• Tidak ada hasil yang ditemukan

I. Informan Pertama (Afdelling I Dusun V Pondok Narunggit)

8. Informan Ke Delapan ( Anak Buruh Penderes Putus Sekolah)

4.6. Anak Putus Sekolah di Perkebunan

Semakin berkembangannya zaman modern sekarang ini anak putus sekolah juga sampai saat ini masih ada dan tidak lagi masalah yang asing di masyarakat bahkan sudah menjadi tradisi di dunia pendidikan. Anak putus sekolah tidak terlepas dari berbagai penyebab seperti ada penyebab eksternal dan ada penyebab internal. Menurut hasil penelitian Yulia Anas, SE, M.Si dan Prof. Elfindri, permasalahan utama penyebab anakputus sekolah di Kec. Mapat Tunggul sebagai daerah yang mewakili daerah perkebunan di Kabupaten Pasaman adalah 63,6% karena rumah tangga kesulitan membiayai pendidikan anak yang disebabkan oleh rendahnya pendapatan keluarga, 53% karena tidak adanya motivasi untuk sekolah, baik motivasi orang tua maupun anak. Dengan tingkat pendidikan rata-rata hanya tamat SD ( 93,3 %) membuat motivasi orang tua untuk menyekolahkan anak juga rendah. Sedangkan bagi si anak sendiri kehidupan yang susah dan tanpa ada motivasi yang tinggi dari orang tua juga mempengaruhi semangat dan motivasi anak untuk sekolah, 25,8 % alasan putus sekolah karena anak usia sekolah banyak yang bekerja sebagai pekerja keluarga. Hal ini terjadi karena kondisi ekonomi keluarga yang menyebabkan sebagian orang tua dihadapkan pada pilihan antara menyekolahkan anak atau mempekerjakan anak sebagai pekerja keluarga di kebun mereka sendiri.

Begitu juga dengan anak putus sekolah di kalangan buruh penderes Desa Perkebunan Aek Tarum terdapat beberapa alasan yang signifikan penyebab anak

putus sekolah. Berdasarkan hasil penelitian terdapat 3 faktor yang menjadi alasan anak putus sekolah di Desa Perkebunan Aek Tarum yaitu:

4.6.1. Ekonomi

Pendapatan orang tua dapat mempengaruhi tinggi rendahnya tingkat pendidikan anak karena fungsi ekonomi keluarga sebagai fasilitator pendidikan anak supaya anak tidak mengalami hambatan dari segi ekonomi dalam meraih pendidikan. Terbatasnya ekonomi keluarga menyebabkan tidak mencukupi untuk membiayai pendidikan anak sehingga berakibat anak mengalami putus sekolah. Menurut orang tua anak putus sekolah di perkebunankarena keterbatasan mencari ekonomi ganda dengan kata lain penghasilan utama hanya dari perkebunan. Berdasarkan hasil wawancara dengan orang tua anak yang putus sekolah, yaitu bapak Misdi :

“Yah kalau cukupnya yah cukup tapikan, harus bersifat memaksa. Tidak ada kerja sampingan hanya mengharapkan gaji di kebon. yah kalau 1,2 orang anak masih bisa nyekolahkan tapi kalau 3, 4 yah udah susah itu. jadi gitu anak-anak ini putus sekolah gitu aja” Sama dengan yang dinyatakan Anisa (anak yang putus sekolah) yaitu :

“apalagi keuangan orang mama kan sebelum masuk karyawan agak menipis jadi kerjalah aku di pasar malam lumayan lah gaji ku membantu bayar uang buku kak”

Ekonomi keluarga membawa pengaruh yang sangat signifikan terhadap perkembangan anak dan tingkat pendidikan. Ekonomi keluarga buruh menjadi melemah karena tidak ada usaha orang tua sebagai kerja sampingan untuk memperkuat pertumbuhan penghasilan keluarga sehingga menyebabkan anak putus sekolah dan mengalami keterbatasan dalam mengecap tingkat pendidikan. Masalah perekonomian keluarga menjadi beban pikiran anak buruh merasa

pendidikan yang sedang diraih menambaha beban keuangan keluarga menjadi sulit. Tidak dapat di pungkiri si anak akan mengambil keputusan untuk tidak sekolah dan memilih bekerja agar membantu keuangan keluarga.

Tidak dapat di pungkiri buruh penderes sering mengalami kesulitan ekonomi di sebabkan adanya biaya yang besar kebutuhan rumah tangga bersifat sekunder. Pada kenyataanya keluarga buruh penderes banyak mengkonsumsi kebutuhan sekunder seperti berbagai perabot rumah tangga yang menjadi eksis dimasyarakat perkebunan. Kebanyakan kebutuhan sekunder menjadi prioritas keluarga. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan informan ibu Ani yaitu:

“Kalau gak mampu menyekolahkan anak sampai SMA aja ga bisa ya itu salah orang tuanya salah mengendalikan keuangan, terlalu bnanyak meminjam uang kesana-kemari jadi ketimpa utang jadi gaji itu pun tidak cukup sementara biaya pendidikan anak belum terpenuhi ketika anak pun mendengar keluhan orang tua jadi anak makin malas dan ingin bekerja mendapat uang.Kadang orang tua ini mau memikirkan uangnya dari pada pendidikan anaknya apalah gara biaya, pada hal uang gampang dicarinya”

Pernyataan senada dengan yang dikatakan bapak Wiyono, yaitu :

“Orang dikebon ini sama-sama karyawan, gajinya pun sama tapi banyak juga yang salah menggunakan, gaji dia itu ga difokuskan sekian % untuk kebutuhan anak, tapi yang dipikirkan kebutuhan rumah, ada tetangga yang punya ini ikut punya ini itu, hidup royal gak dipikirin pendidikan anaknya”

Tidak hanya orang tua yang memandang ekonomi keluarga digunakan dengan royal tetapi anak karyawan juga menilai orang tua di perkebunansebagian boros menggunakan pengahasilannya, sesuai dengan yang dikatan anak buruh penderes yaitu wawan (20) :

“yah sebenarnya sih cukupnya gaji orang tua di perkebunan kalau untuk membiayai anak sekolah sampe SMA tapi taulah ka namanya hidup dipondok, ngutang sana, ngutang sini, habis gajinya mana bisa terbagi lagi gajinya”

Jadi, pada dasarnya keuangan keluarga buruh penderes mencukupi untuk membiayai pendidikan anak sampai tingkat SMA. Anak yang putus sekolah penyebab utama bukan pendapatan ekonomi keluarga karena pendapatan buruh penderes dominan sama hanya saja ekonomi keluarga melemah karena kurangnya manajemen keuangan keluarga dalam pembagian kebutuhan sekunder dan primer. Seharusnya keluarga menyisihkan biaya primer untuk kebutuhan pendidikan anak. Namun pada kenyataannya kebutuhan sekunder beralih menjadi kebutuhan primer. Masyarakat perkebunan di lebel sebagai hidup royal karena lebih mengutamakan kebutuhan sekunder seperti, prabotan rumah tangga seperti mesin cuci, sepeda motor yang bukan untuk digunakan kebutuhan utama tetapi untuk rekreasi, sofa, meja makan, lemari, tempat tidur yang sangat bagus dan yang lainnya dengan sistem mengkredit berbagai barang yang setiap bulannya membayar cicilan barang rumah tangg tersebut.

Masyarakat perkebunan dapat saling mempengaruhi sau sama lain dalam kepemilikan barang-barang dalam arti tidak mau ketinggalan gaya dari tetangga. Beralihnya biaya kebutuhan sekunder menjadi kebutuhan primer mempengaruhi prinsip keluarga, nilai pendidik pentingnya meningkatkan pendidikan anak didalam keluarga tidak diperjuangkan dan kurangnya dukungan orang tua secara ekonomi. Dalam hal ini anak buruh sangat sulit mengalami mobilitas sosial karena minimnya dukungan orang tua terhadap perkembangan dan pergerakan pendidikan anak.

4.6.2 Anak Bekerja di Perkebunan

Anak masyarakat perkebunan yang sudah menyelesaikan pendidikannya dan yang mengalami putus sekolah namun tidak merantau ke luar daerah

perkebunan kebanyakan akan bekerja di perkebunan. Terkhususnya kepada anak laki-laki bekerja dengan status BHL di perkebunan , tetapi anak perempuan hanya dirumah saja atau ada juga yang merantau, dan bekerja yang lain. Tujuan anak bekerja untuk membantu perekonomian keluarga dan untuk kesenangan pribadi sehingga enggan untuk melanjutkan pendidikan. Hal ini sesuai dengan yang dinyatakan oleh bapak Misdi, yaitu:

“Yah itu lah dia anakku (17thn) kerja berdagang dengan orang lain, kerja sebagai mengantarkan pesanan orang seperti mengantarkan telur ke kedai, dia jago kalau berdagang. Dia pun gak mau lanjutin sekolah, awak tanyak juga mau sekolah tetapi dia bilang ahk ga mau aku pak sekolah sama ajanya toh kerjanya juga ahirnya. Kemana awak paksa pun toh sama juganya nya nanti. Ya itu tadi karna dia udah dapat gaji, udah enak dia rasa, udah bisa pulak dia punya kereta sendiri pulak di kredit keretanya. Di tengok kawannya ahk tamat nya SMA tapi toh juga nganggurnya hahk”

Pernyataan ini senada dengan jawaban bapak Maruli menanggapi anak buruh bekerja di perkebunanyaitu:

“Di Perkebunan inikan banyak kerjaan musiman seperti melakukan pembangunan rumah jadi anak-anak SMP kalau di suruh mencari pasir pasti mau karena di bayar, pekerjaan musiman seperti mengutip sisa karet lom. Pekerjaan di perkebunan menjadi hal yang biasa di kerjakan anak-anak SMP, hal ini yang membuat anak tersebut malas untuk melanjutkan sekolah karena sudah memiliki uang udah banyak dirasa duitnya”

Selain ekonomi keluarga keluarga buruh penderes yang menyebabkan anak putus sekolah adalah ketika anak mengenal pekerjaan dan mendapat uang dari hasil usaha kerja melalui pekerjaan yang ada di perkebunan. Motivasi anak bekerja dengan status BHL awalnya supaya membantu perekonomian keluarga karena anak selalu mendengar keluhan orang tua dalam keuangan keluarga. Selain itu, anak merasakan bangga sudah bekerja serta menerima upah atau penghasilan sendiri di usia mudah bahkan dapat membantu orang tua membeli suatu barang dari hasil keringat sendiri. Pekerjaan yang dilakukan anak

membentuk pikiran anak menilai tanpa pendidikan yang tinggi saja dapat menghasilkan uang bahkan dapat membantu orang tua. Pada dasarnya pihak perkebunan telah menetapkan peraturan dan larangan memperkerjakan anak di bawah usia karena anak masih memiliki hak untuk mencapai pendidikan namun, banyak anak buruh yang melakukan aktifitas bekerja di luar pengawasan pihak perkebunan sehingga anak dengan bebas mencari uang dengan bekerja.

4.6.3. Pola Pikir Masyarakat Perkebunan

Keberadaan individu dimanapun berada dengan waktu yang cukup lama akan mempengaruhi pola kehidupan dari cara berbicara, berpikir dan berperilaku akan seseai dengan lingkungan sosial tempat tinggalnya. Begitu juga dengan kehidupan sosial masyarakat perkebunan memiliki nilai yang ditanamkan dalam diri individu namun menjadi umum memiliki pola pikir yang sama terhadap pendidikan. Hal ini dinyatakan oleh Jeni (20), yaitu:

“masih ada yah saya dengar disini mengatakan bahkan langsung kepada saya jeni kemana aja sih tidak pernah kelihatan, apa sekolah, ia kak kulia ku bilang, terus dibilangnya ngapain pala sekolah tinggi-tinggi anak perempuan toh juga nanti ke dapur, yah ku bilang aja ia ka biar ada modalku untuk kedapur, sambil becanda. Ya pola pikir berdampak kepada anaknya karna anak itu pasti berpikir orang tuaku aja udah mengatakan gitu pasti ada pengaruhnya”

jawaban hasil wawancara dengan informan bapak Mujiono, yaitu:

“yah saya kalau dikerjaan itu masih sering kawan-kawan kerja bilang ahk percumanya nyo kulia tinggi-tinggi, ngono,ngene toh saiki okeh seng nganggur juga. delok lah iku hahk eneng seng D3, S1, ngono-ngono wae”

Hal ini senada dengan jawaban hasil wawancara dengan informan ibu Rini, yaitu:

“Sering sih mendengar orang tua yang ngomong gitu kalau anak kebon toh juga balik ke kebon, bapak nya masuk kebon anaknya ikut masuk kebon sih ya sekitar 60%-70% lah masyarakat yang ngomong gitu”

Jawaban informan diatas sesuai dengan hasil wawancara dengan bapak Maruli: “Anak mandor penderes disini pun ada yang tamat SMA dan SMP udah di stop kan orngtuanya. Anak perempuan ahk udahlah perempuan sampe SMP toh juga nanti ke dapur jadi ibu rumah tangga juga nantinya. Kalau anak yang laki-laki seperti bapak ini ajapun nanti bisa naik kerjaannya. itu yang ditanamakan prinsip disini ”

Pola pikir masyarakat perkebunan menjadi budaya lokal yang lahir dari seluruh masyarakat yaitu buruh dan mandor. Terbentukanya pola pikir masyarakat karena pekerjaan orang tua. Tanpa di sadari pekerjaan ini menjadi antar generasi dari mulai kakek, ayah dan di turunkan kepada anak pria bekerja di perkebunan ini. pemikiran yang seperti ini ternyata berdampak pada tingkat pendidikan anak dan terdapat perbedaan gender. Bahwa anak perempuan pendidikannya sulit meningkat karena lebih mengutamakan pendidikan anak laki-laki agar dapat bekerja di perkebunan dan mengalami peningkatan bekerja. Masyarakat perkebunan 60-70% pola pikir masyarakat perkebunan memandang pekerjaan untuk anak sudah tersedia di depan mata dan tidak perlu mencari pekerjaan ke luar desa.

BAB V

PENUTUP

5.1.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan analisis wawancara, dapat disimpulkan bahwa:

1. Pendidikan anak buruh di Desa Perkebunan Aek Tarum PT. Bridgestone mendapatkan perhatian dari pihak perusahaan perkebunan seperti di berikan transportasi gratis untuk akses ke sekolah, sarana kesehatan, dan terdapat sarana pendidikan bahkan beasiswa untuk anak buruh yang memiliki prestasi, hal ini merupakan bentuk apresiasi dan partisipasi pihak perkebunan kepada anak yang mengecap pendidikan untuk mengurangi kuantitas anak putus sekolah di kawasan perkebunan.

2.

Anak buruh di kawasan perkebunan dengan mudah mengakses pendidikan karena sudah tersedia lembaga Sekolah dari mulai tingkat TK, SD, SMP sampai SMA sehingga mengecap pendidikan tidak perlu menambah biaya untuk menempuh jarak jauh ke kota Kisaran. Dengan keberadaan sekolah di perkebunan mendorong semangat dan mengembangkan potensi anak buruh untuk mengecap pendidikan. Tingkat pendidikan anak buruh di perkebunan jenjang SMA menjadi mayoritas, ada yang sampai ke Perguruan Tinggi namun tergolong minim bahkan ada juga anak buruh yang putus seklah dari tingkat SD, SMP dan SMA.

3.

Buruh penderes secara umum menilai pendidikan sangat penting. Buruh penderes antusias terhadap pendidikan formal anak minimal tingkat SMA karena buruh perkebunan melihat pekerjaan saat ini memerlukan pendidikan

terakhir minimal tingkat SMA seperti, bekerja menjadi buruh tetap di perkebunan saja harus memiliki ijazah SMA. Seiring dengan perkembangan pendidikan mengikuti perkembangan zaman maka itulah buruh penderes berusaha menyelesaikan pendidikan anak sampai tingkat SMA.

4.

Nilai pendidikan dalam buruh penderes tidak selalu tetap menjadi prinsip dalam arti prinsip pendidikan dalam keluarga mengalami perubahan terkadang nilai pendidikan menjadi penting sekali dan terkadang nilai pendidikan dianggap seperti biasa saja. Buruh penderes yang menjunjung tinggi pentingnya nilai pendidikan untuk anak maka akan memberikan pendidikan kepada anak sampai ke Perguruan Tinggi. Karena buruh ini menilai kalau pendidikan hanya sampai tingkat SMA belum dapat mencapai cita-cita anak. Ada harapan orangtua dengan pendidikan yang tinggi anak mengalami peningkatan pekerjaan yang baik dan perekonomian anak di masa yang akan datang menjamin tidak seperti orang tuadi perkebunan banyak keterbatasan. Terjadi peluang dan perluasan terhadap mobilitas sosial kepada anak buruh yang tingkat pendidikan di Perguruan Tinggi. Bahkan pendidikan yang dimiliki anak mengahantarkan pada mobilitas sosial secara vertikal. Dalam hal pendidikan dapat dipercaya sebagai saluran mobilitas sosial secara vertikal karena mengalami perpindahan kedudukan yang satu ke kedudukan yang lain tidak sederajat lagi.

5.

Anak buruh yang tingkat SMA dan tidak merantau keluar dari kawasan perkebunan disarankan anak untuk bekerja di perkebunan menjadi buruh tetap. Buruh dan masyarakat di perkebunan memiliki harapan serta yakin dengan adanya pendidikan anak tingkat SMA akan mengalami mobilitas

sosial bekerja di perkebunan walaupun secara evolusi. Buruh dan masyarakat menyadari bahwa pendidikan tingkat SMA belum memberikan perluasan dan peluang yang signifikan terhadap mobilitas sosial dalam bekerja karena pendidikan tingkat SMA masih memiliki banyak keterbatasan. Namun mereka percaya lambat laun pekerjaan di perkebunan akan mengalami peningkatan status kerja dari pendres menjadi mandor atau krani jika kinerjanya bagus memuaskan bagi pihak perkebunan maka akan mengalami peningkatan kerja

6.

Anak masyarakat perkebunan mengalami mobilitas sosial secara horizontal kepada anak yang putus sekolah dan jenjang pendidikan SMP. Maka anak tersebut dalam pekerjaan hanya status BHL dan sangat sulituntuk perpindahan status pekerjaan atau kemungkinan mengalami pergerakan tetapi masih sederajat seperti bekerja sebagai BHL menjadi mandor namun masih status BHL dengan pendapatan masih rendah atau bahkan bekerja di pabrik sebagai BHL pabrik juga. Mobilitas sosial secara horizintal disebabkan karena minimnya keahlian dan skill, rendahnya pendidikan yang dimiliki anak. Anak buruh penderes mengalami putus sekolah penyebab utama bukanlah faktor kemiskinan atau ekonomi akan tetapi karena (1) ekonomi orang tua bersifat royal, (2) anakmengikuti temannya bekerja dan anak di beri izin untuk bekerja, (3) lingkungan masyarakat dan pola pikir masyarakat perkebunan.

5.2 Saran

1. Buruh penderes yang memiliki anak dalam pendidikan agar memberikan berbagai bentuk apresiasi kepada anak terkhusus anak yang sedang mengecap pendidikan dan mempertahankan peran keluarga dalam memberikan perhatian kepada anak. Keluarga memiliki peran yang sangat besar dan bertanggung jawab memperhatikan anak dalah belajar, peningkatan prestasi, dan mengendalikan perilaku anak supaya dapat diterima dengan lebel baik dimasyarakat. Karena keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar terhadap kualitas pendidikan anak, dimana semakin intensif orang tua memperhatikan anak semakin menonjol pula kualitas anak dalam pendidikan.

2. Orang tua yang memberikan pendidikan kepada anak sampai tingkat perguruan tinggi supaya tetap mempertahankan nilai pendidikan yang sangat penting dalam keluarga, anak serta mentransferkan kepada anak melalui sosialisasi pendidikan. Supaya anak memliki motivasi yang mendorong untuk mencapai cita-cita dan memiliki pekerjaan yang layak di masa hidupnya melalui pendidikan.

3. Orangtuadianjurkan agar lebih mengutamakan kebutuhan primer anakdibandingkan kebutuhan sekunder, seperti memprioritaskan biaya pendidikan anak. Hal ini agar mencegah kesulitan ekonomi yang menyebabkan anak putus sekolah.

4. Pihak perkebunan supaya dengan tegas menetapkan peraturan tidak memperkerjakan anak dibawah usia. Pihak perkebunan meningkatkan pengawasan terhadap anak yang melakukan aktifitas bekerja dengan status

peserta didik. Dan menangkap anaknya dan dikembalikan kepada orangtuanya, hal ini sebagai peringatan kepada orang tua di perkebunan.

BAB II

KAJIAN PUSTAKA