• Tidak ada hasil yang ditemukan

Nilai dan Norma dalam Menjalin Hubungan Antar Pengerajin Batik

Adapun motif kopi pecah dapat dilihat pada gambar dibawah ini,

PERAN MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN BATIK BANYUWANGI

5.2 Modal Sosial dalam Mendorong Partisipasi Masyarakat

5.2.3 Nilai dan Norma dalam Menjalin Hubungan Antar Pengerajin Batik

Selain meningkatkan kepercayaan dan mengembangkan jaringan sosial, ternyata modal sosial juga menekankan pada dimensi yang lebih luas yang di mana ketika para pengerajin batik tersebut bersekutu untuk mencapai tujuan bersama atas dasar kebersamaan, di dalamnya selalu di ikuti oleh nilai dan norma yang tumbuh dan dipatuhi [Fukuyama dalam Hasbullah (2006)].

Adanya nilai dan norma bertujuan untuk menciptakan suasana yang tertib dan teratur, karena pengerajin batik adalah makhluk sosial yang tidak lepas dari kegiatan kerjasama dan berhubungan dengan pengerajin batik lainnya atau bahkan dengan masyarakat lainnya (Field, 2003). Hal tersebut juga senada dengan pernyataan Taneko (1984), yang menyatakan bahwa dalam berinteraksi tersebut dibutuhkan norma sebagai pedoman atau petokan untuk dapat menjaga suatu hubungan yang nantinya dapat mendukung dalam mencapai tujuan bersama.

Asosiasi batik sekar jagad blambangan yang dibentuk atas dasar kepentingan bersama yaitu untuk menyatukan para pembatik dan mengatasi permasalahan-permasalahan yang ada. Namun, dalam perkembangannya hal tersebut tidak mudah untuk dilakukan, salah satunya karena asosiasi memiliki norma yang harus dipatuhi seluruh pembatik yang ingin bergabung.

Berdasarkan sifatnya norma dibagi menjadi dua, yakni norma formal dan norma informal. Norma yang bersifat formal berarti dalam sebuah bermasyarakat di atur atau dibuat sebuah lembaga dan institusi yang resmi (Verawati, 2012). Jika dikaitkan dengan asosiasi batik Banyuwangi norma yang bersifat formal yang berlaku di dalamnya adalah tentang aturan-aturan yang berlaku secara tertulis yang diterapkan asosiasi batik untuk mengatur pengerajin batik agar lebih sesuai standart produksi dan harga pemasaran yang sudah dilakukan. Yang apabila hal

tersebut dilanggar maka akan mendapatkan sanksi dari pihak badan hukum terkait aturan yang sudah ditegakkan tadi (Setyawati, 2015).

Hal tersebut diungkan oleh Firman selaku ketua asosiasi batik, mengenai norma yang bersifat formal yang harus ditaati apabila ingin bergabung dengan asosiasi batik Banyuwangi.

“(...) mempertimbangan masuk Asosiasi karena berpikir banyak persyaratan yang harus diperlukan salah satunya adalah SIUP (...)” (Firman, Ketua Asosiasi Batik).

“Ada, ya itu tadi, untuk persyaratannya memang harus memiliki SIUP dan ber KTP asli warga Banyuwangi, serta produk yang dijual adalah batik yang bermotifkan asli Banyuwangi. Para pengerajin juga harus mengikuti standart mutu yang sudah ditetapkan” (Firman, Ketua asosiasi batik).

Pernyataan tersebut juga menegaskan bahwa, Surat izin usaha perdagangan atau SIUP merupakan syarat utama untuk dapat bergabung menjadi anggota asosiasi batik. Sehingga pada saat awal pembatik ingin bergabung, masih banyak diantara pembatik yang mempertimbangkan, karena dianggap untuk mendapatkan SIUP tidak mudah. Sebenarnya asosiasi sendiri tidak keberatan anggotanya untuk bergabung terlebih dahulu dan nantinya akan dibantu dalam proses mendapatkan SIUP. Hal tersebut diungkapkan pengerajin batik yang telah bergabung di asosiasi.

“Kalau SIUP sendiri memang syarat, cuman setelah gabung asosiasi di bantu sambil jalan begitu. Dari dinas juga siap bantu untuk mengurus itu” (Bu Is, Pengerajin batik).

Hal tersebut juga senada diungkapkan oleh Syamsudin bahwa SIUP dapat diperoleh saat sudah bergabung dengan asosiasi, dan mempertegaskan bahwa SIUP berguna untuk jangka panjang.

“SIUP itu memang syarat, syarat yang berusaha mempermudah kita sebetulnya. Toh tanpa itu sebetulnya juga sudah bisa jalan usahanya, hanya saja ketika usahanya pingin kedepannya jangkauannya tambah luas

maka di butuhkan SIUP tersebut agar langkah kita lebih leluasa. Jadi kalau misal dapat order dari instansi pasti itu yang di tanya surat ijin usahanya, karena itu berhubungan dengan administrasi. Dan soal SIUP dan NPWP saya sudah mengurusnya” (Syamsudin, Pengerajin batik).

Menurut pernyataan Syamsudin diatas, SIUP sendiri bukan sebuah hal yang harus ditakuti, karena SIUP berguna untuk mempermudah usaha batik kedepannya jika saat berhubungan dengan administrasi usahanya. Selain norma yang bersifat formal, adapula norma yang bersifat informal dalam asosiasi batik Banyuwangi ini. Norma yang bersifat informal merupakan aturan yang terbentuk akibat terjadinya sebuah interaksi, yang di dalamnya terkandung nilai agama, adat istiadat, dan tata kelakuan yang semuanya tersebut rata-rata bersifat tidak tertulis (Verawati, 2012).

Dalam asosiasi batik Banyuwangi norma yang bersifat informal tersebut terlihat pada aturan yang menjaga persaingan sehat antar pengerajin batik. Hal tersebut muncul akibat adanya rasa bersama yang mengakibatkan tumbuhnya kepercayaan diantara para pengerajin batik. Namun, apabila hal tersebut dilanggar maka akan menimbulkan konflik dan perpecahan dalam suatu kelompok, khususnya antar pengerajin batik (Setyawati, 2015).

Menurut Firman, nilai-nilai tersebut perlu diterapkan karena bertujuan untuk membatasi ruang gerak para pembatik yang mencari keuntungan pribadi seperti halnya dengan mengorbankan mutu ataupun menurunkan kualitas. Karena pada asosiasi sendiri pernah terjadi salah satu pengerajin batik yang teledor akibat tidak menerapkan norma informal. Hal tersebut diungkapkan Firman bahwa pengerajin tersebut teledor pada proses pewarnaan yang tidak sesuai dengan standart.

“Pernah ada yang teledor salah satu pengerajin batik anggota Asosiasi karena dikejar waktu dalam pengerjaannya kurang maksimal akhirnya warna yang dihasilkan tidak sesuai dengan standart yang di tetapkan alias luntur. Sehingga pengerajin tersebut saya tegur dan diharapkan hal

tersebut tidak terjadi pada pengerajin batik lainnya karena hal tersebut menyangkut nama batik banyuwangi” (Firman, Ketua asosiasi batik).

SIUP dan aturan lainnya dalam suatu asosiasi batik, yang sifatnya mengikat para pengerajin batik merupakan norma yang harus dipatuhi. Hal tersebut sesuai dengan pernyataan Lawang (2005) bahwa norma tidak dapat dipisahkan dari jaringan kepentingan. Selain itu hal tersebut juga didukung oleh Wahyu (2010) bahwa norma yang melekat dalam diri individu merupakan bekal untuk dapat berhubungan dengan orang lain.

Suatu norma muncul karena terjadinya pertukaran yang saling menguntungkan, artinya jika pertukaran tersebut hanya dinikmati oleh salah satu pihak saja maka pertukaran sosial selanjutnya tidak akan terjadi. Oleh karena itu, norma yang muncul bukan hanya terjadi sekali melalui satu pertukaran saja. Namun, biasanya norma dapat tecipta karena adanya beberapa kali pertukaran yang saling menguntungkan dan secara terus menerus sehingga menjadi sebuah kewajiban sosial yang harus dipelihara (Setyawati, 2015).

Dari temuan diatas, dapat disimpulkan pada tabel dibawah ini mengenai norma atau nilai-nilai yang ada pada asosiasi, guna menjaga ketertiban dalam menjalin hubungan antara pengerajin batik bahkan juga tidak menutup kemungkinan menjalin hubungan dengan dinas atau masyarakat lainnya terkait batik.

Tabel 5.11 Ringkasan Hasil Penelitian

Temuan Analisis Implikasi

Konsep norma dalam menjaga ketertiban dan keamanan dalam bersosialisasi  SIUP merupakan persyaratan wajib yang harus dimiliki para pengerajin saat ingin

bergabung dalam asosiasi.

 Menjaga standart batik selalu harus diperhatikan, karena dalam asosiasi diterapkan standart kualitas yang harus dipatuhi.  Adanya norma informal yang ditunjukkan melalui dengan tidak adanya persaingan usaha karena sudah ada standart harga yang ditetapkan.  Kemudahan dalam bergabung dengan asosiasi batik, membuat para

pengerajin lebih banyak meningkatkan

pendapatannya melalui kerjasama.

 Adanya kehati-hatian dalam mengerjakan batik, karena harus sesuai standart.  Persaingan antar

pengerajin dapat terjalin secara sehat berkat norma informal yang diterapkan.  Dampak adanya norma

informal mampu menjaga hubungan baik antar pengerajin batik.

134 BAB VI PENUTUP 6.1. Ikhtisar

Dari temuan pada bab sebelumnya, dapat disimpulkan pada tabel dibawah ini mengenai aspek-aspek yang dapat memperkuat modal sosial pada asosiasi batik. Hal tersebut dapat dilakukan melalui meningkatkan kepercayaan, memperluas jaringan sosial, serta memberlakukan norma agar kegiatan yang dilakukan sesuai dengan tujuan yang sudah disepakati sebelumnya.

Tabel 6.12 Ringkasan Hasil Penelitian

Teori Temuan Implikasi

Pendekatan Kepercayaan dalam peningkatan Modal Sosial  Adanya kepercayaan diantara para

pengerajin, dilihat dari pengerajin yang senang hati melakukan

kerjasama dengan pengerajin lain.  Kepercayaan tumbuh

akibat adanya

hubungan timbal balik.  Penggunaan grup

Whatsapp, membantu

para pengerajin lebih percaya satu sama lain (keterbukaan).

 Masih ada pengerajin batik yang kurang aktif dalam grup whatsapp dikarenakan “gagap teknologi”.  Kepercayaan dapat menimbulkan rendahnya tingkat persaingan dalam berjualan batik.  Meningkatnya jumlah pengerajin batik Banyuwangi.  Munculnya jaringan sosial akibat terjalin hubungan yang baik diantara para pengerajin batik Banyuwangi.  Terciptanya standart produk batik yang berkualitas.  Terciptanya standart harga melalui kepercayaan antar anggota asosiasi untuk mengurangi persaingan usaha .

Teori Temuan Implikasi Konsep jaringan sosial untuk keberlangsungan usaha  AKRAB merupakan jembatan antara pelaku UMKM dengan dinas.  Adanya partisipatif

didorong karena ada daya tarik.

 Dengan tujuan

menjaring anak muda, namun masih belum ditemukannya strategi yang jelas.

 Adanya kerjasama antar pengerajin batik.  Perlu adanya inovasi

pelatihan yang

diberikan serta sasaran pelatihan.  Meningkatkan pemasaran produk melalui adanya kerjasama atau hubungan dengan orang lain.  Peningkatan pendapatan melalui beberapa inovasi, seperti halnya dengan mengadakan kegiatan BBF.  Terdapat jaringan informasi yang membantu dalam mengetahui info terkait batik. Konsep norma dalam menjaga ketertiban dan keamanan dalam bersosialisasi  SIUP merupakan persyaratan wajib yang harus dimiliki para pengerajin saat ingin bergabung dalam asosiasi.

 Menjaga standart batik selalu harus

diperhatikan, karena dalam asosiasi diterapkan standart kualitas yang harus dipatuhi.

 Adanya norma informal yang ditunjukkan melalui dengan tidak adanya persaingan usaha karena sudah ada standart harga yang ditetapkan.  Kemudahan dalam bergabung dengan asosiasi batik, membuat para pengerajin lebih banyak meningkatkan pendapatannya melalui kerjasama.  Adanya kehati-hatian dalam mengerjakan batik, karena harus sesuai standart.  Persaingan antar pengerajin dapat terjalin secara sehat berkat norma informal yang diterapkan.

Teori Temuan Implikasi Dampak adanya norma informal mampu menjaga hubungan baik antar pengerajin batik.

Sumber: diolah dari hasil lapang, 2018

6.2. Kesimpulan

Berdasarkan tabel 6.12 di atas, dapat dijabarkan kembali mengenai kesimpulan dari hasil penelitian mengenai peran modal sosial dalam pemberdayaan yang terjadi pada pengerajin batik Kabupaten Banyuwangi, sehingga dapat meningkatkan eksistensi yang tergabung dalam Asosiasi Batik Sekar Jagad Blambangan. Maka dari temuan tersebut dapat diketahui bahwa modal sosial yang terdapat dalam asosiasi batik memiliki pengaruh dalam mengembangkan batik Banyuwangi yang setiap tahunnya mengalami peningkatan tidak hanya dari jumlah pengerajin namun juga adanya peningkatan pada pengetahuan memproduksi batik.

Meskipun awalnya sempat terkendala pada syarat yang diberikat saat akan masuk kedalam asosiasi, namun hal tersebut tidak menyurutkan semangat dari pengerajin untuk tetap mengembangkan batik. Rasa semangat tersebut membuahkan hasil bagi para pengerajin batik Banyuwangi yang permasalahan tersebut dapat diatasi melalui peran modal sosial. Modal sosial yang kuat, mampu mengatasi permasalahan yang terjadi pada pengerajin batik, dengan cara

pertama, membangun kepercayaan yang kuat melalui adanya rasa kekeluargaan.

Hal tersebut muncul karena adanya komunikasi yang baik antara pengerajin batik melalui grup whatsapp. Grup tersebut menjadi media yang sangat efektif guna mempererat kepercayaan antara pengerajin batik karena, dapat memunculkan nilai solidaritas yang ditunjukkan melalui rendahnya tingkat persaingan usaha.

Adanya grup tersebut juga berdampak kepada eksistensi batik, karena pembatik akan lebih mengetahui informasi terkini mengenai batik dan juga beberapa kegiatan yang diadakan oleh pemerintah.

Kedua, memanfaatkan jaringan sosial dalam proses pemberdayaan

kepada para pengerajin batik. Partisipasi yang tinggi dalam jaringan sosial yang ditunjukkan oleh para pengerajin tidak lain karena adanya daya tarik yakni adanya pelatihan gratis hingga banyaknya kegiatan (pameran, Lomba, dan fashion show) yang melibatkan para pengerajin batik. Hal tersebut berdampak kepada peningkatan perekonomian pengerajin batik, karena secara tidak langsung dalam sebuah pameran atau bazzar yang diadakan dapat menarik konsumen untuk membeli produk yang ditawarkan. Hal tersebut dapat menimbulkan multiplier

effect, yang di mana adanya perputaran ekonomi yakni jual-beli dalam sebuah

kegiatan yang diadakan.

Ketiga, menciptakan nilai kebersamaan yang dapat menjadi pedoman bagi

para pengerajin batik dalam menjadi anggota asosiasi batik, seperti dimudahkannya dalam mengurus SIUP yang menjadi syarat masuk asosiasi. SIUP tersebut dapat diproses ketika para pengerajin sudah menjadi anggota asosiasi yang nantinya dapat dibantu dalam memperolehnya. Selain adanya SIUP penyemarataan harga dan pemberian standarisasi kualitas juga selalu di tegakkan guna mengurangi persaingan harga ataupun kesenjangan antara pengerajin batik satu dengan yang lainnya. Hal tersebut juga di dukung karena sifat pengerajin yang selalu melakukan kerjasama atau berkolaborasi sehingga hal tersebut meminimalisir persaingan usaha. Adanya aturan yang berlaku juga menimbulkan dampak ketertiban dalam melangsungkan suatu usaha, karena secara tidak langsung hal tersebut berdampak kepada kenyamanan pengerajin batik dalam berasosiasi.

6.3. Saran

Berdasarkan temuan dari penelitian yang dilakukan, maka ada beberapa hal yang dapat di jadikan saran untuk memperbaiki pengerajin batik yang nantinya agar mampu mengembangkan potensi yang belum tergali. Hal itu antara lain ialah;

a) Adanya inovasi pelatihan yang diberikan kepada pengerajin batik juga dirasa perlu. Agar hal tersebut dapat meningkatkan skill serta menambah wawasan akan batik yang mungkin bagi pengerajin batik Banyuwangi belum mengetahuinya. Hal tersebut dapat bekerjasama dengan pemerintah melalui adanya studi banding ke tempat usaha batik Solo maupun Yogyakarta yang sudah terkenal akan batiknya.

b) Selain itu sasaran dalam pelatihan juga perlu dilihat, karena terkait pelatihan mengenai Informatika dan Teknologi (IT) tidak dapat langsung diberikan kepada para pengerajin, namun perlu adanya kolaborasi antara mahasiswa dengan pengerajin batik untuk dapat bekerjasama dalam mengembangkan batik Banyuwangi. Karena, mayoritas pengerajin batik Banyuwangi yang sudah berumur akan ketinggalan bila ada pelatihan IT.

c) Selain pelatihan tentang membatik, perlunya pemberian motivasi serta materi terkait pasar juga perlu dilakukan, karena terkait pengembangan batik melalui sistem kerjasama tersebut tentunya dapat mencapai titik di mana kondisi pasar sedang mengalami kelesuan. Sehingga adanya pemberian motivasi dan ilmu pengetahuan di harapkan para pengerajin dapat bekerja dengan giat dan dapat membaca kondisi pasar.