• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA

2.2 Kajian Teoretis

2.2.3 Unsur Intralingual

Unsur intralingual merupakan segala unsur di dalam bahasa yang dapat berupa bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Unsur intralingual sering disebut juga dengan bahasa verbal. Pemakaian bahasa verbal memiliki unsur utama

berupa kata, frasa, klausa, dan kalimat. Pendapat tersebut sejalan dengan Pranowo (2013), yang mengungkapkan bahwa kajian intraingual meliputi bunyi, kata, frasa, klausa, dan kalimat. Kajian intralingual tersebut tidak hanya sebatas pada aspek kebahasaan saja, melainkan sampai pada makna. Aspek-aspek bahasa tersebut tanpa dimaknai tidak akan ada artinya.

Di dalam hubungannya dengan kajian daya bahasa dan nilai rasa bahasa, bahasa verbal digunakan untuk menganalisis unsur intralingual. Menurut Pranowo (2012:3), bahasa verbal adalah bahasa yang diungkapkan dengan kata-kata dalam bentuk ujaran atau tulisan. Daya bahasa dan nilai rasa bahasa dalam bahasa verbal (unsur intralingual) biasanya akan memiliki efek yang sangat kuat jika didukung oleh bahasa nonverbal. Jika bahasa verbal yang dimaksud adalah bahasa tulis, penanda jeda pendek, sedang, panjang, dan panjang sekali diwujudkan berupa pemisahan kata, tanda koma, tanda titik, pergantian paragraf, dan pergantian wacana. Sementara itu, jika bahasa verbal yang dimaksud adalah bahasa lisan, penanda jeda diwujudkan berupa intonasi, tekanan, dan irama. Di samping itu, bahasa verbal lisan juga memanfaatkan permainan bunyi, permainan kata, gaya bahasa, idiom dapat memberi efek komunikatif bagi mitra tutur. Jadi, daya bahasa dan nilai rasa bahasa dapat terjadi dalam bahasa lisan mau pun bahasa tulis tetapi cara memasukkannya berbeda-beda.

Unsur intralingual merupakan unsur bahasa tertulis yang menjadi penanda suatu tuturan, misalnya pilihan kata, ungkapan khas, kata seru, kata tutur, kata asing, kata basa-basi, kata honorifik, sapaan mesra “ayang, papi, bunda, diajeng”, umpatan, pujian, dan sebagainya. Unsur intralingual dalam hubungannya dengan

penelitian ini mengacu pada unsur-unsur kebahasaan yang digunakan untuk memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Teori semantik digunakan untuk memecahkan masalah yang bersifat intralingual. Dengan kata lain, unsur intralingual adalah unsur bahasa yang ada di dalam bahasa itu sendiri. Unsur intralingual dapat terlihat jelas apabila dikaji dengan memperhatikan aspek-aspek berikut.

a. Kata (Pilihan Kata)

Kata merupakan satuan gramatikal bebas terkecil. Menurut Chaer (2012:162), kata adalah deretan huruf yang diapit oleh dua buah spasi, dan mempunyai satu arti. Contoh kata ialah : ayah, minum, kopi, dan sekarang. Poerwadarminta (1967:43) menambahkan, ketika berbicara, kita perlu memilih kata-kata yang tepat, seksama, dan lazim. Tepat yaitu sesuai dengan arti dan tempatnya. Seksama yaitu sesuai dengan apa yang hendak dituturkan. Lazim yaitu sesuai dengan kata umum. Unsur intralingual daya bahasa mau pun nilai rasa bahasa dapat diketahui dengan mangamati diksi atau pilihan katanya.

Kata dan pilihan kata dapat digunakan untuk memunculkan daya bahasa. Misalnya pada tuturan:

“Para tikus negara harus segera dimusnahkan!”.

(Konteks: pimpinan KPK sedang menginstruksikan kepada para anggotanya untuk segera menindak tegas para koruptor).

Penggunaan kata „tikus‟ dan „musnah‟ dalam tuturan tersebut mengandung perintah. Koruptor diibaratkan dengan kata „tikus‟ yang merupakan hama yang merugikan. Kata „musnah‟ lebih menekankan bahwa semua koruptor benar-benar

harus ditangkap dan diberantas seluruhnya. Kata „tikus‟ dan „musnah‟ mempunyai daya bahasa yang lebih kuat daripada tuturan berikut:

“Para koruptor negara harus segera kita tangkap dan diberantas!”

Bila tuturan diubah menjadi seperti itu, maka daya bahasa yang dihasilkan kurang kuat, sehingga kemungkinan pesan yang ingin disampaikan kepada mitra tutur kurang mengena. Selain mengandung daya bahasa, ternyata tuturan tersebut juga mengandung nilai rasa bahasa. Penutur merasa kesal dengan ulah para koruptor yang telah banyak merugikan negara.

Berdasarkan beberapa pengertian dan contoh di atas, dapat disimpulkan bahwa kata dan pilihan kata merupakan satuan gramatikal terkecil yang mempunyai makna tertentu. Dalam memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa, penggunaan kata menjadi sangat penting. Penggunaan pilihan kata atau diksi yang tepat akan mampu memperkuat daya bahasa mau pun nilai rasa bahasa. b. Frasa

Chaer (2012:222), frasa lazim didefinisikan sebagai satuan gramatikal yang berupa gabungan kata yang bersifat nonpredikatif, atau lazim juga disebut gabungan kata yang mengisi salah satu fungsi sintaksis di dalam kalimat. Frasa terdiri lebih dari satu kata, hal ini berarti frasa merupakan satu tingkat di atas kata. Jadi, pembentuk frasa harus berupa morfem bebas, bukan berupa morfem terikat. Contoh frasa ialah : adik saya, sedang bermain,boneka sapi, dan di kamar tidur. Ciri frasa ialah adanya kemungkinan diselipi unsur lain. Misalnya, frasa adik saya bisa diselipi kata dari, sehingga menjadi adik dari saya; frasa sedang bermain bisa diselipi kata senang, sehingga menjadi sedang senang bermain; frasa boneka

sapi bisa diselipi kata seperti, sehingga menjadi boneka seperti sapi, frasa

merupakan satu kesatuan jadi tidak dapat dipindahkan secara sendirian. Frasa dapat memunculkan daya bahasa, seperti pada tuturan berikut:

“Tikus berdasi itu harus kita basmi”.

(Konteks: pimpinan KPK sedang menginstruksikan kepada para anggotanya untuk segera menindak tegas para koruptor).

„Tikus berdasi‟ dapat disebut sebagai frasa, karena merupakan satu kesatuan dan bisa diselipi kata lain, misalnya yang, menjadi „tikus yang berdasi‟. Frasa „tikus berdasi‟ merupakan objek dan predikat pada tuturan tersebut. Frasa „tikus berdasi‟ mempunyai makna koruptor yang merupakan pejabat negara yang selalu mengenakan dasi. Frasa tersebut mempunyai daya perintah, yaitu perintah KPK kepada anggotanya untuk segera menindak tegas para koruptor.

c. Klausa

Klausa adalah satuan sintaksis berupa runtutan kata-kata berkonstruksi predikat. Artinya, di dalam konstruksi itu ada komponen, berupa kata atau frasa, yang berfungsi sebagai predikat; dan yang lain berfungsi sebagai subjek, sebagai objek, dan sebagai keterangan (Chaer, 2012:231). Unsur inti klausa ialah subjek dan predikat (Ramlan, 2005:79). Jadi, unsur atau fungsi yang lain tidaklah bersifat wajib.

Konstruksi ibu memasak merupakan klausa, karena hubungan komponen

ibu dan komponen memasak bersifat predikatif; ibu adalah pengisi fungsi subjek

dan memasak adalah pengisi fungsi predikat. Dari contoh di atas dapat disimpulkan bahwa klausa dapat berpotensi menjadi kalimat tunggal karena di

dalamnya sudah ada fungsi sintaksis wajib, yaitu subjek dan predikat. Klausa ini juga dapat memunculkan daya bahasa dan nilai rasa bahasa. Misalnya pada tuturan di bawah ini:

“Terdakwa terbukti secara sah melakukan tindak pidana korupsi”.

(Konteks: Tuturan diucapkan oleh hakim kepada terdakwa yang terlibat kasus korupsi).

Klausa „terdakwa terbukti secara sah‟ terdiri dari unsur subjek dan predikat. Klausa tersebut mengandung daya penegasan bahwa mitra tutur telah bersalah. Selain daya penegasan, tuturan tersebut juga mengandung kepastian bahwa orang yang didakwa telah terbukti melakukan tindak korupsi.

d. Kalimat

Kalimat umumnya berwujud rentetan kata yang disusun sesuai dengan kaidah yang berlaku (Alwi,dkk, 2010:35). Ramlan (2005:23) menambahkan bahwa kalimat adalah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik. Chaer (2012:240) juga menambahkan bahwa kalimat adalah satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasanya berupa klausa. Jadi, apabila sebuah klausa diberi intonasi final (intonasi deklaratif/tanda titik, intonasi interogatif/tanda tanya, dan intonasi seru/tanda seru), maka akan terbentuk menjadi kalimat.

Ramlan (2005:26) membedakan jenis kalimat berdasarkan fungsinya dan hubungan situasinya menjadi kalimat berita, kalimat tanya, dan kalimat perintah.

a) Kalimat berita

Kalimat berita berfungsi untuk memberitahukan informasi kepada orang lain, sehingga menimbulkan tanggapan atau respon dari orang lain, yang dapat berupa anggukan kepala atau pun pandangan mata. Kalimat berita selalu diakhiri dengan tanda titik (.). Misalnya: Jalan itu sangat licin. Kalimat tersebut termasuk kalimat berita, karena tidak terdapat kata-kata tanya, ajakan, mau pun larangan.

b) Kalimat tanya

Fungsi dari kalimat tanya adalah untuk menanyakan sesuatu. Kalimat tanya selalu diakhiri dengan tanda tanya (?). Misalnya: Kapan kamu wisuda? Kalimat tersebut merupakan kalimat tanya, karena menanyakan sesuatu dan diakhiri dengan tanda tanya. Kata-kata tanya meliputi: apa, siapa, kapan, mengapa, kenapa, bagaimana,

mana, bila, dan berapa.

c) Kalimat suruh

Kalimat suruh berfungsi untuk mengharapkan tanggapan yang berupa tindakan dari orang yang diajak berbicara. Ramlan (2005:40), menggolongkan kalimat suruh berdasarkan strukturnya menjadi empat golongan, yaitu kalimat suruh yang sebenarnya, kalimat persilahan, kalimat ajakan, dan kalimat larangan. Kalimat suruh selalu diakhiri dengan tanda perintah (!). Misalnya: Ayo kita belajar

matematika!. Kalimat tersebut merupakan kalimat suruh, yang termasuk dalam

golongan kalimat ajakan, karena menimbulkan tanggapan yang berupa tindakan dari mitra tutur dan juga penuturnya.