• Tidak ada hasil yang ditemukan

KAJIAN PUSTAKA 2.1.Masyarakat Perkebunan

2.4. Nilai Pendidikan dalam Keluarga

Keluarga merupakan lembaga masyarakat yang pertama dan utama yang menjadi wadah tumbuh berkembangnya kepribadian dan karakter anak dalam keluarga. Keluarga memiliki sistem sosial sebagai wadah berlangsungnya proses sosialisasi, dan orang tua yang memainkan peran sosialisasi dalam keluarga. Orang tua memiliki status dan nilai yang tinggi untuk mendidik anak-anaknya. Mendidik melalui sosialisasi dari keluarga kepada anak.. Keluarga mengharapkan

perkembangan anak akan memberikan cara yang strategis dalam penyadaran, penanaman, dan pengetahuam nilai moral sosial dan budaya (Endang Purwaningsih,2010:2) terkhusus dalam proses pendidikan “ pendewasaan “ dari individu yang tidak berdaya kepada calon pribadi yang mengenal pengetahuan dasar, norma sosial, nilai-nilai dan etika pergaulan.Strategi pengembangan melalui sosialisasi keluarga, maka keluarga memiliki nilai pendidikan anak, karena dukungan orang tua terhadap pendidikan anak memiliki pengaruh besar terhadap perkembangan anak.

Pendidikan nilai merupakan penanaman dan pengembangan nilai-nilai diri seseorang. Pendidikan nilai sebagai bantuan untuk mengembangkan dan mengartikulasikan kemampuan pertimbangan nilai atau keputusan moral yang dapat melambangkan kerangka tindakan manusia. Pendidikan nilai ini digunakan sebagai proses untuk membantu anak dalam mengeksplorasi nilai-nilai yang ada melalui pengujian kritis, sehingga siswa dimungkinkan untuk meningkatkan atau memperbaiki kualitas berpikir serta perasaannya (Endang Purwaningsih, 2010: 46).

Pengembangan dan pendidikan anak usia dini merupakan investasi yang strategis dalam meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Dalam keluarga sangat potensial dalam proses tumbuh dan berkembangnya anak melalui penyadaran pendidikan orang tua terhadap anak. Oleh karenanya upaya percepatan pemberian layanan pendidikan bagi anak perlu dibarengi pemberdayaan keluarga, pendidikan anak menjadi gerakan nasioanal. Pola asuh anak pada keluarga kelas tinggi mengarah pada perilaku keteladanan diri, kesatuan kata dan tindakan, mengarah anak secara rasional (realistik),

kebersamaan dengan anak dalam merealisasikan nilai moral, sikap demokratis dan terbuka dalam kehidupan keluarga, kemampuan menghayati kehidupan anak dan berorientasi pada tindakan atau perbuatan. Memberi penjelasan atas keinginan dan tuntutan yang diberikan kepada anak dengan mendorong komunikasi lisan, menggunakan kekuasaan sebagai orang tua, mengharapkan anak untuk menyesuaikan dengan harapan orang tua. Keluarga juga mendorong anak untuk bersikap tanggungjawab dan mandiri. Orang tua membimbing anak dalam kedisiplinan dan kepatuhan, serta memberikan peluang kepada anak untuk belajar memecahkan masalah dan mengambil keputusan terhadap kepentingan dirinya.

Pada keluarga kelas sosial rendah, ikatan emosional kasih sayang orang tua terhadap anak kurang. Anak usia dini sudah dilibatkan dalam tanggungjawab pekerjaan. Pengontrolan perilaku anak kurang mendapat perhatian karena orang tua sibuk bekerja keras. Orang tua kurang menunjukan nilai teladan yang selayaknya ditiru oleh anak, dan sedikit menggunakan hukuman, membiarkan anak mengatur perilakunya sendiri, menghindari pengontrolan perilaku anak menggunakan rasional dalam mencapai suatu tujuan. Nilai spritualis seringkali diajarkan secara lisan, namun kurang terwujud dalam perbuatan atau perilaku( penelitian Rasdi, 2010: 19). Namun di pihak lain, kesibukan orang tua/ ibu bekerja juga dapat mengontrol pendidikan anak. Dalam penelitian (Asri wahyu, 2013; 106) menyatakan dalam penelitian, orang tua menginginkan anaknya untuk sekolah dan mengecap pendidikan yang lebih baik supaya anaknya memiliki gambaran masa depan hidup melalui pendidikan anak. Orang tua tidak menginginkan pendidikan orang tuanya rendah serupa dengan pendidikan anak, tetapi untuk memenuhi kebutuhan pendidikan anak, keluarga memiliki

keterbatasan ekonomi dalam memfasilitasi pendidikan anak. Untuk itu ibu memiliki peran dalam bekerja sebagai pedagang jual jambu biji di pinggir pasar, supaya kondisi sosial ekonomi meningkat melalui berdagang, serta terpenuhinya kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan ibu-ibu yang berdagang jambu menyisihkan penghasilan untuk ditabung guna keperluan pendidikan anak. Ditengah kesibukan ibu bekerja, si ibu tetap memberikan perhatian tidak sepenuhnya, hanya perhatian pada mendampingi anak dalam pendidikan keluarga, seperti mengajarkan pendidikan agama, norma-norma sosial, sopan santun, dan kedisiplinan bagi anak.

2.4.1. Pendidikan Anak Membutuhkan Perlindungan Khusus

Berdasarkan penelitian yang dilakukan Clara R. P. Ajisuksmo, banyak anak yang tidak dapat mengecap pendidikan dasar sebagimana seharusnya. Seperti tertulis dalam laporan UNICEF (2004) yang dikutip oleh Clara bahwa, anak-anak adalah korban pertama dari situasi ekonomi. Keterbatan keuangan dan situasi krisis memperpuruk keluarga miskin yang berakibat pada merosotnya mutu dan berlangsungnya pendidikan anak. Penelitian yang dilakukan Clara R. P. Ajisuksmo, dalam bukunya Irwanto (1999), berbagai permasalahan yang berhubungan dengan anak-anak yang membutuhkan perlindungan khusus berkaitan erat dengan pengentasan kemiskinan, tertutupnya akses terhadap sumber daya dimasyarakat dan berbagai pelayanan sosial, termasuk pendidikan. Sejalan dengan hal tersebut menyatakan bahwa dari kemiskinan akan muncul beberapa problem sosial. Kemiskinan akan menimbulkan pendidikan yang rendah, sehingga anak akan putus sekolah dan masuk kedunia kerja menjadi pekerja anak usia dini.

Kemiskinan seringkali dijadikan alasan utama untuk memperlakukan anak secara salah dengan memaksa mereka bekerja di pabrik, di jalanan, bahkan dilacurkan sebagai pekerja seks dan bekerja di perkebunan guna membantu menopang ekonomi keluarga. Aktivitas bekerja ini tidak hanya dilakukan oleh anak laki-laki saja, tetapi juga dilakukan oleh anak perempuan. Di lingkungan kerja anak juga berpeluang besar mendapat pengaruh negatif dari teman kerja mereka yang akan berdampak buruk terhadap perkembangan psikologis dan kehidupan sosial mereka termasuk eksploitasi waktu dan ekonomi. Dengan bekerja anak terbiasa dengan gaya hidup bebas dan tidak terkontrol dari orang tua mereka, serta melakukan aktivitas kehidupan yang keras seperti berkelahi dan pengeroyokan, menggunakan senjata tajam, pemerasan, mengkonsumsi narkoba. Penelitian Tjandraningsih dan Anaritha (2002) yang dikutip oleh Clara, dilakukan pada pekerja anak di perkebunan tembakau Jember, menunjukan bahwa hanya 70% anak yang masih sekolah. Penelitian dikutip dari Unicef ( 2004) di masyarakat pesisir 50-75% tidak layak naik kelas. Beban kerja, kelelahan fisik dan psikis, jam belajar yang berkurang, kurang intensif dalam bersosialisasi pelajaran dengan teman sekolah, merupakan faktor-faktor penting yang mempengaruhi penurunan kualitas yang buruk dari proses belajar pekerja anak.

Dengan mengacu kepada hasil penelitian yang telah diuraikan anak-anak membutuhkan perlindungan khusus, sebagaiman anak-anak lain pada umumnya, juga berhak untuk tumbuh dan berkembang melalui program pendidikan yang diselengarakan pemerintah maupun masyarakat luas. Maka sangat penting bagi semua pihak untuk secara terus menerus melakukan pemantauan akan pelaksanaan Konvensi Hak Anak, khususnya bagi anak-anak yang membutuhkan

perlindungan khusus. Pada pasal 28 dan 29 dari KHA menyatakan bahwa anak mempunyai hak untuk memperoleh pendidikan dan mengembangkan kepribadian serta kemampuan mereka melalui program pendidikan yang dijalaninya serta aspek pendidikan merupakan bekal yang teramat penting bagi pertumbuhan anak harus terpenuhi yang pemenuhannya wajib untuk difasilitasi oleh semua pihak. 2.4.2. Pendidikan Anak Diperkebunan

Keluarga memiliki peran penting terhadap setiap perkembangan anak, ketika keluarga tidak menjalankan fungsi dilembaga keluarga akan mengalami disfungsi terhadap sistem keluarga. Berdasarkan jurnal yang menjadi sumber informasi, hal ini dapat dilihat pada masyarakat perkebunan tekhusus pendidikan anak diperkebunan.Hasil penelitian tentang pendidikan di perkebunanyang dikaji oleh Amidha Dkk : 2010, Yulia Anas, SE, M.Si: 2012, dkk , widya kristanti :2013 mengatakan bahwa, anak yang tinggal di perkebunanpada umumnya memiliki suatu cita-cita dalam hidupnya, seperti layaknya dunia anak-anak, namun cita-cita itu kadang kala tidak mulus seperti yang didambakan. Pendidikan anak di perkebunancenderung rendah, tingkat pendidikan dicapai dominan SD, SMP dan tidak tamat sekolah. Maka munculah pola pikir, ada motivasi anak bekerja di perkebunankaret dan menjadi buruh, karena tidak ingin menambahi beban orang tua kalau tidak sekolah. Ketika cita-cita anak sudah rencanakan namun mulai susah untuk diwujudkan disebabkan oleh berbagai kond isi keluarga yang tidak mendukung perkembangan anak, hal ini mendorong si inidividu yang putus sekolah untuk bekerja sebagai buruh diperkebunan. Ada faktor internal dan faktor eksternal mempengaruhi motivasi anak bekerja diperkebunan. Kondisi ekonomi

keluarga mengalami kendala ekonomi dalam memenuhi kebutuhan pendidikan anak,

Permasalahan utama penyebab anak putus sekolah di Kec. Mapat Tunggul sebagai daerah yang mewakili daerah perkebunan di Kabupaten Pasaman adalah 63,6% karena rumah tangga kesulitan membiayai pendidikan anak yang disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga, 53% karena tidak adanya motivasi untuk sekolah, baik motivasi orang tua maupun anak, 25,8 % alasan putus sekolah adalah karena anak usia sekolah banyak yang bekerja sebagai pekerja keluarga. Hal ini terjadi karena kondisi ekonomi keluarga yang menyebabkan sebagian orang tua dihadapkan pada pilihan antara menyekolahkan anak atau mempekerjakan anak sebagai pekerja keluarga di kebun mereka sendiri. Bahkan masih banyak lagi berbagai faktor yang mendorong anak putus sekolah di ruang lingkup pedesaan seperti anak masyarakat di kawasan pesisir, anak masyarakat petani dan anak masyarakat perkebunan. Ada yang faktor geografis adanya letak sekolah jauh dari rumah sehingga memerlukan waktu dan biaya, faktor lingkungan yang menjadi sosial budaya dapat mempengaruhi hambatan mengecap pendidikan lebih tinggi sehingga anak dialihkan keperkebunan menjadi karyawan di perkebunankaret tersebut menjadi masa depan anak karyawan penyadap karet.

Lingkungan sosial perkebunan dapat membrikan dorongan kuat kepada anak untuk bekerja menjadi karyawan di perkebunandan teman sebaya yang sudah lebih dahulu bekerja sebagai buruh menjadi faktor pendorong. Hal ini juga dapat memotivasi anak untuk ikut bekerja sebagai buruh diperkebunan. Tidak kalah penting factor yang mendorong anak bekerja di perkebunanadalah pihak

perkebunan yang menjadi daya tarik bagi anak untuk bekerja, seperti kemudahan untuk bekerja, upah yang ditawarkan dan jenis pekerjaan.

Amidha, dkk (2012) dalam penelitiannya tentang “Profil Pendidikan

keluarga miskin (Buruh)” bahwa buruh perkebunan sebagai salah satu karyawan

terpenting justru hidup dalam keterbatasan. Upah perbulan hanya dapat memenuhi kebutuhan minimal. Keterbatasan ekonomi keluarga mempengaruhi perkembangan anak dalam mencapai suatu pendidikan dari TK, SD, SMP, SMA, dan Perguruan Tinggi. Anak usia sekolah di kawasan perkebunan belum semuahnya memperoleh dukungan keluarga yang kondusif. Ekonomi keluarga seharusnya sebagai fasilitator berbagai kebutuhan pendidikan anak, namun pada kenyataannya keluarga buruh tidak mampu sebagai fasilitator pendidikan anak hanya mendapat layanan pendidikan terbatas, bahkan banyak yang putus sekolah.

BAB I PENDAHULUAN