• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB IV ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

4.2 Analisis Data

4.2.2 Analisis Analisis Unsur Intralingual dan Ekstralingual Nilai Rasa

4.2.2.5 Nilai Rasa Heran (kaget, merasa terkejut)

Nilai rasa heran adalah kadar perasaan yang muncul karena seseorang merasa ganjil ketika melihat atau mendengar sesuatu. Nilai rasa heran pada Karikatur Koran Tempo ditemukan sebanyak 13 karikatur. Data tersebut disajikan sebagai berikut.

1. “Aku tidak menyangka” (NR.KKT,05/09/014)

(Konteks : Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang merasa terkejut atas

penetapan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Sekretaris Tinggi dan Kader Partai Demokrat, Jero Wacik sebagai tersangka kasus dugaan pemerasan dan penyalahgunaan wewenang di kementeriannya.)

2. “Apa-apaan ini!!” (NR.KKT,13/11/014)

(Konteks : Kemacetan di Jakarta semakin parah. Pada waktu itu, muncul

larangan bagi pengendara sepeda motor untuk tidak melintas dari Bundaran Hotel Indonesia (HI) – Jalan MH Thamrin – Jalan Medan Merdeka Barat.)

3. “Wakil Rektor nyabu bareng mahasiswanya,wah..wah.. Harusnya jadi contoh yang baik!” (NR.KKT,16/11/014)

(Konteks : Kasus narkoba semakin marak di berbagai kalangan, bahkan hal

ini juga melibatkan dua mahasiswi yang tertangkap sedang pesta sabu-sabu bersama Wakil Rektor Universitas Hasanuddin.)

4. “Ooo... Pak Menteri!” (NR.KKT,07/11/014)

(Konteks : Menteri Indonesia selalu berusaha bersembunyi dan lari ketika

masyarakatnya melakukan aksi demo.)

Karikatur (1) dipersepsi sebagai nilai rasa heran yang mengandung kadar perasaan kaget. Penutur merasa kaget atas kasus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral sekaligus Sekretaris Tinggi dan Kader Partai Demokrat, Jero Wacik yang telah melanggar hukum karena terlibat dalam kasus pemerasan, dan telah ditetapkan sebagai tersangka. Nilai rasa heran tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa frasa : tidak menyangka.

Nilai rasa heran menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa gerakan tangan kiri penutur (SBY) yang menggaruk-garuk kepalanya sambil memejamkan matanya dan menyangga tangan kanannya (berpangku tangan). Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa SBY telah menaruh kepercayaannya kepada Jero Wacik sebagai Kader partai Demokrat. Tuturan

dalam karikatur tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena sesuai dengan indikator kesantunan menurut Pranowo (2012:104) tentang sikap tepa

selira. Di dalam konteks ini, penutur mampu memperlihatkan bahwa apa yang

dituturkannya kepada mitra tutur juga dirasakan oleh penutur sendiri. Selain itu, penutur juga mampu mengendalikan emosi ketika bertutur. Penutur tetap terlihat dalam suasana hati yang tenang.

Karikatur (2) juga dipersepsi sebagai nilai rasa heran yang mengandung kadar perasaan kaget. Penutur merasa kaget karena munculnya larangan bagi pengguna sepeda motor untuk tidak melintasi Bundaran HI. Nilai rasa heran (kaget) tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat :

Apa-apaan ini!!.

Nilai rasa heran menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah penutur yang tercengang dengan memelototkan matanya ketika melihat adanya tanda “STOP” ketika hendak melewati Bundaran HI. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa munculnya larangan tersebut dinilai diskriminatif, karena mobil diperbolehkan melintas, padahal kedua kendaraan ini sama-sama membayar pajak kendaraan bermotor. Tuturan tersebut dianggap sebagai tuturan yang tidak santun karena berlawanan dengan indikator kesantunan menurut Leech (dalam Pranowo, 2012:103) tentang maksim kesetujuan. Di dalam konteks ini penutur didorong rasa emosi ketika bertutur. Rasa emosi tersebut terlihat melalui unsur ekstralingual berupa ekspresi wajah

yang memelototkan mata, sehingga terkesan menunjukkan ekspresi yang berlebihan.

Karikatur (3) juga mengandung kadar nilai rasa heran. Penutur merasa heran karena ada kasus tertangkapnya Wakil Rektor Universitas Hasanuddin yang sedang berpesta sabu-sabu bersama mahasiswanya. Nilai rasa heran tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa diksi : wah..wah.

Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa seorang Wakil Rektor adalah sosok yang baik dan dapat menjadi teladan, sehingga penutur merasa heran karena adanya seorang Rektor yang malah menunjukkan citra yang buruk, yaitu dengan berpesta sabu-sabu bersama mahasiswanya. Nilai rasa heran menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual yang ditunjukkan melalui ekspresi wajah tidak terlalu menonjol, yaitu hanya ditandai dengan gaya bicara penutur menggelengkan kepala sambil tersenyum.

Karikatur (4) juga dipersepsi sebagai nilai rasa heran yang mengandung kadar perasaan terkejut penutur ketika melihat reaksi menterinya yang kabur ketika rakyatnya berdemo. Nilai rasa heran tersebut dimunculkan melalui unsur intralingual berupa kalimat : Ooo... Pak Menteri!. Unsur ekstralingual berupa konteks dimunculkan melalui fenomena praanggapan bahwa seorang menteri adalah sosok yang bertanggung jawab, dan bisa menjadi sosok kesatria, sehingga penutur merasa heran karena adanya menteri yang malah kabur ketika ada masalah yang menghampiri.

Nilai rasa heran menjadi semakin kuat ketika muncul unsur ekstralingual berupa tanda ketubuhan ditunjukkan melalui ekspresi wajah penutur yang tampak terkejut dengan sedikit melotot dan menutup mulutnya.

Tuturan dalam karikatur (3) dan karikatur (4) tersebut dianggap sebagai tuturan yang santun karena tidak menyebutkan nama Wakil Rektor dan nama menteri yang bersangkutan, sehingga tuturan tersebut sesuai dengan sikap tenggang rasa yang mengungkapkan bahwa sikap ini diperlihatkan oleh penutur untuk menjaga perasaan agar mitra tutur tidak merasa terancam atas tuturan penutur (Pranowo, 2012:109).

Berdasarkan keempat contoh karikatur yang dipersepsi sebagai nilai rasa heran di atas, dapat disimpulkan bahwa karikatur yang bernilai rasa heran dapat dimunculkan melalui rasa kaget dan merasa terkejut. Unsur intralingual yang dimunculkan melalui nilai rasa heran ialah diksi, frasa, dan kalimat. Karikatur yang bernilai rasa heran dapat memperlihatkan bentuk tuturan santun dan tidak santun. Santun dan tidaknya tuturan tersebut akan semakin terlihat jelas ketika diikuti unsur ekstralingual berupa tanda-tanda ketubuhan. Misalnya pada NR.KKT,05/09/014, frasa : tidak menyangka, diikuti dengan gerakan tangan kiri yang menggaruk-garuk kepala sambil memejamkan matanya dan menyangga tangan kanannya (berpangku tangan) dapat menjadi indikator tuturan yang santun. Bahasa tubuh yang ditunjukkan terkesan seperti orang yang sedang merenung. Sama halnya dengan kalimat : Wakil Rektor nyabu bareng

mahasiswanya,wah..wah.. Harusnya jadi contoh yang baik! pada NR.KKT,16/11/014, yang hanya diikuti ekspresi wajah gaya bicara penutur sambil tersenyum, dan tidak meninggalkan kesan berlebih, merupakan penanda nilai rasa heran yang santun. Berbeda dengan klausa : Apa-apaan ini!! pada NR.KKT,13/11/014. Klausa tersebut diikuti ekspresi wajah yang tercengang dengan memelototkan mata. Sangat terlihat jelas bahwa tuturan yang digunakan merupakan tuturan protes yang mengakibatkan tuturan yang tidak santun. Bahkan jika dibayangkan, ketika bertutur, penutur berada dalam keadaan emosi. Indikator-indikator itulah yang dapat menjadi penanda nilai rasa heran yang santun mau pun yang tidak santun.

4.2.2.6 Nilai Rasa Takut-Cemas (cemas, ragu, khawatir, bingung, pesimistis, curiga)