul “Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa

dan Nilai Rasa Bahasa pada Karikatur Koran Tempo Edisi Septeber – Desember 2014 sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi” dengan lancar. Penyusunan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu syarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia, pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa selama penyelesaian skripsi ini tidak lepas dari bantuan semua pihak, sehingga penulis dapat menyelesaikannya dengan lancar. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang selama ini memberikan bantuan, bimbingan, nasihat, motivasi, doa, dan kerja sama yang tidak ternilai harganya dari awal sampai akhir penulisan skripsi ini. Sehubungan dengan hal itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Rohandi, Ph.D. selaku Dekan FKIP Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. 2. Dr. Yuliana Setiyaningsih selaku Kaprodi PBSI yang telah memberikan

motivasi kepada penulis selama menyelesaikan skripsi.

3. Prof. Dr. Pranowo,M.Pd. selaku dosen pembimbing yang telah banyak mengorbankan waktu, pikiran, kesabaran, tenaga dan motivasi selama membimbing penulis.

4. Seluruh dosen PBSI yang telah memberikan banyak ilmu pengetahuan serta wawasan kepada penulis selama belajar di Prodi PBSI sehingga penulis mempunyai bekal menjadi pengajar yang cerdas, humanis, dan profesional. 5. Perpustakaan Universitas Sanata Dharma yang telah menyediakan buku-buku

penunjang selama penulis menyelesaikan skripsi.

(14)

6. Karyawan sekretariat PBSI yang telah membantu penulis dalam hal menyelesaikan skripsi.

7. Orang tua saya tercinta, Agustinus Sumarno dan Christina Sagiyem yang telah memberikan doa, semangat, dan motivasi kepada penulis.

8. Kedua kakakku, Daniel Wawan Joko Susilo dan Susanti yang telah memberikan doa dan motivasinya.

9. Teman-teman kelompok payung hibah bersaing, Maria Retno Purwandani, Wahyu Nurasih, Sofylia Melati, Veranita Ragil Sagita, Antonia Andari, dan Sr. Elisabeth Desi F.D Radja yang telah memberikan semangat, motivasi, serta kekompakan yang luar biasa selama menyelesaikan skripsi.

10.Sahabat-sahabatku, Nency Putri Damayanti, Risti Anggraeni, Stevani Meilia Dheritama, Bella Nurmalasari yang telah memberikan semangat dan motivasi kepada penulis.

11.Teman-teman PBSI angkatan 2011 yang banyak memberikan informasi, motivasi, serta dukungan kepada penulis.

12.Semua pihak yang telah banyak membantu penulis dalam menyelesaikan skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu.

(15)

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ... iv

MOTO ... v

LEMBAR PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ... vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ... vii

ABSTRAK ... viii

ABSTRACT ... ix

KATA PENGANTAR ... x

DAFTAR ISI ... xii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 4

1.4 Ruang Lingkup... 5

1.5 Manfaat Penelitian ... 5

1.6 Batasan Istilah ... 6

1.7 Sistematika Penyajian ... 7

BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9

2.1 Penelitian yang Relevan ... 9

2.2 Kajian Teoretis ... 10

2.2.1 Kajian Bahasa secara Semiotika ... 11

2.2.2 Kajian Bahasa secara Pragmatik ... 13

2.2.3 Unsur Intralingual ... 18

2.2.4 Unsur Ekstralingual ... 25

(16)

2.2.5 Kajian Daya Bahasa ... 28

2.2.6 Kajian Nilai Rasa Bahasa ... 30

2.2.7 Fungsi Komunikatif Bahasa ... 35

2.2.8 Karikatur ... 37

2.2.9 Kesantunan Berbahasa ... 40

2.3 Kerangka Berpikir ... 45

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 47

3.1 Jenis Penelitian... 47

3.2 Sumber Data dan Data Penelitian ... 48

3.3 Teknik Pengumpulan Data ... 48

3.4 Instrumen Penelitian ... 49

3.5 Teknik Analisis Data... 50

3.6 Triangulasi Data ... 50

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN ... 52

4.1 Deskripsi Data Penelitian ... 52

4.2 Analisis Data ... 53

4.2.1 Analisis Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ... 53

4.2.1.1 Daya Ancam... 54

4.2.1.1.1 Daya Sindir ... 54

4.2.1.1.2 Daya Kritik... 63

4.2.1.1.3 Daya Ejek ... 69

4.2.1.1.4 Daya Peringatan ... 74

4.2.1.2 Daya Paksa ... 75

4.2.1.2.1 Daya Ajak ... 76

4.2.1.2.2 Daya Meminta ... 80

4.2.1.2.3 Daya Imbauan ... 83

4.2.1.2.4 Daya Larangan ... 86

4.2.1.2.2 Daya Suruh... 88

4.2.1.3 Daya Kabar ... 89

(17)

4.2.1.3.1 Daya Penegasan ... 89

4.2.1.4.2 Daya Informatif ... 94

4.2.1.4 Daya Penolakan ... 96

4.2.1.4.1 Daya Ketidaksetujuan ... 96

4.2.1.4.2 Daya Protes ... 99

4.2.1.5 Daya Harap ... 101

4.2.1.6 Daya Ungkap ... 104

4.2.1.7 Daya Pikat ... 106

4.2.2 Analisis Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual Nilai Rasa Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ... 109

4.2.2.1 Nilai Rasa Halus ... 109

4.2.2.2 Nilai Rasa Kasar ... 117

4.2.2.3 Nilai Rasa Marah (kecewa, kesal, sebal) ... 122

4.2.2.4 Nilai Rasa Yakin (mantap, pasti, optimistis) ... 127

4.2.2.5 Nilai Rasa Heran (kaget, merasa terkejut) ... 133

4.2.2.6 Nilai Rasa Takut-Cemas (cemas, ragu, khawatir, bingung, pesimistis, curiga) ... 138

4.2.2.7 Nilai Rasa Bahagia (senang, bahagia, gembira, puas).. ... 145

4.2.2.8 Nilai Rasa Sombong (sombong, bangga)... 149

4.2.2.9 Nilai Rasa Benci (dendam, iri)... 152

4.2.2.10 Nilai Rasa Egoistis ... 154

4.2.2.11 Nilai Rasa Sedih ... 156

4.2.2.12 Nilai Rasa Tertekan ... 158

4.2.2.13 Nilai Rasa Munafik ... 161

4.2.2.14 Nilai Rasa Plintat-Plintut ... 164

4.2.2.16 Nilai Rasa Simpatik ... 165

4.2.2.16 Nilai Rasa Merasa Bersalah ... 167

4.2.2.17 Nilai Rasa Salah Paham ... 168

4.3 Pembahasan... 170

4.3.1 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Daya Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ... 170

(18)

4.3.2 Penggunaan Unsur Intralingual dan Ekstralingual dalam Nilai Rasa

Bahasa sebagai Penanda Kesantunan Berkomunikasi ... 175

BAB V PENUTUP ... 187

5.1 Kesimpulan ... 187

5.2 Saran ... 188

DAFTAR PUSTAKA ... 190

LAMPIRAN - LAMPIRAN ... 192

BIOGRAFI PENELITI ... 280

(19)

1 BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Media cetak merupakan jenis media massa yang akan melibatkan komunikasi antara penulis dengan pembaca. Salah satu jenis media cetak yang sering dijumpai ialah surat kabar. Surat kabar atau biasa disebut sebagai koran merupakan jenis media cetak yang menampilkan berita mau pun opini. Isi berita yang disajikan berupa kejadian-kejadian politik, budaya, ekonomi, pendidikan, dan lain sebagainya. Berita dalam surat kabar mempunyai lingkup yang sangat luas, yaitu berita daerah, berita nasional, bahkan berita internasional. Fungsi umum dari surat kabar ialah memberikan informasi yang up to date, aktual, dan terpercaya. Selain itu, surat kabar juga berfungsi sebagai sarana hiburan, karena di dalam surat kabar juga terdapat rubrik opini yang sifatnya menghibur.

(20)

Untuk dapat mengetahui pesan yang terkandung dalam karikatur, pembaca harus mampu mengenali dan mengerti tanda-tanda visual yang ada dalam karikatur tersebut, karena tampilan umum karikatur hanyalah gambar-gambar, dan disisipkan sedikit kata-kata agar mempermudah pembaca untuk memahaminya. Pemilihan bahasa dalam karikatur juga harus diperhatikan, jangan sampai menyinggung hati orang lain. Sekarang ini, banyak masyarakat yang sering bersikap kasar dan tidak santun ketika menulis sesuatu hal untuk orang lain, sehingga tingkat kesantunan dalam berkomunikasi menjadi berkurang. Untuk dapat mengefektifkan kesantunan dalam berkomunikasi, seorang penutur harus mampu memanfaatkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Pada tampilan karikatur, kita dapat melihat bagaimana permainan kata-kata dan gambar-gambar yang digunakan untuk dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

(21)

Banyak masyarakat yang kurang memahami adanya unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa, khususnya pada karikatur, sehingga kadang kala proses terjadinya komunikasi tidak berjalan dengan lancar. Penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur memiliki peran yang sangat penting sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi. Seorang karikaturis harus pandai dalam mempermainkan kata-kata dan gambar, sehingga kolaborasi yang dihasilkan dapat dimaknai oleh pembaca. Pemanfaatan berbagai unsur bahasa seperti pilihan kata (diksi), frasa, klausa, dan kalimat dapat dijadikan sebagai penanda penggunaan unsur intralingual untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Komunikasi yang baik tidak hanya mengandalkan unsur intralingual saja, tetapi juga unsur ekstralingual. Unsur ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada karikatur dapat dimunculkan melalui konteks, sinyal (tanda-tanda ketubuhan), ekspresi wajah, dan tanda visual (simbol, ikon, indeks).

(22)

bahasa pada karikatur sebagai penanda kesantunan berkomunikasi sangat penting untuk dilakukan. Jika hal ini dapat terselesaikan dengan baik, maka kekasaran dan ketidaksantunan dalam berkomunikasi, khususnya secara tertulis akan dapat berkurang dan secara perlahan akan terbentuk masyarakat yang santun.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah “Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam

daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi

September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi?”.

Berdasarkan rumusan masalah di atas, disusun sub rumusan masalah sebagai berikut.

1. Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi?

2. Bagaimanakah penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi?

1.3 Tujuan Penelitian

(23)

Karikatur Koran Tempo sebagai penanda kesantunan berkomunikasi, sedangkan tujuan khususnya adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual untuk memunculkan daya bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. 2. Mendeskripsikan penggunaan unsur intralingual dan unsur ekstralingual

untuk memunculkan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo edisi September-Desember 2014 sebagai penanda kesantunan berkomunikasi.

1.4 Ruang Lingkup

Penelitian ini memiliki tiga ruang lingkup di antaranya:

1. Penelitian ini adalah penelitian pragmatik yang mendeskripsikan daya bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi dengan memperhatikan unsur intralingual dan unsur ekstralingual bahasa.

2. Data penelitian difokuskan pada Karikatur Koran Tempo.

3. Waktu penelitian dilaksanakan selama 4 bulan, yaitu dari bulan September sampai Desember 2014.

1.5 Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut. 1. Praktis

(24)

dan nilai rasa bahasa, sehingga kekasaran dan ketidaksantunan dalam berkomunikasi akan semakin berkurang, dan secara perlahan akan terbentuk masyarakat yang santun. Selain itu, melalui penelitian ini, peneliti dapat belajar untuk lebih memahami unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang dapat dijadikan penanda santun tidaknya suatu tuturan. Pemahaman mengenai unsur intralingual dan ekstralingual dalam berkomunikasi ini dapat mengoptimalkan kata-kata dan ekspresi yang digunakan agar tuturan lebih santun. Penelitian ini juga diharapkan mampu memberikan inspirasi dan rujukan kepada peneliti lain yang ingin meneliti unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada objek lain, mengingat penelitian tentang hal tersebut masih sangat minim. 2. Teoretis

Penelitian ini akan mampu memberikan kontribusi terhadap teori kesantunan berbahasa, terutama yang berkaitan dengan penanda kesantunan dalam komunikasi dari perspektif pragmatik dan semantik, karena saat ini belum ada buku yang secara spesifik membahas tentang unsur intralingual dan ektralingual sebagai penanda kesantunan dalam berkomunikasi.

1.6 Batasan Istilah 1. Unsur Intralingual

(25)

2. Unsur Ekstralingual

Bahasa nonverbal (unsur ekstralingual) adalah bahasa yang diungkapkan melalui mimik, gerakan tubuh, sikap, dan perilaku (Pranowo, 2012:3).

3. Daya Bahasa

Daya bahasa adalah kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk mengefektifkan komunikasi (Pranowo, 2012:128).

4. Nilai Rasa Bahasa

Nilai rasa bahasa merupakan kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan tersebut (Joko Pradopo, 2002).

5. Karikatur

Karikatur adalah kartun opini yang merupakan visualisasi dari tajuk rencana dalam surat kabar yang tidak sekedar menyajikan fakta, melainkan fakta dalam kaitan sosialnya (Sudarta, 1987).

6. Kesantunan Berbahasa

Kesantunan berbahasa adalah sikap, perilaku, ujaran, tulisan, maupun penampilan dalam kehidupan sehari-hari yang dapat mencerminkan kepribadian yang baik (Pranowo, 2012:4).

1.7 Sistematika Penyajian

(26)

penelitian, ruang lingkup penelitian, manfaat penelitian, batasan istilah, dan sistematika penyajian.

Bab II dalam penelitian ini berisi kajian pustaka. Pada bab ini, akan menguraikan tinjauan pustaka dan kajian teoretis.

Bab III dalam penelitian ini berisi metodologi penelitian. Pada bab ini, akan diuraikan hal-hal yang berkaitan dengan metode dalam penelitian, yaitu (1) jenis penelitian, (2) sumber data dan data penelitian, (3) teknik pengumpulan data, (4) instrumen penelitian, (5) teknik analisis data, dan (6) triangulasi data.

Bab IV dalam penelitian ini berisi hasil penelitian dan pembahasan. Pada bab ini, akan diuraikan mengenai deskripsi data dan pembahasan hasil penelitian. Pada bab ini juga disajikan deskripsi data, hasil analisis, dan pembahasan hasil analisis data sesuai dengan rumusan masalah yang sudah ditentukan.

(27)

9 BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Penelitian yang Relevan

Penelitian tentang daya bahasa ini sebelumnya telah diteliti oleh Cicilia

Verlit Warasinta tahun 2013 dengan judul “Daya Bahasa pada Iklan Surat Kabar

Harian Kompas Edisi November-Desember 2012”. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan daya bahasa dipengaruhi oleh diksi dan konteks. Penulis iklan harus mampu menyusun atau merangkai diksi dengan memanfaatkan daya bahasa agar terbentuk kalimat yang efektif, sehingga dapat membujuk atau mempengaruhi pikiran pembaca.

Penelitian tentang nilai rasa bahasa sebelumnya juga telah diteliti oleh Dini Suryani tahun 2013 dengan judul “Nilai Rasa Bahasa pada Diksi dalam Dialog Interaktif di Mata Najwa, Metro TV Bulan Oktober dan November 2012”. Berdasarkan penelitian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kata-kata yang halus dianggap mengandung nilai rasa halus, sedangkan kata-kata yang bermakna kasar mengandung nilai rasa kasar. Selain itu, kata-kata perasaan juga digunakan untuk menunjuk kadar perasaan penutur.

Penelitian lain yang relevan ialah penelitian dengan judul “Karikatur

Karya G.M. Sudarta di Surat Kabar Kompas Kajian Pragmatik” oleh Slamet

(28)

kesopanan yang diterapkan ialah maksim kebijaksanaan, kecocokan, kesimpatian, dan maksim kerendahan hati, sehingga wacana atau teks yang ada dalam karikatur mampu memperjelas dan menyatukan teks dan gambar dalam satu makna yang utuh.

Perbedaan ketiga penelitian di atas dengan penelitian ini terletak pada bidang kajian. Penelitian ini akan mengkaji tentang penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa yang ada dalam karikatur sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Sebelumnya belum ada penelitian yang membahas mengenai kajian dalam objek tersebut secara spesifik.

2.2 Kajian Teoretis

Penelitian penggunaan unsur intralingual dan ekstralingual dalam daya bahasa dan nilai rasa bahasa pada Karikatur Koran Tempo merupakan penelitian bidang semiotika dan pragmatik. Teori pragmatik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat ekstralingual, terutama yang berkaitan dengan konteks pemakaian bahasa. Teori semiotikaa digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual maupun ekstralingual. Teori semiotika yang digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual yaitu makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam suatu tuturan, sedangkan teori semiotika yang digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat ekstralingual yaitu maksud tanda-tanda sesudah digunakan di dalam suatu tuturan.

(29)

bahasa dan nilai rasa bahasa sebagai penanda kesantunan berkomunikasi. Kajian teoritis yang digunakan adalah sebagai berikut.

2.2.1 Kajian Bahasa secara Semiotika

Semiotika merupakan ilmu tentang tanda-tanda. Budiman (2011:9) mengungkapkan bahwa semiotika visual merupakan studi semiotika yang secara khusus menaruh minat pada penyelidikan terhadap segala jenis makna yang disampaikan melalui sarana indra lihatan. Charles Morris (dalam Budiman, 2011:4) juga mengungkapkan bahwa semiotika sebagai ilmu tentang tanda-tanda dapat dibedakan ke dalam tiga cabang penyelidikan, yaitu sintaksis, semantik, dan pragmatik. Di dalam hubungannya dengan objek kajian karikatur, maka teori semiotika yang sesuai ialah penyelidikan semantik dan pragmatik.

1. Semantik : suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan designata atau objek yang diacunya. Bagi Morris, yang dimaksudkan dengan designata adalah makna tanda-tanda sebelum digunakan di dalam tuturan tertentu.

2. Pragmatik : suatu cabang penyelidikan semiotika yang mempelajari hubungan di antara tanda-tanda dengan interpreter-interpreter atau para pemakainya. Pragmatik secara khusus berhubungan dnegan aspek-aspek komunikasi, khususnya fungsi-fungsi situasional yang melatari tuturan.

(30)

tanda selalu menunjuk pada suatu hal yang nyata, misalnya benda, kejadian, tulisan, bahasa, tindakan, peristiwa, dan lain-lain. Misalnya, kalau kita melihat orang menangis, maka itu menjadi tanda bahwa orang tersebut sedang sedih. Danesi (2010:38) mengidentifikasi tiga jenis tanda yang lazim digunakan pelbagai karya semiotika, diantaranya ikon, indeks, dan simbol.

a) Ikon

Ikon adalah tanda yang didasarkan atas “keserupaan” atau “kemiripan”.

Gambar-gambar figur sederhana yang sering dijumpai di depan toilet umum merupakan objek yang dipandang menyerupai manusia. Gambar-gambar kecil yang terdapat di layar komputer juga disebut sebagai ikon yang mewakili sebuah perintah.

b) Indeks

Budiman (2011:79) mengartikan indeks sebagai tanda yang memiliki kaitan fisik. Misalnya, sebuah tiang penunjuk jalan merupakan indeks dari arah atau nama jalan. Sebuah penunjuk angin merupakan indeks dari keberadaan angin atau indeks dari arah tiupan angin.

c) Simbol

(31)

Dengan demikian, lambang dapat dimaknai sebagai tanda yang bermakna dinamis, khusus, subjektif, kias, dan majas.

2.2.2 Kajian Bahasa secara Pragmatik

Pragmatik merupakan ilmu tentang bahasa yang membahas tentang maksud yang ingin disampaikan penutur kepada mitra tutur. Studi ini lebih banyak berhubungan dengan analisis tentang apa yang dimaksudkan orang dengan tuturan-tuturannya. Sejalan dengan Yule (2006:3) yang mengungkapkan bahwa pragmatik adalah studi tentang maksud penutur. Studi ini melibatkan penafsiran tentang apa yang dimaksudkan orang terhadap apa yang dikatakannya. Kajian yang paling penting dalam pragmatik ialah konteks.

(32)

Mey (2001) mendefinisikan konteks sebagai konsep dinamis yang harus dipahami sebagai lingkungan yang senantiasa berubah. Jadi, konteks merupakan sebuah pemahaman.

Yule (2006:13) mengungkapkan bahwa konteks dapat diketahui melalui berbagai aspek pragmatik yang meliputi (1) praanggapan, (2) tindak tutur, (3) implikatur, dan (4) deiksis. Secara terperinci, keempat aspek pragmatik yang digunakan untuk memunculkan konteks akan diuraikan sebagai berikut.

a. Praanggapan

Satu kategori fenomena-fenomena pragmatik lebih lanjut yang signifikan adalah praanggapan. Secara umum, praanggapan adalah asumsi-asumsi atau inferensi-inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu. Namun, tidak semua inferensi yang tersirat dalam ungkapan-ungkapan linguistik tertentu merupakan pranggapan-praanggapan yang tepat terhadap suatu ujaran. Sebuah tuturan dapat dikatakan mempraanggapan tuturan yang lain apabila ketidakbenaran tuturan yang dipresuposisikan mengakibatkan kebenaran atau ketidakbenaran tuturan yang mempresuposisikan tidak dapat dikatakan (Rahardi, 2006:42). Singkatnya, praanggapan adalah anggapan penutur mengenai kejadian sebelum menghasilkan tuturan. Tuturan yang berbunyi Siswa tercantik di sekolah

itu sangat malas. Tuturan tersebut mempraanggapkan adanya seorang siswa yang

(33)

b. Tindak Tutur

Tindakan-tindakan yang ditampilkan lewat tuturan disebut tindak tutur. Istilah diskriptif untuk tindak tutur yang berlainan digunakan untuk maksud komunikatif penutur dalam menghasilkan tuturan. Penutur biasanya berharap maksud komunikatifnya akan dimengerti oleh mitra tutur.

Austin (dalam Cumming, 2007:9) mengklasifikasikan rangkap tiga terhadap tindak tutur, yaitu ketika seseorang bertutur, seseorang melakukan tindak lokusi, tindak ilokusi, dan tindak perlokusi. (1) Tindak lokusi, merupakan pengujaran kalimat tertentu dengan pengertian dan acuan tertentu, yang sama dengan makna suatu kalimat atau ujaran tersebut. (2) Tindak ilokusi ialah ujaran-ujaran yang memiliki daya tertentu. Berbagai tindak ilokusi misalnya memberi tahu, memerintah, mengingatkan, melaksanakan, dan sebagainya. (3) Tindak perlokusi ialah efek atau apa yang dihasilkan dari tuturan tersebut, seperti membujuk, meyakinkan, dan sebagainya. Di antara ketiga dimensi tersebut, yang paling banyak dibahas adalah tekanan ilokusi. Tekanan ilokusi suatu tuturan adalah apa yg diperhitungkan tekanan itu.

c. Implikatur

(34)

tuturan tersebut. Proposisi yang diimplikasikan itu dapat disebut dengan implikatur percakapan. Sementara Yule (2006:62) menjelaskan bahwa implikatur adalah contoh utama dari banyaknya informasi yang disampaikan daripada yang dikatakan. Jadi, implikatur adalah sesuatu yang dinyatakan secara tersirat, sehingga apa yang dikatakan bukanlah yang dimaksudkan.

Tuturan yang berbunyi Ayah pulang, cepat belajar! Tidak semata-mata dimaksudkan untuk memberitahukan bahwa ayah sudah kembali ke rumah. Si penutur bermaksud memperingatkan mitra tutur bahwa sang ayah yang bersikap keras itu akan marah apabila melihat ia bermain dan tidak belajar. Dengan kata lain, tuturan itu diimplikasikan bahwa sang ayah adalah seorang yang keras, disiplin, dan sering marah-marah apabila melihat anaknya tidak belajar. Di dalam implikatur, hubungan antara tuturan yang sesungguhnya dengan maksud yang tidak dituturkan itu bersifat tidak mutlak. Inferensi maksud tuturan itu harus didasarkan pada konteks situasi tutur yang mewadahi munculnya tuturan tersebut. d. Deiksis

Deiksis adalah istilah atau ungkapan mendasar yang dilakukan dengan tuturan. Ungkapan deiksis merupakan bentuk linguistik yang dipakai untuk

menyelesaikan “penunjukan”. Dengan demikian, deiksis berarti „penunjukan‟

melalui bahasa (Yule, 2006:13). Ketika seseorang bertemu dengan objek asing,

maka ia akan bertanya, “benda apa itu?”, maka orang tersebut menggunakan

ungkapan deiksis, yaitu kata “itu” untuk menunjuk sesuatu.

(35)

ungkapan deiksis yang jauh dari penutur (itu, di sana, pada saat itu). Jenis deiksis ada lima, yaitu deiksis persona, deiksis tempat, deiksis waktu deiksis sosial, dan deiksis wacana.

a) Deiksis Persona

Dengan cara menyebut penutur („saya‟) dan mitra tutur („kamu‟), maka

perbedaan tersebut melibatkan deiksis persona. Deiksis persona menerapkan tiga

pembagian dasar, yaitu kata ganti orang pertama (“saya” dan “kami”), orang

kedua (“kamu” dan “anda”), dan kata ganti orang ketiga (“dia” dan “mereka”).

Salah satu contoh tentang perbedaan sosial yang dikodekan dalam deiksis persona adalah perbedaan antara bentuk yang dipakai untuk lawan tutur yang sudah dikenal dibandingkan dengan bentuk yang dipakai untuk lawan tutur yang belum dikenal dalam beberapa bahasa.

b) Deiksis tempat

Konsep yang berhubungan erat dengan deiksis tempat, yaitu tempat hubungan antara orang dan benda yang ditunjukkan. Dalam mempertimbangkan deiksis tempat, perlu diingat bahwa tempat, dari sudut pandang penutur, dapat ditetapkan baik secara mental mau pun fisik. Penutur juga dapat membayangkan dirinya berada di tempat sebelum dia berada di tempat tersebut. Deiksis tempat

dapat dibagi menjadi tiga, yaitu yang dekat dengan penutur (“di sini”), yang tidak

dekat dengan penutur tetapi dekat dengan mitra tutur (“di situ”), dan yang tidak

(36)

Deiksis waktu adalah pemberian bentuk pada rentang waktu. Deiksis

waktu ini diungkapkan dalam bentuk “kala”. Misalnya: Saya lupa membaca

majalah kemarin. Kata kemarin merupakan deiksis waktu.

d) Deiksis wacana

Cummings (2007:46), mengungkapkan bahwa dalam deiksis wacana, ungkapan linguistik digunakan untuk mengacu pada suatu bagian tertentu dari wacana yang lebih luas (baik teks tertulis mau pun teks lisan) tempat terjadinya ungkapan-ungkapan tersebut. Deiksis wacana mencakup anafora dan katafora. Bentuk-bentuk yang dipakai untuk mengungkapkan deiksis wacana itu adalah kata/frasa: ini, itu, yang terdahulu, yang berikut, yang pertama disebut, begitulah,

ialah, yaitu, dan sebagainya.

e) Deiksis sosial

Deiksis sosial ialah rujukan yang dinyatakan berdasarkan perbedaan kemasyarakatan yang mempengaruhi peran penutur dan mitra tutur. Perbedaan itu dapat ditunjukkan dalam pemilihan kata. Deiksis sosial ini rujukannya berpindah-pindah sesuai dengan tataran sosial masyarakat. Misalnya kata aku digunakan untuk berbicara kepada yang seumuran, kata saya untuk berbicara kepada yang lebih tua, dan kata beliau untuk orang yang lebih tua dan dihormati.

2.2.3 Unsur Intralingual

(37)

berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat. Pendapat tersebut sejalan dengan Pranowo (2013), yang mengungkapkan bahwa kajian intraingual meliputi bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kajian intralingual tersebut tidak hanya sebatas pada aspek kebahasaan saja, melainkan sampai pada makna. Aspek-aspek bahasa tersebut tanpa dimaknai tidak akan ada artinya.

Di dalam hubungannya dengan kajian daya bahasa dan nilai rasa bahasa, bahasa verbal digunakan untuk menganalisis unsur intralingual. Menurut Pranowo (2012:3), bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam bahasa verbal (unsur intralingual) biasanya akan memiliki efek yang sangat kuat jika didukung oleh bahasa nonverbal. Jika bahasa verbal yang dimaksud adalah bahasa tulis, penanda jeda pendek, sedang, panjang, dan panjang sekali diwujudkan berupa pemisahan kata, tanda koma, tanda titik, pergantian paragraf, dan pergantian wacana. Sementara itu, jika bahasa verbal yang dimaksud adalah bahasa lisan, penanda jeda diwujudkan berupa intonasi, tekanan, dan irama. Di samping itu, bahasa verbal lisan juga memanfaatkan permainan bunyi, permainan kata, gaya bahasa, idiom dapat memberi efek komunikatif bagi mitra tutur. Jadi, daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat terjadi dalam bahasa lisan mau pun bahasa tulis tetapi cara memasukkannya berbeda-beda.

(38)

penelitian ini mengacu pada unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Teori semantik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual. Dengan kata lain, unsur intralingual adalah unsur bahasa yang ada di dalam bahasa itu sendiri. Unsur intralingual dapat terlihat jelas apabila dikaji dengan memperhatikan aspek-aspek berikut.

a. Kata (Pilihan Kata)

Kata merupakan satuan gramatikal bebas terkecil. Menurut Chaer (2012:162), kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunyai satu arti. Contoh kata ialah : ayah, minum, kopi, dan sekarang. Poerwadarminta (1967:43) menambahkan, ketika berbicara, kita perlu memilih kata-kata yang tepat, seksama, dan lazim. Tepat yaitu sesuai dengan arti dan tempatnya. Seksama yaitu sesuai dengan apa yang hendak dituturkan. Lazim yaitu sesuai dengan kata umum. Unsur intralingual daya bahasa mau pun nilai rasa bahasa dapat diketahui dengan mangamati diksi atau pilihan katanya.

Kata dan pilihan kata dapat digunakan untuk memunculkan daya bahasa. Misalnya pada tuturan:

“Para tikus negara harus segera dimusnahkan!”.

(Konteks: pimpinan KPK sedang menginstruksikan kepada para anggotanya untuk segera menindak tegas para koruptor).

Penggunaan kata „tikus‟ dan „musnah‟ dalam tuturan tersebut mengandung

perintah. Koruptor diibaratkan dengan kata „tikus‟ yang merupakan hama yang

(39)

harus ditangkap dan diberantas seluruhnya. Kata „tikus‟ dan „musnah‟ mempunyai

daya bahasa yang lebih kuat daripada tuturan berikut:

“Para koruptor negara harus segera kita tangkap dan diberantas!”

Bila tuturan diubah menjadi seperti itu, maka daya bahasa yang dihasilkan kurang kuat, sehingga kemungkinan pesan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur kurang mengena. Selain mengandung daya bahasa, ternyata tuturan tersebut juga mengandung nilai rasa bahasa. Penutur merasa kesal dengan ulah para koruptor yang telah banyak merugikan negara.

Berdasarkan beberapa pengertian dan contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa kata dan pilihan kata merupakan satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna tertentu. Dalam memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa, penggunaan kata menjadi sangat penting. Penggunaan pilihan kata atau diksi yang tepat akan mampu memperkuat daya bahasa mau pun nilai rasa bahasa. b. Frasa

(40)

sapi bisa diselipi kata seperti, sehingga menjadi boneka seperti sapi, frasa

merupakan satu kesatuan jadi tidak dapat dipindahkan secara sendirian. Frasa dapat memunculkan daya bahasa, seperti pada tuturan berikut:

“Tikus berdasi itu harus kita basmi”.

(Konteks: pimpinan KPK sedang menginstruksikan kepada para anggotanya untuk segera menindak tegas para koruptor).

„Tikus berdasi‟ dapat disebut sebagai frasa, karena merupakan satu

kesatuan dan bisa diselipi kata lain, misalnya yang, menjadi „tikus yang berdasi‟.

Frasa „tikus berdasi‟ merupakan objek dan predikat pada tuturan tersebut. Frasa

„tikus berdasi‟ mempunyai makna koruptor yang merupakan pejabat negara yang

selalu mengenakan dasi. Frasa tersebut mempunyai daya perintah, yaitu perintah KPK kepada anggotanya untuk segera menindak tegas para koruptor.

c. Klausa

Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi predikat. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frasa, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan (Chaer, 2012:231). Unsur inti klausa ialah subjek dan predikat (Ramlan, 2005:79). Jadi, unsur atau fungsi yang lain tidaklah bersifat wajib.

Konstruksi ibu memasak merupakan klausa, karena hubungan komponen

ibu dan komponen memasak bersifat predikatif; ibu adalah pengisi fungsi subjek

(41)

dalamnya sudah ada fungsi sintaksis wajib, yaitu subjek dan predikat. Klausa ini juga dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan di bawah ini:

“Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi”.

(Konteks: Tuturan diucapkan oleh hakim kepada terdakwa yang terlibat kasus korupsi).

Klausa „terdakwa terbukti secara sah‟ terdiri dari unsur subjek dan

predikat. Klausa tersebut mengandung daya penegasan bahwa mitra tutur telah bersalah. Selain daya penegasan, tuturan tersebut juga mengandung kepastian bahwa orang yang didakwa telah terbukti melakukan tindak korupsi.

d. Kalimat

Kalimat umumnya berwujud rentetan kata yang disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku (Alwi,dkk, 2010:35). Ramlan (2005:23) menambahkan bahwa kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Chaer (2012:240) juga menambahkan bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa. Jadi, apabila sebuah klausa diberi intonasi final (intonasi deklaratif/tanda titik, intonasi interogatif/tanda tanya, dan intonasi seru/tanda seru), maka akan terbentuk menjadi kalimat.

(42)

a) Kalimat berita

Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan informasi kepada orang lain, sehingga menimbulkan tanggapan atau respon dari orang lain, yang dapat berupa anggukan kepala atau pun pandangan mata. Kalimat berita selalu diakhiri dengan tanda titik (.). Misalnya: Jalan itu sangat licin. Kalimat tersebut termasuk kalimat berita, karena tidak terdapat kata-kata tanya, ajakan, mau pun larangan.

b) Kalimat tanya

Fungsi dari kalimat tanya adalah untuk menanyakan sesuatu. Kalimat tanya selalu diakhiri dengan tanda tanya (?). Misalnya: Kapan kamu wisuda? Kalimat tersebut merupakan kalimat tanya, karena menanyakan sesuatu dan diakhiri dengan tanda tanya. Kata-kata tanya meliputi: apa, siapa, kapan, mengapa, kenapa, bagaimana,

mana, bila, dan berapa.

c) Kalimat suruh

Kalimat suruh berfungsi untuk mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang yang diajak berbicara. Ramlan (2005:40), menggolongkan kalimat suruh berdasarkan strukturnya menjadi empat golongan, yaitu kalimat suruh yang sebenarnya, kalimat persilahan, kalimat ajakan, dan kalimat larangan. Kalimat suruh selalu diakhiri dengan tanda perintah (!). Misalnya: Ayo kita belajar

matematika!. Kalimat tersebut merupakan kalimat suruh, yang termasuk dalam

(43)

2.2.4 Unsur Ekstralingual

Unsur ekstralingual merupakan unsur bahasa yang berada di luar bahasa. Pranowo (2012:90) mengungkapkan bahwa unsur kebahasaan mencakup bahasa verbal dan nonverbal, sedangkan unsur nonkebahasaan meliputi topik pembicaraan dan konteks situasi komunikasi. Jadi, unsur ekstralingual ini mencakup konteks tuturan dan bahasa nonverbal berupa tanda-tanda ketubuhan. Konteks tuturan beserta fenomena yang dapat memunculkannya telah dibahas sebelumnya (lihat sub bab kajian bahasa secara pragmatik).

Sebagai cermin kepribadian bangsa, kita harus mampu menerapkan tindak bahasa itu dalam kehidupan sehari-harinya, bukan hanya tindak bahasa yang bersifat verbal, tetapi juga tindak bahasa yang bersifat nonverbal. Menurut Pranowo (2012:3), bahasa nonverbal adalah bahasa yang diungkapkan dalam bentuk mimik, gerak gerik tubuh, sikap, atau perilaku. Dalam hubungannya dengan kajian daya bahasa dan nilai rasa bahasa, bahasa nonverbal digunakan untuk menganalisis unsur ekstralingual.

(44)

dan tindakan badaniah lainnya mengomunikasikan sesuatu yang relevan dengan budaya dalam situasi-situasi sosial tertentu. Bahasa nonverbal ini, biasanya digunakan penutur untuk memperkuat maksud yang diucapkan melalui bahasa verbal.

Liliweri (1994:89) mengungkapkan bahwa komunikasi nonverbal acapkali dipergunakan untuk menggambarkan perasaan dan emosi. Saat pesan yang disampaikan melalui bahasa verbal kurang kuat efeknya, penutur dapat menggunakan tanda-tanda nonverbal sebagai pendukung. Di dalam suatu situasi komunikasi verbal, komunikasi nonverbal merupakan pelengkap dan penegas unsur-unsur intralingual yang digunakan. Namun, unsur ekstralingual berupa bahasa nonverbal ini tidak selalu menyertai suatu tuturan. Hal tersebut sesuai dengan pendapat Liliweri (1994:88) yang mengungkapkan bahwa unsur ekstralingual berupa bahasa nonverbal ini tidak selalu menyertai suatu tuturan karena hanya digunakan sebagai penegas dan pelengkap. Liliweri juga mengungkapkan meskipun tidak mengeluarkan suatu tuturan, namun ekspresi wajah seseorang juga mampu mewakili pesan dengan makna tertentu terhadap orang lain.

(45)

a. Ekspresi Wajah

Tubuh adalah sarana utama bagi manusia untuk mengekspresikan rasa yang terkandung dalam diri sebagai perwujudan yang tengah dirasakan. Tubuh juga sebagai sarana untuk memahami hubungan antara alam dan budaya dalam kehidupan manusia. Bagian tubuh untuk mengekspresikan hal tersebut salah satunya diungkapkan melalui ekspresi wajah. Ekspresi wajah yang bersifat universal yang diprogram pada diri kita sendiri, senantiasa diubah menjadi bentuk penanda dalam diri untuk mananggapi sesuatu.

Ekspresi wajah manusia juga dapat bersifat sadar dan tidak sadar (Danesi,2014:69). Jenis ekspresi sadar pada efeknya merupakan jenis sinyal khusus. Ekspresi wajah akan terlihat jelas dengan memperhatikan posisi alis, bentuk mata, bentuk mulut, bentuk hidung, dan lain-lain. Contoh ekspresi wajah manusia ialah ekspresi wajah terhibur. Ekspresi wajah terhibur dapat terlihat dengan posisi bibir ditarik ke belakang dan mata berbinar-binar. Pada efeknya, ekspresi wajah adalah penanda tidak sadar universal yang menciptakan suasana hati seperti terhibur, sedih, marah, heran, dan lain sebagainya. Melalui wajah, orang juga bisa membaca makna suatu pesan (Liliweri, 1994:145).

b. Sinyal (Bahasa Tubuh)

Isyarat atau sinyal adalah suatu hal atau keadaan yang diberikan oleh

(46)

berpakaian dan berpenampilan juga merupakan bagian perwujudan dari bahasa tubuh. Danesi juga menambahkan bahwa studi ilmiah tentang bahasa tubuh disebut kinesika. Sinyal kinesis dapat bersifat sadar, tak sadar, dan campuran (sadar-tak sadar). Isyarat kedipan mata, acungan jempol merupakan sinyal yang bersifat sadar, sedangkan sinyal-sinyal yang terjadi tanpa disengaja merupakan sinyal bawaan (sadar), misalnya wajah memerah. Gabungan antara sinyal yang bersifat sadar dan sinyal tak sadar disebut sebagai sinyal campuran. Misalnya menangis, tertawa, dan mengangkat bahu. Pesan-pesan yang ditunjukkan melalui bahasa tubuh dapat memberikan tampilan dan kesan ketika bertutur.

2.2.5 Kajian Daya Bahasa

Bahasa merupakan alat komunikasi yang paling efektif. Berbahasa yang baik dapat mewujudkan hasil pemikiran yang baik pula. Setiap orang dapat berbahasa, tetapi tidak setiap orang dapat memanfaatkan daya bahasa untuk mengefektifkan komunikasi.

(47)

negatif. Jika daya bahasa dimanfaatkan secara positif, maka komunikasi dapat berjalan secara lancar dan santun. Namun, apabila daya bahasa digunakan secara negatif, maka komunikasi dapat menimbulkan ketidaksantunan.

Sama halnya dengan Quanita Fitri (2009) menambahkan bahwa daya bahasa adalah kadar kekuatan yang dimiliki oleh bahasa untuk menyampaikan makna, informasi, atau maksud melalui fungsi komunikatif sehingga pendengar atau pembaca mampu memahami dan menangkap segala makna, informasi, atau maksud yang disampaikan penutur atau penulis. Daya bahasa pada wacana dapat muncul ketika kesatuan makna mengungkapkan kesatuan pesan.

Sudaryanto dalam Pranowo (2012:138) menggali daya bahasa dari aspek linguistik. Hasilnya, hampir seluruh tataran bahasa mampu memunculkan daya bahasa. Daya bahasa akan terlihat dari tataran bunyi, bentuk kata, struktur, leksikon (terutama pilihan kata), dan wacana.

Daya bahasa dapat digali melalui sinonim kata. Kata satu dengan kata yang lain tentunya memiliki daya bahasa yang berbeda-beda. Misalnya kata „mati‟

atau „meninggal‟ memiliki daya bahasa yang bersifat netral. Beda halnya dengan

kata mampus, gugur, wafat, dan sebagainya memiliki daya bahasa yang

berbeda-beda. Kata „mampus‟ memiliki daya bahasa negatif yang di daalamnya

mengandung rasa dendam dan penuh kepuasan karena orang yang dibencinya tidak lagi dapat berbuat apa-apa seperti ketika masih berdaya atau hidup. Kata

„gugur‟ memiliki daya bahasa yang hormat terhadap subjek karena kematiannya

terjadi untuk membela kebenaran sehingga perlu mendapat

(48)

terhadap subjek karena yang meninggal dunia biasanya orang-orang besar ternama.

2.2.6 Kajian Nilai Rasa Bahasa

Nilai rasa bahasa merupakan kadar perasaan yang terkandung dalam suatu tuturan karena penutur mengungkapkan domain afektifnya menggunakan bahasa dalam berkomunikasi sehingga mitra tutur dapat menyerap kadar perasaan yang terdapat dalam tuturan. Joko Pradopo (2002) menyinggung sedikit tentang nilai rasa bahasa. Nilai rasa bahasa dapat muncul melalui unsur intralingual seperti permainan bunyi, kata, gaya bahasa, ungkapan, dan konteks bahasa. Singkatnya, nilai rasa bahasa ialah kadar perasaan dalam berkomunikasi. Perasaan itu bisa berupa rasa senang, sedih, kecewa, marah, bingung, dan lain-lain. Perasaan seseorang dapat terlihat dari bahasa verbal, bahasa nonverbal, dan konteksnya. Bahasa verbal dapat terlihat dari diksi atau pilihan katanya, bahasa nonverbal dapat terlihat dari ekspresi wajah, sedangkan konteks dapat terlihat setelah kita mengetahui maksud suatu tuturan dengan memperhatikan berbagai aspek pragmatik, seperti praanggapan, tindak tutur, dan implikatur.

(49)

Menurut Poerwadarminta (1967:35-36), ciri-ciri kata yang memiliki nilai rasa yaitu menggunakan:

1. Kata rasa (perasaan)

Kata-kata yang bernilai rasa (perasaan) memiliki ciri menggunakan kata-kata perasaan, seperti senang, sedih, benci, marah, kecewa, jengkel, belas kasihan, menghina, dan sebagainya.

2. Kata pelembut

Kata-kata yang bernilai rasa halus atau lembut dikelompokkan menjadi tiga, yaitu: a. Nilai rasa hormat

Kata-kata yang bernilai rasa hormat memiliki ciri menggunakan kata-kata hormat, misalnya: Anda, beliau, dan sebagainya.

b. Nilai rasa menghargai

Kata-kata yang bernilai rasa menghargai memiliki ciri menggunakan kata-kata halus, misalnya: istri, mengandung, jenazah, dan sebagainya.

c. Nilai rasa khawatir terjadi sesuatu

Kata-kata yang bernilai rasa khawatir terjadi sesuatu memiliki ciri menggunakan kata pantang, misalnya: akar untuk menyebut ular di malam hari. 3. Nilai rasa kasar

(50)

pada isi kata tersebut. Maksud dan nilai rasa (kadar perasaan) dapat ditemukan dalam isi kata.

4. Kata Bunyi

Kata ini hanya berkadar bunyi seperti: desis, dentang, sir, dan sebagainya. Untuk mengetahui perasaan seseorang, kita perlu menganalisis emosi yang dikeluarkan melalui tingkah laku mau pun kata-katanya. Suprapti,dkk dalam Kaswanti Purwo (1992:110-112), mengelompokkan kata emosi pada manusia menjadi 28 macam, yaitu malas, kelelahan, kesedihan, pesimis, takut, heran, tertekan, marah, benci, bersalah, malu, muak, bosan, sunyi, kekosongan, kedamaian-kebahagiaan, bebas, cinta, kangen, terasing, dipaksa-dibohongi, dicintai, yakin-optimis, sehat, perasaan terhadap makanan, keinginan, menerima, dan rasa kecil.

1. Malas-acuh:

Acuh, ogah, ogah-ogahan, segan, wegah, males, enggan. 2. Kelelahan:

Letih, cape, penat, lemes, pegal, pusing, pucat, sakit, perih, kesemutan, gatal,

ngantuk, lesu, pening, nyeri, dan getir.

3. Kesedihan:

Pilu, sedih, haru, terharu, trenyuh, kasihan, ngenes, tergugah, prihatin, syahdu, susah, pedih, sendu, duka, iba, dan masygul.

4. Perasaan pesimis depresif:

(51)

5. Takut-cemas:

Kacau, bingung, gugup, gemetaran, tegang, cemas, gelisah, risau, was-was, kuatir, bimbang, ragu-ragu, sangsi, panik, takut, ngeri, gentar, curiga, ruwet, sewen, berdebar-debar, resah, ragu, seram, dan nanar.

6. Heran:

Kaget, heran, tercengang, terpukau, takjub, kagum, seperti mimpi, terkejut, dan terpaku.

7. Tertekan:

Terdorong, terdesak, terpaksa, terkekang, terhambat, tertindas, terinjak, terpukul, tersinggung, tersindir, tersudut, terancam, terikat, terbanting, dan terhina.

8. Marah:

Sakit hati, jengkel, keki, kesal, dongkol, gedeg, geram, sebal, cape hati, kecewa, marah, pitam, darah pendidih, kelap, sengit, panas, mangkel, gondok, naik darah, dan amarah.

9. Benci:

Dendam, cemburu, iri, benci, antipati, sentimen, dan tidak menghargai. 10. Bersalah:

Bersalah, salah, dosa, menyesal, dan sesal. 11. Malu:

Malu, sungkan, kikuk, kaku, risi, dan jengah. 12. Muak:

(52)

13. Bosan:

Jeleh, jenuh, jemu, dan bosan. 14. Sunyi:

Kesepian, sepi, dan kehilangan. 15. Kekosongan:

Hampa, kosong, hambar, dan dingin. 16. Kedamaian-kebahagiaan:

Adhem, nyaman, aman, tentram, selamat, terlindungi, enak, nikmat, asyik,

betah, rileks, santai, gembira, riang, senang, besar hati, bangga, bahagia, ayem, tenang, damai, dan girang.

17. Bebas:

Lega, plong, lapang, puas, untung, ringan, dan terlepas.

18. Cinta:

Suka, simpati, tertarik, cinta, sayang, dhemen, dan kasih. 19. Kangen:

Rindu, kangen, dan terkenang. 20. Terasing:

Terasing, terkucil, tak dihiraukan, diabaikan, dan asing. 21. Dipaksa-dibohongi:

(53)

22. Dicintai:

Terbelai, tersanjung, diperhatikan, disayangi, dibutuhkan, dipercaya, dan dicintai.

23. Yakin optimis:

Yakin, optimis, kuat, cukup, dan mantep. 24. Sehat:

Segar, sehat, dan sadar. 25. Perasaan terhadap makanan:

Kenyang, lapar, dan haus. 26. Keinginan:

Bernafas, ngantuk, dan ingin. 27. Menerima

Ikhlas, rela, pasrah, dan bersyukur. 28. Rasa kecil:

Sempit dan kecil.

2.2.7 Fungsi Komunikatif Bahasa

(54)

tidak bisa dipenuhi tanpa bentuk bahasa yang meliputi bunyi, kata, frasa, klausa, kalimat, wacana dan organisasional lainnya (Brown, 2008:245). Bahasa merupakan manifestasi lahiriah, sedangkan fungsi merupakan perwujudan bentuk-bentuk bahasa itu sendiri. Tanpa komunikasi kehidupan manusia tentu akan tidak berjalan dengan baik, karena komunikasi itulah yang menjadi pegangan dalam menjalani kehidupan yang tentram. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat muncul lewat kata-kata yang digunakan dalam berkomunikasi.

Leech (2003:63) memaparkan ada lima fungsi bahasa dalam komunikasi, meliputi (a) fungsi informasional, (b) fungsi ekspresif, (c) fungsi direktif, (d) fungsi phatik, (e) fungsi estetik.

(a) Fungsi informasional biasa digunakan untuk menginformasikan sesuatu, misalnya melaporkan, mendeskripsikan, dan menjelaskan sesuatu. Fungsi ini dianggap sebagai fungsi yang sangat penting.

(b) Fungsi ekspresif biasa digunakan untuk mengungkapkan perasaan penuturnya, dan mengekspresikan emosi, keinginan, atau perasaan penyampaian pesan. Kata seru adalah contoh yang paling jelas dalam hal ini, misalnya : Aduh...perutku sakit!. Contoh tersebut menggunakan fungsi ekspresif yang mengungkapkan keluhan rasa sakit.

(55)

duduklah!. Contoh tersebut menggunakan fungsi direktif pada kata kerja yang

memiliki makna perintah.

(d) Fungsi phatik digunakan untuk menjaga agar garis komunikasi tetap terbuka, dan untuk terus menjaga hubungan sosial secara baik.

(e) Fungsi estetik, yang paling penting adalah bahwa seseorang mengatakan sesuatu, bukan apa yang dikatakan.

Kelima fungsi komunikatif dalam berbahasa tersebut saling berhubungan dan tidak dapat berdiri sendiri. Brown (2008:247) mengungkapkan bahwa satu kalimat atau percakapan bisa menggabungkan banyak fungsi berlainan secara bersamaan. Fungsi komunikatif ini selalu berhubungan dengan lima situasi komunikasi (Leech, 2003:65), yaitu (1) pokok persoalan, (2) sumber (yaitu penutur dan penulis), (3) penerima (yaitu pendengar atau pembaca), (4) sarana komunikasi, dan (5) pesan bahasa.

2.2.8 Karikatur

(56)

gambar bermuatan humor atau satir dalam berbagai media massa dengan mengambil tokoh-(tokoh) orang yang terkenal atau orang-orang biasa yang karena peristiwa tertentu menjadi terkenal. Untuk menampilkannya secara lebih humoristis tokoh-tokoh itu digambarkan dalam bentuk tubuh dan wajah. Menurut Sudarta (1967:49) kartun adalah semua gambar humor, termasuk karikatur itu, lahiriahnya untuk tujuan mengejek. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Pramono (dalam Slamet, 2011:67) yang mengatakan bahwa sebetulnya karikatur adalah bagian dari kartun opini. Karikatur yang sudah diberi beban pesan, kritik, dan sebagainya berarti telah menjadi kartun opini. Dengan kata lain, kartun yang membawa pesan kritik sosial yang muncul di setiap penerbitan surat kabar adalah

political cartoon atau editorial cartoon, yakni merupakan visualisasi dari bentuk

tajuk rencana sebuah surat kabar. Inilah yang biasa disebut karikatur (Sudarta, 1987).

Pendapat di atas berlawanan dengan pendapat Noerhadi (1989:189) dalam artikelnya yang berjudul Kartun dan Karikatur sebagai Wahana Kritik Sosial yang mendefinisikan kartun sebagai suatu bentuk tanggapan lucu dalam citra visual. Konsep kartun dan karikatur dalam artikel tersebut dipisahkan secara tegas. Tokoh-tokoh kartun bersifat fiktif yang dikreasikan untuk menyajikan komedi-komedi sosial serta visualisasi jenaka. Sementara itu, tokoh-tokoh karikatur adalah tokoh-tokoh tiruan lewat pemiuhan (distortion) untuk memberikan persepsi tertentu kepada pembaca.

(57)

Masing-masing surat kabar mempunyai ciri khas tertentu dalam menyajikan rubrik karikatur ini. Koran Tempo yang terbit setiap hari selalu menyajikan rubrik karikatur di halaman 32. Namun, kadang kala setiap seminggu sekali, rubrik karikatur tidak disajikan. Perbedaan antara kartun dan karikatur dapat diibaratkan antara buah dan jeruk. Kartun merupakan buah, sedangkan jeruk merupakan karikatur.

Karikatur dapat dijadikan sebagai salah satu cara untuk menyampaikan kritik yang sehat, karena penyampaiannya dilakukan dengan gambar-gambar yang lucu dan menarik. Secara khusus, media karikatur ini diciptakan sebagai cermin yang dapat memantulkan tingkah laku setiap orang, baik secara pribadi mau pun secara sosial dalam masyarakat luas.

(58)

sesuai dengan apa yang telah diamati penulis. Karikatur ini menyajikan wacana hiburan bagi pembacanya, karena di dalamnya terdapat humor yang cenderung merupakan kritik sosial, politik, mau pun budaya terhadap segala peristiwa yang terjadi di tengah kehidupan masyarakat. Wahana kritik ini seringkali ditemui dalam berbagai media cetak, seperti surat kabar, majalah, dan tabloid.

Karikatur pada dasarnya dapat dibedakan menjadi dua jenis, yakni karikatur verbal dan karikatur nonverbal. Karikatur verbal yaitu karikatur yang dalam visual gambarnya memanfaatkan unsur-unsur verbal, seperti kata, frasa, klausa, dan kalimat, di samping gambar tokoh yang ada, sedangkan karikatur nonverbal lebih cenderung memanfaatkan gambar sebagai bahasa bertutur agar maksud yang ada dalam gambar dapat tersampaikan kepada pembaca.

2.2.9 Kesantunan Berbahasa

Bahasa merupakan cermin kepribadian seseorang juga cermin kepribadian bangsa. Melalui bahasa, seseorang atau suatu bangsa dapat diketahui kepribadiannya. Bahasa yang dimaksud dapat berupa bahasa verbal dan bahasa nonverbal. Bahasa verbal adalah bahasa yang dimuculkan melalui kata-kata (bisa dalam bentuk ujaran mau pun tulisan), sedangkan bahasa nonverbal ialah bahasa yang diungkapkan melalui mimik, gerakan tubuh, sikap, dan perilaku (Pranowo, 2012:3).

(59)

penggunaan bahasa yang baik dan benar saja tidak cukup. Namun, kaidah lain yang perlu dan penting untuk diperhatikan ialah kesantunan. Kaidah kesantunan dipakai dalam setiap tindak bahasa. Seseorang yang sedang bercanda pun hendaknya menggunakan tuturan yang santun. Agar pemakaian bahasa terasa semakin santun, penutur dapat berbahasa menggunakan bentuk-bentuk tertentu (Pranowo, 2012:6), seperti (1) menggunakan tuturan tidak langsung, (2) pemakaian bahasa dengan bahasa kias, (3) ungkapan memakai gaya bahasa penghalus, (4) tuturan yang dikatakan berbeda dengan yang dimaksudkan, dan (5) tuturan dikatakan secara implisit.

Kesantunan berbahasa ini sangat penting untuk menentukan keberhasilan komunikasi sehingga maksud suatu ujaran dapat tersampaikan tanpa menyinggung perasaan mitra tutur. Penggolongan suatu tuturan termasuk santun atau tidak santun dapat dilihat dari indikator kesantunan. Indikator kesantunan adalah penanda yang dapat dijadikan penentu apakah pemakaian bahasa Indonesia penutur santun atau tidak (Pranowo, 2012:100). Penanda tersebut dapat berupa unsur kebahasaan dan nonkebahasaan. Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan dua indikator kesantunan, yaitu menurut Leech 1983 dan Pranowo 2005. Penutur menganggap bahwa kedua pendapat ahli tersebut dapat mewakili pendapat-pendapat ahli sebelumnya karena isi indikator keduanya saling melengkapi. Masing-masing indikator kesantunan menurut Leech dan Pranowo akan dijelaskan sebagai berikut.

(60)

Leech (1983) berpendapat bahwa indikator kesantunan berbahasa dapat diungkapkan ke dalam tujuh maksim, yaitu:

a) Tuturan dapat memberikan keuntungan kepada mitra tutur (maksim

kebijaksanaan “tact maxim”).

b) Tuturan lebih baik menimbulkan kerugian pada penutur (maksim

kedermawanan “generosity maxim”).

c) Tuturan dapat memberikan pujian kepada mitra tutur (maksim pujian “praise

maxim”).

d) Tuturan tidak memuji diri sendiri (maksim kerendahan hati).

e) Tuturan dapat memberikan persetujuan kepada mitra tutur (maksim kesetujuan

“agreement maxim”).

f) Tuturan dapat mengungkapkan rasa simpati terhadap yang dialami oleh mitra

tutur (maksim simpati “sympathy maxim”).

g) Tuturan dapat mengungkapkan sebanyak-banyaknya rasa senang pada mitra

tutur (maksim pertimbangan “consideration maxim”).

b. Indikator kesantunan menurut Pranowo (2005 dan 2008, dalam Pranowo 2012:103).

Indikator kesantunan menurut Pranowo (2005) terdiri dari enam butir pokok, yaitu:

a) Perhatikan suasana perasaan mitra tutur sehingga ketika bertutur dapat membuat hati mitra tutur berkenan (angon rasa).

(61)

c) Jagalah agar tuturan dapat diterima oleh mitra tutur karena mitra tutur sedang berkenan di hati (empan papan).

d) Jagalah agar tuturan memperlihatkan rasa ketidakmampuan penutur di hadapan mitra tutur (sifat rendah hari).

e) Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa mitra tutur diposisikan pada tempat yang lebih tinggi (sikap hormat).

f) Jagalah agar tuturan selalu memperlihatkan bahwa apa yang dikatakan kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur (sikap tepa selira).

Selain indikator di atas, kesantunan juga dapat dilihat melalui pemakaian kata-kata tertentu sebagai pilihan kata (diksi) yang dapat mencerminkan rasa santun, misalnya:

a) Gunakan kata “tolong” untuk meminta bantuan orang lain.

b) Gunakan frasa “terima kasih” sebagai penghormatan atas kebaikan orang lain.

c) Gunakan kata “maaf” untuk tuturan yang diperkirakan dapat menyinggung

perasaan orang lain.

d) Gunakan kata “berkenan” untuk meminta kesediaan orang lain melakukan

sesuatu.

e) Gunakan kata “beliau” untuk menyebut orang ketiga yang dinilai lebih

dihormati.

f) Gunakan kata “Bapak/Ibu” untuk menyebut orang kedua dewasa.

Gambar

gambar yang dibuat seseorang melalui ungkapan perasaannya yang kemudian
gambar banteng sebagai lambang PDIP yang
gambar. Daya penegas yang ditemukan dalam tuturan Karikatur Koran Tempo ini
gambar binatang cecak. Unsur ekstralingual
+4

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Menurut Johnson (2008: 35) pembelajaran dan pengajaran kontekstual melibatkan para siswa dalam aktivitas penting yang membantu mereka mengaitkan pelajaran akademis

Fungsi utama sistem tenaga (power system) adalah untuk mendukung seluruh sistem yang lain dengan menyediakan suatu sumber tenaga yang diperlukan dalam operasi pengeboran..

Untuk mengetahui pengaruh penggantian jagung dengan roti afkir dalam ransum penggemukan sapi potong terhadap konsumsi pakan, pertambahan bobot badan dan konversi

Ny paikady kosa dia fitambaran'ny asa maromaro (groupe d'actions) mba hahatongavana amin'ny tanjona iray. Ohatra raha ny tanjona ny hampitombo vokatra 10 % isan-taona, mila

Abstrak: Penerapan Model Kooperatif Tipe TGT Dalam Peningkatan Pembelajaran IPA Kelas IV SD Negeri I Giritirto. Penelitian ini bertujuan: meningkatkan pembelajaran

Pengertian Bahan Ajar Menurut Widodo dan Jasmadi yang dikutip oleh Lestari, bahan ajar adalah seperangkat sarana atau alat pembelajaran yang berisikan materi pembelajaran,

Tempat yang diambil dalam penitian ini adalah Kota Kediri dan variabel independen yang digunakan yaitu PDRB, jumlah penduduk dan inflasi pada tahun 2000-2014 serta